LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN TYPOID FEVER
A. Pengertian Pengertian typhoid fever dikemukakan oleh para ahli yang berkecimpung dalam dunia kedokteran khususnya yang mendalami penyakit dalam. Berikut ini penulis akan menyajikan beberapa pengertian dari typhoid fever.
Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella Thyposa dengan gejala demam 1 minggu atau lebih disertai gangguan pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Penularannya secara faeco oral melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi kuman salmonella (Devid Werner,1993).
Thypoid abdominalis (Demam Thypoid, Enteric Fever) ialah penyakit infeksi akugt yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran (FKUI, 2000).
Typhoid abdominalis adalah infeksi penyakit akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran (Suryadi, 2001).
Typhoid
abdominalis adalah penyakit
infeksi
yang disebabkan oleh Salmonella
typhi atau Salmonella Paratyphii A, B dan C. Berdasarkan definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa typhoid fever adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typosa dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan bahkan gangguan kesadaran (Soedarto,1992)
Penyebarannya melalui lima F yaitu : 1. Feses (tinja) 2. Flies (lalat) 3. Food (makanan) 4. Finger (jari tangan) 5. Fomites (muntah)
B. Etiologi Penyebab penyakit typhoid fever secara umum adalah kuman Salmonella typhi yang merupakan kuman gram negatif dan tidak menghasilkan spora. Kuman Salmonella typhii ini dapat hidup baik pada suhu manusia (36 – 37oC) maupun pada suhu yang lebih rendah dari 36 oC, serta mati pada suhu 70 oC maupun oleh anti septik. Saat ini diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia. Salmonella typhii mempunyai tiga macam antigen yaitu: 1. Antigen O = Ohne Hauch: somatic antigen (tidak menyebar) 2. Antigen H = Hauch (menyebar) terdapat pada flagella dan bersifat termolabil. 3. Antigen V1 = kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis.
C. Patofisiologi Kuman Salmonella thyposa masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar. Setelah kuman masuk ke dalam mulut ketika orang makan dan minum, makanan masuk ke lambung dan bercampur dengan HCl. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian masuk ke usus halus yang mencapai jaringan limfoid plaque di ilium terminalis yang mengalami hipertropi. Jika bakteri masuk bersama-sama cairan, maka terjadi pengenceran asam lambung yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme penyebab penyakit. Daya hambat asam lambung ini juga akan menurun pada waktu terjadi pengosongan lambung, sehingga bakteri akan lebih leluasa masuk ke dalam usus penderita, memperbanyak diri dengan cepat, kemudian
memasuki saluran limfe dan akhirnya mencapai aliran darah. Kuman Salmonella thyposa kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini Salmonella typhi masuk aliran darah melalui ductus thorasicus. Kumankuman Salmonella
typhi lain
mencapai
hati
melalui
sirkulasi
portal
dari
usus. Salmonella typhi bersarang di plaque payeri, limfa, hati dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Demam disebabkan karena Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Adapun reaksi kuman terhadap tubuh manusia melakukan aktifitas terbesar pada sistem retikuloendotelial dan empedu dimana organ yang lebih dahulu diserang adalah usus.
