Assesment 1. Analisa dan penjelasan tentang pengobatan yang dilakukan : Transamin (asam traneksamat) diberikan untuk mengurangi perdarahan yang dialami pasien. Asam traneksamat kompetitif menghambat aktivasi plasminogen (melalui mengikat mengurangi
konversi
ke
kringle
domain),
dengan
demikian
plasminogen plasmin (fibrinolysin), enzim yang
mendegradasi gumpalan fibrin, fibrinogen dan protein plasma lain, termasuk procoagulant factor V dan VIII.
Asam mefenamat diberikan untuk menghilangkan nyeri haid yang dialami pasien dengan cara menghambat sintesa prostaglandin dengan menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX-1 & COX-2). Diminum bila perlu.
Clomiphene citrate diberikan untuk menginduksi ovulasi. CC memiliki struktur yang mirip dengan estrogen, sehingga akan berkompetisi untuk menduduki reseptor estrogen di seluruh sistem reproduksi. CC menstimulasi LH dan FSH untuk
Transamin 3x1 tablet Transamin (tranexamic acid) merupakan obat antifibrinolytic yang bekerja dengan menghambat pengikatan plasminogen dan plasmin ke fibrin. Obat ini tidak seharusnya digunakan pada pasien dengan penggumpalan intravaskular aktif karena risiko trombosis. Asam Tranexamic dapat ditoleransi dengan baik, dapat menimbulkan gangguan GI yang berhubungan dengan dosis (Sweetman, 2009). Transamin diberikan kepada Ny. D dikarenakan Ny. D memiliki keluhan pendarahan. Transamin (asam traneksamat) lebih potensial dalam menghentikan pendarahan pasien dibandingkan vitamin K dan golongan obat yang dapat menghentikan pendarahan lainnya.
Asam Mefenamat 3x1 tablet Merupakan NSAID, sering digunakan untuk mild-moderate pain, dysmenorrhea, postpartum and post operative pain. Dosis lazim : 500 mg PO 3 kali sehari (Sweetman, 2009). Obat ini diberikan pada Ny.D dikarenakan terdapat keluhan rasa sakit yang terjadi sebelum dan selama haid. Karena efek sampingnya yang berat dalam penggunaan jangka panjang, maka disarankan untuk beralih ke selektif COX2, seperti celekoxib. Namun, efek samping penggunaan
selektif COX2 adalah masalahnya dengan kardiovaskular sehingga penggunaannya harus dalam kontrol penuh.
Clomifen Citrat 50mgx1 Hari 3-Hari 9 selama 6 siklus Clomifene merupakan senyawa nonsteroidal yang memiliki sifat estrogenic dan anti-estrogenic. Bekerja dengan menstimulasi sekresi hormon gonadotropin, mungkin dengan menghambat efek feedback negatif dari estrogen pada lokasi reseptor di hipotalamus dan hipofisis (Sweetman, 2009). Clomifen Citrat diberikan pada Ny.D sebagai obat PCOS.
2. Bagaimanakah rekomendasi cara dan dosis terapi yang anda sarankan untuk penggunaan CC ? Dosis klomifen yang digunakan untuk menginduksi ovulasi adalah 50 mg sekali sehari selama 5 hari, bisa dimulai dalam 5 hari sejak hari pertama menstruasi, dapat dipilih pada hari ke-2, 3, 4, atau 5. Bila siklus menstruasi tidak teratur, biasanya diberikan progestin untuk menginduksi menstruasi. Waktu yang tepat untuk berhubungan seksual sangat penting dalam mendukung keberhasilan terapi klomifen. Hari pertama menstruasi disebut hari pertama siklus. Ovulasi biasanya terjadi 5-10 hari setelah satu siklus pengobatan klomifen, atau antara hari ke- 14 dan hari ke-19 siklus menstruasi. Pasangan dianjurkan melakukan hubungan seksual teratur mulai dari hari ke-10 siklus menstruasi. Bila ovulasi tidak terjadi, siklus pengobatan klomifen dapat diulang menggunakan dosis 100mg sekali sehari selama 5 hari; pengulangan ini dilakukan minimum 30 hari setelah siklus pengobatan sebelumnya. Bila ovulasi terjadi, tetapi kehamilan tidak terjadi, tidak ada manfaatnya meningkatkan dosis klomifen pada siklus pengobatan berikutnya. Tiga siklus pengobatan seharusnya sudah cukup untuk memberikan hasil yang diharapkan karena sebagian besar pasien seharusnya responsif terhadap satu siklus pengobatan klomifen. Bila setelah 3 siklus pengobatan klomifen terjadi ovulasi, namun tidak terjadi kehamilan, maka penggunaan klomifen tidak direkomendasi- kan untuk dilanjutkan. Penggunaan klomifen sebanyak 12 siklus atau lebih berhubungan dengan meningkatnya risiko kanker ovarium (RR 11,1; 95%CI 1,582,3) (Irawati, 2012)
Untuk terapi awal diberikan dosis 50 mg/hari selama 5 hari, dimulai pada hari ke-3 sampai hari ke 7 siklus menstruasi. Jika ovulasi tidak terjadi, dosis sebesar
100mg/hari selama 5 hari diberikan secepatnya 30 hari setelah penggunaan dari siklus sebelumnya. Pada umumnya pemberian CC selama 3 siklus sudah memberikan hasil yang adekuat, maka dapat dievaluasi apakah terjadi ovulasi atau tidak. Jika tidak terjadi ovulasi maka diagnosis harus di evaluasi ulang. Jika kehamilan tidak terjadi pada 6 siklus, terapi clomifene tidak dapat diberikan kembali (Sweetman, 2009).
