Asuhan Keperawatan Klasikal Pada Lansia Dengan Kasus Osteoporosis.docx

  • Uploaded by: Uparina Wati
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Asuhan Keperawatan Klasikal Pada Lansia Dengan Kasus Osteoporosis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,207
  • Pages: 25
TUGAS KELOMPOK KEPERAWATAN GERONTIK

Disusun oleh : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Emy Mulyani Uparina Wati Mari Aryani Nurmashita Gusti Riandi Petrus Rizal Nurleman

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU JAKARTA 2017

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004). Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain. Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan

(impairment),

keterbatasan

fungsional

(functional

limitations),

ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran (Bondan, 2009). Hal yang pertama perawat lakukan dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia adalah pengkajian. Menurut Potter & Perry, (2005), pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi dan komunikasi data tentang klien. Proses keperawatan ini mencakup dua langkah yaitu pengumpulan data dari sumber primer (klien) dan sumber sekunder (keluarga, tenaga kesehatan), dan analisis data sebagai dasar untuk diagnose keperawatan.

B. Rumusan Masalah Secara garis besar, masalah yang kami rumuskan adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana gambaran asuhan keperawatan klasikal pada lansia? 2. Bagaimana contoh kasus asuhan keperawatan pada lansia ?

C. Tujuan 1. Tujuan umum a. Mengetahui bagaimana gambaran asuhan keperawatan klasikal pada lansia. b. Mengetahui bagaimana contoh kasus asuhan keperawatan pada lansia.

2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Keperawatan Komunitas 2

BAB II PEMBAHASAN

Di Indonesia menurut sensus pada tahun 1980, jumlah penduduk adalah 147,3 juta orang. Pada angka tersebut terdapat 16,3 orang (11%) yan gberumur 50 tahun ke atas, dan ± 6,3 juta orang (4,3%) orang yang berumur 60 tahun ke atas. Dari 6,3 juta orang terdapat 822.831 (12,06%) orang tergolong jompo, yaitu para lanjut usia yang memerlukan bantuan khusus sesuai Undang-undang, bahwa mereka harus dipelihara oleh Negara. Pada tahun 2000 diperkirakan meningkat menjadi 9,99% dari seluruh penduduk (22.2277.700 jiwa) dengan umur harapan hidup 65-70 tahun. Secara individu proses menjadi tua menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik, biologis, mental dan sosialnya. Dengan makin bertambahnya penduduk usia lanjut, bertambah pula penderita golongan ini yang memerlukan pelayanan kesehatan. Berbeda dengan segmen populasi lain, populasi lanjut usia dimanapun selalu menunjukkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibanding populasi lain. Disamping itu, oleh karena aspek disabilitas yang tinggi pada segmen populasi ini selalu membutuhkan derajat keperawatan yang tinggi. Keperawatan pada usia lanjut merupakan bagian dari tugas dan profesi keperawatan yang memerlukan berbagai keahlian dan keterampilan yang spesifik, sehingga di bidang keperawatan pun saat ini ilmu keperawatan lanjut usia berkembang menjadi suatu spesialisasi yang mulai berkembang. Keperawatan lanjut usia dalam bahasa Inggris sering dibedakan atas Gerontologic nursing (=gerontic nursing) dan geriatric nursing sesuai keterlibatannya dalam bidang yang berlainan. Gerontologic nurse atau perawat gerontologi adalah perawat yang bertugas memberikan asuhan keperawatan pada semua penderita berusia diatas 65 tahun (di Indonesia dan Asia dipakai batasan usia 60 tahun) tanpa melihat apapun penyebabnya dan dimanapun dia bertugas. Secara definisi, hal ini berbeda dengan perawat geriatrik, yaitu mereka yang berusia diatas 65 tahun dan menderita lebih dari satu macam penyakit (multipel patologi), disertai dengan berbagai masalah psikologik maupun sosial. Adapun asuhan keperawatan klasikal pada lansia merupakan gambaran mengenai beberapa permasalahan atau hambatan yang sering dialami lansia dalam dikarenakan adanya

perubahan atau penurunan kondisi dari lansia itu sendiri. Berikut beberapa kasus penyakit atau masalah yang menghambat lansia : A.

Masalah fisik sehari-hari yang sering ditemukan pada lansia : 1. Mudah jatuh a. Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Ruben, 1996). b. Jatuh dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor intrinsik: gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekuatan sendi dan sinkope-dizziness; faktor ekstrinsik: lantai yang licin dan tidak rata, tersandung oleh benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya yang kurang terang dan sebagainya.

2. Mudah lelah, disebabkan oleh : a.

Faktor psikologis: perasaan bosan, keletihan, depresi

b.

Gangguan organis: anemia, kurang vitamin(osteoporosis), osteomalasia, dll

c.

