MAKALAH TUGAS KEPERAWATAN BEDAH
ASUHAN KEPERAWATAN PERDARAHAN SUBARAKNOID (SAH) (Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah)
Oleh : Kelas A 2017 – Kelompok 5
Dosen Pembimbing : Ns. Nur Widayanti, S.Kep.,MN
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2019
MAKALAH TUGAS KEPERAWATAN BEDAH
ASUHAN KEPERAWATAN PERDARAHAN SUBARAKNOID (SAH) (Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah)
Disusun oleh : Eka Windra Dewi
NIM 172310101025
Djuhar Maniek Balasaraswati
NIM 172310101046
Dosen Pembimbing : Ns. Nur Widayanti, S.Kep.,MN
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2019
PRAKATA
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan InayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Diabetes Melitus”. Dalam penulisan makalah ini, kami telah mendapat banyak bantuan dari banyak pihak. Kami menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp. Kep. MB sebagai PJMK Dasar Keperawatan Medikal Bedah 2. Ns. Nur Widayanti, S.Kep.,MN sebagai Dosen Pembimbing 3. Seluruh rekan kelas A angkatan 2017 Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata “sempurna” untuk itu kami sebagai penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun. Penyusun berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi kami sebagai penulis pada khususnya. Jember, 25 Maret 2018
Penyusun
DAFTAR ISI Halaman Sampul Halaman Pengesahan PRAKATA DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sub Arrachnoid Hemmorhage atau SAH adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya darah pada rongga subarakhnoid dan di akibatkan oleh proses patologis. Perdarahan subarakhnoid dapat ditandai dengan adanya rembesan darah ke rongga antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges). Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)
ini
disebabkan bukan karena trauma, perdarahan ini sering kali disebabkan oleh adanya ruptur dari aneurisma pembuluh darah. Perdarahan Sub Arachnoid (PSA) dapat mencapai 7-15% pada kasus GPDO (Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya mencapai 62% timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun. Di berbagai negara industri, dapat diperkirakan terdapat 6,526,4 kasus dari 100.000 kasus pendarahan Subarachnoid spontan tiap tahun. Faktor-faktor tertentu dapat meningkatkan resiko terjadinya pendarahan. Aneurisma sendiri dapat ditemukan pada beberapa orang sebelum umur 20 tahun. Namun, Malformasi Arteri Vena dapat timbul pada saat kelahiran. Pada kasus tertentu, ditemukan predisposisi faktor genetik Aneurisma atau Malformasi Arteri Vena dengan penyebab utama yaitu MAV (malformasi arteriovenosa), maka dapat dikatakan yang lebih berpotensi terserang adalah laki-laki daripada wanita. Faktor lain yang dapat berpengaruh tetapi tidak berhubungan langsung dengan Pendarahan Subarakhnoid antara lain aterosklerosis, merokok, konsumsi alkohol berlebihan, dan penggunaan obat-obat terlarang, seperti kokain. Tekanan darah yang tinggi masih belum terlihat pengaruhnya sebagai penyebab pendarahan ini. Tetapi jika dihubungkan dengan Aneurisma, dapat menjadi faktor resiko yang tidak langsung. Keluhan yang nampak antara lain nyeri kepala yang mendadak, disertai muntah, fotofobia, kaku leher, penurunan kesadaran, defisit neurologis atau kejang. Perdarahan subarachnoid, dapat di lihat pada CT-scan sebagai jaringan dengan densitas tinggi (40 – 90 Hu). Iskemia merupakan bahaya yang paling cepat timbul pada Perdarahan Subarachnoif. Hal tersebut terjadi karena iskemia berhubungan dengan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh terhambatnya aliran darah. Daerah otak yang tidak menerima aliran darah dan oksigen yang cukup dapat menjadi trauma irreversibel, kemudian berkembang
menjadi kerusakan otak permanen. Pasien akan rentan terhadap beberapa komplikasi untuk beberapa saat kedepan apabila dapat bertahan pada perdarahan awal. Komplikasi yang sering terjadi adalah hipertensi intracranial, vasospasme dan hidrocephalus (Mahmudah, 2014).
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana konsep dasar penyakit pada kasus Perdarahan Subarachnoid? 1.2.2 Bagaimana tahapan asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien penderita Perdarahan Subarachnoid?
