ASUHAN KEPERAWATAN PADA KORBAN KDRT ( KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ) MATA KULIAH KEPERAWATAN JIWA
Disusun Oleh : Agustina Kurnia Serena
KP1601120
Andereas Yulius Kondo
KP1601124
Maria Septiani S.Lengari
KP1601148
Erwin A.S.L.Api
KP1601.134
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN ( S-1) SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRAHUSADA YOGYAKARTA 2018 i
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa ,atas segala nikmat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini ,makalah ini saya sususn agar pembaca dapat memahami tentang Asuhan Keperawatan Korban KDRT dan semoga makalah ini dapat memberi wawasan dan pemahaman kepada pembaca. Saya menyadari bahawa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,oleh karena itu saya sangat menghargai akan saran dan kritik untuk membangun makalah ini lebih baik lagi .Demikian yang dapat saya sampaikan ,semoga melalui makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Yogyakarta ,06 November 2018
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1 A.
Latar Belakang .................................................................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 2
C. Tujuan ...................................................................................................................................................... 3 BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................................ A.
Pengertian ......................................................................................................................................... 4
B.
Karakteristik Kekerasan Dalam Keluarga ......................................................................................... 4
C.
Faktor Presdiposisi ............................................................................................................................ 6
D.
Faktor Presipitasi .............................................................................................................................. 8
E.
Etiologi.............................................................................................................................................. 9
F.
Tanda dan Gejala .............................................................................................................................. 9
G.
Bentuk-Bentuk KDRT .................................................................................................................... 10
H.
Psikopatologi................................................................................................................................... 11
BAB III PENUTUP .................................................................................................................................... 24 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 25
iii
iv
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Perkembangan kebudayaan masyarakat, membawa banyak perubahan dalam segala segi kehidupan manusia. Setiap perubahan situasi kehidupan individu baik yang sifatnya positif ataupun yang negatif dapat mempengaruhi keseimbangan fisik, mental, dan sosial. Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan agar selalu sehat baik fisik, mental ataupun sosial. Manusia sebagai makluk biologi-psikologi-sosialcultural mempunyai sejumlah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dan apabila mengalami kegagalan dalam mendapatkan keutuhan tersebut, maka akan terjadi ketidakseimbangan (Stuart and Sunnden,2008). Seseorang akan beradaptasi terhadap ketidakseimbangan melalui mekanisme penanganan yang dipelajari pada masa lampau. Apabila seseorang berhasil beradaptasi dimasa lampau, berarti ia telah mempelajari efektifitas mekanisme penangganan yang sangat berguna bagi dirinya pada saat ini dan dimasa yang akan datang dan sebaliknya, jika adaptasi dimasa lampau tak berhasil, maka ia tak punya mekanisme penanganan yang adekuat untuk beradaptasi terhadap kesulitan yang lebih komplek dimasa mendatang dan bisa menyebabkan terjadinya keadaan yang mempunyai pengaruh buruk terhadap kesehatan jiwa atau dengan kata lain adalah gangguan jiwa. Salah satu tanda dan gejala gangguan jiwa adalah ungkapan marah yang mal adaptif yang dilakukan seseorang karena gagal dalam beradaptasi dan tak punya mekanisme penanganan yang adekuat. Ungkapan marah yang mal adaptif, salah satunya adalah agresif, yang akan membahayakan karena dapat timbul dorongan untuk bertindak baik secara kontruktif maupun destruktif dan masih terkontrol. Marah agresif adalah suatu prilaku yang menyertai rasa marah dan merupakan dorongan untuk bertindak baik secara kontruktif maupun destruktif dan masih terkontrol. Pasien dengan marah agresif akan bersifat menentang, suka membantah, bersikap kasar, kecenderungan menuntut secara terus-menerus, bertingkah laku kasar disertai kekerasan (Stuart and Sunden,1991). 1
Permasalahan yang dihadapi dalam perawatan pasien dengan marah agresif adalah sikap pasien yang tak kooperatif, membahayakan dirinya sendiri dan lingkungan serta masalah pasien yang dapat menimbulkan dorongan agresifnya. Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan “pengawalan” oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh keluarga belum memadai sehingga selama perawatan klien setidaknya sekeluarga mendapat pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien (manajemen perilaku kekerasan). Asuhan keperawatan yang diberikan di rumah sakit jiwa terhadap perilaku kekerasan perlu ditingkatkan serta dengan perawatan intensif di rumah sakit umum. Asuhan keperawatan perilaku kekerasan (MPK) yaitu asuhan keperawatan yang bertujuan melatih klien mengontrol perilaku kekerasannya dan pendidikan kesehatan tentang MPK pada keluarga. Seluruh asuhan keperawatan ini dapat dituangkan menjadi pendekatan proses keperawatan. 2.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari perilaku kekerasan dalam rumah tangga
2.
