Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Hipertensi Dan Diabetes Melitus.docx

  • Uploaded by: Prima Alfianita
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Hipertensi Dan Diabetes Melitus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,921
  • Pages: 32
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI DAN DIABETES MELITUS Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan gerontik yang diampu oleh Ibu Titin, Suheri,

Disusun oleh: 1.

Nur Ulisetiani

(P1337420616002)

2.

Rokhilah Rizqil Ula (P13374206160

3.

Prima Alfianita

(P1337420616019)

4.

Dhivya Maulida

(P13374206160

5.

Salma Adilanisa

(P13374206160

6.

Adella Rizqi N

(P13374206160

7.

Sukma Diyanatul F

(P13374206160

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG 2019

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang 1.2.Rumusan masalah 1.3.Tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Lansia Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008). Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009). 2.2.Hipertensi a. Definisi Tekanan darah yaitu jumlah gaya yang diberikan oleh darah di bagian dalam arteri saat darah dipompa ke seluruh sistem peredaran darah. Tekanan darah tidak pernah konstan. Tekanan darah dapat berubah drastis dalam hitungan detik dan menyesuaikan diri dengan tuntutan pada saat itu (Herbert Benson,dkk,2012). Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan tekanan darah tinggi adalah penyakit kronik akibat desakan darah yang berlebihan dan hampir tidak konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah.

Hipertensi berkaitan dengan meningkatnya tekanan pada arterial sistemik baik diastolik

maupun

sistolik

atau

kedua-duanya

secara

terus-menerus

(Sutanto,2010). b. Klasifikasi Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas: a. Hipertensi dimana tekanan sistolik ≥ 140mmHg atau tekanan diastolic > 90 mmHg b. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik > 160 mmHg dan tekanan diastolik < 90 mmHg. Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu : a. Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya b. Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain WHO (World Health Organization) dan ISH (International Society of Hypertension) mengelompokan hipertensi sebagai berikut: Tabel 1.1. Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO – ISH Kategori

Tekanan

Tekanan darah

darah

diastol (mmHg)

sistol (mmHg) Optimal

<120

<80

Normal

<130

<85

Normal-tinggi

130-139

85-89

(hipertensi 140-149

90-99

Grade

1

ringan) Sub group (perbatasan) Grade sedang)

2

150-159

(hipertensi 160-179

90-94 100-109

Grade 3 (hipertensi berat) Hipertensi

>180

sistolik ≥140

>110 <90

terisolasi Sub-group (perbatasan)

140-149

<90

Sumber: (Suparto, 2010) c. Etiologi Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan-perubahan pada : 

Elastisitas dinding aorta menurun



Katup jantung menebal dan menjadi kaku



Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.



Kehilangan elastisitas pembuluh darah Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi



Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer

Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, datadata penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1. Faktor keturunan Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi 2. Ciri perseorangan Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah: 

Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )



Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan )



Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )



Kebiasaan hidup Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah : a. Konsumsi garam yang tinggi b. Kegemukan/obesitas dan makan berlebihan c. Stress d. Merokok e. Minum alcohol f. Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )

Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah penyakit-penyakit seperti Ginjal, Glomerulonefritis, Pielonefritis, Nekrosis tubular akut, Tumor, Vascular, Aterosklerosis, Hiperplasia, Trombosis, Aneurisma, Emboli kolestrol, Vaskulitis, Kelainan endokrin, DM, Hipertiroidisme, Hipotiroidisme, Saraf, Stroke, Ensepalitis. Selain itu dapat juga diakibatkan karena Obat–obatan Kontrasepsi oral Kortikosteroid. d. Patofisiologi Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi

yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal,

menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi. Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2001)

e. Pathway

f. Tanda dan gejala Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi : 1. Tidak ada gejala Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur. 2. Gejala secara umum Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala paling umum yang dialami oleh penderita hipertensi. Menurut Rokhaeni (2001), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah, Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun. g. Komplikasi a. Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terkena tekanan darah. b. Dapat terjadi infrak miokardium apabila arteri koroner

yang

aterosklerotik tidak menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh tersebut. c.

Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomelurus. Dengan rusaknya glomelurus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian.

d. Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna. Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang

interstisium di seluruh susunan saraf pusat (Huda Nurarif & Kusuma H, 2015). h. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium 1) Hemoglobin/hematokrit: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan (viscositas) dan dapat mengindikasikan faktor resiko seperti hipokoagulabilitas, anemia. 2) BUN/kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/ fungsi ginjal. 3) Glukosa: hiperglikemi ( DM adalah pencetus hipertensi) dapat di akibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin. 4) Urinalisa: darah, protein, glucosa, mengisyaratkan disfungsi ginjal dan adanya DM. b. CT Scan: mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati. c. EKG: dapat menunjukan pola regangan dimana luas, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi. d. IUP: mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti batu ginjal, perbaikan ginjal. e. Photo dada: menunjukan destruksi klasifikasi pada area katup, pembesaran jantung(Huda Nurarif & Kusuma H, 2015). i. Penatalaksanaan medis Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg. Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi : 1.

Terapi tanpa Obat

Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi a. Diet Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :

 Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr  Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh  Penurunan berat badan  Penurunan asupan etanol  Menghentikan merokok b. Latihan Fisik Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu: Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain. Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu. c. Edukasi Psikologis Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi : 

Tehnik Biofeedback Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.



Tehnik relaksasi Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks



Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )

Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut. (Widyastuti, 2015). 2. Terapi dengan Obat Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi ( Joint National Committee On Detection, Evaluation And Treatment Of High Blood Pressure, USA) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita. Pengobatannya meliputi : Step 1 Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor Step 2 Alternatif yang bisa diberikan : Dosis obat pertama dinaikkan Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator Step 3 Alternatif yang bisa ditempuh Obat ke-2 diganti Ditambah obat ke-3 jenis lain Step 4 Alternatif pemberian obatnya Ditambah obat ke-3 dan ke-4 Re-evaluasi dan konsultasi Follow Up untuk mempertahankan terapi

Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan ( perawat, dokter ) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan. (Huda Nurarif & Kusuma H, 2015). 2.3.Diabetes Melitus a. Definisi Diabetes mellitus merupakan suatu gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat dan lemak yang diakibatkan oleh kekurangan insulin atau secara relatif kekurangan insulin. b. Klasifikasi Klasifikasi diabetes mellitus yang utama adalah tipe I : Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan tipe II : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) c. Etiologi Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur, intoleransi terhadap glukosa juga meningkat, jadi untuk golongan usia lanjut diperlukan batas glukosa darah yang lebih tinggi daripada orang dewasa non usia lanjut. Pada NIDDM, intoleransi glukosa pada lansia berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang berkurang,kurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaaan obat-obatan, disamping karena pada lansia terjadi penurunan sekresi insulin dan insulin resisten. Lebih dari 50% lansia diatas 60 tahun yang tanpa keluhan, ditemukan hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Intoleransi glukosa ini masih belum dapat dikatakan sebagai diabetes. Pada usia lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan insulin terutama pada post reseptor Beberapa faktor yang berkaitan dengan penyebab diabetes mellitus pada lansia (Jeffrey) :

1. Umur yang berkaitan dengan penurunan fungsi sel pankreas dan sekresi insulin. 2. Umur yang berkaitan dengan resistensi insulin akibat kurangnya massa otot dan perubahan vaskuler. 3. Obesitas, banyak makan. 4. Aktivitas fisik yang kurang 5. Penggunaan obat yang bermacam-macam. 6. Keturunan 7. Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress d. Patofisiologi Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas. Bila insulin tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat glukosa akan tetap berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat. Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Pada diabetes melitus tipe 2 yang sering terjadi pada lansia, jumlah insulin normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat

e. Pathway

Defisiensi Insulin

glukagon↑

penurunan pemakaian glukosa oleh sel

glukoneogenesis

lemak

hiperglikemia

protein

ketogenesis

BUN↑

ketonemia

Nitrogen urine ↑

Mual muntah

Resti Ggn Nutrisi

glycosuria Kekurangan volume cairan

Osmotic Diuresis

Dehidrasi

↓ pH

Hemokonsentrasi

Asidosis

Trombosis

Koma Kematian

Aterosklerosis

Kurang dari kebutuhan

 