1.3 Tujuan 1.3.1 Umum Mengetahui konsep dasar penyakit dan asuhan keperawatan pada pasien dengan Perdarahan Subarachnoid. 1.3.2 Khusus 1. Mengetahui anatomi fisiologi mengenai Perdarahan Subarachnoid 2. Mengetahui patofisiologi Perdarahan Subarachnoid 3. Mengetahui etiologi Perdarahan Subarachnoid 4. Mengetahui penatalaksanaan Perdarahan Subarachnoid 5. Mengetahui tahapan asuhan keperawatan pada pasien dengan Perdarahan Subarachnoid
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi SAH Sub arakhnoid hemoragic (SAH) adalah perdarahan yang terjadi secara tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan selaput otak. (Satyanegara, 2010). Sub arakhnoid hemoragic (SAH) juga merupakan penyakit yang sering ditemukan karena trauma kepala akibat robeknya pembuluh darah leptomeningeal pada vertex. Selanjutnya akan terjadi pergerakan otak yang besar sebagai dampak akibat rupturnya pembuluh darah serebral major (Muttaqin, 2014). Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Sub Arakhnoid Hemoragik secara umum yaitu pendarahan diantara otak dan jaringan tipis yang menutupi otak dan sering di temukan pada trauma kepala robeknya pembuluh darah leptomeningeal pada vertex, dimana terjadi pergerakan otak yang besar sebagai dampak akibat rupturnya pembuluh darah serebral major.
2.2 Etiologi Adapun beberapa etiologi pendarahan subaraknoid (SAH), diantaranya : 1. Penyebab terjadinya pendarahan subaraknoid secara umum ialah trauma, sehingga menyebabkan aneurisma pecah. Sebanyak 75% hingga 80% kasus pendarahan subaraknoid disebabkan oleh pecahnya aneurisma (Ferri, 2015). Aneurisma ialah suatu keadaan adanya pelebaran atau pembengkakan pada pembuluh darah yang biasanya terjadi di percabangan pembuluh darah arteri di dasar otak (Suwangto 2011 dalam Hardianto 2017). Tepatnya di bagian depan Sirkulus Wilisi. Aneurisma terjadi pada orang dewasa di usia lebih dari 20 tahun. Gejala yang dialami pasien yaitu sakit kepala hebat, berdenyut dan bersamaan atau tidak dengan muntah (Hardianto, 2017). 2. Pendarahan subaraknoid (SAH) Idiopatik atau juga disebut sebagai SAH angiogram negatif , terjadi sekitar 5% hingga 20% dan mengakibatkan pendarahan subaraknoid spontan (Ferri, 2015).
3. Terjadi malformasi arteriovenosa, perdarahan tumor yang sudah ada, vaskulitis dan diseksi arteri serebral (Ferri, 2015). Malformasi arteriovenosa yaitu hubungan antara arteri dan vena yang abnormal dan melebar di bagian parenkim otak serta tidak ada jaringan pembuluh darah yang normal di subarteriolar (Sebayang dkk., 2018). 4. Penggunaan kokain yang disalahgunakan, anemia sel sabit, koagulopati, dan apoptiksi hipofisis, dapat menimbulkan terjadinya pendarahan subaraknoid (SAH) (Ferri, 2015).
2.3 Klasifikasi Menurut Adams dkk, (2010) perdarahan subaraknoid terbagi atas: 1. Perdarahan Subaraknoidal spontan primer (spontan non-trauma dan nonhipertensif), yakni perdarahan bukan akibat trauma atau dari perdarahan intraserebral. 2. Perdarahan Subaraknoidal sekunder, adalah perdarahan yang berasal dari luar subaraknoid, seperti dari perdarahan intraserebral atau dari tumor otak. Menurut skala Botterell dan Hunt&Hess, perdarahan subarakhnoid dapat dibagi menjadi beberapa kelas (grade), yaitu: Grade Gejala 1. Kelas I Asimptomatik atau sakit kepala ringan 2. Kelas II Sakit kepala sedang atau berat atau occulomotor palsy 3. Kelas III Bingung, mengantuk atau gejala fokal ringan 4. Kelas IV Stupor (respon terhadap rangsangan nyeri) 5. Kelas V Koma (postural atau tidak respon terhadap nyeri) Kelas I dan II memiliki prognosis yang baik, kelas III memiliki prognosis yang menengah, kelas IV dan V memiliki prognosis yang buruk.