Pengaruh obat: sedasi, hipnotik

3. Gangguan kardiovaskuler : nyeri dada,sesak nafas pada kerja fisik,palpitasi,edema kaki. 4. Nyeri atau ketidaknyamanan : nyeri pinggang atau punggung, nyeri pinggul(dikarenakan proses

radang

sendi/arthritis,tulang

yang

keropos

/osteoporosis),keluhan

pusing,kesemutan pada anggota badan. 5. Berat badan menurun. 6. Gangguan eliminasi : inkontinensia/ngompol dan inkontinensia alvi. 7. Gangguan ketajaman penglihatan: presbiopi,kelainan lensa mata,katarak,glaucoma,radang saraf mata. 8. Gangguan

pendengaran

:

metabolic,persbikusis mekanik, 9. Gangguan tidur 10. Mudah gatal 11. Kekacauan mental

presbikusis

sensorik,presbikusis

neural,presbikusis

B.

Penyakit umum pada lanjut usia Ada empat yang sangat erat kaitannnya dengan proses menua : 1.

Gangguan sirkulasi darah : misalnya hipertensi,kelainan pembulih drah,gangguan

pembuluh darah diotak,ginjal dan lain-lain. 2.

Gangguan metabolisme hormonal, misalnya diabetes mellitus,ketidakseimbangan tiroid.

3.

Gangguan pada persendian dan tulang,misalnya osteoarthritis,gout arthritis,osteoporosis.

4.

Berbagai macam neoplasma.

Adapun menurut The National Old People’s welfarecouncil di inggris,penyakit atau gangguan umum pada lanjut usia ada 12 macam : 1.

Depresi mental

2.

Gangguan pendengaran

3.

Bronchitis kronis

4.

Gangguan pada tungkai/sikap berjalan

5.

Gangguan pada koksa/sendi panggul

6.

Anemia

7.

Dimensia

8.

Gangguan penglihatan

9.

Ansietas/kecemasan

10. Dekompensasi kordis 11. Diabetes mellitus 12. Gangguan defekasi

Sedangkan di Indonesia rata-rata penyakit lansia meliputi: 1.

Penyakit system pernapasan

2.

Penyakit kardiovaskuler dan pembuluh darah.

3.

Penyakit pencernaan makanan

4.

Penyakit system urogenital

5.

Penyakit gangguan metabolic/endokrin

6.

Penyakit pada persendian dan tulang.

7.

Penyakit

yang

disebabkan

oleh

proses

keganasan.

Berdasarkan beberapa jenis penyakit yang umum terdapat atau dialami pada lansia diatas maka, berikut adalah contoh kasus dari salah satu pentakit atau permasalahan yang sering dialmi oleh lansia.

C.

Kasus Asuhan Keperawatan Klasikal pada Lansia

1. Konsep Medis a.

Defenisi Osteoporosis adalah penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan

adanya perubahan mikroarsitektur jaringan tulang. Osteoporosis bukan hanya berkurangnya kepadatan tulang tetapi juga penurunan kekuatan tulang. Pada osteoporosis kerusakan tulang lebih cepat daripada perbaikan yang dilakukan oleh tubuh. Osteoporosis sering disebut juga dengan keropos tulang. Tulang-tulang yang sering mengalami fraktur/patah yaitu : tulang ruas tulang belakang, tulang pinggul, tungkai dan pergelangan lengan bawah. (WHO) Osteoporosis merupakan penyakit metabolisme tulang yang ditandai pengurangan massa tulang, kemunduran mikroarsitektur tulang dan fragilitastulang yang meningkat, sehingga resiko fraktur menjadi lebih besar. Insidenosteoporosis meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi usia lanjut (Adam,2002; Kaniawati, 2003; Hammett, 2004; Sennang, 2006).

b.

klasifikasi a) Osteoporosis primer Osteoporosis primer sering menyerang wanita paska menopause dan juga pada pria

usia lanjut dengan penyebab yang belum diketahui. Osteoporosis postmenopause merupakan osteoporosis tipe I pada wanita usia 51-65 tahun. Secara patogenesis terjadi ketidakseimbangan prosesremodeling tulang antara resorpsi yang meningkat dengan cepat dan formasitulang berjalan relatif lebih lambat. (Lindsay, 2001; Djokomoeljanto 2003; Raisz,2005; Adnan, 2008) b) Osteoporosis sekunder osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan : -

Hyperthyroidism

-

Hyperparathyroidism

-

Kelainan hepar

-

Kegagalan ginjal kronis

-

Kurang gerak

-

Kebiasaan minum alcohol

-

Pemakai obat-obatan/corticosteroid

-

Kelebihan kafein

-

Merokok

c)

Osteoporosis anak

Osteoporosis pada anak disebut juvenile idiopathic osteoporosis.

c.

Etiologi a)

Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekuranganestrogen (hormon utama pada

wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderitaosteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam. b)

Osteoporosis senilis terjadi karena kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan

ketidakseimbangan di antara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia di atas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderitaosteoporosis senilis dan postmenopausal. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini. c)

Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak

diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.

d.