3. Efek samping penggunaan CC : kehamilan majemuk (>1 anak per hamil) karena adanya pematangan lebih dari 1 folikel, membesarnya ovarium, hot flashes, sakit kepala, rasa nyeri abdomen dan kembung, mual muntah, perubahan mood, dan nyeri di payudara. Namun kejadian tersebut sangat jarang kurang dari 2 %. Beberapa keluhan dapat muncul pada saat pemberian Klomifen Sitrat, antara lain mual, muntah, reaksi kulit ringan, rasa tegang pada payudara, flashing,kehamilan ganda, urterin cancer (resiko dapat meningkat bila dosis yang digunakan tinggi), ovarium tumor(jika pemakaian telah melebihi 6-9 siklus). (Hendarto, 2008)
PLAN 4. Saran pengobatan berdasarkan jurnal : 1. Kombinasi metformin-CC, namun hasil yang paling baik hanya pada wanita dengan BMI > 30. Sedangkan pada pasien dengan BMI < 30 tidak ada pengaruh jumlah pasien mengalami ovulasi yang signifikan (BMI pasien 25,68). Sehingga pada pasien lebih baik diberikan metformin tunggal, dosis 500mg 1 dd 1 selama seminggu, diminum bersama makanan, frekuensinya dinaikkan 2 dd 1 dalam 1 minggu berikutnya, lalu dosisnya dinaikkan menjadi 1500-1700mg/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian. 2. Dapat juga diberikan gonadotropin rute injeksi (Terapi Infertilitas Pada Wanita vl 10 No. 2 oleh Sylvi Irawati., M.Farm-Klin.,Apt) Pada jurnal Treatment of Chronic Anovulation Resistant to Clomiphene Citrate (CC) by Using Oral Contraceptive Ovarian Suppression Followed by Repeat CC Treatment menunjukkan bahwa penekanan ovarium dengan menggunakan kontrasepsi oral menunjukkan ovulasi yang lebih baik dan kehamilan pada pasien yang sebelumnya telah mengkonsumsi Clomiphene Citrate. Penurunan androgen pada ovarium, LH, dan estradiol 17 beta bertanggung jawab pada perbaikan respon. Hal ini juga diperkuat pada jurnal Treatment of Chronic Anovulation Resistant to Clomiphene Citrate (CC) by
Using Oral Contraceptive Ovarian Suppression Followed by Repeat CC Treatment. Hasil penelitian dari 38 pasien yang telah menyelesaikan perawatan sebanyak 95 siklus, 29 pasien mengalami ovulasi (76%) dan 69 dari 95 siklus telah mengalami ovulasi dimana pasien tersebut gagal mengalami ovulasi setelah mengkonsumsi CC. Pada penelitian tersebut menunjukkan kehamilan 22 kehamilan pada 38 pasien sehingga angka kehamilan terjadi 58%.