Makrovaskuler

Jantung

Miokard Infark

Serebral

Stroke

Ggn Integritas Kulit

Mikrovaskuler

Retina

Ginjal

Retinopati diabetik

Nefropati

Ekstremitas

Gangren

Ggn. Penglihatan

Resiko Injury

Gagal Ginjal

f. Tanda dan gejala Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM lansia umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim. Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan diantaranya katarak, glaucoma, retinopati, gatal-gatal seluruh badan, pruritus vulvae, infeksi bakteri kulit, infeksi jamur di kulit, dermatopati, neuropati perifer, neuropati visceral, amiotropi, ulkus neurotopik, penyakit ginjal , penyakit pembuluh darah perifer, dan lain lain. Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut. Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.

Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas. g. Komplikasi 1. Makroangiopati (aterosklerosis), mikroangiopati, dan neuropati. 2. Koma hiperosmolaritas dimana glukosa darah didapatkan sangat tinggi (>600 mg/dL) 3. Hipernatremia, osmolaritas tinggi (>350 m Osm/L) h. Pemeriksaan penunjang 1. Glukosa darah sewaktu 2. Kadar glukosa darah puasa 3. Tes toleransi glukosa Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 3 kali pemeriksaan : i.

Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)

ii.

Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)

iii.

Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

i. Penatalaksanaan medis Menurut Steven diperkirakan 25 – 50% dari DM lansia dapat dikendalikan dengan baik hanya dengan diet saja. 3% membutuhkan insulin dan 20 – 45% dapat diobati dengan oral anti diabetik dan diet saja. Para ahli berpendapat bahwa sebagian besar DM pada lansia adalah tipe II, dan dalam penatalaksanaannya perlu diperhatikan kasus perkasus, cara hidup pasien, keadaan gizi dan kesehatannya, adanya penyakit lain yang menyeertai serta ada/tidaknya komplikasi DM.

Pedoman penatalaksanaan DM lansia adalah : 1. Menilai penyakitnya secara menyeluruh dan memberikan pendidikan kepada pasien dan keluarganya. 2. Menghilangkan gejala-gejala akibat hiperglikemia (quality of life) seperti rasa haus, sering kencing, lemas, gatal-gatal. 3. Lebih bersifat konservatif, usahakan agar glukosa darah tidak terlalu tinggi (200-220 mg/dl) post prandial dan tidak sampai normal betul karena bahaya terjadinya hipoglikemia. Mengendalikan glukosa darah dan berat badan sambil menghindari resiko hipoglikemia.

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN HIPERTENSI DAN DIABETES MELITUS

A. Asuhan Keperawatan Lansia dengan Hipertensi Menurut Hidayat (2009) asuhan keperawatan pada lansia dengan hipertensi meliputi: 1. Pengkajian a. Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko : kegemukan, riwayat keluarga (positi), peningkatan kadar lipid serum, merokok sigaret berat, penyakit ginjal, terapi hormon kronis, gagal jantung, kehamilan. b. Aktivitas/ Istirahat, gejala: kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton. Tanda: frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea. c. Sirkulasi, gejala: riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/katup dan penyakit cebrocaskuler, episode palpitasi. Tanda: kenaikan TD, nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis, takikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis, kulit pucat, sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisian kapiler mungkin lambat/ bertunda. d. Integritas Ego, gejala: riwayat perubahan kepribadian, ansietas, faktor stress multiple (hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan). Tanda:

letupan

suasana

hati,

gelisah,

penyempitan

continue

perhatian,tangisan meledak, otot muka tegang, pernafasan menghela, peningkatan pola bicara. e. Eliminasi, gejala: gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau riwayat penyakit ginjal pada masa yang lalu).

