Askep Pa Jae.docx

  • Uploaded by: arfan
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Askep Pa Jae.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,521
  • Pages: 31
ASKEP KEGAWATDARURATAN PADA GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN KOMPLIKASI AKUT DIABETES MELITUS DAN KRISIS TIROID Kelompok 4

D I S U S U N Oleh: KELOMPOK IV INDAH DWI YANTI EVI MURIAWATI NURHAPIPAH ASEP WP VICTORINUS INDRA WAHYUDI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) “YATSI” Jl. Aria Santika No.40A, Margasari, Karawaci, Kota TanGerang

BAB I TINJAUAN TEORI A. Pengertian Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit kekurangan atau resisten insulin yang kronis, diabetes mellitus ditandai dengan gangguan metabolism karbohidrat, protein dan lemak. Peranan insulin di tubuh adalah untuk mengangkut glukosa ke dalam sel untuk bahan bakar atau simpanan glikogen. Insulin juga merangsang sintesis protein dan penyimpanan asam lemak bebas dalam jaringan adiposa. Kekurangan insulin menghambat kemampuan tubuh untuk mengakses nutrient yang penting untuk bahan dasar dan simpanan. Karena insiden diabetes selalu meningkat seiring pertambahan usia, profesional perawatan kesehatan yang merawat lansia harus memiliki pemahaman yang lengkap mengenai penyakit umum ini. Pendapat umum menyatakan bahwa pada usia lanjut kita hanya berhadapan dengan diabetes tipe 2. Memang sebagian besar benar demikian, tetapi kini ada tendensi lain karena DM tipe 1 di usia lanjut bertambah, ditambah pula dengan insulin requiring cases, LADA. Diabetes dapat terjadi dalam bentuk utama: tipe 1, diabetes mellitus yang bergantung pada insulin, dan yang lebih prevalen adalah tipe 2 yang merupakan diabetes mellitus yang tidak bergantung pada insulin. Pada lansia diabetes tipe 2 terhitung 90% kasus di Indonesia. The Congressionally-Established Diabetes Research Working Group (1999) melaporkan bahwa walaupun kematian karena penyakit-penyakit kanker, stroke, dan kardiovaskular cenderung berkurang sejak 1988, angka kematian karena diabetes naik sekitar 30 persen. Usia harapan hidup orang-orang yang menderita diabetes rata-rata 15 tahun lebih pendek dari. Prevalensi diabetes mellitus di dunia semakin meningkat sehingga dianggap sebagai wabah, dimana pada tahun 2000 diperkirakan jumlah penduduk dunia yang menderita DM sebanyak 150 juta jiwa dan pada tahun 2020 diperkirakan meningkat 300 juta jiwa. Angka prevalensi yang sangat meningkat ini diperkirakan terjadi di Negara yang sedang berkembang seperti Cina dan India termasuk Indonesia. Sebaliknya di Negara yang maju, prevalensi DM tidak begitu meningkat. Peningkatan yang luar biasa di Negara sedang berkembang di duga akibat perubahan pola hidup (Sanusi Harsinen, 2004).

1. TUJUAN

Adapun tujuan dari pembuatan makalah adalah : 1. Mengetahui angka kejadian DM tipe 2 di Indonesia 2. Memahami system endokrin dan proses menua system endokrin 3. Memahami penyebab, tanda dan gejala serta dampak DM tipe 2 4. Mampu memberikan asuhan keperawatan pada lansia yang terkena DM tipe 2 5. Mampu memberikan penyuluhan untuk mengurangi angka kejadian DM tipe 2 1. Sistem Endokrin Kelenjar endokrin mencakup kelenjar hipofisis (pituitari), tiroid, paran tetiroid, adrenal, pulau langerhans, ovarium dan testis. Semua kelenjar ini meng ekskresikan produknya langsung ke dalam darah, berbeda dengan kelenjar eksokrin misalnya kelenjar keringat yang mensekresikan produknya lewat saluran permukaan epithelia. Hipotalamus berfungsi sebagai penghubung antara system saraf dan system endokrin.

Gambar 1. Kelenjar endokrin utama pada manusia Zat-zat kimia yang disekresikan oleh kelenjar endokrin disebut hormone. Hormone membantu mengatur fungsi organ agar bekerja secara terkoordinasi dengan system saraf. System regulasi ganda ini, dimana kerja cepat system saraf diimbangi oleh kerja hormone yang lebih lambat, memungkinkan pengendalian berbagai fungsi tubuh secara cepat dalam bereaksi tehadap perubahan di dalam dan luar tubuh. Organ anatomis tertentu adalah tempat dimana kelenjar endokrin biasa ditemukan. Kelenjar endokrin tersusun dari sel-sel sekretorik yang terbagi dalam kelompok-kelompok kecil (asinus). Meskipun tidak terdapat duktus, kelenjar endokrin memiliki suplai darah yang kaya sehingga zat-zat kimia yang diproduksinya dapat langsung memasuki aliran darah dengan cepat. 2. Proses Menua pada sistem endokrin Hampir semua proses produksi dan pengeluaran hormon dipengaruhi oleh enzim, dan enzim ini dipengaruhi oleh proses menua. Berdasarkan klirens hormone yang melambat (ingatlah bahwa semua proses sintesis, perubahan dari non-aktif menjadi aktif, transfor bahan, masuknya hormone lewat reseptor membrane; semuanya ini membutuhkan enzim