Apa Karateristik perilaku kekerasan dalam rumah tangga
3.
Apa factor predisposisi perilaku kekerasan dalam rumah tangga
4.
Apa Faktor prespitasi perilaku kekerasan dalam rumah tangga
5.
Apa Etiologi perilaku kekerasan dalam rumah tangga
6.
Apa Tanda dan gejala perilaku kekerasan dalam rumah tangga
7.
Apa Bentuk-Bentuk KDRT
8.
Apa Psikotologi perilaku kekerasan dalam rumah tangga
9.
Asuhan keperawatan perilaku kekerasan dalam rumah tangga 2
C. Tujuan 1.
Untuk mengetahui pengertian dari perilaku kekerasan dalam rumah tangga
2.
Untuk mengetahui Karateristik perilaku kekerasan dalam rumah tangga
3.
Untuk mengetahui factor predisposisi perilaku kekerasan dalam rumah tangga
4.
Untuk mengetahui Faktor prespitasi perilaku kekerasan dalam rumah tangga
5.
Untuk mengetahui Etiologi perilaku kekerasan dalam rumah tangga
6.
Untuk mengetahui Tanda dan gejala perilaku kekerasan dalam rumah tangga
7.
Untuk mengetahui Bentuk-Bentuk KDRT
8.
Untuk mengetahui Psikotologi perilaku kekerasan dalam rumah tangga
9.
Untuk mengetahui Asuhan keperawatan perilaku kekerasan dalam rumah tangga
BAB II 3
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Perilaku kekerasan dalam keluarga adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap perempuan maupun anak. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 2008) Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1). Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosonal dan seksual pada anak-anak pengabaian anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan terhadap suami atau istri dan penganiayaan lansia. Perilaku penganiyaan dan prilaku kekerasan yang tidak akan dapat diterima bila dilakukan oanng yang tidak dikenal sering kali di tolerannsi selama bertahun-tahun dalam keluarga. Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya merupakan tempat yang aman dan anggotanya merasa dicintai dan terlindung, dapat menjadi tempat palinng berbahaya bagi korban.
2.
Karakteristik Kekerasan Dalam Keluarga
1.
Isolasi sosial Anggota keluarga merahasiakan kekerasan dan sering kali tidak mengundang orang lain datanng kerumah mereka atau tidak mengatakan kepada orang lain apa yang terjadi. Anak dan wanita yang mengalami penganiyaan sering kali diancam oleh penganiaya bahwa mereka akan lebih disakiti jika mengungkapkan rahasia tersebut. Anak-anak mungkin diancam bahwa ibu, saudara kandung atau hewan peliharaan mereka kan dibunuh jika oranng diluar keluarga mengetahui penganiayaan tersebut. Mereka ditakuti 4
agar mereka menyimpan rahasia atau mencegah orang lain mencampuri “ urusan keluarga yang pribadi 2.
Kekuasaan dan kontrol Anggota keluarga yang mengalami penganiayaan hampir selalu berada dalam posisi berkuasa daan memilki kendali terhadap korban, baik korban adalah anak, pasangan, atau lansia. Penganiaya bukan hanya menggunakan kekuatan fisik terhadap korban, tetapi juga kontrol ekonomi dan sosial. Penganiaya sering kali adalah satusatunya anggota keluarga yang membuat keputusan, mengeluarkan uang, atau diijinkan untuk meluangkan waktu diluar rumah dengan orang lain. Penganiaya melakukan penganiayaan emosional dengan meremehkan atau menyalahkan korban dan sering mengancam korban. Setiap indikasi kemandirian atau ketidakpatuhan anggota keluarga, baik yang nyata atau dibayangkan, biasanya menyebabkan peningkatan prilaku kekerasan (singer at al, 2007).
3.
Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan yang lain Ada hubungan antara penyalahgunaan zat, terutama alkohol, dengan kekerasan dalam keluarga. Hal ini tidak menunjukkan sebab dan akibat-alkohol tidak menyebabkan individu menjadi penganiaya sebalik, penganiaya juga cenderung menggunakan alkohol atau obat-obatan lain. 50-90% pria yang memukul pasangannya dalam rumah tangga juga memiliki riwayat penyalahgunaan zat. Jumah wanita yang mengalami penganiayaan dan mencari pelarian dengan menggunakan alkohol mencapai 50 %. Akan tetapi, banyak peneliti yakin bahwa alkohol dapat menguurangi inhibisi dan membuat perilaku kekerasan lebiih intens atau sering (denham, 2008). Alkohol juga disebut sebagai faktor dalam kasus pemerkosaan terhadap pasangan kencan atau pemerkosaan oleh orang yang dikenal. CDC’s division of violence prevention melaporkan bahwa studi mengidentifikasi penggunaan alkohol atau obat yang berlebiihan yang dikaitkan dengan penganiayaan seksual.
4.
Proses transmisi antargenerasi
5
Berarti bahwa pola prilaku kekerasan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui model peran dan pembelajaran sosial (humphreeys, 1997;tyra, 1996). Transmisi antargenerasi menunjukkan bahwa kekerasan dalam keluarga merupakan suatu pola yang dipelajari. Misalnya, anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga akan belajar dari melihat orang tua mereka bahwa kekerasan ialah cara menyelesaikan konflik dan bagian integral dalam suatu hubungan dekat. Akan tetapi tidaak semua orang menyaksikan kekerasan dalam keluarga menjadi penganiayaa atau pelaku kekerasan ketika dewasa sehingga faktor tunggal ini saja tidak menjelaskan prilku kekerasan yang terus ada.
5.
Faktor Presdiposisi
1.
Faktor Psikologis Psycoanalytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia di pengaruhi oleh dua insting. Pertama insting hidup yang dapat di ekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas
2.
Frustation agression theory ; teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif. Pandangan psikologi lainnya mengenai perilkau agresif, mendukung pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut :
1.
Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu menyelesaikan secara efektif.
6
2.
Severe Emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-kanak, atau seduction parental, yang mengkin telah merusak hubungan saling percaya (trust) dan harga diri.
3.
Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.
4.
Faktor Sosial Budaya Social Learning Theory; teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat di pelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan makan semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan merespon terhadap keterbangkitaan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang di pelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau ekternal. Contoh internal; orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut; seseorang anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak mendapatkan apa yang dia inginkan. Contoh eksternal; seorang anak menunjukan perilaku agresif setelah melihat seseorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka. Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara asertif.
5.
Faktor biologis Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik binatang 7
ternyata menimbulkan perilaku agresif). Perangsangan yang diberikan terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, bulunya berdiri Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif adalah serotonin, dopamin, norepinephrine, acetilkolin, dan asam amino GABA. Faktor-faktor yang mendukung : 1.
Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan.
2.
Sering mengalami kegagalan.
3.
Kehidupan yang penuh tindakan agresif.
4.
Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat).
5.
Faktor Presipitasi Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya teramcam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasikannya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal. Contoh stressor eksternal yaitu serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang di anggap bermakna dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan stressor dari internal yaitu merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintainya, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.
Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yaitu : 1.
Klien
: Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri. 8
2.
Lingkungan
: Ribut, kehilangan orang / objek yang berharga, konflik
interaksi sosial. 3.
Etiologi Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan akan status dan prestise yang tidak terpenuhi. Frustasi, sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan / keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan. Hilangnya harga diri; pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya. Kebutuhan akan status dan prestise ; Manusia pada umumnya mempunyai keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.
4.
Tanda dan Gejala Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang menimbulkan pengrusakan, tetapi ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Gejala-gejala atau perubahanperubahan yang timbul pada klien dalam keadaan marah diantaranya adalah:
1.
Perubahan fisiologi Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan meningkat, pupil dilatasi, tonus otot meningkat, mual, frekuensi buang air besar meningkat, kadang-kadang konstipasi, refleks tendon tinggi.
2.
Perubahan Emosional
9
Mudah tersinggung , tidak sabar, frustasi, ekspresi wajah nampak tegang, bila mengamuk kehilangan kontrol diri. 3.
Perubahan Perilaku Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis, curiga, mengamuk, nada suara keras dan kasar.
4.
Menyerang atau menghindar (fight of flight) Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
5.
Menyatakan Secara Asertif (Assertiveness) Perilaku
yang
sering
ditampilkan
individu
dalam
mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri klien. 6.
Memberontak (acting out) Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk menarik perhatian orang lain.
7.
Perilaku kekerasan Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain
maupun lingkunga. 8.
Bentuk-Bentuk KDRT 10
1.
Kekerasan fisik Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).
2.
Kekerasan psikis Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)
3.
Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):
1.
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
2.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
3.
Penelantaran Rumah Tangga Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9)
4.