f. Makanan/cairan, gejala: makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam, lemak serta kolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir - akhir ini (meningkat/turun) dan riwayat penggunaan diuretik. Tanda: berat badan normal atau obesitas, adanya edema, glikosuria. g. Neurosensori, gejala: keluhan pening pening/pusing, berdenyut, sakit kepala, sub oksipital (terjadi saat bangun dan menghilangkan secara spontan setelah beberapa jam), gangguan penglihatan (diplobia, penglihatan kabur,epistakis). Tanda: status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara, efek, proses pikir, penurunan kekuatan genggaman tangan. h. Nyeri/ketidaknyamanan,

gejala:

angina

(penyakit

arteri

koroner/

keterlibatan jantung), sakit kepala. i. Pernafasan, gejala: dispnea yang berkaitan dari kativitas/kerja takipnea, ortopnea, dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat merokok. Tanda: distres pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan bunyi nafas tambahan. (krakties/mengi), sianosis. j. Keamanan, gejala: gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural. 2. Diagnosis dan Intervensi Keperawatan a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular Tujuan : Tidak terjadi penurunan curah jantung setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam. Kriteria hasil : 1) Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan TD 2) Mempertahankan TD dalam rentang yang dapat diterima 3) Memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil Intervensi :

1) Pantau TD, ukur pada kedua tangan, gunakan manset dan tehnik yang tepat 2) Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer 3) Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas 4) Amati warna kulit, kelembaban, suhu dan masa pengisian kapiler 5) Catat edema umum 6) Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas, batasi jumlah pengunjung. 7) Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditempat tidur/kursi 8) Bantu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan 9) Lakukan tindakan yang nyaman spt pijatan punggung dan leher, meninggikan kepala tempat tidur. 10) Anjurkan tehnik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan 11) Pantau respon terhadap obat untuk mengontrol tekanan darah 12) Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi 13) Kolaborasi untuk pemberian obat-obatan sesuai indikasi b. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral Tujuan : Nyeri atau sakit kepala hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam Kriteria hasil : 1) Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala 2) Pasien tampak nyaman 3) TTV dalam batas normal Intervensi : 1) Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit penerangan 2) Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan 3) Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan 4) Hindari merokok atau menggunkan penggunaan nikotin

5) Beri tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala seperti kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher, posisi nyaman, tehnik relaksasi, bimbingan imajinasi dan distraksi 6) Hilangkan / minimalkan vasokonstriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala misalnya mengejan saat BAB, batuk panjang, membungkuk 7) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : analgesik, antiansietas (lorazepam, ativan, diazepam, valium ) c. Resiko perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan dengan adanya tahanan pembuluh darah Tujuan : Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan : serebral, ginjal, jantung setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam Kriteria hasil : 1) Pasien mendemonstrasikan perfusi jaringan yang membaik seperti ditunjukkan dengan : TD dalam batas yang dapat diterima, tidak ada keluhan sakit kepala, pusing, nilai-nilai laboratorium dalam batas normal. 2) Haluaran urin 30 ml/ menit 3) Tanda-tanda vital stabil Intervensi : 1) Pertahankan tirah baring 2) Tinggikan kepala tempat tidur 3) Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan; tidur, duduk dengan pemantau tekanan arteri jika tersedia 4) Ambulasi sesuai kemampuan; hindari kelelahan 5) Amati adanya hipotensi mendadak 6) Ukur masukan dan pengeluaran 7) Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai program