yang terganggu pada usia lanjut) dapat ditemukan kadar hormone naik meskipun tidak diikuti gejala ataupun tanda klinik. Sama dengan sel lain, kelenjar endokrin dapatmengalami kerusakan yang bersifat age related cell loss, fibrosis, infiltrasi limfosit, dan sebaginya. Perubahan karena usia pada reseptor hormon, kerusakan permeabilitassel dan sebagainya, dapat menyebabkan perubahan respon inti sel terhadap kompleks hormone-reseptor. Semua jenis penyakit hormonal dapat terjadi pada usia lanjut namun bentuk disfungsi ini tidak se khas seperti pada orang muda atau dewasa. Dan justru hal inilah yang harus kita kenali. Pada manusia, defisiensi GH(growth hormon) pada proses menua akan ditandai dengan penurunan sintesis protein, penurunan lean body massdan bone massdan kenaika presentasi lemak tubuh. Sekresi GH, kadar IGF 1 dan IGFBP 3 menurun dengan usia. Bagaimana hubungannya secara pasti belum diketahui. Pemberian GH pada usia lanjut dengan IGF 1 rendah akan meninggikan kadar IGF 1, retensi nitrogen, lean body mass, mengurangi lemak tubuh tetapi tidak mempengaruhi densitas tulang. Untuk waktu sekarang pemberian GH jangka pendek hanya dianjurkan pada usia lanjutyang menderita penyakit katabolic, salah makan, kebakaran, cachexia dan sebagainya. 3. Diabetes Melitus Tipe 2 Seiring pertambahan usia, sel-sel tubuh menjadi lebih resisten terhadap insulin, yang mengurangi kemampuan lansia untuk memetabolisme glukosa. Selain itu, pelepasan insulin dari sel beta pancreas berkurang dan melambat. Hasil dari kombinasi proses ini adalah hiperglikemia. Pada pasien lansia, konsentrasi glukosa yang mendadak dapat meningkatkan dan lebih memperpanjang hiperglikemia. Diabetes terjadi hampir satu dari lima orang yang berusia 65 tahun atau lebih. Karena gejalanya samar, para peneliti percaya lebih banyak pasien lansia yang menderita diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terdiagnosis. Selain itu, lebihari 40% individu pada usia ini memiliki beberapa bentuk intoleransi glukosa. Diabetes tipe 2 pada lansia disebabkan oleh sekresi insulin yang tidak normal, resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan target, dan kegagalan glukoneogenesis hepatik. Penyebab utama hiperglikemia pada lansia adalah peningkatan resistensi insulin pada jaringan perifer. Meskipun jumlah reseptor insulin sebenarnya sedikit menurun seiring pertambahan usia, resistensi dipercaya terjadi setelah insulin berikatan dengan reseptor tersebut. Selain itu, selsel beta pada pulau Langerhans kurang sensitif terhadap kadar glukosa yang tinggi, yang memperlambat produksi insulin. Beberapa lansia juga tidak mampu untuk menghambat produksi glukosa di hati.

4. Patofisiologi DM tipe 2 Pada diabetes tipe II (Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin – NIDDM) terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukagon dalam darah harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes mellitus tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes mellitus tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada diabetes mellitus tipe II. Meskipun demikian, diabetes mellitus tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK). Diabetes mellitus tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes mellitus tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuhsembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi). Untuk sebagian besar pasien ( 75%), penyakit diabetes mellitus tipe II yang dideritanya ditemukan secara tidak sengaja (misalnya pada saat pasien menjalani pemeriksaan laboratorium yang rutin). Salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit diabetes selama bertahun-tahun adalah bahwa komplikasi diabetes jangka panjang (misalnya kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis ditegakkan. 5. Komplikasi dan dampak DM tipe 2 Hipoglikemia adalah komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang diobati dengan insulin atau obat-obatan antidabetik oral. Hal ini mungkin disebabkan oleh

pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga yang berlebihan. Lansia lebih sensitif terhadap kadar glukosa darah yang rendah dibandingkan individu dewasa yang lebih muda. Gejala hipoglikemia lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat dan dapat tidak disadari hingga sampai pada kondisi mengancam jiwa. Ada dua komplikasi metabolic lain pada diabetes: ketoasidosis diabetic, yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan diabetes tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang terkena diabetes tipe 2 yang mengalami stress fisik dan emosional yang ekstrim. Sindroma nonketonik hiperglikemik hiperosmolar (HHNS), juga dikenal sebagai koma hiperosmolar yaitu komplikasi metabolic akut yang paling umum terlihat pada pasien yang menderita diabetes. Sebagaisuatu kedaruratan medis, HHNS ditandai dengan hiperglikemia berat (kadar glukosa di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas ( diatas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat dieresis osmotic. Tanda dan gejala mencakup kejang dan hemiparesis (yang sering kali keliru diagnosis menjadi cedera serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya koma atau hampir koma). Individu yang menderita diabetes melitus juga beresiko lebih besar mengalami berbagai penyakit kronis yang terjadi hampir pada semua sitem tubuh. Pada populasi lansia, komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler meningkat karena efek penuaan kardiovaskuler yang sudah ada. Komplikasi kronis yang paling umum mencakup neuropati perifer dan otonom, penyakit vaskuler perifer, penyakit kardiovaskuler dan dermopati diabetic. Neuropati perifer biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau nyeri dan kemungkina lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam berbagagai cara,