Faktor resiko

a) Wanita. Resiko osteoporosis pada wanita lebih tinggi daripada pria karena, umumnya massa tulangnya lebih kecil dan proses menopause pada Wanita. b) Usia. Resiko osteoporosis meningkat 1-2 kali setiap bertambah usia 10 tahun c) Kebiasaan merokok dan konsumsi minuman beralkohol d) Genetik. Riwayat osteoporosis atau patah tulang di usia lebih dari;50 tahun pada keluarga juga merupakan faktor resiko osteoporosis. e) Penyakit kronis seperti diabetes, penyakit hati, ginjal,dapat meningkatkan resiko osteoporosis. f) Asupan kalsium dan vitamin D yang kurang adalah faktor resiko penting dalam osteoporosis g) Penggunaan obat-obatan seperti steroid, obat anti kejang (Phenobarbital dan; Phenytoin), antasida yang mengandung aluminium, metotreksat, siklosporin A merupakan faktor resiko osteoporosis karena menyebabkan pengeluaran kalsium dari tulang dalam jumlah banyak.

e.

Menifestasi klinis Gejala-gejala osteoporosis menurut para tim medis lain,yaitu:

a) Nyeri tulang akut.. Nyeri terutama terasa pada tulang belakang, nyeri dapat dengan atau tanpa fraktur yang nyata dan nyeri timbul mendadak. b) Nyeri berkurang pada saat beristirahat di tempat tidur c) Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah bila melakukan aktivitas\ d) Deformitas tulang. Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular yang menyebabkan medulla spinalis tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis. e) Gambaran klinis sebelum patah tulang, klien (terutama wanita tua) biasanya datang dengan nyeri tulang belakang, bungkuk dan sudah menopause sedangkan gambaran klinis setelah terjadi patah tulang, klien biasanya datang dengan keluhan punggung terasa sangat nyeri (nyeri punggung akut), sakit pada pangkal paha, atau bengkak pada pergelangan tangan setelah jatuh. f) Kecenderungan penurunan tinggi badan g) Postur tubuh kelihatan memendek

f.

Patofisioligi Osteoporosis terjadi karena adanya interaksi yang menahun antara factor genetic dan factor lingkungan. Factor genetic meliputi:

- usia jenis kelamin. - Factor lingkungan meliputi: Merokok, Alkohol, Kopi, Defisiensi vitamin dan gizi, Gaya hidup, Mobilitas, anoreksia nervosa dan pemakaian obat-obatan. Kedua factor diatas akan menyebabkan melemahnya daya serap sel terhadap kalsium dari darah ke tulang, peningkatan pengeluaran kalsium bersama urin, tidak tercapainya masa tulang yang maksimal dengan resobsi tulang menjadi lebih cepat yang selanjutnya menimbulkan penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukan tulang baru sehingga terjadi penurunan massa tulang total yang disebut osteoporosis. Di samping penuaan dan menopause, penipisan tulang diakibatkan oleh pemberian steroid sehingga mengakibatkan penurunan pembentukan tulang (bone formation) dan peningkatan resorpsi tulang (bone resorption). Steroid menghambat sintesis kolagen tulang oleh osteoblast yang telah ada, dan mencegah transformasi sel-sel prekursor menjadi osteoblast yang dapat berfungsi dengan baik. Di samping itu, steroid juga sangat mereduksi sintesis protein. Gambaran histomorfometrik menunjukkan penurunan tingkat aposisi mineral, dan penipisan dinding tulang, yang diduga karena umur osteoblast yang semakin pendek. Efek steroid terhadap osteoblast juga melalui gangguan atas respons osteoblast terhadap hormon paratiroid, prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan, dan 1,25-dihydrozy vitamin D. Sintesis dan aktivitas faktor-faktor parakrin lokal mungkin juga terganggu. Dibandingkan proses penuaan, penipisan tulang dalam osteoporosis akibat steroid lebih luas, karena permukaan-permukaan yang mengalami resorpsi dan hambatan formasi tulang juga lebih luas. Berbeda dengan efek steroid atas pembentukan tulang, penelitian mengenai gangguan resorpsi tulang masih terbatas. Diduga, pengaruh steroid terhadap resorpsi tulang berlangsung melalui hormon paratiroid. Penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa setelah pengangkatan kelenjar paratiroid, respons osteoklastik terhadap steroid sepenuhnya hilang, sehingga disimpulkan bahwa resorpsi tulang terutama dikendalikan oleh hormon paratiroid. Namun, kebanyakan penelitian pada manusia tidak menemukan peningkatan kadar hormon paratiroid setelah pemberian terapi steroid. Penelitian lain menemukan peningkatan fragmenfragmen hormon paratiroid, tetapi kadar hormon yang utuh tidak terpengaruh. Efek steroid terhadap absorpsi kalsium dalam usus tidak sama di setiap segmen-segmen usus tidak sama. Absorpsi di duodenum lebih kecil, tetapi absorpsi di kolon meningkat. Di