8) Pantau elektrolit, BUN, kreatinin sesuai program d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan cardiac output Tujuan : Tidak terjadi intoleransi aktifitas setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam Kriteria hasil : 1) Meningkatkan energi untuk melakukan aktifitas sehari – hari 2) Menunjukkan penurunan gejala – gejala intoleransi aktifitas Intervensi : 1) Berikan dorongan untuk aktifitas / perawatan diri bertahap jika dapat ditoleransi. Berikan bantuan sesuai kebutuhan 2) Instruksikan pasien tentang penghematan energy 3) Kaji respon pasien terhadap aktifitas 4) Monitor adanya diaforesis, pusingObservasi TTV tiap 4 jam 5) Berikan jarak waktu pengobatan dan prosedur untuk memungkinkan waktu istirahat yang tidak terganggu, berikan waktu istirahat sepanjang siang atau sore e. Gangguan pola tidur berhubungan adanya nyeri kepala Tujuan : Tidak terjadi gangguan pola tidur setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam Kriteria hasil : 1) Mampu menciptakan pola tidur yang adekuat 6 – 8 jam per hari 2) Tampak dapat istirahat dengan cukup 3) TTV dalam batas normal Intervensi : 1) Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman 2) Beri kesempatan klien untuk istirahat / tidur 3) Evaluasi tingkat stress

4) Monitor keluhan nyeri kepala 5) Lengkapi jadwal tidur secara teratur 6) Berikan makanan kecil sore hari dan / susu hangat 7) Lakukan masase punggung 8) Putarkan musik yang lembut 9) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi f. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan adanya kelemahan fisik. Tujuan : Perawatan diri klien terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam Kriteria hasil : 1) Mampu melakukan aktifitas perawatan diri sesuai kemampuan 2) Dapat mendemonstrasikan tehnik untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri Intervensi : 1) Kaji kemampuan klien untuk melakukan kebutuhan perawatan diri 2) Beri pasien waktu untuk mengerjakan tugas 3) Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri 4) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan klien / atas keberhasilannya g. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya hipertensi yang diderita klien Tujuan: Kecemasan hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam Kriteria hasil : 1) Klien mengatakan sudah tidak cemas lagi / cemas berkurang 2) Ekspresi wajah rileks 3) TTV dalam batas normal

Intervensi : 1) Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku misalnya kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi dalam rencana pengobatan 2) Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi, peka rangsang, penurunan toleransi sakit kepala, ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah 3) Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi untuk mengatasinya 4) Libatkan pasien dalam perencanaan perawatan dan beri dorongan partisipasi maksimum dalam rencana pengobatan 5) Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas atau tujuan hidup 6) Kaji tingkat kecemasan klien baik secara verbal maupun non verbal 7) Observasi TTV tiap 4 jam 8) Dengarkan dan beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaanya 9) Berikan support mental pada klien 10) Anjurkan pada keluarga untuk memberikan dukungan pada klien h. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit Tujuan : Klien terpenuhi dalam informasi tentang hipertensi setelah dilakukan tindakan ekperawatan selama 1 x 24 jam Kriteria hasil: 1) Pasien mengungkapkan pengetahuan akan hipertensi 2) Melaporkan pemakaian obat-obatan sesuai program Intervensi : 1) Jelaskan sifat penyakit dan tujuan dari pengobatan dan prosedur

2) Jelaskan pentingnya lingkungan yang tenang, tidak penuh dengan stress 3) Diskusikan tentang obat-obatan : nama, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping atau efek toksik 4) Jelaskan perlunya menghindari pemakaian obat bebas tanpa pemeriksaan dokter 5) Diskusikan gejala kambuhan atau kemajuan penyulit untuk dilaporkan dokter : sakit kepala, pusing, pingsan, mual dan muntah. 6) Diskusikan pentingnya mempertahankan berat badan stabil 7) Diskusikan pentingnya menghindari kelelahan dan mengangkat berat 8) Diskusikan perlunya diet rendah kalori, rendah natrium sesuai program 9) Jelaskan penetingnya mempertahankan pemasukan cairan yang tepat, jumlah

yang

diperbolehkan,

pembatasan

seperti

kopi

yang

mengandung kafein, teh serta alcohol 10) Jelaskan perlunya menghindari konstipasi dan penahanan 11) Berikan support mental, konseling dan penyuluhan pada keluarga klien 3. Evaluasi 1.