yang

mencakup

gastroparesis

(keterlambatan

pengosongan

lambung

yang

menyebabkanperasaan mual dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi dan hipotensi ortostatik. Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insdien hipertensi 10 kali lipat dari yang ditemukan pada lansia yang tida menderita diabetes. Hasil ini lebuh meningkatkan resiko serangan iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular, penyakit arteri koroner, dan MCI, aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan neuropati orogresif, kerusakan kognitif, serta depresi system saraf pusat. Hiperglikemia merusak resistensi lansia tehadap infeksi karena kandungan glukosa epidermis dan urin mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini menyebabkan lansia rentan terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis. 6. Tanda dan Gejala

Adapun tanda dan gejala dari pasien diabetes mellitus yaitu: - Penurunan berat badan dan kelelahan (tanda dan gejala klasik pada pasien lansia) - Kehilangan selera makan - Inkotinesia - Penurunan penglihatan - Konfusi atau derajat delirium - Konstipasi atau kembung pada abdomen (akibat hipotonusitas lambung) - Retinopati atau pembentukan katarak - Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki, akibat kerusakan sirkulasi perifer; kemungkinan kondisi kulit kronis, seperti selulitis atau luka yang tidak kunjung -

sembuh; turgor kulit buruk dan membran mukosa kering akibat dehidrasi. Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflex dan kemungkinan nyeri perifer

-

atau kebas Hipotensi ortostatik

NB: lansia mungkin tidak mengalami polidipsi (tanda dibetes pada dewasa muda) karena fungsi mekanisme haus lansia kurang efektif.

7. Pemeriksaan Diagnostik  Kadar glukosa serum puasa dan pemeriksaan toleransi glukosa memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia pemeriksaan glukosa serum posprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih membantu menegakka diagnosis karena lansia mungkin memiliki kadar glukosa puasa hampir normal, tetapi mengalami hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat setelah satu dari ketiga kriteria berikut ini terpenuhi: 1. Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi 2. Konsentrasi glukosa darah puasa 126mg/dl atau lebih tinggi 3. Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau lebih tinggi.  Pemeriksaan

hemoglobin

terglikosilasi

(hemoglobin A atau

HbA 1C),

yang

menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam tiga bulan sebelumnya, biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapai antidiabetik. Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan pada lansia dengan toleransi glukosa normal.  Fruktosamina serum, yang menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2-3 minggu sebelumnya, merupakan indikator yang lebih baik pada lansia karena kurang menimbulkan kesalahan. 8. Penanganan

Pasien yang menderita diabetes tipe 1 membutuhkan penggantian insulin dan pemantauan kadar glukosa serum dan diet serta regimen latihan yang ketat. Pasien yang menderita diabetes tipe 2 dapat memerlukan obat antidiabetik oral untuk merangsang produksi insulin endogen, meningkatkan sensitifitas insulin di tingkat seluler, menekan glukoneogenis hepatik, dan memperlambat absorpsi karbohidrat di GI. Untuk beberapa pasien, kadar glukosa darah dapat dikontrol dengan diet dan perubahan gaya hidup saja. Terdapat berbagai golongan obat untuk diabetes tipe 2 yang dapat membantu. Obatobatan ini mencakup generasi kedua sulfonil urea (seperti: gliburida dan glipizida), inhibitor alfa glikosida (seperti karbosa dan maglitol), biguanida (seperti metformin), glitazon (seperti rosiglitazon) dan meglinitida (repaglinida). Ahli gizi dapat menyusun diet khusus untuk memenuhi kebutuhan setiap pasien. Diet tersebut hrus memenuhi panduan nutrisi, mengontrol kadar glukosa darah, dan mempertahankan berat badan yang sesuai. Olahraga merupakan sarana yang penting dalam menangani diabetes tipe 2. Aktifitas fisik meningkatkan sensitifitas insulin, memperbaiki toleransi glukosa, dan meningkatkan pengendalian berat badan. Penelitian juga menunjukkan bahwa olahraga sedang dapat memperlambat atau mencegah awitan diabetes tipe 2 pada kelompok resiko tinggi. Ketika anda merencanakan program olahraga untuk lansia, pastikan tingkat latihan fisik sesuai dengan tingkat kesehatannya. Olehraga yang dipilih untuk lansia mencakup berjalan, berenang, dan bersepeda.