Patofisiologi
Pada Hakikatnya Aktifitas Dari Kuman Salmonella Typhi Dibagi Menjadi Empat Tingkatan : 1. Tingkat I Merupakan masa inkubasi 10 – 14 hari, pada tingkat ini terjadi proliferasi dari susunan retikuloendotelial yang mempunyai sel mononukleus dimana sitoplasma yang mengandung eritrosit akan bereaksi dengan jaringan nekrotik atau kuman sampai membentuk sel yang dinamakan sel Typhoid. Akibat fagositosis tersebut jaringan limfoid akan
melebar
mengakibatkan
pelebaran
pembuluh
darah,
sehingga
susunan
retikuloendotelial yang terdapat pada sumsum tulang belakang dan hemopoesis menjadi rusak akibatnya pembentukan leukosit menurun. Pada tingkat ini, bercak payeri, limphonoduli akibat hyperemi dan hiperplasi tampak membengkak dan menonjol ke atas permukaan selaput lendir. 2. Tingkat II Terjadi nekrosis jaringan lympoid yang membengkak dan mengeras seperti kerak. Oleh sebab itu tingkat ini disebut tingkat keropeng karena bentuknya seperti keropeng yang berwarna kuning kelabu. 3. Tingkat III Keropeng yang terdiri dari jaringan nekrosis dilepaskan sampai terbentuk tukak (ulkus) pada bercak tadi. Tukak tersebut lonjong memanjang menurut poros usus. Tepi tukak jelas dan menebal, ada yang dangkal, ada yang dalam sampai dasarnya menembus sub serosa bahkan sampai ke lapisan otot sehingga terjadi perforasi yang menyebabkan peritonitis dan syok. 4. Tingkat IV Disebut tingkat resolusi (pembersihan atau penyembuhan) jika tidak ada perforasi. Selain menyerang usus penyakit ini juga menyerang bagian lain seperti : a. Limfa sebagai akibat proliferasi susunan retikuloendotel dan hiperplasi, sel pulpa merah akan membesar ( splenomegali ) hati juga membesar ( hepatomegali ). b. Kandung empedu terserang karena kuman hidup dan masuk ke dalam kandung empedu sehingga menyebabkan kolesistitis. c. Pada ginjal menyebabkan degenerasi bengkak keruh, sehingga sel tubulus mengandung kuman, tubulus rusak dan glomerulus filtrasinya terhambat.
d. Toxemia akan terjadi dan mengakibatkan perubahan pada otot seperti degenerasi hyalin pada dinding otot perut, diafragma dan otot betis.
D. Tanda dan Gejala 1. Demam Gejala timbul selama masa inkubasi sekitar dua minggu. Pada minggu pertama suhu berangsur naik dan febris bersifat remitten atau panas hanya pada waktu sore dan malam hari. Gejala panas tidak akan turun dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, kadang-kadang disertai dengan epistaksis. 2. Tanda dan Gejala pada sistem Gastro Intestinal a. Bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor dan berselaput putih, hyperemi. b. Perut kembung, nyeri tekan c. Limfa membesar, lunak dan nyeri pada saat penekanan d. Pertama kali pasien mengalami diare, kemudian obstipasi e. Tanda-tanda dehidrasi f. Tanda-tanda perdarahan dan tanda-tanda shock 3. Leukopeni 4. Tingkat kesadaran Dapat terjadi penurunan kesadaran dari ringan sampai berat, pada umumnya apatis sampai samnolen bahkan dapat terjadi koma. Penurunan kesadaran ini disebabkan karena panas tubuh yang tinggi. 5. Bradikardi Peningkatan suhu tidak disertai dengan peningkatan nadi dimana seharusnya setiap kenaikan suhu 1oC diikuti dengan kenaikan nadi 10 – 15 x/menit, sedangkan pada penderita ini kenaikan nadi lebih rendah dari kenaikan suhu.
E. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan laboratorium 1. Darah tepi Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif pada permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini sederhana
dan mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana, tetapi hasilnya berguna untuk membantu untuk menentukan penyakitnya dengan cepat (adakalanya dilakukan pemeriksaan sumsum tulang tetapi sangat jarang sekali) bila hal itu dilakukan daerah yang akan dipungsi, dapat pada tibia, perlu dilakukan pembersihan ekstra kemudian dikompres dengan alkohol 70%. 2. Darah untuk kultur (biakan empedu) dan widal. Biakan empedu untuk menemukan Salmonella thypii dan pemeriksaan widal merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan diagnosis typhoid fever secara pasti. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. (diperlukan darah sebanyak 5 cc untuk kultur atau widal).
a. Biakan Empedu Biakan empedu basil Salmonella thypii dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses, dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu, pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan untuk pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses dua kali berturut-turut digunakan untuk menentukan apakah pasien telah benar sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman (karier). b. Pemeriksaan Widal Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum pasien thypoid dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhii. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan pasien. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau bila pasien telah lama sembuh. Pemeriksaan widal tidak selalu positif walaupun pasien sungguh-sungguh
menderita typhoid fever (disebut negatif semu). Sebaliknya titer dapat positif semu karena keadaan sebagai berikut : 1) Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil coli patogen pada usus. 2) Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat. 3) Terdapatnya infeksi silang dengan rickettsia (weil felix). 4) Akibat imunisasi secara alamiah, karena masuknya basil peroral pada keadaan infeksi subklinis.