Pasien melaporkan nyeri/ketidaknyamanan hilang atau terkontrol

2.

Pasien berpartisupasi dalam aktivitas yang diinginkan/diperlukan

3.

Pasien berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah atau beban kerja jantung.

4.

Menunjukkan perubahan pola makan ( misalnya pilihan makan, kuantitas,dan sebagainya), mempertahankan berat badan yang diinginkan dengan pemeliharaan kesehatan optimal.

5.

Mengidentivikasi perilaku koping efektif dan konsekuensinya

6.

Pasien menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan

B.

Asuhan Keperawtan Lansia dengan Diabetes Melitus

1. Pengkajian  Riwayat Kesehatan Keluarga Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?  Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.  Aktivitas/ Istirahat : Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.  Sirkulasi Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah  Integritas Ego Stress, ansietas  Eliminasi Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare  Makanan / Cairan Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.  Neurosensori Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.  Nyeri / Kenyamanan Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)

 Pernapasan Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)  Keamanan Kulit kering, gatal, ulkus kulit. 2. Masalah Keperawatan 1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan 2. Gangguan integritas kulit 3. Resiko terjadi injury 4. Kekurangan volume cairan 3. Intervensi 1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, nyeri abdomen. Intervensi : 

Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.



Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.



Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.



Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.



Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.



Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.



Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.



Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.



Kolaborasi dengan ahli diet.

2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer). Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan. Kriteria Hasil : Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi Intervensi :  Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.  Kaji tanda vital  Kaji adanya nyeri  Lakukan perawatan luka  Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.  Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

3. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan 

Hindarkan lantai yang licin.



Gunakan bed yang rendah.



Orientasikan klien dengan ruangan.



Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari

4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik. Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi

Kriteria Hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal. Intervensi : 

Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik



Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul



Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas



Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa



Pantau masukan dan pengeluaran



Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung



Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.



Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur



Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)

4.

Evaluasi 1. Tidak menunjukan gejala nutrisi kurang dari kebutuhan 2. Pasien tidak mengalami kerusakan integritas kulit/berpatisipasi dalam mencegah terjadinya kerusakan integritas kulit 3. Pasien memahami kemungkinan resiko terjadi injury 4. Pasien menunjukan tidak adanya kekurangan volume cairan

BAB IV PENUTUP

4.1.Simpulan 4.2.Saran

DAFTAR PUSTAKA

Delta Agustin. 2015. Pemberian Massage Punggung Terhadap Kualitas Tidur Pada Asuhan Keperawatan Ny.U dengan Stroke Non Haemorogik di Ruang Anggrek II RSUD dr. Muwardi Surakarta. Surakarta : Karya Tulis Stikes Kusuma Husada. Huda Nurarif & Kusuma H,. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi Jilid 2. Jogja: Medi Action Ibrahim. 2010. Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Hipertensi Vol. II. Link : https://www.rp2u.unsyiah.ac.id/index.php/welcome/prosesDownload/10594/4&v ed=2ahUKEwj91s2r_pLgAhWQbX0KHRURDIIQFjAFegQICRAB&usg=AOvV aw1ICTpQjoCmSRI_78GtLNe1

Kaplan N, M. 2010. Primary Hypertension: Patogenesis, Kaplan Clinical Hypertension. 10th Edition: Lippincot Williams & Wilkins, USA. Luecknote, Annette Geisler, Gerontologic Nursing second Edition, St. Louis Missouri : Mosby,Inc, 2000. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.

Related Documents


More Documents from "mamul fadli"