B. Pengertian Krisis tiroid adalah bentuk lanjut dari hipertiroidisme yang sering berhubungan dengan stres fisiologi atau psikologi. Krisis tiroid adalah keadaan krisis terburuk dari status tirotoksik. Penurunan kondisi yang sangat cepat dan kematian dapat terjadi jika tidak segera tertangani (Hudak & Gallo, 1996). Krisis tiroid merupakan eksaserbasi keadaan hipertiroidisme yang mengancam jiwa yang diakibatkan oleh dekompensasi dari satu atau lebih sistem organ (Bakta & Suastika, 1999). C. Etiologi Keadaan yang dapat menyebabkan krisis tiroid adalah:

1. Operasi dan urut/pijat pada kelenjar tiroid atau gondok dan operasi pada bagian tubuh lainnya pada penderita hipertiroid yang belum terkontrol hormon tiroidnya 2. Stop obat anti tiroid pada pemakaian obat antitiroid 3. Pemakaian kontras iodium seperti pada pemeriksaan rontgen 4. Infeksi 5. Stroke 6. Trauma. Pada kasus trauma, dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat memicu terjadinya krisis tiroid, meskipun tidak ada riwayat hipertiroidisme sebelumnya. 7. Penyakit Grave, Toxic multinodular, dan “Solitary toxic adenoma” 8. Tiroiditis 9. Penyakit troboblastik 10. Ambilan hormon tiroid secara berlebihan 11. Pemakaian yodium yang berlebihan 12. Kanker pituitari 13. Obat-obatan seperti Amiodarone Ada tiga mekanisme fisiologis yang diketahui dapat menyebabkan krisis tiroid: 1. Pelepasan seketika G3 organik kelenjar tiroid hormon tiroid dalam jumlah besar

G3 Fungsi Hipotalamus /hipofisis

2. Hiperaktivitas adrenergik 3. Lipolisis dan pembentukan asam lemak yang berlebihan (Hudak & Gallo, 1996). Produksi TSH meningkat Factor pencetus krisis hingga kini belum jelas namun diduga dapat berupa free- hormon hormone meningkat, naiknya free-hormonProduksi mendadak, tiroid meningkat efek T3 paska transkripsi, meningkatnya

kepekaan sel sasaran dan sebagainya. Dan factor resikonya dapat berupa surgical crisis (persiapan operasi yang kurang baik, belum eutiroid), medical crisis (stress apapun, fisik maupun psikologis, infeksi dan sebagainya) (Sudoyo, dkk, 2007). Metabolisme tubuh meningkat

D. Patofisiologi Produksi kalor meningkat

Kebutuhan cairan meningkat

Peningkatan suhu tubuh

Defisit volume cairan

Peningkatan aktv SSP

Perub konduksi listrik jantung

Beban kerja jantung naik Aritmia, takikardi

penurunan curah jantung

Peningkatan rangsangan SSP

Peningkatan aktivitas SSP

Disfungsi SSP

Agitasi, kejang, koma

Proses glikogenesis meningkat

Aktifitas GI meningkat

Proses pembakaran lemak meningkat

Nafsu makan meningkat

Penurunan berat badan

Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior. Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,’5′-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.

Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis. Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis. Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin. E. Manifestasi klinis Menurut Smeltzer dan Bare (2002), tanda-tanda pada orang dengan krisis tiroid berupa:

1. Takikardia (lebih dari 130x/menit) 2. Suhu tubuh lebih dari 37,70C 3. Gejala hipertiroidisme yang berlebihan (Diaphoresis, Kelemahan, Eksoftalmus, Amenore) 4. Penurunan berat badan, diare, nyeri abdomen (system gastrointestinal) 5. Psikosis, somnolen, koma (neurologi) 6. Edema, nyeri dada, dispnea, palpitasi (kardiovaskular). Menurut Hudak dan Gallo (1996), manifestasi klinis hipertiroidisme adalah berkeringat banyak, intoleransi terhadap panas, gugup, tremor, palpitasi, hiperkinesis, dan peningkatan bising usus. Kondisi umum dari tanda gejala ini trutama disertai deman lebih dari 100 F, takikardi yang tidak sesuai dengan keadaan demam, dan disfungsi Sistem Saraf Pusat (SSP), merupakan tanda dari tiroid storm. Abnormalitas sistem saraf pusat termasuk agitasi, kejang, atau koma. F. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan medis Penatalaksanaan medis pada krisis tiroid mempunyai 4 tujuan yaitu menangani faktor pencetus, mengontrol pelepasan hormon tiroid yang berlebihan, menghambat pelepasan hormon tiroid, dan melawan efek perifer hormon tiroid (Hudak & Gallo, 1996). Penatalaksanaan medis krisis tiroid meliputi: a. Koreksi hipertiroidisme 1) Menghambat sintesis hormon tiroid Obat yang dipilih adalah propiltiourasil (PTU)atau metimazol. PTU lebih banyak dipilih karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer. PTU diberikan lewat selang NGT dengan dosis awal 600-1000 mg kemudian diikuti 200-250 mg tiap 4 jam. Metimazol diberikan dengan dosis 20 mg tiap 4 jam, bisa diberikan dengan atau tanpa dosis awal 60-100mg. 2) Menghambat sekresi hormon yang telah terbentuk Obat pilihan adalah larutan kalium iodida pekat (SSKI) dengan dosis 5 tetes tiap 6 jam atau larutan lugol 30 tetes perhari dengan dosis terbagi 4. 3) Menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer Obat yang digunakan adalah PTU, ipodate, propanolol, dan kortikosteroid.