Gambar 2.3 Klasifikasi Pendarahan Subarakhnoid
2.4 Manifestasi klinis Tanda yang biasanya terjadi saat pendarahan subaraknoid (SAH) ialah nyeri kepala yang mendadak (Liebeskind, 2014). Nyeri kepala yang terjadi diakibatkan oleh rusaknya ipsilateral aneurisma dan sekitar 30% pasien akan mengalaminya. Sakit kepala yang terjadi menjadi peluang kemungkinan adanya pendarahan subaraknoid (SAH) yaitu sekitar 10-16% (Lemonick 2010 dalam Yueniwati 2016). Nyeri kepala yang dirasakan oleh pasien pendarahan subaraknoid (SAH) bersamaan atau tidak bersamaan dengan gejala lainnya seperti halnya kaku kuduk yang diakibatkan oleh iritasi meningen, hilangnya kesadaran sesaat, mual, muntah atau gangguan syaraf (Wanke 2007 dalam Yueniwati 2016). Namun, sakit kepala yang dirasakan pada pasien muncul terlambat. Tetapi, dalam beberapa kasus, sakit kepala tersebut dapat diatasi dengan memberikan obat anti nyeri (Edlow 2012 dalam Yueniwati 2016). Kaku kuduk muncul saat 3-12 jam setelah terjadi kerusakan aneurisma atau bahkan tidak muncul pada pasien koma dan pasien dengan pendarahan subaraknoid yang tidak parah. Selain, kaku kuduk, tanda lainnya ialah nyeri punggung dan/atau nyeri tungkai. Nyeri tersebut terjadi dikarenakan adanya iritasi radiks nervus lumbosakral pada darah. Beberapa pasien mengalami tanda dan gejala tersebut beberapa hari sebelum terjadi kerusakan/ruptur yang sebenarnya (Wanke 2007 dalam Yueniwati 2016). Pasien yang mengalami pendarahan subaraknoid (SAH) juga disertai dengan paralisis nervus okkulomatorius nigtamus, dizziness, dan ataksia yang dikarenakan
adanya ruptur aneurisma PcomA. Sedangkan, paraparesis dan abulia menandakan terjadinya ruptur AcomA. Hemiparesis dan afasia terjadi pada saat ruptur aneurisma MCA (Ghandehari 2012 dalam Yueniwati 2016). Adapun pungsi lumbal (lumbal puncture atau LP) berguna dalam proses diagnosa kasus SAH yang didukung dengan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Lumbal puncture dapat menimbulkan herniasi pada saat proses diagnosa pertama dan menyebabkan masalah. Namun Computed Tomography (CT) scan, dapat mengetahui dan memilah diagnosa banding yang lain (Lemonick 2010 dalam Yueniwati 2016). Gambaran pendarahan subaraknoid saat pemeriksaan CT scan bergantung pada faktor diantaranya jumlah pendarahan, jumlah hematokrit dan rentang waktu (Mark 2013 dalam Yueniwati 2016). Apabila terdapat kecurigaan pada kasus klinis SAH tetapi hasil pemeriksaan CT kepala normal, dilanjutkan dengan pungsi lumbal(LP) selama 12 jam setelah muncul onset atau permulaan nyeri di kepala.Saat akan melakukan pungsi lumbal (LP) 12 jam, maka pasien diberi indikator yang disebut xanthochromia. Apabila xanthochromia positif, maka dilakukan pemeriksaan Computed Tomography Angiography (CTA) yang berguna untuk mendeteksi lokasi dari aneurisma. Tetapi apabila xanthochromia negatif, pemeriksaan CTA tidak digunakan (Lemonick 2010 dalam Yueniwati 2016). Dalam memperhitungkan tingkat keparahan SAH, terdapat dua sistem skala diantaranya Hess dan Hund beserta World Federation of Neurological Surgeon (WFNS). Sebelum penggunaan skala Hess dan Hund, skala Botterrel terlebih dahulu digunakan yang berguna dalam mengukur risiko operasi dan memberikan arahan waktu yang tepat untuk dokter bedah saraf melakukan operasi. Adapun kelemahan dari skala Hess dan Hund yaitu batas setiap tingkat tidak konsisten dan berhubungan dengan tingkat kesadaran. Kenaikan satu tingkat dapat terjadi karena adanya penyakit penyerta. Tetapi, kenaikan tingkat ini terkadang dilakukan terkadang tidak dilakukan (Rosen 2005 dalam Yueniwati 2016). Di tahun 1988, ditemukannya sistem skala baru yaitu World Federation of Neurological Surgeon (WFNS). Skala ini menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) untuk mengukur tingkat kesadaran (Rosen 2005 dalam Yueniwati 2016).
