Asma Intermiten.docx

  • Uploaded by: rahmi
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Asma Intermiten.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,898
  • Pages: 19
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Asma merupakan gangguan saluran respiratori kronik yang berkaitan dengan adanya obstruksi pada jalan napas. Asma muncul dengan adanya suatu episode rekuren mengi, batuk, sesak napas, dan dada terasa berat(1). Asma telah menjadi masalah kesehatan global yang serius mengenai semua kelompok usia dengan adanya peningkatan prevalensi di banyak negara berkembang, peningkatan biaya pengobatan. 1-18% anak di dunia mengalami asma yang dipicu oleh berbagai faktor(2). Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering menyebabkan anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta aktifitas seluruh keluarga, menurunkan kualitas hidup penderitanya, dan menimbulkan masalah pembiayaan. Selain itu, mortalitas asma relatif tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000 kematian akibat asma(3). Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah menghindari faktor penyebab. Dari segi medikmentos, semula pengobatan asma hanya

diarahkan

untuk

mengatasi

bronkokonstriksi

dengan

pemberian

bronkodilator, namun kini berkembang dengan penggunaan antiinflamasi sehingga obat antiinflamasi dianjurkan diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan (3).

1.2 Batasan masalah Laporan kasus ini membahas tentang asma pada anak dari definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, klasifikasi, tatalaksana, dan prognosis

1

1.3 Tujuan Penulisan Laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai asma pada anak.

1.4 Metode penulisan Laporan kasus ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penulisan Manfaat penulisan berupa sebagai informasi dan pengetahuan tentang asma pada anak.

BAB II 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ama menurut International Consensus on Pediatric Asthma adalah suatu kelainan inflamasi kronik berhubungan dengan obstruksi aliran udara yang bervariasi dan hiperesponsif bronkial. Asma muncul dengan adanya suatu episode mengi berulang, batuk, sesak napas, dan dada terasa berat(1).

2.2 Epidemiologi Asma mengenai sekitar 300 juta individu diseluruh dunia. Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara berkembang. Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Hal ini merupakan masalah kesehatan global yang serius mengenai semua kelompok usia dengan adanya peningkatan prevalensi di banyak negara berkembang, peningkatan biaya pengobatan. Asma menyebabkan beban pada sistem pelayanan kesehatan serta masyarakat melalui hilangnya produktivitas ditempat kerja terutama asma pada anak yang menyebabkan gangguan pada keluarga(2). 2.3 Etiologi Penyebab dari asma anak belum dapat ditentukan, namun kombinasi antara pajanan lingkungan dengan bawaan biologis serta kerentanan genetik diduga terlibat. a. Genetik Lebih dari 100 lokus gen telah dihubungkan dengan asma walaupun demikian hanya sedikit yang secara konsisten berhubungan dengan asma pada berbagai penelitian kohort. Lokus-lokus tersebut mengandung gen proalergenik dan proinflamatorik(4). b. Lingkungan 3

Episode mengi berulang pada masa anak-anak awal berhubungan dengan virus-virus yang menyerang saluran napas terutama rinovirus, atau RSV, virus influenza, adenovirus, virus parainfluenza dan human metapneumovirus. Asap rokok dan polutan udara lainnya dapat memperberat inflamasi saluran napas dan meningkatkan derajat keparahan asma. Udara dingin, hiperventilasi akibat aktivitas fisik, atau bau-bau an yang terlalu kuat dapat merangsang terjadinya bronkokonstriksi(4). 2.4 Patogenesis Terjadinya asma melibatkan suatu proses yang kompleks yang mana terjadi interaksi dan adanya peran masing-masing antara dua faktor mayor yaitu faktor penjamu dan pajanan lingkungan(7). Inflamasi saluran napas pada asma kemungkinan mencerminkan adanya suatu ketidakseimbangan antara dua populasi limfosit Th yang ‘berlawanan’. Terdapat dua jenis limfosit Th yaitu Th1 yang menghasilkan IL-2 dan IFN-γ yang memiliki peran pada mekanisme pertahanan selular sebagai respon terhadap infeksi. Kontras dengan Th1, Th2 menghasilkan sitokin-sitokin IL-4, -5, -6, -9, -13 yang memediasi inflamasi alergi(7). Sel dendritik merupakan antigen presenting cell (APC) utama pada saluran pernapasan. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik akan melakukan migrasi ke tempat tersebut bersama dengan limfosit, melalui pengaruh sitokin lainnya sel dendritik akan matang dan membantu polarisasi Th0 menjadi Th2. Proses berlanjut sampai dihasilkannya mediator-mediator inflamasi dan terjadi hiperespon bronkus dan obstruksi aliran udara(8).