4) Menurunkan kadar hormon secara langsung Dengan plasmafaresis, tukar plasma, dialisis peritoneal, transfusi tukar, dan charcoal plasma perfusion. Hal ini dilakukan bila dengan pengobatan konvensional tidak berhasil. 5) Terapi definitif Yodium radioaktif dan pembedahan (tiroidektomi subtotal atau total). b. Menormalkan dekompensasi homeostasis 1) Terapi suportif a) Dehidrasi dan keseimbangan elektrolit segera diobati dengan cairan intravena b) Glukosa untuk kalori dan cadangan glikogen c) Multivitamin, terutama vitamin B d) Obat aritmia, gagal jantung kongstif e) Lakukan pemantauan invasif bila diperlukan f) Obat hipertermia (asetaminofen, aspirin tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan kadar T3 dan T4) g) Glukokortikoid h) Sedasi jika perlu 2) Obat antiadrenergik Yang tergolong obat ini adalah beta bloker, reserpin, dan guatidin. Reserpin dan guatidin kini praktis tidak dipakai lagi, diganti dengan Beta bloker. Beta bloker yang paling banyak digunakan adalah propanolol. Penggunaan propanolol ini tidak ditujukan untuk mengobati hipertiroid, tetapi mengatasi gejala yang terjadi dengan tujuan memulihkan fungsi jantung dengan cara menurunkan gejala yang dimediasi katekolamin. Tujuan dari terapi adalah untuk menurunkan konsumsi oksigen miokardium, penurunan frekuensi jantung, dan meningkatkan curah jantung. c. Pengobatan faktor pencetus Obati secara agresif faktor pencetus yang diketahui, terutama mencari fokus infeksi, misalnya dilakukan kultur darah, urine, dan sputum, juga foto dada (Bakta & Suastika, 1999). 2. Penatalaksanaan keperawatan

Tujuan penatalaksanaan keperawatan mencakup, mengenali efek dari krisis yang timbul, memantau hasil klinis secara tepat, dan memberikan perawatan suportif untuk pasien dan keluarga. Intervensi keperawatan berfokus pada hipermetabolisme yang dapat menyebabkan dekompensasi sistem organ, keseimbangan cairan dan elektrolit, dan memburuknya status neurologis. Ini termasuk penurunan stimulasi eksternal yang tidak perlu, penurunan konsumsi oksigen secara keseluruhan dengan memberikan tingkat aktivitas yang sesuai, pemantauan kriteria hasil. Setelah periode krisis, intervensi diarahkan pada penyuluhan pasien dan keluarga dan pencegahan proses memburuknya penyakit (Hudak &Gallo, 1996). G. Pemeriksaan penunjang Menurut Smeltzer dan Bare(2002) terdapat beberapa jenis pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis keadaan dan lokalisasi masalah pada kelenjar tiroid. 1. Test T4 serum Test yang paling sering dilakukan adalah penentuan T4 serum dengan tekhnik radioimunoassay atau pengikatan kompetitif nilai normal berada diantara 4,5 dan 11,5 µg/dl ( 58,5 hingga 150 nmol/L) dan terjadi peningkatan pada krisis tiroid. 2. Test T3 serum Adalah test yang mengukur kandungan T3 bebas dan terikat, atau T3 total dalam serum dengan batas normal adalah 70 hingga 220 µg/dl ( 1,15 hingga 3,10 nmol/L) dan meningkat pada krisis tiroid. 3. Test T3 Ambilan Resin Merupakan pemeriksan untuk mengukur secara tidak langsung kadar TBG tidak jenuh. Tujuannnya adalah untuk menentukan jumlah hormon tiroid yang terikat dengan TBG dan jumlah tempat pengikatan yang ada. Nilai Ambilan Resin T3 normal adal 25% hingga 35% ( fraksi ambilan relatif : 0,25 hingga 0,35 ) yang menunjukan bahwa kurang lebih sepertiga dari tempat yang ada pada TBG sudah ditempati oleh hormone tiroid. Pada krisis tiroid biasanya terjadi peningkatan.

4. Test TSH ( Thyroid – Stimulating Hormone ) Pengukuran konsetrasi TSH serum sangat penting artinya dalam menegakkan diagnosis serta penatalaksanaan kelainan tiroid dan untuk membedakan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada kelenjar tiroid sendiri dengan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada hipofisis atau hipothalamus. 5. Test Thyrotropin_Releasing Hormone Merupakan cara langsung untuk memeriksa cadangan TSH dihipofisis dan akan sangat berguna apabila hasil test T3 serta T4 tidak dapat dianalisa. Test ini sudah jarang dikerjakan lagi pada saat ini, karena spesifisitas dan sensitifitasnya meningkat. 6. Tiroglobulin Tiroglobulin merupakan prekursor untuk T3 dan T4 dapat diukur kadarnya dalam serum dngan hasil yang bisa diandalkan melalui pemeriksaan radioimunnoassay. Pemeriksaan ini diperlukan untuk tindak lanjut dan penanganan penderita karsinoma tiroid, serta penyakit tiroid metastatik.

Melihat kondisi krisis tiroid merupakan suatu keadaan gawat medis maka diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh ditunda karena menunggu

konfirmasi

hasil

pemeriksaan

laboratorium

atas

tirotoksikosis.