2.5 Patofisiologi
Perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer. Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah di sekitar permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM) (Muttaqin, 2014). Perdarahan subarachnoid (PSA) disertai oleh meningitis aseptik dan gangguan aktifitas serebrovaskuler. Defisit neurologis yang terjadi merupakan akibat dari perusakan jaringan otak oleh darah atau akibat adanya darah di dalam ruang subarakhnoid. Darah di dalam ruang subarakhnoid, khususnya di sisterna basalis, dapat menginduksi terjadinya vasospasme. Vasospasme yang berlanjut dapat menyebabkan terjadinya infark serebri sekunder, yang mengakibatkan semakin luasnya kerusakan jaringan otak (Muttaqin, 2014). Aneurisma merupakan salah satu penyebab terjadinya Perdarahan Sub Arachnoid (PSA). Dimana aneurisma merupakan luka yang yang disebabkan karena tekanan hemodinamic pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji aneurisma dispesifikasikan untuk arteri intracranial karena dindingnya kehilangan suatu selaput tipis bagian luar dan mengandung faktor adventitia yang membantu pembentukan aneurisma. Suatu bagian tambahan yang tidak didukung dalam ruang subarachnoid. Penyebab tersering perdarahan subaracnoid spontan adalah rupturnya suatu aneurisma sakular (Muttaqin, 2014). Dinding aneurisme sakular terdiri atas jaringan padat kaya kolagen yang berasal dari tunika intima dan adventisia pembuluh asal. Tunika media biasanya berakhir mendadak di leher aneurisma. Lumen aneurisma mungkin mengandung thrombus. Aneurisma dapat menekan struktur di dekatnya dan menimbulkan gejala yang berkaitan dengan efek masa local. Rupturnya aneurisma sakular biasanya terjadi di fundus yang berdidinding tipis. Bergantung pada lokasinya, rupture dapat menyebabkan perdarahan kedalam ruang subaracnoid dan parenkim otak disekitarnya. Infark parenkim otak juga dapat terjadi pada kasus perdarahan subaracnoid yang mungkin disebabkan akibat spasme arteri (Muttaqin, 2014).
Gambar 2.4 Anatomi pendarahan pada ruang sub arakhnoid
Gambar 2.5 Aneurisma
Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam arteri karotid bagian dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari lingkaran wilis. Selama 25 tahun John Hopkins mempelajari otopsi terhadap 125 pasien bahwa pecah atau tidaknya aneurisma dihubungkan dengan hipertensi, cerebral atheroclerosis, bentuk saluran pada lingkaran wilis, sakit kepala, hipertensi pada kehamilan, kebiasaan menggunakan obat pereda nyeri, dan riwayat stroke dalam keluarga yang semua memiliki hubungan dengan bentuk aneurisma sakular (Muttaqin, 2014).
Gambar 2.6 Anteriorvena Malformasi arteriovena merupakan kelainan pembuluh darah kongenital yang tersering di otak dan merupakan tipe yang berkaitan dengan perdarahan yang secara klinis signifikan. Secara makroskopis malformasi arteriovena tampak sebagai kumpulan pembuluh yang berkelok-kelok yang paling jelas terlihat selagi masih dipenuhi oleh darah. Secara mikroskopis berupa pembuluh dengan kaliber beragam tersusun acak dan mencakup arteri, vena, serta bentuk transisi. Pembuluh darah ini dipisahkan oleh parenkim otak (Muttaqin, 2014).
A. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan menggunakan CT scan menjadi pemeriksaan penunjang dalam mendeteksi perdarahan baru (Patel, 2006). Pada kasus pasien yang mengalami ruptur aneurisma, darah akan terkumpul di dalam sisterna basalis. Sedangkan, penyebab pasien SAH trauma, maka darah akan terkumpul di konveksitas otak. Pasien dengan kasus hematokrit < 30%, maka keadaan darah saat terjadi perdarahan subaraknoid terlihat isodens terhadap parenkim otak (Lemonick 2010 dalam Yueniwati 2016). Sensibilitas CT scan dalam menemukan adanya perdarahan subarachnoid di 12 jam pertama di saat perkiraan awal mula terjadi perdarahan ialah 95% sampai 98%. Namun, sensibilitas CT scan akan menurun seiring dengan kurun waktu awal perdarahan. Setelah 3 hari sensibilitas menjadi 80%, setelah 1 minggu menjadi 50% dan setelah 2 minggu menjadi 30% dari onset perdarahan (Yueniwati 2016). Adapun pemerikssan penunjang selain penggunaan CT scan yaitu Computed Tomography Angiography (CTA). Penggunaan CTA ditunjang dengan setengah dari pasien yang ada memiliki kemungkinan terjadi SAH tetapi hasil CT scan negatif.
Meskipun demikian, pemeriksaan pungsi lumbal (LP) tetap dilakukan (Lemonick 2010 dalam Yueniwati 2016). Pada pemeriksaan CTA dengan aneurisma di diameter > 5 mm, memiliki sensibilitas 95%, namun aneurisma yang mempunyai diameter < 5 mm, memiliki sensibilitas sekitar 70%. Sedangkan sensibilitas aneurisma dengan diameter < 3 mm yaitu 25-64%. Kelemahan pemeriksaan CTA adalah sukar untuk menemukan aneurisma di dekat tulang atau di area vaskular yang saling bertumpukan contohnya di area paraklinoid, segmen terminal internal karotid atau bifurkasio MCA (Wanke 2007 dalam Yueniwati 2016). Tetapi dibalik kelemahan tersebut, CTA memiliki keuntungan dalam penggunaannya diantaranya tidak invasif, dapat mengetahui klasifikasi dari dinding aneurisma, trombosis intraluminal, lokasi atau tempat terjadi aneurisma dan sekitarnya (Ghandehari 2012 dalam Yueniwati 2016). Pemeriksaan kateterisasi angiografi menjadi pemeriksaan yang tetap untuk mendeteksi perdarahan subarachnoid yang disebabkan oleh ruptur aneurisma. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan lebih jelas terhadap jumlah, bentuk, dimensi, lokasi, topografi, dan risiko vasospasme (Wanke 2007 dalam Yueniwati 2016). Terdapat 25% kasus yang menyebabkan pemeriksaan angiografi gagal, yang dikarenakan oleh kesalahan teknik pemeriksaan, terjadi vasospasme pre-aneurisma, trombosis mengisi seluruh area aneurisma, kompresi hematoma pre-aneurisma dan ukuran aneurisma yang terlalu kecil (Ghandehari 2012 dalam Yueniwati 2016).
B. Penatalaksanaan medis Menurut Dewanto(2013) dalam bukunya, telah di sebutkan beberapa penatalaksaan medis untuk pasien pendarahan subarachnoid yaitu: 1) Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. 2) Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. 3) Kadang dipasang selang drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan. 4) Pembedahan untuk memperbaiki dinding arteri yang lemah, bisa mengurangi resiko perdarahan fatal di kemudian hari. 5) Sebagian besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan dalam waktu 3 hari setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10 hari atau lebih dapat memungkinkan terjadinya perdarahan hebat. 6) Pasien dengan SAH memerlukan observasi neurologik ketat dalam ruang perawatan intensif, kontrol tekanan darah dan tatalaksana nyeri sementara
menunggu perbaaikan aneurisma defisit. 7) Pasien pasien harus menerima profilaksis serangan kejang dan bloker kanal kalsium untuk vasospasme. 8) Tatalaksana ditujukan pada resusitasi segera dan pencegahan perdarahan ulang. 9) Tirah baring dan analgesik diberikan pada awal tatalaksana. 10) Antagonis kalsium nimodipin dapat menurunkan mor komplikasi dini perdarahan subarachnoid meliputi hidrosefalus sebagai akibat obstruksi aliran cairan serebrospinal oleh bekuaan darah. 11) Jika pasien sadar atau hanya terlihat mengantuk, maka pemeriksaan sumber perdarahan dilakukan angiografi serebral. 12) Identifikasi aneurisma memunkinkan dilakukan sedini mungkin, dilakukannya intervensi jepitan ( clipping ) leher aneurisma, atau jika mungkin membungkus ( wropping ) aneurisma tersebut. 13) Malformasi arteriovenosa yang terjadi tanpa adanya epilepsi biasanya tidak ditangani dengan pembedahan.