Psikopatologi
11
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yan g menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik. Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan katakata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan ketegangan, sehingga perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000). Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan. Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes, 2000).
12
I. Asuhan Keperawatan 1.
Pengkajian
1.
Pengumpulan data.
1.
Aspek biologis Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
2.
Aspek emosional Salah satu anggota yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul anggota yang lain , mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
3.
Aspek intelektual Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan diintegrasikan.
4.
Aspek sosial 13
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan anggota keluarga yang lain lain. Individu seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga anggota keluarga yang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan katakata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan 5.
Aspek spiritual Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut : Aspek fisik terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat, berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel. aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan. aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
14
6.
Diagnosa Keperawatan Adapun diagnosa keperawatan utama pada klien marah dengan masalah utama perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
hari /tgl
1.
Resiko Prilaku Kekerasan
2.
INTERVENSI
No Diagnose Dx
1
Rencana keperawatan
keperawatan
Resiko Prilaku kekeasan
Tujuan
intervensi
TUM:
1.
klien
dapat
mengontrol
Rasional
Bina hubungan 1.
saling percaya.
perilaku kekerasan pada ·
Hubungan saling
percaya memungkinkan
Salam
terbuka pada perawat dan
saat berhubungan dengan terapeutik, orang lain
diri, sebagai dasar untuk
perkenalan
TUK:
beritahu
tujuan
interaksi,
kontrak
waktu yang tepat,
intervensi selanjutnya. 2.
Informasi dari klien penting
bagi perawat untuk
1. Klien dapat membina ciptakan lingkungan hubungan saling percaya.
yang
membantu kien
aman dan tenang, 2. Klien
dapat
mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan. 3. Klien mengidentifikasi
mengidentifikasi
verbal
respon dan
verbal, tanda-
2.
Klien
dalam menyelesaikan
non masalah yang konstruktif.
bersikap
dapat empati.
tanda perilaku kekerasan. 4. Klien
observasi
dapat
mengidentifikasi
3.
pengungkapan perasaan
dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam
dapat penyebab perilaku akan menolong pasien perilaku kekerasan. 15
kekekerasan
yang
biasa ·
dilakukan.
Beri
untuk sampai kepada
kesempatan
5. Klien
dapat
mengidentifikasi
akibat
perilaku kekerasan.
klien
pada
akhir penyelesaian persoalan.
untuk
mengugkapkan
4.
perasaannya.
secara konstruktif untuk
untuk mencari penyelesaian mengungkapkan cara berespons terhadap masalah yang konstruktif pula. penyebab perasaan kemarahan secara 5. mengetaui perilaku jengkel / kesal konstruktif. 6. Klien dapat melakukan
7. Klien
dapat
mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.
·
Bantu
3.
Klien
Pengungkapan kekesalan
dapat yang dilakukan oleh
mengidentifikasi
perilaku kekerasan. 8. Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.
klien sehingga
tanda-tanda
·
Anjurkan klien 6.
mengungkapkan dilema
dan
9. Klien
dapat dirasakan menggunakan obat yang jengkel.
saat
benar. ·
memudahkan untuk intervensi
Observasi
memudahkan klien
dalam mengontrol perilaku kekerasan.
perilaku yang positif, meningkatkan harga diri klien.
perilaku · dengan cara sehat dapat dengan kekerasan pada mudah mengontrol kemarahan klien. tanda
klien.
7.
·
· memotivasi
Simpulkan
bersama tanda
tanda- mendemonstrasikan jengkel / perilaku kekerasan.
klien
dalam
cara
mengontrol
kesan yang dialami klien.
· mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.
16
4.
Klien
dapat · mengetahui
mengidentifikasi perilaku
kemampuan
klien
melakukan cara yang sehat. · meningkatkan harga diri klien.
kekekerasan
yang
biasa dilakukan.
· mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.
·
Anjurkan klien
untuk
8.
mengungkapkan
· memotivasi
keluarga
dalam
perilaku kekerasan memberikan perawatan kepada klien. yang biasa · menambah pengetahuan bahwa dilakukan. keluarga sangat berperan dalam · Bantu klien perubahan perilaku klien. bermain sesuai
peran dengan
perilaku kekerasan
· meningkatkan pengetahuan keluarga dalam merawat klien secara bersama.
biasa · mengetahui sejauh mana keluarga
yang dilakukan.
menggunakan cara yang dianjurkan.
·
· mengetahui respon keluarga dalam
Bicarakan
klien merawat klien.
dengan
apakah dengan cara
9.
yang klien lakukan masalahnya selesai.
· menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang obat dan fungsinya.