4

Gambar 1 Patogenesis asma (Diambil dari GINA dan NHLBI)2,7 Terdapat bukti yang mendukung peran dari epitel saluran napas dan mesenkim dibawahnya dalam patogenesis asma. Diperkirakan bahwa individu yang rentan secara genetik memiliki fungsi barier epitel yang terganggu menyebabkan epitel menjadi rentan terhadap infeksi virus pada awal kehidupan yang mengarahkan sel dendritik pada pembentukan Th2. Cedera epitel yang terpelihara mengarah pada komunikasi yang terganggu dengan mesenkim dibawahnya. Inhibisi perbaikan epitel menyebabkan dihasilkannya faktor pertumbuhan termasuk TGFβ2 yang mengaktivasi fibroblas subepitel untuk membentuk myofibroblas dan mendukung terjadinya metaplasia mukus. Deposit myofibroblas, penebalan lamina retikularis pada epitel, dan sekret mitogen menyebabkan hipertrofi otot polos(9).

5

Gambar 2. Proses inflamasi dan remodelling pada asma perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repai. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis. (10) 2.5 Manifestasi Klinis Batuk kering yang intermiten dan adanya mengi saat ekspirasi merupakan gejala kronik yang paling banyak pada pasien asma. Anak yang lebih tua dan dewasa mengeluhkan adanya sesak napas dan rasa berat didada, pada anak yang lebih muda keluhan yang dilaporkan biasanya nyeri dada yang intermiten dan nonfokal. Gejala-gejala respiratorik tadi mengalami perburukan pada saat malam hari. Gejala lainnya yang kurang spesifik dapat berupa keterbatasan aktivitas fisik, kelelahan yang umum, kesulitan untuk mensejajarkan diri dengan sebaya dalam hal aktivitas fisik(4). 2.6 Diagnosis 2.6.1 Anamnesis Kebanyakan pasien akan mengeluhkan adanya wheezing atau batuk kronik berulang. Gejala dengan karakteristik yang mengarah pada asma diantaranya yaitu(8): a. Gejala timbul secara episodik atau berulang b. Faktor pencetus seperti iritan, alergen, infeksi saluran napas atau aktivitas fisik c. Riwayat alergi pada pasien atau anggota keluarga d. Variabilitas, biasanya memberat pada malam hari e. Reversibilitas, gejala dapat membaik spontan atau dengan obat 2.6.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan dilakukan lengkap mulai dari tanda vital, pemeriksaan kepala dan leher serta pemeriksaan paru. Evaluasi tanda-tanda atopi seperti rinitis alergi 6

dan dermatitis atopik. Tanda-tanda vital akan menunjukkan hasil normal saat pasien tidak dalam serangan, namun dapat terjadi takikardia dan takipnea saat serangan(11). Dalam pemeriksaan paru, semua lapangan harus dievaluasi dan keseluruhan siklus pernpasan didengarkan dengan hati-hati.Pasien yang mengalami serangan akan menunjukkan keadaan hiperinflasi, peningkatan kerja otot bantu napas dan pemanjangan fase ekspirasi. Pada pemeriksaan perkusi, mungkin bisa didapatkan adanya hipersonor(11). 2.6.3 Pemeriksaan Penunjang(12) a. Spirometri pada anak usia ≥ 6 tahun b. Uji hipereaktivitas bronkial c. Peak flow monitoring d. X-ray dada 2.6.4 Diagnosis Banding Batuk yang kronik intermiten dapat disebabkan oleh refluks gastroesofageal (RGE) dan rinosinusitis selain karena asma. Pada anak yang lebih tua dan remaja, disfungsi pita suara dapat bermanifestasi sebagai wheezing yang intermiten. Pada kondisi ini, pita suara menutup secara involunter selama inspirasi dan kadang ekspirasi menyebabkan sesak napas. Pada beberapa lokasi tertentu, pneumonits hipersensitivitas (komunitas petani, kandang burung), infestasi parasit pulmonal (area rural di negara berkembang) atau tuberkulosis adalah penyebab tersering dari batuk kronik dan atau wheezing(4). 2.7 Klasifikasi a. Berdasarkan usia(8) 

Asma bayi – bawah dua tahun



Asma balita



Asma usia sekolah (5 – 11 tahun)