samping penurunan absorpsi kalsium, steroid dapat meningkatkan ekskresi kalsium dalam urine. Pada pasien dengan pemberian steroid jangka panjang, hiperkalsiuria kemungkinan besar akibat mobilisasi kalsium di tulang-tulang dan penurunan reabsorpsi kalsium di tubuli renal. Steroid mungkin mengganggu metabolisme vitamin D, walaupun dugaan ini belum didasari bukti kuat. Kadar 1,25 dihydroxyvitamin D dalam serum menurun akibat pemberian steroid, tetapi perubahan dari 25-hydroxyvitamin D menjadi 1,25 dihydroxyvitamin D tidak mengalami perubahan. Steroid eksogen akan menghambat sekresi gonadotropin dari hipofisis, sehingga fungsi gonad terganggu. Akibatnya, produksi estrogen dan testosteron menurun. Steroid menghambat sekresi LH, dan menurunkan produksi estrogen yang difasilitasi oleh FSH. Efek steroid yang lain adalah menurunkan sekresi hormon seks adrenal. Defisiensi estrogen dan pemakaian steroid saling memperkuat efek terhadap laju penipisan tulang. Ketika bone thinning terjadi, bagian trabekular lebih dulu terpengaruh dibandingkan bagian kortikal. Dengan demikian fraktur lebih sering terjadi di tulang-tulang pipih. Hiperkalsiuria dan bone thinning terjaadi dalam 6 bulan sampai 12 bulan seterlah pemakaian steroid eksogen. Setelah itu, laju penipisan tulang melambat hingga 2 sampai 3 kali dibandingkan keadaan normal. Risiko osteoporosis akibat steroid juga meningkat ketika dosis yang diberikan lebih tinggi. Belum jelas, apakah risiko timbul akibat pemberian dosis steroid yang lebih tinggi (prednison > 7,5 mg/d) dalam jangka waktu pendek (< 6 bulan), atau dosis yang rendah (prednison < 7,5 mg/d) tetapi dalam waktu lebih lama (> 6 bulan). Yang jelas, risiko osteoporosis meningkat dengan dosis kumulatif steroid lebih tinggi. Secara umum, dosis yang rendah lebih aman dibandingkan dosis tinggi, namun tidak jelas berapa dosis yang benar-benar aman. Laju penipisan tulang bisa meningkat hanya dengan pemberian 5-10 mg prednison setiap hari dan juga dengan steroid melalui inhalasi. Pemberian steroid dalam dosis berapapun perlu disertai dengan penilaian risiko osteoporosis dan pemantauan secara terus-menerus untuk mencegah fraktur. Secara skematis, patofisiologi osteoporosis akibat pemberian steroid dapat digambarkan sebagai 2 proses utama. Proses yang pertama adalah penurunan pembentukan tulang dan kenaikan resorpsi tulang. Terapi steroid secara kronik menurunkan umur osteoblast dan meningkatkan apoptosis. Pemberian steroid juga meningkatkan maturasi dan kegiatan osteoclast dan mengakibatkan antiapoptotik secara langsung. Dengan menurunkan absorpsi kalsium dari

usus dan meningkatkan ekskresi kalsium urine, steroid mengakibatkan resoprsi tulang dan hiperparatiroidisme sekunder. Steroid menghambat produksi hormon steroid seksual dan sekresi dari adrenal, ovarium dan testis yang juga mengakibatkan resorpsi tulang. g.

Komplikasi Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh dan mudah

patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Bisa terjadi fraktur kompresi vertebra torakalis dan lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan daerah trokhanter, dan fraktur colles pada pergelangan tangan. h.

Penatalaksaan a)

Diet kaya kalsium dan vitamin D yang mencukupi sepanjang hidup, dengan peningkatan asupan kalsium pada permulaan umur pertengahan dapat melindungi terhadap demineralisasi tulang

b)

Pada menopause dapat diberikan terapi pengganti hormone dengan estrogen dan progesterone untuk memperlambat kehilangan tulang dan mencegah terjadinya patah tulang yang diakibatkan.

c)

Medical treatment, oabt-obatan dapat diresepkan untuk menangani osteoporosis termasuk kalsitonin, natrium fluoride, dan natrium etridonat

d)

Pemasangan penyangga tulang belakang (spinal brace) untuk mengurangi nyeri punggung

i . Pemeriksaan penunjang a)

Pemeriksaan laboratorium (misalnya : kalsium serum, fosfat serum, fosfatase alkali,

eksresi kalsium urine,eksresi hidroksi prolin urine, LED).Pemeriksaan ini untuk menilai kecepatan bone turnover. Penilaian bone turnover rate dilakukan dengan membandingkan aktivitas formasi tulang dengan aktivitas resorpsi tulang. Apabila aktivitas pembentukan/formasi tulang lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas resorpsi tulang maka pasien ini memiliki risiko tinggi terhadap osteoporosis. Evaluasi biokimia ini dilakukan melalui pemeriksaan darah dan urine pagi hari.