Kecurigaan akan terjadinya krisis tiroid harus diketahui dengan jelas oleh perawat. Kecurigaan akan terjadinya krisis tiroid terdapat dalam triad 1). Menghebatnya tanda tirotoksikosis 2). Kesadaran menurun 3). Hipertermi. Apabila terdapat tiroid maka dapat meneruskan dengan menggunakan skor indeks klinis kritis tiroid dari Burch – Wartofsky. Skor menekankan 3 gejala pokok hipertermia, takikardi dan disfungsi susunan saraf.

H. Komplikasi

Meski tanpa adanya penyakit arteri koroner, krisis tiroid yang tidak diobati dapat menyebabkan angina pektoris dan infark miokardium, gagal jantung kongestif, kolaps kardiovaskuler, koma, dan kematian (Hudak&Gallo, 1996).

BAB II ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN DIABETES MELLITUS

1. Pengkajian 

Riwayat Kesehatan Keluarga Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ? Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya?

Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya. 

Aktivitas/ Istirahat : Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.



Sirkulasi Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi,perubahan tekanan darah



Integritas Ego Stress, ansietas



Eliminasi Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare



Makanan / Cairan Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.



Neurosensori Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.



Nyeri / Kenyamanan Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)



Pernapasan Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)



Keamanan Kulit kering, gatal, ulkus kulit

2. MASALAH KEPERAWATAN A. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan B. Kekurangan volume cairan C. Gangguan integritas kulit D. Resiko terjadi injury 3. DIAGNOSA

 Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.  Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.  Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer).  Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan. 4. PERENCANAAN/ INTERVENSI KEPERAWATAN  Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak. Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi Kriteria Hasil :  Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat  Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya Intervensi : a.

Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.

b.

Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.

c.

Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.

d.

Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.

e.

Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.

f.

Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.

g.

Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.

h.

Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.

i.

Kolaborasi dengan ahli diet.

 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik. Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi Kriteria Hasil :

 Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal. Intervensi : a.

Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik

b.

Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul

c.

Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas

d.

Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa

e.

Pantau masukan dan pengeluaran

f.

Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung

g.

Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.

h.

Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur

i.

Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K).

 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer). Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan. Kriteria Hasil :  Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi Intervensi : a.

Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.

b.

Kaji tanda vital

c.

Kaji adanya nyeri

d.

Lakukan perawatan luka

e.

Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.

f.

Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

 Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan. Tujuan : pasien tidak mengalami injury Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury

Intervensi : a.

Hindarkan lantai yang licin

b.

Gunakan bed yang rendah

c.

Orientasikan klien dengan ruangan

d.

Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari

e.

Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi

 Perbedaan Spesifik Asuhan Keperawatan pada Lansia di Komunitas dan di Klinis Penatalaksanaan Diabetes Melitus Untuk penatalaksanaannya perlu memperhatikan 4pilar utama yaitu: 1. Penyuluhan Penyuluhan ditujukan pada penderita DM, keluarga , pendamping / orang yang merawat penderita sehari-hari. Penyuluhan bagi pasien DM tidak hanya dilakukan oleh dokter yang menghimbau tetapi juga oleh segenap jajaran yang terkait seperti perawat penyuluh, ahli gizi, pekerjaan sosial. Penyuluhan pada lansia tidak mudah apalagi bagi penderita yang sudah terdapat gangguan pendengaran, kesukaran bicara, demensia, aktivitas fisik sudah sangat menurun. Penyuluhan dapat diberikan kepada individu atau dalam grup-grup kecil sehingga lebih efektif. Penyuluhan Pasien Pasien dengan penyakit diabetes sangat penting untuk mendapatkan penyuluhan tidak hanya dari perawat namun dari semua tenaga medis yang berhubungan dengan regimen pengobatan dan terapi, diantaranya:  Ajarkan pasien mengenai proses penyakit, dan tekankan pentingnya mengikuti rencana terapi yang sudah dprogramkan dengan baik. Sesuaikan penyuluhan perawat dengan kebutuhan dan kemampuan pasien. Diskusikan mengenai diet, pengobatan (temasuk teknik pemberian), olah raga, teknik pemantauan, hygiene, dan bagaimana 

mencegah, mengenali, serta mengatasi hipoglikemia dan hiperglikemia. Motivasi pasien untuk mengikuti semua pertemuan dengan dokter dan pemeriksaan laboratorium serta mempertahankan glukosa darah normal. Jelaskan bahwa lansia



masih dapat melakukan aktifitas yang disenangi, termasuk rekreasi. Jelaskan kepada lansia dan keluarganya, bagaimana cara pengontrolan gula darah. Beritahu mengenai alat bantu yang yang dapat membuat kepatuhan lebih mudah seperti kaca pembesar yang melekat pada spuit dan lapisan serta pegangan antilicin untuk lansia yang menderita kelemahan pada tangan.