Perlu diketahui bahwa ada jenis dari demam typhoid yang mempunyai gejala hampir sama, hanya dengan demam biasanya tidak terlalu tinggi (lebih ringan) ialah terdapat pada paratifoid A, B, C, untuk menemukan kuman penyebab perlu pemeriksaan darah seperti pasien typhoid biasa.
F. Penatalaksanaan Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : 1. Pemberian antibiotik; untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan: a. Kloramfenikol; dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg, diberikan selama demam dilanjutkan sampai dua hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 x 250 mg selama lima hari kemudian. Penelitian terakhir (Nelwan, dkk. di RSUP Persahabatan), penggunaan kloramfenikol masih memperlihatkan hasil penurunan suhu empat hari, sama seperti obat-obat terbaru dari jenis kuinolon. b. Ampisilin/Amoksilin; dosis 50 – 150 mg/kg BB, diberikan selama dua minggu. c. Kotrimoksazol; 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol-80 mg trimetoprim, diberikan selama dua minggu. d. Sefalosporin generasi II dan III. Di subbagian penyakit tropik dan infeksi FKUIRSCM, pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan baik. Demam umumnya mereda pada hari ketiga atau menjelang hari keempat.
Regimen yang dipakai adalah : a. Seftriakson 4 gr/hari selama tiga hari b. Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari c. Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama enam hari d. Ofloksasin 600 mg/hari selama tujuh hari e. Pefloksasin 400 mg/hari selama tujuh hari f. Fleroksasin 400 mg/hari selama tujuh hari. 2. Istirahat dan perawatan profesional; bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal tujuh hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Duduk dilakukan pada hari kedua bebas panas, berdiri dilakukan pada hari ketujuh bebas panas, berjalan dilakukan pada hari kesepuluh bebas panas. Mobilisasi dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan diri, kebersihan tempat tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadangkadang terjadi obstipasi dan retensi urin. 3. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif) Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi biasa sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan optimal.
Pada kasus perforasi intestinal dan rejatan septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada rejatan septik. Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan di atas.
G.
Pencegahan Usaha pencegahan typhoid fever dibagi dalam : a. Usaha terhadap lingkungan hidup 1)
Penyediaan air minum atau bersih
2)
Pembuangan kotoran manusia yang higienis pada tempatnya
3)
Pemberantasan lalat dan senantiasa menutup makanan
4)
Pengawasan terhadap rumah makan dan penjual makanan
b. Usaha terhadap manusia 1)
Pendidikan kesehatan terhadap masyarakat
2)
Menemukan dan atau mengawasi carier typhoid
3)
Imunisasi
H. Komplikasi Komplikasi demam typhoid dibagi dalam: a. Komplikasi Intestinal 1. Perdarahan usus: perdarahan sedikit ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan bensidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda rejatan. 2) Perforasi usus, timbul biasanya pada minggu kedua atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritonium yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak. 3) Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defence musculair) dan nyeri pada tekanan. 4) Ileus paralitik. b. Komplikasi ekstra intestinal 1) Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (rejatan, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2) Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata, dan sindrom uremia hemolitik. 3) Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis. 4) Komplikasi hepar dan kandung kemih; hepatitis dan kolelitiasis. 5) Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis. 6) Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis. 7) Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, miningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis, dan sindrom katatonia.
I. Prognosis Umumnya prognosis demam pada anak baik asal penderita cepat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti : a. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinue. b. Kesadaran turun sekali seperti delirium, sopor atau koma. c. Terdapat komplikasi yang berat seperti dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkhopneumonia dan lain-lain. d. Keadaan gizi penderita anak (malnutrisi energi protein)
Relaps (kambuh) Relaps adalah berulangnya gejala typhoid, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan kembali normal. Terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organorgan yang tidak dapat dimusnahkan, baik oleh obat maupun zat anti. Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibrosis.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPRAWATAN
Proses keperawatan adalah masalah yang dinamis dalam usaha memperbaiki atau memelihara pasien ke taraf yang optimal melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk mengenal dan membantu memenuhi kebutuhan pasien. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yaitu : a. Pengkajian b. Diagnosa keperawatan c. Perencanaan d. Evaluasi
1. Pengkajian Aktivitas/ Istirahat Gejala : Tanda :
Keletihan, kelelahan, malaise Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari – hari karena keletihan, peningkatan suhu secara akut.