I.

Petanda untuk menilai aktivitas pembentukan tulang (bone formation)

- Osteocalcin yaitu protein yang dihasilkan oleh osteoblas dyang berfungsi membantu proses mineralisasi tulang. - Alkali fosfatase tulang yaitu enzim yang dihasilkan osteoblas yang berfungsi sebagai katalisator proses mineralisasi tulang.

II . Petanda untuk menilai aktivitas resorpsi tulang (bone resorption) - Deoxypyridinolin/ β-Crosslink yaitu protein penguat mekanik tulang yang dilepaskan ke dalam peredaran darah dan dikeluarkan melalui urin jika terjadi proses resorpsi/ penyerapan tulang. -

CTx (C-Telopeptide) yaitu hasil pemecahan protein kolagen tipe 1 yang spesifik untuk tulang. Selain itu, pemeriksaan kadar CTx dan deoxypyridinolin dapat digunakan untuk menilai/pemantauan keberhasilan terapi (sebelum pemeriksaan densitas mineral tulang berikutnya). 2. Radiologi Pemeriksaan radiologi vertebra torakalis dan lumbalis AP dan lateral dilakukan untuk mencari adanya fraktur. Nilai diagnostik pemeriksaan radiologi biasa untuk mendeteksi osteoporosis secara dini kurang memuaskan karena pemeriksaan ini baru dapat mendeteksi osteoporosis setelah terjadi penurunan densitas massa tulang lebih dari 30%. 3. Pemeriksaan bone densitometri (DEXA) Pemeriksaan densitometri tulang dilakukan menggunakan alat DEXA. Biasanya digunakan untuk mengukur densitas massa tulang pada daerah lumbal, femur proksimal, lengan bawah distal dan seluruh tubuh. Secara rutin, untuk diagnosis osteoporosis cukup diperiksa densitometri pada vertebra lumbal dan pangkal paha (femur proksimal). Bila terdapat keterbatasan biaya, dapat dipertimbangkan pemeriksaan hanya pada 1 daerah, yaitu pada daerah lumbal untuk wanita yang berumur kurang dari 60 tahun, atau daerah pangkal paha (femur proksimal) pada wanita yang berumur lebih dari 60 tahun dan pada pria. j.

Prognosis Walaupun penderita osteoporosis mempunyai kadar mortalitas yang meninggi karena adanyakomplikasi

fraktur,

jarang

fatal.

Fraktur

tulang

pinggul

bisa

menyebabkan

penurunanmobilitas dan tambahan dari resiko dari komplikasi multipel (thrombosis vena dan/atauemboli pulmonal, pneumonia). Kadar mortalitas-6 bulan setelah fraktur tulang pinggul

adalah sebanyak 13,5% dan proporsi yang hampir sama pada penderita yang mengalami fraktur tulang

pinggul

yang

memerlukan

bantuan

untuk

mobilisasi.

Fraktur

tulang

vertebramempunyai impak yang kecil pada mortalitas tetapi bisa menyebabkan nyeri yang kronik karena kelainan neurogenik, yang susah untuk dikontrol dan bisa menyebabkan deformitas.

2. Asuhan Keperawatan Teoritis a. Pengkajian a) Anamnesis • Riwayat kesehatan. Anamnesis memegang peranan penting pada evaluasi klien osteoporosis. Kadang keluhan utama (missal fraktur kolum femoris pada osteoporosis). Factor lain yang perlu diperhatikan adalah usia, jenis kelamin, ras, status haid, fraktur pada trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, kurang asupan kalasi um, fosfat dan vitamin D. obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang, alkohol dan merokok merupakan factor risiko osteoporosis. Penyakit lain yang juga harus ditanyakan adalah penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin dan insufisiensi pancreas. Riwayat haid , usia menarke dan menopause, penggunaan obat kontrasepsi, serta riwayat keluarga yang menderita osteoporosis juga perlu dipertanyakan. • Pengkajian psikososial. Perlu mengkaji konsep diri pasien terutama citra diri khususnya pada klien dengan kifosis berat. Klien mungkin membatasi interaksi social karena perubahan yang tampak atau keterbatasan fisik, misalnya tidak mampu duduk dikursi dan lain-lain. Perubahan seksual dapat terjadi karena harga diri rendah atau tidak nyaman selama posisi interkoitus. Osteoporosis menyebabkan fraktur berulang sehingga perawat perlu mengkaji perasaan cemas dan takut pada pasien. • Pola aktivitas sehari-hari. Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga, pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, mandi, makan dan toilet. Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan dengan menurunnya gerak dan persendian adalah agility, stamina menurun, koordinasi menurun, dan dexterity (kemampuan memanipulasi

ketrampilan

motorik

halus)

menurun.