Instruksikan perawatan kaki pasien. Beri tahu untuk mencuci kakinya setiap hari dengan hati-hati, keringkan celah diantara jemari kakinya, dan inspeksi apakah ada kapalan, emerahan, bengkak, memar dan luka lecet pada kulit. Anjurkan pasien untuk

 

melaporkan apabila ada perubahan pada kulit Anjurkan lansia untuk memakai sepatu yang nyaman dan tidak sempit. Jelaskan tanda dan gejala neuropati diabetic dan tekankan mengenai perlunya



tindakan kewaspadaan karena penurunan sensasi dapat menyebabkan cedera. Motivasi pasien untuk melakukan pemeriksaan mata setiap tahun untuk deteksi dini



neuropati diabetic. Anjurkan pasien dan keluarga cara memantau diet pasien ddan menggunakan daftar perubahan makanan. Pastikan daftar perubahan tersebut berisi makanan yang sesuai dengan budaya pasien. Tunjukkan pada mereka cara membaca label di supermarket



untuk mengidentifikasi kandungan lemak, karbohidrat, protein dan gula. Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan monitor glukosa di rumah jika diprogramkan. Kemudian minta mereka mendemonstrasikan kembali prosedur tersebut. Rencanakan agar perawat kunjungan rumah memeriksa kemampuan pasien



setelah pemulangan. Anjurkan pasien dan keluarga mengunjungi Yayasan Diabetes Indonesia untuk mendapatkan tambahan informasi.

2. Perencanaan Makan Perencanaan makan pada lansia dikaitkan dengan tujuan mencapai berat badan ideal basal metabolismo index antara 22-25 pada laki-laki dan 18-24 pada wanita termasuk diet bila komplikasi-komplikasi sudah ada, pemberian serat yang cukup 23-25 gram perhari, pemberian vitamin dan mineral yang cukup. Makanan terbagi dalam 3 porsi : makan besar pagi 20%, siang 30% dan sore 25% ditambah makan ringan total 10-15%. Komposisi makanan seimbang yang dianjurkan yaitu karbohidrat 60-70%, protein 10-15% dan lemak 20-25%. Jumlah kalori tentu disesuaikan yaitu kebutuhan basal 24-35 kalori / KGB ditambah aktivitas penderita 10-30 % dari kalori basal. 3. Latihan Jasmani Manfaat latihan jasmani pada lansia: Dapat meningkatkan sensitivitas insulin



Memperbaiki kesegaran kardiovascular



Memperkuat otot dan tulang



Mengurangi obesitas



Memperbaiki kadar gula darah



Mengurangi kebutuhan obat



Memperbaiki problem psikososial

4. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Saat ini dikenal obat OHO yaitu: 

Golongan sulphoniluria (generasi 1,2,3) misalnya Daonil,DiamicronAmaryl



Golongan biguanid, misalnya glucophage



Golongan alphaglukosidase inhibitor misalnya Glucobay



Thiazolidiones ,pioglitazone (Actos), rosiglitazone (Avandia)



Glinid repaglinid, misalnya Novonorm



Incretin/penghambat enzim DPP-4, sitagliptin (Januvia), vidagliptin (Galvus)

Obat insulin efek pendek, efek menengah dan efek panjang dan insulin campuran saat ini jarang dipakai karena adanya insiden insulin hipoglikemia yang tinggi pada lansia.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Tanda dan gejala krisis tiroid adalah bervariasi dan nonspesifik. Tanda klinik yang dapat dilihat dari peningkatan metabolism adalah demam, takikardi, tremor, delirium, stupor, coma, dan hiperpireksia. 1. B1 (Breathing) Peningkatan respirasi dapat diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen sebagai bentuk kompensasi peningkatan laju metabolisme yang ditandai dengan takipnea. 2. B2 (Blood) Peningkatan metabolisme menstimulasi produksi katekolamin yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas jantung, denyut nadi dan

cardiac output. Ini

mengakibatkan peningkatan pemakaian oksigen dan nutrisi. Peningkatan produksi panas membuat dilatasi pembuluh darah sehingga pada pasien didapatkan palpitasi, takikardia, dan peningkatan tekanan darah. Pada auskultasi jantung terdengar murmur sistolik pada area pulmonal dan aorta. Dan dapat terjadi disritmia,atrial fibrilasi,dan atrial flutter. Serta krisis tiroid dapat menyebabkan angina pectoris dan gagal jantung. 3. B3 (Brain) Peningkatan metabolisme di serebral mengakibatkan pasien menjadi iritabel, penurunan perhatian, agitasi, takut. Pasien juga dapat mengalami delirium, kejang, stupor, apatis, depresi dan bisa menyebabkan koma. 4. B4 (Bladder) Perubahan pola berkemih ( poliuria, nocturia). 5. B5 (Bowel) Peningkatan metabolisme dan degradasi lemak dapat mengakibatkan kehilangan berat badan. Krisis tiroid juga dapat meningkatkan peningkatan motilitas usus sehingga pasien dapat mengalami diare, nyeri perut, mual, dan muntah.

6. B6 (Bone) Degradasi protein dalam musculoskeletal menyebabkan kelelahan, kelemahan, dan kehilangan berat badan.

B. Diagnosis Keperawatan dan Perencanaan NO

DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1

Defisit volume cairan berhubungan

TUJUAN Setelah diberi

dengan status hipermetabolik

keperawatan, cairan tubuh

asuhan 1.

PERENCANAAN INTERVENSI RASIONAL Kaji status volume cairan (TD, 1. Takikardia, dispnea, suhu, bunyi jantung) tiap 1 jam

seimbang dengan kriteria: a.