Gejala : Tanda :
~ Dalam keadaan normal nadi dimana seharusnya setiap kenaikan suhu 1oC diikuti dengan kenaikan nadi 10 – 15 x/menit, sedangkan pada penderita ini kenaikan nadi lebih rendah dari kenaikan suhu.
Gejala :
Peningkatan faktor resiko, perubahan kegiatan/aktivitas Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
Sirkulasi
Integritas Ego
Tanda :
pola
Makanan/Cairan Gejala : Tanda :
Mual/Muntah, anoreksia, penurunan berat badan. Turgor kulit buruk, sering berkeringat, penurunan berat badan, penurunan masa otot/ lemak sub kutan.
Hygiene Gejala :
Tanda :
Penurunan kemampuan melakukan aktivitas/ peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari – hari. Kebersihan buruk, badan berbau.
Gejala : Tanda :
Adanya infeksi berulang ~
Gejala : Tanda :
Hubungan ketergantungan Kelalaian huungan dengan orang lain/ anggota keluarga.
Keamanan
Interaksi Sosial
2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus typhoid fever, yang diambil beberapa literatur yaitu Carpenito (1999; hal 192) dan Doenges (1999; hal 471), adalah sebagai berikut: a. Peningkatan suhu tubuh b/d rangsangan endotoksin terhadap sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit terhadap jaringan yang meradang, perubahan pada regulasi temperatur, peningkatan tingkat metabolisme, penyakit. b. Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen) b/d proses inflamasi usus; iritasi, perforasi. c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) b/d intake inadekuat; disfungsi usus, abnormalitas metabolik, pembatasan makanan secara medik. d. Gangguan keseimbangan volume cairan b/d output yang berlebihan; gangguan absorpsi cairan misalnya kehilangan fungsi kolon, status hipermetabolik misalnya inflamasi dan proses penyembuhan. e. Intoleran aktifitas b/d kelemahan fisik. f. Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis) b/d invasi kuman menembus lumen usus. g. Kurang pengetahuan keluarga (kebutuhan belajar) mengenai penyakit, prognosis, pengobatan, dan perawatan b/d kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif.
3.
Perencanaan a.
Dx I : Peningkatan suhu tubuh b/d rangsangan endotoksin terhadap sintesa dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang, perubahan pada regulasi temperatur. Tujuan: Suhu tubuh kembali normal. Kriteria hasil : « Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36 – 37,5oC), mukosa bibir lembab, turgor kulit baik. « Bebas dari kedinginan. « Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.
Rencana Tindakan: 1. Kaji tingkat kenaikan suhu tubuh dan perubahan yang menyertai. 2.
Beri kompres hangat pada daerah dahi, aksila dan lipat paha
3.
Monitor tanda vital setiap satu jam.
4.
Anjurkan orang tua untuk memberi banyak minum.
5.
Anjurkan orang tua untuk memakaikan pakaian yang tipis dan menyerap keringat
serta membatasi jumlah selimut. 6.
b.
Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian antipiretik contoh paracetamol.
Dx II : Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen) berhubungan dengan proses
inflamasi usus; perforasi. Tujuan: Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. Kriteria hasil: « Tampak rileks dan mampu beristirahat dengan nyaman. « Mempraktekkan tindakan pereda nyeri non invasif untuk mengatasi nyeri. Rencana Tindakan: 1.
Kaji lokasi, intensitas ( skala 0-10 ), dan karakteristik nyeri (menetap, hilang timbul,
kolik) 2.
Bantu klien untuk mengatur posisi senyaman mungkin.
3.
Ajarkan dan bantu klien dalam melakukan tehnik relaksasi.
4.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik bila nyeri berlanjut.
c.
Dx III : Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh)
berhubungan dengan intake inadekuat; disfungsi usus, abnormalitas metabolit, pembatasan makanan secara medik. Tujuan: Mempertahankan berat badan/menunjukkan peningkatan berat badan bertahap sesuai tujuan. Kriteria hasil: « Nilai laboratorium normal « Bebas tanda mal nutrisi
« Merencanakan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi/membatasi gangguan gastro intestinal. Rencana Tindakan : 1.
Kaji pola kebutuhan nutrisi klien
2.
Timbang berat badan setiap hari.
3.
Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan berbau.
4.
Berikan makanan selingan yang tersedia selama 24 jam.
5.
Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.
6.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian nutrisi rendah serat dan cukup protein,
lemak, karbohidrat dan zat gizi lainnya.
d.