Adapun data subyektif dan obyektif yang bisa didapatkan dari klien dengan osteoporosis adalah : • Data subyektif : - Klien mengeluh nyeri tulang belakang - Klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun - Klien mengatakan membatasi pergaulannya karena perubahan yang tampak dan keterbatasan gerak - Klien mengatakan stamina badannya terasa menurun - Klien mengeluh bengkak pada pergelangan tangannya setelah jatuh - Klien mengatakan kurang mengerti tentang proses penyakitnya - Klien mengatakan buang air besar susah dan keras • Data obyektif ; - tulang belakang bungkuk - terdapat penurunan tinggi badan - klien tampak menggunakan penyangga tulang belakang (spinal brace) - terdapat fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular - klien tampak gelisah - klien tampak meringis b) Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik menggunakan metode 6 B(Breathing, blood, brain, bladder, bowel dan bone) untuk mengkaji apakah di temukan ketidaksimetrisan rongga dada, apakah pasien pusing, berkeringat dingin dan gelisah. Apakah juga ditemukan nyeri punggung yang disertai pembatasan gerak dan apakah ada penurunan tinggi badan, perubahan gaya berjalan, serta adakah deformitas tulang • B1 (breathing ) Inspeksi : ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang Palpasi : traktil fremitus seimbang kanan dan kiri Perkusi : cuaca resonan pada seluruh lapang paru Auskultasi : pada usia lanjut biasanya didapatkan suara ronki • B2 (blood) Pengisian kapiler kurang dari 1 detik sering terjadi keringat dingin dan pusing, adanya

pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat • B3 (brain) Kesadaran biasanya kompos mentis, pada kasus yang lebih parah klien dapat mengeluh pusing dan gelisah • B4 (Bladder) Produksi urine dalam batas normal dan tidak ada keluhan padasistem perkemihan • B5 (bowel) Untuk kasus osteoporosis tidak ada gangguan eleminasi namun perlu dikaji juga frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses • B6 (Bone) Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis, klien osteoporosis sering menunjukkan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang terjadi adalah antara vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3 Pemeriksaan diagnostic - Radiology - CT scan - Pemeriksaan laboratorium b.Diagnosa keperawatan Masalah yang biasa terjadi pada klien osteoporosis adalah sebagai berikut : 1. Nyeri akut yang berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebra ditandai dengan klien mengeluh nyeri tulang belakang, mengeluh bengkak pada pergelangan tangan, terdapat fraktur traumatic pada vertebra, klien tampak meringis 2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat perubahan skeletal (kifosis) , nyeri sekunder, atau fraktur baru ditandai dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas, stamina menurun, dan terdapat penurunan tinggi badan 3. Risiko cedera yang berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal dan ketidakseimbangan tubuh ditandai dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun, tulang belakang terlihat bungkuk

4. Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan atau gangguan gerak ditandai dengan klien mengeluh nyeri pada tulang belakang, kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas dan stamina menurun serta terdapat fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular 5. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang disebabkan oleh penyakit atau terapi ditandai dengan klien mengatakan membatasi pergaulan dan tampak menggunakan penyangga tulang belakang (spinal brace) 6. Gangguan eleminasi yang berhubungan dengan kompresi saraf pencernaan ileus paralitik ditandai dengan klien mengatakan buang air besar susah dan keras 7. Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program terapi yang berhubungan dengan kurang informasi, salah persepsi ditandai dengan klien mengatakan kurang ,mengerti tentang penyakitnya, klien tampak gelisah. 8. Ansietas b/d ancaman,atau perubahan status kesehatan

c.

Intervensi keperawatan 1.

Nyeri akut yang berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebra ditandai

dengan klien mengeluh nyeri tulang belakang, mengeluh bengkak pada pergelangan tangan, terdapat

fraktur

traumatic

pada

vertebra,

klien

tampak

meringis

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang dengan criteria hasil klien dapat mengekspresikan perasaan nyerinya, klien dapat tenang dan istirahat, klien dapat

mandiri

dalam

penanganan

dan

perawatannya

secara

sederhana.

Intervensi : • Evaluasi keluhan nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik termasuk intensitas (skala 1-10). Perhatikan petunjuk nyeri nonverbal (perubahan pada tanda vital dan emosi/prilaku) R/ Mempengaruhi pilihan/pengawasan keefektifan intervensi • Ajarkan klien tentang alternative lain untuk mengatasi dan mengurangi rasa nyerinya R/ alternative lain untuk mengatasi nyeri misalnya kompres hangat, mengatur posisi untuk mencegah kesalahan posisi pada tulang/jaringan yang cedera • Dorong

menggunakan teknik manajemen stress contoh

nafasa dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan teraupetik

relaksasi progresif, latihan

R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa control dan dapat meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri yang mungkin menetap untuk periode lebih lama • Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi R/ diberikan untuk menurunkan nyeri.

2.

Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat perubahan

skeletal (kifosis) , nyeri sekunder, atau fraktur baru ditandai dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas, stamina menurun, dan terdapat penurunan tinggi badan Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien mampu melakukan mobilitas fisik dengan criteria hasil klien dapat meningkatkan mobilitas fisik, berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan/diperlukan, klien mampu melakukan aktivitas hidup sehari-hari secara mandiri • Kaji tingkat kemampuan klien yang masih ada R/ sebagai dasar untuk memberikan alternative dan latihan gerak yang sesuai dengan kemampuannya • Rencanakan tentang pemberian program latihan, ajarkan klien tentang aktivitas hidup sehari-hari yang dapat dikerjakan R/ latihan akan meningkatkan pergerakan otot dan stimulasi sirkulasi darah • Berikan dorongan untuk melakukan aktivitas /perawatan diri secara bertahap jika dapat ditoleransi. Berikan bantuan sesuai kebutuhan R/ kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan kerja jantung tiba-tiba, memberikan bantuan hanya sebatas kebutuhan akan mendorong kemandirian dalam melakukan aktivitas 3.

Risiko cedera yang berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal dan

ketidakseimbangan tubuh ditandai dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun, tulang belakang terlihat bungkuk Tujuan : cedera tidak terjadi dengan criteria hasil klien tidak jatuh dan tidak mengalami fraktur, klien dapat menghindari aktivitas yang mengakibatkan fraktur • Ciptakan lingkungan yang bebas dari bahaya missal : tempatkan klien pada tempat tidur rendah, berikan penerangan yang cukup, tempatkan klien pada ruangan yang mudah untuk diobservasi

R/ menciptakan lingkungan yang aman mengurangi risiko terjadinya kecelakaan • Ajarkan pada klien untuk berhenti secara perlahan,tidak naik tangga dan mengangkat beban berat R/ pergerakan yang cepat akan memudahkan terjadinya fraktur kompresi vertebra pada klien osteoporosis • Observasi efek samping obat-obatan yang digunakan R/ obat-obatan seperti diuretic, fenotiazin dapat menyebabkan pusing, mengantuk dan lemah yang merupakan predisposisi klien untuk jatuh

4.

Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan atau gangguan gerak ditandai dengan klien mengeluh nyeri pada tulang belakang, kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas dan stamina menurun serta terdapat fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan perawatan diri klien terpenuhi dengan criteria hasil klien mampu mengungkapkan perasaan nyaman dan puas tentang kebersihan diri, mampu mendemonstrasikan kebersihan optimal dalam perawatan yang diberikan • Kaji kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap aktifitas perawatan R/ untuk mengetahui sampai sejauh mana klien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri • Beri perlengkapan adaptif jika dibutuhkan misalnya kursi dibawah pancuran, tempat pegangan pada dinding kamar mandi, alas kaki atau keset yang tidak licin, alat pencukur, semprotan pancuran dengan tangkai pemegang R/ peralatan adaptif ini berfungsi untuk membantu klien sehingga dapat melakukan perawatan diri secara mandiri dan optimal sesuai kemampuannya • Rencanakan individu untuk belajar dan mendemonstrasikan satu bagian aktivitas sebelum beralih ke tingkatan lebih lanjut R/ bagi klien lansia, satu bagian aktivitas bisa sangat melelahkan sehingga perlu waktu yang cukup untuk mendemonstrasikan satu bagian dari perawatan diri

5.

Gangguan citra diri yang berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang disebabkan oleh penyakit atau terapi ditandai dengan klien mengatakan membatasi pergaulan dan tampak menggunakan penyangga tulang belakang (spinal brace)

Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat menunjukkan adaptasi dan menyatakan penerimaan pada situasi diri dengan criteria hasil klien mengenali dan menyatu dengan perubahan dalam konsep diri yang akurat tanpa harga diri negative, mengungkapkan dan mendemonstrasikan

peningkatan

perasaan

positif

• Dorong klien mengekspresikan perasaannya khususnya mengenai bagaimana klien merasakan, memikirkan dan memandang dirinya R/ ekspresi emosi membantu klien mulai meneerima kenyataan • Hindari kritik negative R/

kritik

negative

akan

membuat

klien

merasa

semakin

rendah

diri

• Kaji derajat dukungan yang ada untuk klien R/ dukungan yang cukup dari orang terdekat dan teman dapat membantu proses adaptasi

6.

Gangguan eleminasi alvi yang berhubungan dengan kompresi saraf pencernaan ileus paralitik ditandai dengan klien mengatakan buang air besar susah dan keras

Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan eleminasi klien tidak terganggu dengan criteria hasil klien mampu menyebutkan teknik eleminasi feses, klien dapat mengeluarkan feses lunak

dan

berbentuk

setiap

hari

atau

3

hari

• Auskultasi bising usus R/ hilangnya bising usus menandakan adanya paralitik ileus • Observasi adanya distensi abdomen jika bising usus tidak ada atau berkurang R/ Hilangnya peristaltic(karena gangguan saraf) melumpuhkan usus, membuat distensi ileus dan usus • Catat frekuensi, karakteristik dan jumlah feses R/ mengidentifikasi derajat gangguan/disfungsi dan kemungkinan bantuan yang diperlukan • Lakukan latihan defekasi secara teratur R/ program ini diperlukan untuk mengeluarkan feses secara rutin • Anjurrkan klien untuk mengkonsumsi makanan berserat dan pemasukan cairan yang lebih banyak termasuk jus/sari buah R/meningkatkan konsistensi feses untuk dapat melewati usus dengan mudah

7.

Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program terapi yang berhubungan dengan kurang informasi, salah persepsi ditandai dengan klien mengatakan kurang ,mengerti tentang

penyakitnya,

klien

tampak

gelisah

Tujuan : setelsh diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien memahami tentang penyakit osteoporosis dan program terapi dengan criteria hasil klien mampu menjelaskan tentang penyakitnya, mampu menyebutkan program terapi yang diberikan, klien tampak tenang • Kaji ulang proses penyakit dan harapan yang akan dating R/ memberikan dasar pengetahuan dimana klien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi • Ajarkan pada klien tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya osteoporosis R/ Informasi yang diberikan akan membuat klien lebih memahami tentang penyakitnya • Berikan pendidikan kepada klien mengenai efek samping penggunaan obat R/ suplemen kalsium ssering mengakibatkan nyeri lambung dan distensi abdomen maka klien sebaiknya mengkonsumsi kalsium bersama makanan untuk mengurangi terjadinya efek samping tersebut dan memperhatikan asupan cairan yang memadai untuk menurunkan resiko pembentukan batu ginjal.

8.

Ansietas b/d ancaman,atau perubahan status kesehatan

Tujuan :

Mengurangi atau tidak mengalami ansietas.

Intervensi : Kaji tingkat ansietas. Bantu pasien mengidentifikasi keterampilan koping yang telah dilakukan dengan berhasil pada masa lalu. Rasional :

Memandukan intervensi terapeutik dan partisipatif dalam perawatan diri, keterampilan

koping pada masa lalu dapat mengurangi ansietas. Beri informasi mengenai penyakit pasien dan penanganannya. Rasional : Meningkatkan pengetahuan membantu mengurangi ansietas Dorong pasien mendiskusikan ansietas dan gali keprihatinan mengenai penyakit pasien. Rasional :

Meningkatkan kesadaran dan pemahaman hubungan antara tingkat antietas dan

perilaku. Ajarkan pasien teknik penatalaksanaan stress atau lakukan rujukan bila perluh. Rasional :

Memperbaiki manajemen stress, mengurangi frekwensi dan beratnya penyakit pasien.

Beri upaya kenyamanan dan hindari aktivitas yang menyebebkan stress

Rasional : situasi penuh stress dapat memperberat gejala kondisi ini.. Instruksikan pasien dalam aspek program pengobatan Rasional : pengetahuan pasien membantu mengurangi ansietas.

d.

Evaluasi Hasil yang diharapkan meliputi : • Nyeri berkurang • Terpenuhinya kebutuhan mobilitas fisik • Tidak terjadi cedera • Terpenuhinya kebutuhan perawatan diri • Status psikologis yang seimbang • Menunjukkan pengosongan usus yang normal • Terpeneuhinya kebutuhan pengetahuan dan informasi

pathway

BAB III PENUTUP A.

Kesimpulan Asuhan keperawatan klasikal pada lansia merupakan gambaran mengenai beberapa permasalahan atau hambatan yang sering dialami lansia dalam dikarenakan adanya perubahan atau penurunan kondisi dari lansia itu sendiri. Osteoporosis adalah penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan mikroarsitektur jaringan tulang. Osteoporosis bukan hanya berkurangnya kepadatan tulang tetapi juga penurunan kekuatan tulang. Pada osteoporosis kerusakan tulang lebih cepat daripada perbaikan yang dilakukan oleh tubuh. Osteoporosis sering disebut juga dengan keropos tulang. Tulang-tulang yang sering mengalami fraktur/patah yaitu : tulang ruas tulang belakang, tulang pinggul, tungkai dan pergelangan lengan bawah. (WHO).

B.

Saran Untuk dapat memahami pembahasan tentang ” ASUHAN KEPERAWATAN KLASIKAL,PADA LANSIA” selain membaca dan memahami materi-materi dari sumber keilmuan yang ada (buku, internet, dan lain-lain) kita harus dapat mengkaitkan materi-materi tersebut dengan kehidupan kita sehari-hari, agar lebih mudah untuk paham dan akan selalu diingat.

DAFTAR PUSTAKA Adib, M. 2011.pengetahuan praktis ragam penyakit memetikan yang paling sering menyerang kita, Jogjakarta: bukubiru. Bandiyah,Siti. 2009. Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Medical Book. Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC. Gibson, John, 2003, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, Jakarta : EGC.

Nugroho, H.wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik Edisi 3.Jakarta :EGC. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC.

Related Documents


More Documents from "Wahyu"