5.
Klien
dapat
mengidentifikasi akibat kekerasan ·
perilaku minum obat penyembuhan
Bicarakan
akibat / kerugian 17
memberikan
informasi dalam
pentingnya
mempercepat
dan
perilaku
kekerasan
yang
dilakukan klien. ·
Bersama klien
menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan
yang
dilakukan. 6.
Klien
dapat
melakukan
cara
berespons terhadap kemarahan
secara
konstruktif. ·
Tanyakan pada
klien “apakah ia ingin mempelajari cara
baru
yang
sehat”. ·
Berikan pujian
jika
klien
mengetahui
cara
yang sehat. ·
Diskusikan
dengan klien cara lain yang sehat. - Secara
fisik
:
tarik nafas dalam / memukul botol / 18
kasur atau olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga. - Secara verbal : katakan bahwa anda sering
jengkel
/
kesal. - Secara sosial : lakukan
dalam
kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan
asertif,
latihan manajemen perilaku kekerasan. - Secara spiritual : anjurkan
klien
berdua, sembahyang, meminta
pada
Tuhan agar diberi kesabaran. 7.
Klien
dapat
mendemonstrasikan sikap
perilaku
kekerasan. ·
Bantu
klien
memilih cara yang 19
paling tepat untuk klien. ·
Bantu
klien
mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih. ·
Bantu
klien
untuk menstimulasikan cara tersebut. ·
Beri
reinforcement positif
atas
keberhasilan klien menstimulasi
cara
tersebut. ·
Anjurkan klien
untuk menggunakan cara yang
telah
dipelajari
saat
jengkel / marah. 8.
Klien
dapat
dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan. ·
Identifikasi
kemampuan 20
keluarga
dalam
merawat klien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga terhadap
klien
selama ini. ·
Jelaskan peran
serta
keluarga
dalam
merawat
klien. ·
Jelaskan cara-
cara merawat klien. - Terkait cara
dengan
mengontrol
perilaku kekerasan secara konstruktif - Sikap
tenang,
bicara tenang dan jelas. - Bantu
keluarga
mengenal penyebab marah. ·
Bantu keluarga
mendemonstrasikan cara merawat klien. ·
Bantu keluarga
mengungkapkan perasaannya setelah 21
melakukan demonstrasi. 9.
Klien
dapat
menggunakan obat yang benar ·
Jelaskan pada
klien dan keluarga jenis-jenis
obat
yang diminum klien seperti
:
CPZ,
haloperidol, Artame. ·
Diskusikan
manfaat
minum
obat dan kerugian berhenti
minum
obat tanpa seizin dokter.
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN Harga Rendah
Diri Pasien
Keluarga
SP Ip
SP I k
1.
Mengidentifikasi penyebab PK
2.
Mengidentifikasi tanda dan gejala PK
1.
dirasakan keluarga dalam merawat pasien
3.
Mengidentifikasi PK yang dilakukan 22
Mendiskusikan masalah yang
4.
Mengidentifikasi akibat PK
5.
Menyebutkan cara mengontrol PK
2.
Menjelaskan pengertian PK,
tanda
dan
gejala,
serta
proses
terjadinya PK 6.
Membantu pasien
mempraktekkan
latihan cara mengontrol fisik I
3.
Menjelaskan cara merawat
pasien dengan PK 7.
Menganjurkan pasien memasukkan
dalam kegiatan harian SP II k 1.
SP IIp
Melatih
keluarga
mempraktekkan cara merawat pasien 1.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian dengan PK pasien 2. Melatih keluarga melakukan 2. Melatih pasien mengontrol PK cara merawat langsung kepada dengan cara fisik II 3.
pasien PK
Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian SP III k 1. SP IIIp
Membantu keluarga membuat
jadual aktivitas di rumah termasuk
obat (discharge Mengevaluasi jadwal kegiatan harian minum planning)Menjelaskan follow up pasien 1.
pasien setelah pulang 2.
Melatih pasien mengontrol PK dengan
cara verbal 3.
Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP IVp
23
1.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
pasien 2.
Melatih pasien mengontrol PK dengan
cara spiritual 3.
Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP Vp 1.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
pasien 2.
Menjelaskan cara
mengontrol
PK
dengan minum obat 3.
Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
BAB III PENUTUP
24
A.
Kesimpulan Perilaku kekerasan dalam keluarga adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap perempuan maupun anak. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 2008) Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
DAFTAR PUSTAKA
Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis Mosby Year Book, 2008 Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 2008 25
Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 2007 Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo, 2003 Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP Bandung, 2000
26