Dx IV : Gangguan keseimbangan volume cairan berhubungan dengan output yang
berlebihan; gangguan absorpsi cairan misalnya kehilangan fungsi kolon, status hipermetabolik misalnya inflamasi, proses penyembuhan. Tujuan: Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan Kriteria hasil: « Haluaran urin adekuat dengan berat jenis normal « tanda vital stabil, « membran mukosa lembab turgor kulit baik, « dan pengisian kapiler cepat. Rencana Tindakan : 1.
Kaji tingkat dehidrasi yang dialami oleh klien.
2.
Awasi jumlah dan tipe masukan cairan, ukur haluaran urine dengan akurat.
3.
Anjurkan orang tua untuk memberi minum banyak (6-8 gelas/ 2000-2500 cc setiap hari).
4.
Jelaskan pada orang tua pentingnya cairan bagi tubuh, terutama pada saat demam.
5.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik dan cairan perparenteral
e.
Dx V : Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan: Mendemonstrasikan peningkatan aktifitas yang dapat ditoleransi.
Kriteria hasil: « Mengungkapkan pengertian tentang aktifitas yang diperbolehkan dan dibatasi « Mengungkapkan pengertian tentang perlunya menyeimbangkan akftifitas dan waktu istirahat « Mengungkapkan berkurangnya kelemahan dan dapat beristirahat cukup dan hampir mampu melakukan kembali aktifitas sehari-hari yang memungkinkan. Rencana Tindakan: 1.
Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktifitas.
2.
Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan melakukan mobilisasi secara
aktif. 3.
Jelaskan kepada orang tua tujuan dari immobilisasi selama perawatan anaknya.
4.
Stimulasi anak dengan therapi bermain, dengan menggunakan permainan yang pasif
selama bedrest.
f.
Dx.VI : Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis) berhubungan dengan invasi kuman
menembus lumen usus. Tujuan: Tidak terjadi komplikasi dan mencapai penyembuhan tepat pada waktunya. Kriteria hasil: « Bebas dari demam, nyeri. « Tanda vital dalam batas normal « Nilai laboratorium normal Rencana Tindakan : 1.
Kaji faktor yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi.
2.
Ubah posisi berbaring pasien setiap satu jam.
3.
Berikan penjelasan kepada keluarga mengenai faktor yang dapat menjadi komplikasi.
g.
Dx.VII : Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang penyakit, prognosis,
pengobatan dan perawatan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif. Tujuan: Menyatakan pemahaman proses penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan. Kriteria hasil:
« Mengungkapkan informasi akurat tentang diagnosa dan aturan pengobatan pada tingkatan kesiapan diri sendiri « Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan « Melakukan perubahan gaya hidup yang perlu dan berpartisipasi dalam aturan pengobatan « Mengidentifikasi atau menggunakan sumber yang tersedia dengan tepat. Rencana Tindakan : 1.
Kaji tingkat pengetahuan keluarga, termasuk berapa banyak informasi diperlukan.
2.
Beri informasi tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan. Ulangi penjelasan
bila diperlukan. 3.
Beri kesempatan kepada klien dan keluarga untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas.
4.
Beri feedback/umpan balik terhadap pertanyaan yang diajukan oleh keluarga atau klien.
4.
Evaluasi Evaluasi yang diharapkan dari intervensi yang dilakukan :
1.
Suhu tubuh anak menunjukkan batas normal 36 0C – 37,5 0C
2.
Tidak terjadi komplikasi apapun pada anak
3.
Anak dapat beraktivitas dengan toleransi yang baik
4.
Keluarga mengerti tentang kondisi anak, tentang penyakit, pengobatan, pencegahan,
pengobatan serta prognosis penyakit 5.
Intake dan outpu cairan terpenuhi dengan baik
6.
intake dan output diit balance sesuai dengan kondisi anak
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2.Jakarta : EGC. Doenges, Marylin E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC. Mansjoer Arif, et. Al., 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 2. Jakarta: Media Aesculapius. Mansjoer Arif, et. Al., 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. Nursalam. 2001. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika. Rampengan, T. H. 1997. Penyakit Tropik Pada Anak. Jakarta: EGC. Suradi, Rita Juliani, dkk. 2001. Asuhan Keperawtan pada Anak. Edisi 1. Jakarta: PT. Fajar Inter Pratama.