Perlakuan apabila terapi tidak menyebabkan pasien mengalami ovulasi Apabila pasien telah diterapi dengan clomiphene citrate tetapi setelah pemberian pada 3 siklus menstruasi tidak terjadi ovulasi atau tidak terjadi menstruasi maka dilihat dari respon ovulasi ovarium pasien. Selain itu, dosis dapat ditingkatkan menjadi 100 mg sekali sehari (Dipiro, et.al, 2008). Sebelum menentukan langkah selanjutnya, monitoring yang perlu dilakukan adalah dengan pemeriksaan midcycle LH dalam urin yang dapat menunjukkan interval puncak kesuburan (fertilitas) dan durasi pada fase luteal. Pemeriksaan ini dilakukan pada saat antara 5 sampai 12 hari setelah pemberian clomifen citrate (biasanya pada hari ke 16 atau 17 apabila clomifen citrate diberikan pada hari ke 5-9 saat menstruasi). Serta pemeriksaan kadar progesteron yang meningkat lebih dari 3 ng/ml memberikan bukti dugaan ovulasi serta memperlihatkan kualitas dari fungsi luteal pada fase midluetal. Apabila pemeriksaan diatas tidak memenuhi syarat, maka dapat dilakukan pemeriksaan untuk melihat kondisi fertilitas (kesuburan) pasien dan pasangan dengan hysterosalpingogram (tes radiograf menunjukkan rahim dan saluran telur), tes darah, untuk melihat kesuburan dari pasien wanita, apabila positif (subur) dilanjutkan dengan pemeriksaan dari air mani pasangan laki-laki untuk melihat kualitas dari sperma dan tingkat kesuburan pasien laki-laki. Apabila diketahui bahwa pasangan tersebut tidak memiliki masalah dari tingkat kesuburan maka dapat diberikan terapi alternatif (The Practice Committee of the American Society for Reproductive Medicine, 2006). Langkah selanjutnya dengan menggunakan terapi alternatif antara lain (The Practice Committee of the American Society for Reproductive Medicine, 2006) : 1. Metformin sebagai insulin sensitizing agents. Berdasarkan hasil studi membuktikan bahwa metformin menjadi terapi tunggal pada wanita infertil PCOS yang tidak mengalami ovulasi dengan dosis 1,000 mg/ hari-2,000
mg/hari dalam dosis terbagi. Dapat ditambahkan atau dikombinasi dengan CC bila terapi tunggal metformin tidak berhasil. 2. Kombinasi clomifen sitrate dengan hCG 3. Kombinasi clomifen citrate dengan glukokortikoid. Pada beberapa wanita PCOS yang resisten terhadap CC dapat dikombinasi dengan glukokortikoid (deksametason 0,5 mg atau prednison 5 mg). Terapi dapat dilanjutkan (3-6 silkus) ketika dapat berhasil dan dihentikan bila tidak berhasil. 4. Kombinasi clomifen citrate dengan eksogen gonadotropin. Terapi gonadotropin yang digunakan seperti menotropin (hMG) atau dimurnikan atau rekombinan FSH. Regimen terapi standart CC (50-100 mg/hari pada hari ke 5-9 siklus) diikuti dengan dosis rendah hMG atau FSH (75 IU/hari pada hari 9-12 siklus). 5. Selain itu dapat pula digunakan tamoxifen yang telah terbukti pada beberapa studi klinis dapat menginduksi ovulaasi pada pasien PCOS, hal ini terjadi karena tamoxifen memiliki stukture yang mirip dengan clomifen citrate sehingga mekanisme aksinya dalam menginduksi ovulasi juga sama. Beberapa studi baru-baru ini juga menunjukkan bahwa letrozole (obat golongan aromatase inhibitor) dapat berpotensi sebagai agen penginduksi ovulasi. Berbeda dengan clomifen citrate dan tamoxifen yang bekerja pada aksi central, letrozole bekerja secara perifer dengan menghambat produksi folikular E2 pada ovarium, sehingga menurunkan estrogen yang menyebabkan penurunan sekresi pituitari gonadotropin.
5. Monitoring yang dapat dilakukan untuk pasien : -
Monitoring folikel di ovarium
-
Monitoring siklus menstruasi
-
Monitoring hormone androgen yang dihasilkan ovarium
-
Monitoring kadar serum estradiol secara beruntun
-
Monitoring keluhan pasien membaik
-
Monitoring jerawat pasien
-
Monitoring kehamilan
-
Monitoring fungsi hepar dan ginjal
Daftar Pustaka Sweetman, S.C., 2009, Martindale The Complete Drug Reference, Thirty Sixth Edition, Pharmaceutical Press, New York Sylvi Irawati (2012) ‘Terapi Farmakologi Infertilitas Pada Wanita Terapi’. Surabaya: Buletin Rasional, pp. 14 – 16 Sweetman, S.C., 2009, Martindale The Complete Drug Reference, Thirty Sixth Edition, Pharmaceutical Press, New York Hendarto, Aryono, Keumala Pringgadini, 2008, Bedah ASI, Kajian Dari Berbagai Sudut Pandang Ilmiah, Jakarta, Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta pp 45-55