C. Pathway
perdarahan, misalnya
Pembuluh darah otak pecah
Ekstravasasi darah
Kerusakan
di ruang subaraknoid
jaringan otak
Defisit Neurologis
Ruptur aneurisma sakular / perdarahan arteriovenous malformation (AVM)
Darah di dalam ruang subaraknoid
Tekanan hemodinamic dinding arteri Vasospasme
Perdarahan ke
Spasme arteri
dalam ruang
Infark serebri
subraknoid dan
sekunder
parenkim otak Infark parenkim otak
BAB III Asuhan Keperawatan Perdarahan Subaraknoid (SAH)
3.1 Kasus Seorang pasien, Ny Y, perempuan, umur 70 tahun dirawat di bangsal Neurologi RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 5 Oktober 2015 yang memiliki keluhan utama nyeri kepala. Pasien sudah menikah dan dikaruniai 1 anak perempuan yang juga telah menikah dan memiliki 2 anak laki-laki. Umur anak pasien 48 tahun dan tinggal bersama sang suami. Pasien hanya tinggal bersama suami di rumahnya dan keduanya tidak bekerja karena keadaan fisik yang tidak mampu lagi. Pada awalnya nyeri kepala dirasakan tiba-tiba ketika pasien ingin menagambil air wudhu. Nyeri kepala dirasakan di kuduk, makin lama makin berat dan menetap. Nyeri kepala seperti di tekan. Nyeri juga timbul saat pasien sedang istirahat sehingga pasien merasa kesusahan dan tidak nyaman apabila ingin beristirahat. Pasien merasakan nyeri kepala hebat sejak kurang lebih 5 menit sebelum masuk rumah sakit. Menurut penuturan keluarga, saat di rumah, pasien mengalami mual dan muntah sebanyak 3 kali sebanyak ¼ gelas, berisikan apa yang sudah dimakan namun tidak bercampur dengan darah. Akibat muntah tersebut, pasien kehilangan nafsu makannya. Pasien sudah pernah menderita stroke pada tahun 2011, dibawa ke RSUP DR M.Djamil Padang dirawat kurang lebih 1 minggu di bagian neurologi dengan keluhan lemah anggota gerak kanan, dan pulang dengan perbaikan dan dianjurkan fisioterapi. Pasien pulang dengan jalan kaki menyeret. Kontrol tidak teratur selama 6 bulan setelah serangan. Ketika pulang, pasien mendapat obat untuk anti hipertensi, tetapi pasien tidak minum obat dan kontrol secara teratur. Minum obat hanya ketika timbul nyeri kepala. Selain stroke, pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 20 tahun yang lalu, paling tinggi 260 mmHg. Pasien diberikan obat namun juga tidak diminum secara teratur. Pasien hanya meminum obat apabila merasakan nyeri kepala. Pasien mengatakan apabila nyeri yang dialaminya akan sembuh hanya dengan meminum obat saat itu. Pasien mengatakan apabila pasien ingin kembali sembuh sehingga dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Setiap harinya pasien ditemani oleh suami dan salah satu keluarga pasien untuk menjaga pasien di rumah sakit. Tetapi, anak perempuan pasien beserta cucunya jarang menemui pasien. Sesekali anak pasien membawakan makanan namun tidak tinggal lama untuk menemani pasien. Selama di rumah sakit, pasien mengatakan ingin lekas sembuh sehingga pasien mengikuti pemeriksaan dan perawatan yang ditujukan untuk dirinya oleh petugas kesehatan. Pasien juga terus berdoa kepada Tuhan agar diberi kesembuhan supaya bisa kembali ke
rumahnya. Baik suami dan keluarga pasien, juga berharap pasien segera pulih dari sakitnya dan diberikan kesembuhan. Pasien sudah berusia 70 tahun dan sudah sejak 20 tahun lama nya menderita hipertensi. Hal ini merupakan faktor resiko terbentuknya aneurisma pembuluh darah di bagian yang rentan seperti di sirkulasi Willis. Bagian pembuluh darah sirkulasi Willis merupakan tempat yang rentan timbulnya aneurisma karena pembuluh darahnya berkelok dan mendapatkan tekanan hemodinamik yang paling tinggi. Pada pasien ini sudah ditemukan kelemahan anggota gerak sebelah kanan, sehingga pasien kesusahan dalam menjalankan aktivitas yang melibatkan pergerakan anggota gerak sebelah kanan, dimana hal tersebut merupakan tanda vasospasme. Hal ini dapat terjadi karena aliran darah ke otak berkurang. Jaringan otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat menyebakan kematian, seperti pada stroke iskemik. Selama proses perawatan, pasien mengalami penurunan kesadaran seiring dengan progresivitas penyakitnya.