Asma remaja (12 – 17 tahun)

b. Berdasarkan fenotip(8) 

Asma tercetus infeksi virus



Asma tercetus aktivitas



Asma tercetus alergen 7



Asma terkait obesitas

c. Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala(8) 

Asma intermiten



Asma persisten ringan



Asma persisten sedang



Asma persisten berat

d. Berdasarkan derajat serangan(8) 

Asma serangan ringan – sedang



Asma serangan berat



Serangan asma dengan ancaman henti napas

e. Berdasarkan derajat kendali(8) 

Asma terkendali penuh o Tanpa obat o Dengan obat



Asma terkendali sebagian



Asma tidak terkendali

8

Gambar 3 Alurdiagnosis asma (Diambil dari PNAA, 2015)8 2.8 Tatalaksana 2.8.1 Tatalaksana Serangan

Gambar 3 Pasien asma dengan risiko tinggi (Diambil dari PNAA, 2015)8 9

a. Tatalaksana di rumah(8)

Adakah risiko tinggi atau anak dalam keadaan distress napas?

Inhalasi agonis β2 kerja pendek (SABA), via nebulizer atau MDI + spacer

Nebulizer

Bawa ke fasyankes

MDI + spacer : 2 – 4 semprot obat diikuti 6 – 8 tarikan napas

Nilai respon

Hentikan

1. Nebulizer : dalam :30 iyamenit ulangi pemberian 1 kali lagi

: tidak

2. MDI + spacer : ulangi satu siklus lagi

Nilai respon

: iya : tidak

10

b. Tatalaksana di fasilitas layanan kesehatan primer

Gambar 4 Alur tatalaksana di fasyankes primer (Diambil dari PNAA, 2015)8 c. Tatalaksana didalam ruang perawatan(8) 

Pemberian oksigen diteruskan



Koreksi cairan dan asidosis jika ada



Steroid intravena diberikan bolus setiap 6 – 8 jam dosis 0,5 – 1 mg/kgBB/hari



Nebulisasi kombinasi SABA dengan ipratropium bromida dilanjutkan tiap 1 – 2 jam. Jika dalam 4 – 6 kali pemberian mulai perbaikan, jarak pemberian menjadi 4 – 6 jam



Aminofilin diberikan secara intravena, ketentuan: 11

o Belum mendapat aminofilin sebelumnya, dosis inisial sebesar 6 – 8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau NaCl 0,9% sebanayak 20 ml diberikan selama 30 menit dengan infusion pump o Respon belum optimal maka dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5 – 1 mg/kgBB/jam o Jika telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam) dosis diberikan separuhnya, baik dosis awal atau dosis rumatan 

Bila perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam hingga mencapai 24 jam, steroid dan aminofilin diganti dengan peroral



Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat SABA (inhalasi atau oral) yang diberikan setiap 4 – 6 jam selama 24 – 48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3 – 5 hari untuk reevaluasi tatalaksana

d. Tatalaksana di Rumah Sakit

Gambar 5 Alur tatalaksana serangan asma di RS (Diambil dari PNAA, 2015)8

12

2.8.2 Tatalaksana Jangka Panjang 2.8.2.1 Medikamentosa Obat asma terdiri dari dua jenis yaitu reliever atau pereda dan controller atau pengendali. Beberapa jenis obat pengendali asma yaitu: a. Steroid inhalasi

Gambar 6 Pilihan steroid inhalasi (Diambil dari PNAA, 2015)8 Umumnya diberikan sebanyak dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang diberikan sekali sehari. b. Agonis β2 kerja panjang (LABA) Sebagai pengendali asma, LABA diberikan sebagai kombinasi bersama dengan steroid inhalasi.

13

Gambar 7 kombinasi LABA dan steroid inhalasi (Diambil dari BCguidlines, 2015)12 c. Antileukotrien Terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1) seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast serta inhibitor 5-lipoxygenase seperti zileuton. Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih unggul dibanding steroid inhalasi.

Gambar 8 Obat antileukotrien (Diambil dari BCguidlines, 2015)11

14

d. Teofilin lepas lambat Termasuk kedalam jenis obat pengendali asma, teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai sediaan tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia diatas 5 tahun. Dengan kombinasi ini akan menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten(8). e. Anti-IgE Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang dapat mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Diberikan kepada pasien yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan LABA namun masih sering mengalami eksaserbasi. Diberikan injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu. Pemberian omalizumab harus dibawah pengawasan seorang dokter spesialis(8). f. Jenjang pengobatan

Gambar 9 Jenjang pengobatan jangka panjang asma (Sumber: PNAA, 2015)8 Keterangan: 1. Acuan awal penetapan jenjang menggunakan klasifikasi kekerapan 2. Bila suatu jenjang sudah berlangsung selama 6 – minggu dan asma belum terkendali, maka dilakukan step up 3. Bila suatu jenjang sudah berlangsung selama 8 – 12 minggu dan asma terkendali penuh, maka dilakukan step down 4. Perubahan jenjang harus memerhatikan aspek-aspek penghindaran dan penyakit penyerta 5. Pada jenjang 4, jika belum terkendali maka ditambahkan omalizumab 15

2.8.2.2 Non-medikamentosa Konsensus umum mengenai edukasi pada asma yaitu harus mengandung infornasi mengenai perjalanan alamiah penyakit (kronik dan berulang), kebutuhan untuk terapi jangka panjang serta perbedaan berbagai medikasi yang digunakan. Hal penting lainnya yaitu penekanan pada pentingnya kepatuhan terhadap terapi walaupun pasien tidak bergejala serta penjelasan secara tertulis atau demonstrasi penggunaan alat terapi pada asma (1). Edukasi terhadap pengelolaan diri sendiri adalah penting sebagai bagian dari proses penatalaksanaan asma, hal ini termasuk didalamnya yaitu menghindari faktor-faktor pencetus yang perlu diidentifikasi. Penggunaan perencanaan tertulis secara pribadi secara umum direkomendasikan yang dikenal dengan istilah asthma action plan yang mencakup regimen terapi sehari-hari termasuk instruksi spesifik untuk identifikasi awal dan tatalaksana yang sesuai terhadap serangan asma(1). 2.9 Prognosis Batuk dan wheezing berulang terjadi pada 35% anak usia pra sekolah. Sekitar sepertiga nya berlanjut menjadi asma persisten pada masa anak-anak berikutnya, dan hampir dua pertiga akan membaik selama masa remaja. Severitas asma pada usia 7 – 10 tahun memiliki nilai prediktif menetapnya asma pada usia dewasa. Remisi penuh dalam 5 tahun pada anak-anak adalah jarang(4).

16

BAB IV DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 12 tahun di Ruang Rawat HCU anak RSUP.Dr.M.Djamil Padang pada tanggal 25 Januari 2019 dengan diagnosis Asma intermitten serangan berat. Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dari anamnesis diketahui bahwa pasien mengalami sesak napas sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit dan merupakanepisode sesak untuk pertama kali yang disederhanakan menjadi <6x dalam satu tahun. Sesak napas terjadi ketika adanya gangguan pada pertukaran udara mengarah pada berkurangnya ventilasi dan oksigenasi. Pada anak sendiri, berdasarkan tingkatan usia sesak napas memiliki banyak penyebab. Pada pasien ini dengan usia 12 tahun penyebab paling sering dari gejala sesak napas yaitu pneumonia, asma, krisis akut sickle cell, tonsilitis, abses peritonsil, cystic fibrosis dan gangguan panik(13). Anamnesis sangat penting dilakukan pada anak yang mengalami sesak napas. Onset, durasi, kronisitas gejala ,faktor yang memperberat atau meringankan, gejala atau keluhan yang sama sebelumnya, respon terhadap terapi yang pernah dilakukan(13). Anamnesis pada pasien ini didapatkan sesak napas yang dirasakan sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit, sesak ini merupakan sesak pertama kali dengan faktor yang mencetuskan adalah olahraga, sesak napas pada pasien disertai dengan bunyi menciut atau wheezing serta saat serangan pasien hanya bisa mengucapkan satu-satu kata. Berdasarkan panduan nasional asma anak, pada pasien ini didapatkan gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas dan produksi sputum, yang muncul bila ada faktor pencetus seperti iritan dari suhu dingin atau penyedap rasa, pengawet dan pewarna makanan serta aktifitas fisik. Pada pasie, sesak napas muncul setelah melakukan olahraga, kemungkinan aktifitas fisik yang berlbihan menjadi faktor pencetus. Pada pasien ini juga didapatkan riwayat alergi berupa riwayat bersin-bersin di pagi hari dan riwayat alergi susu sapi serta pipi ruam susu saat bayi yang membuktikan adanya riwayat atopi pada pasien. 17

Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan frekuensi napas dan pemeriksaan auskultasi paru didapatkan wheezing di seluruh lapangan paru. Wheezing yang terdengar dikedua lapangan paru berhubungan dengan adanya penyempitan difus saluran napas dan adanya limitasi aliran udara(13). Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis kerja pada kasus ini adalah asma. Menurut panduan nasional asma anak, labelisasi diagnosis asma pada anak harus memuat kekerapan dan derajat pada saat serangan. Pada saat pasien datang, pasien lebih senang dalam posisi duduk dibandingkan tidur dan hanya bisa berbicara satusatu kata serta anak terlihat gelisah, pada anak juga didapatkan retraksi. Keluhan sesak napas merupakan yang pertama kali bagi pasien sehingga pada pasien ditegakkan asma intermitten serangan berat. Pada kasus ini pasien juga mengeluhkan adanya batuk yang berdahak. Batuk pada asma biasanya kering atau produktif minimal, namum bisa juga berhubungan dengan adanya hipersekresi mukus. Pengukuran sekresi musin pada sputum telah dilaporkan pada asma, kemungkinan melibatkan hiperplasia sel goblet pada epitel bronkial dengan produksi sputum yang bervariasi(14). Tatalaksana pada pasien asma serangan berat diberikan oksigen 2L/menit serta nebulisasi combivent per 2 jam dan drip aminophilin 240 mg dalm 500cc Dextrose 5% dalam ½ jam serta injeksi deksametason 3x6,5 mg. Hal ini sudah sesuai dengan alur tatalaksana berdasarkan pedoman nasional asma anak pada serangan berat.

DAFTAR PUSTAKA

18

1. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R et al. International consensus on (ICON) pediatric asthma. Eur J Allergy Clin Immunol 2012;67:976-997. 2. Central for Disease Control and Prevention U.S Department of Health and Human Services. Asthma: data, statistics, and surveillance. Georgia: U.S Department of Health and Human Services; 2008[diakses 05/01/2018] ; Diakses dari: https://www.cdc.gov/asthma/asthmadata.htm 3. Global Initiative for Asthma. 2017. Pocket Guide for Health Professionals, updated 2017. 4. Pusat Data danInformasiKementerianKesehatan RI. You can control your asthma. Jakarta: KementerianKesehatan RI; 2016. h.2-4. 5. Kartasasmita CB. Epidemiologi asma anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Ed 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83. 6. National Heart, Lung, and Blood Institute U.S Department of Health and Human Services. Expert panel report 3: Guidlines for the diagnosis and management of asthma. Bethesda: U.S Department of Health and Human Services; 2007 [diakses 06/01/2018] ; Diunduh dari: https://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/.../03_sec2_def.pdf 7. Rahajoe NN, Kartasasmita CB, Supriyatno B, Setyanto DB. Panduan nasional asma anak. Ed 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015.h.21-75. 8. Liu AH, Covar RA, Spahn JD, Sicherer SH. Childhood asthma.Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF, Behrman RE,penyunting. Nelson textbook of pediatrics. 20th Ed. Philadelphia: Saunders; 2016. h.1095-1103. 9. Pynn MC, Thornton CA, Davies GA. Asthma pathogenesis. Pulmão RJ 2012;21:11-17. 10. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: ikatan dokter anak Indonesia; 2012. 71- 158 11. Tarasidis GS, Wilson KF. Diagnosis of asthma: clinical assessment. Int Forum of Allergy and Rhinology 2015;5:22-25. 12. Guidlines and Protocols Advisory Committee British Columbia Ministry of Health. Asthma in children – diagnosis and management. Victoria: British Columbia Ministry of Health; 2015[diakses 05/01/2018] ; Diakses dari: https://www2.gov.bc.ca/.../bc-guidelines/asthma-children 13. Sharma A. Respiratory distress. Dalam: Kliegman RM, Lye PS, Bordini BJ, Toth H, Basel D,penyunting. Nelson pediatric symptom-based diagnosis. Philadelphia: Saunders; 2018. h.39-45. 14. Niimi A. Cough and asthma. Current Resp Med Rev 2011;7:47-52.

19

Related Documents

Asma'
June 2020 38
Asma
November 2019 62
Asma
November 2019 54
Asma
June 2020 40
Asma
November 2019 54
Asma
November 2019 50

More Documents from ""

Doc2 A.docx
June 2020 28
Program Kkg Kelas I.docx
April 2020 34
Asma Intermiten.docx
October 2019 39
Doc2 A.docx
June 2020 25