3.2 Pengkajian A. Identitas Pasien :
Nama
: Ny. Y
Jenis kelamin : Perempuan Umur
: 70 tahun
Suku bangsa : Minangkabau Alamat
: Padang
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Diagnosa klinis : Pendarahan subarachnoid grade IV dan tanda vasospasme
B. Keluhan Utama Nyeri kepala sejak 6 jam yang lalu sebelum masuk bangsal neurologi
C. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang Nyeri kepala sejak 6 jam yang lalu sebelum masuk bangsal neurologi setelah dirawat di RSUP DR M.Djamil Padang di bagian interne. Nyeri kepala timbul ketika pasien sedang beristirahat. Pada awalnya nyeri kepala dirasakan tiba-tiba ketika pasien ingin menagambil air wudhu. Nyeri kepala dirasakan di kuduk, makin lama makin berat dan menetap. Nyeri kepala seperti di tekan. Nyeri juga timbul saat pasien sedang istirahat. Pasien merasakan nyeri kepala hebat sejak kurang lebih 5 menit sebelum masuk rumah sakit. Menurut penuturan keluarga, pasien muntah sebanyak 3 x kali dirumah sebanyak ¼ gelas, berisikan apa yang dimakan, tidak bercampur dengan darah. Tampak oleh keluarga anggota gerak kanan kurang aktif.
b. Riwayat penyakit dahulu Pasien sudah pernah menderita stroke pada tahun 2011, dibawa ke RSUP DR M.Djamil Padang dirawat lebih kurang 1 minggu di bagian neurologi dengan keluhan lemah anggota gerak kanan, dan pulang dengan perbaikan dan dianjurkan fisioterapi. Pasien pulang dengan jalan kaki menyeret. Kontrol tidak teratur selama 6 bulan setelah serangan. Ketika pulang pasien mendapat obat untuk anti hipertensi, tetapi pasien tidak minum obat dan kontrol secara teratur. Minum obat hanya ketika timbul nyeri kepala. Sejak 20 tahun lalu, memiliki riwayat hipertensi, paling tinggi 260 mmhg. Pasien tidak minum obat secara teratur. Pasien hanya meminum obat apabila merasakan nyeri kepala.
c. Riwayat penyakit keluarga Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini.
D. Pola Fungsi Kesehatan 1. Pola Persepsi
Pasien mengatakan bahwa apabila terjadi nyeri maka pasien akan meminum obat. Pasien tidak meminum obat secara teratur. Pasien beranggapan bahwa nyeri kepala yang dialaminya hanya sementara. 2. Pola Nutrisi Saat di rumah, keluarga mengatakan pasien mengalami mual dan muntah sebanyak 3 kali sebanyak ¼ gelas, berisikan apa yang sudah dimakan namun tidak bercampur dengan darah sehingga pasien tidak nafsu makan. 3. Pola Eliminasi Pola eliminasi tidak dijelaskan dalam kasus 4. Pola Aktivitas dan Latihan Pasien mengalami kesusahan saat menggunakan anggota gerak sebelah kanan 5. Pola tidur dan Istirahat Pasien mengatakan susah untuk beristirahat dikarenakan munculnya nyeri kepala kurang lebih selama 5 menit 6. Kognitif dan Persepsual Pasien tidak mengalami
masalah
dengan
indera penglihatan,
pendengaran, peraba, perasa maupun penciuman, tetapi pasien mengalami penurunan fungsi indera dikarenakan bertambahnya usia. 7. Persepsi diri Pasien mengatakan bahwa dia berharap lekas sembuh. Pasien merasa kesepian dikarenakan anak perempuannya jarang menemuinya ketika di rumah sakit. Setiap harinya, pasien hanya dijenguk oleh salah satu keluarganya untuk menemani pasien. Pasien dan keluarganya berharap pasien lekas sembuh. 8. Pola peran dan Hubungan Pasien mengatakan bahwa pasien dijenguk dan ditemani oleh salah satu keluarganya serta suaminya namun anak perempuan dan cucunya jarang sekali menemuinya ketika pasien di rawat di rumah sakit. 9. Pola seksualitas Pasien mengatakan bahwa sudah menikah, memiliki suami dan 1 orang anak perempuan yang juga sudah menikah serta 2 orang cucu laki-laki.
10. Koping Stress
Pasien mengatakan bahwa pasien mengikuti pemeriksaan dan perawatan yang ditujukan untuk dirinya oleh petugas kesehatan 11. Nilai Kepercayaan Pasien mengatakan bahwa pasien terus berdoa kepada Tuhan agar diberikan kesembuhan dari penyakitnya yang sekarang
E. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : Kesadaran kompos mentis, terapi oksigen
Tanda-tanda vital Tekanan darah
: 140/90 mmHg
Nadi
: 82x/menit, irama regular, sama kiri dan kanan, pulsus deficit (-)
Pernafasan
: 18x/menit, pola abdominotorakali
Suhu
: 36,5oC
Kepala Inspeksi : tidak anemis, tidakada ikterus, bentuk dan ukuran kepala normal, tekstur rambut normal, tidak ada edema Palpasi : tidak ada nyeri tekan kepala
Mata Inspeksi : normal, cupping (+), bentuk pupil bulat, bola mata di tengah, reflek cahaya (+), reflek akomodasi (+) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Telinga Inspeksi : bentuk telinga simetris, tidak ada benjolan Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Hidung Inspeksi : bentuk hidung normal, simetris, fungsi penciuman baik Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Leher Inspeksi : tidak ada benjolan, bentuk simetris Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak teraba pembesaran KGB
Dada a.
b.
c.
Paru Inspeksi
: Simetris kiri dan kanan
Palpasi
: Fremitus kiri = kanan
Perkusi
: Sonor diseluruh lapangan paru
Auskultasi
: Suara nafas vesikular, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung Inspeksi
: Iktus tidak terlihat
Palpasi
: Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi
: Batas atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari medial LMCS RIC V
Auskultasi
: Bunyi jantug murni, rama regular, bising (-)
Abdomen Inspeksi
: Perut tidak tampak membuncit
Palpasi
: Supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
: Bising usus (+) N
Urogenital Inspeksi : Pasien tidak terpasang kateter
Ekstremitas Inspeksi : anggota gerak bagian kanan terlihat lemah Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Kulit dan kuku Inspeksi : pucat (-), sianosis (-) Palpasi : tidak ada nyeri tekan, turgor kulit baik
Terapi
Umum :
Elevasi kepala 30 derajat O2 3 liter/i IVFD Asering 12 jam/kolf Diet MC RG II
Khusus :
Asam trexanamat 4x1 gr (iv) Ranitidin 2x 50 mg (iv) Citicolin 2 x 250 mg (iv) Manitol infus 20 % Sleding scale dengan novorapid/4 jam Paracetamol 4x 750 mg (po)
3.3 Analisa Data
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J. P., D. Bell. dan J. Mckinlay. 2010. Neurocritical Care. New York: Springer.
Dewanto. G. 2013. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC. Ferri, F. F. 2015. Ferri’s Clinical Advisor : 5 Books In 1. United States : Elsevier.
Hardianto, U. 2017. Pemodelan Aliran Darah Pada Aneurisma Si Lingkaran Willis. Jurnal Ilmiah Matematika. 3(6) : 166-174.
Muttaqin, A. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Mahmudah, R. 2014. Left Hemiparies e.c Hemorrhagic Stroke. Medula. 2(4): 74-79.
Patel, P. R. 2006. Radiologi. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Edisi 4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sebayang, D. P., I. Setyopranoto dan I. Setyaningsih. 2018. Laporan Seri Kasus : Stroke Perdarahan Pada Pasien Dengan Kehamilan. Callosum Neurology-Jurnal Berkala Neurologi Bali. 1(2) : 49-57.
Yueniwati, Y. 2016. Pencitraan Pada Stroke. Malang : UB Press.