Tanda-tanda

vital 2.

mmHg,

menjadi gejala kurang cairan. Ukur asupan dan haluaran setiap 3. Haluaran 1 sampai 4 jam. Catat dan laporkan

C) Warna kulit dan suhu

dalam batas normal

urine.

yang

rendah

mengindikasikan hipovolemi.

4.

Berikan

dapat menormalkan cairan

IV

sesuai

instruksi.

cairan

dekompensasi homeostasis 5. Nilai elektrolit abnormal dapat menjadi tanda kekurangan cairan

seimbang d.

urin

perubahan yang signifikan termasuk 4. Cairan intravena yang cukup

O

Balance

membran mukosa kering dapat

N:

22x/menit, S: 36-37,5

c.

Kaji turgor kulit dan membrane 2. Turgor kulit tidak elastis dan dan mukosa mulut setiap 8 jam

60-100x/menit, R” 16- 3.

b.

hipotensi dapat mengindikasikan kekurangan volume cairan

tetap stabil (TD 100120/60-90

atau

dan elektrolit

Turgor kulit elastis 5. Kaji semua data laboratorium, 6. Beta adrenergik dapat dan membrane mukosa laporkan nilai elektrolit abnormal menurunkan gejala yang lembab dimediasi katekolamin sehingga 6.

Berikan beta adrenergik sesuai instruksi

memulihkan fungsi jantung

2

Hipertermia berhubungan dengan

Setelah

diberi

status hipermetabolik

keperawatan,

asuhan 1.

tidak

terjadi

hipertermi dengan kriteria:

(Suhu ) Tiap 1 jam 2.

a. Suhu dalam batas normal O

36-37,5 C

Pantau Tanda Vital banyak

minum bila tidak ada kontraindikasi Beri kompres hangat

b. Tidak ada konvulsi

2. Hidrasi

yang

dan

cukup

dapat

menurunkan suhu tubuh 3. Kompres

hangat

pembuluh

c. kulit tidak memerah d. tidak ada takikardi

peningkatan

penurunan suhu tubuh

Anjurkan

3.

1. Menilai

mendilatasi

darah

sehingga

mengurangi panas 4.

Gunakan

pakaian

tipis dan menyerap keringat

4. Pakaian tipis dan menyerap keringat

menurunkan

metabolisme

sehingga

menurunkan panas 5.

Pertahankan

cairan

intravena sesuai progam

5. Cairan

intravena

kebutuhan

memenuhi

cairan

sehingga

menurunkan panas 6.

Berikan

antipiretik

sesuai program

6. Antipiretik produksi

menghambat prostaglandin

di

hipotalamus anterior sehingga 3

Perubahan perfusi jaringan serebral

Setelah

berhubungan dengan

keperawatan, perfusi jaringan

kesadaran

hipertiroidisme

serebral

neurologis

kriteria:

diberi efektif,

asuhan 1. Kaji status neurologi tiap jam

menurunkan suhu 1. Menskrining perubahan tingkat

dengan 2. Lakukan

tindakan

pencegahan

2. Kejang

dan

status

merupakan

tanda

a. Tingkat

kesadaran

terhadap kejang

perburukan terhadap perubahan

meningkat (GCS: E:4, M:6, V:5)

status neurologi 3. Kaji adanya kelemahan, patensi

b. Klien tidak mengalami cedera c. Jalan napas paten

Penurunan

curah

jantung

Setelah

diberi

berhubungan dengan gagal jantung,

keperawatan,

kesadaran pasien menurun

peningkatan status neurologi

status hipermetabolik

penurunan

asuhan 1.

curah

terjadi

tindakan

pengamanan

Pantau

4. Cedera

rawan

terjadi

tekanan

darah

tiap jam

neurulogi 1. Hipotensi umum atau ortostatik dapat terjadi sebagai akibat dari vasodilatasi

perifer

dengan kriteria:

berlebihan

a.

volume sirkulasi

Nadi perifer dapat teraba normal (60-

b.

TD:100-

kemungkinan

dikeluhkan pasien. 3.

37,50C c.

Periksa

adanya nyeri dada atau angina yang

120/80-90x.menit, RR: 16-20x/menit, S:36Capilary reffil

baik

4.

penurunan

tanda

Auskultasi suara nafas.

oleh otot jantung atau iskemia. berhubungan

dengan

curah

meningkat

pada

Perhatikan adanya suara yang tidak

jantung

normal (seperti krekels)

keadaan hipermetabolik

Observasi

adanya

peningkatan kebutuhan oksigen

4. Dehidrasi Status mental

yang

3. S1 dan murmur yang menonjol

<2 detik d.

dan

2. Merupakan 2.

pada

pasien dengan perubahan status

jantung,

100x/menit, kuat)

nafas,

kelemahan, bisa terjadi karena

4. Lakukan

tidak

jalan

jalan napas, keamanan, jika tingkat

untuk mencegah cedera 4

3. Ketidakpatenan

tanda

dan

gejala haus yang hebat, mukosa

yang

cepat

dapat

terjadi yang akan menurunkan volume

sirkulasi

dan

e.

Palpitasi

membran

berkurang

penurunan

kering, produksi

nadi

lemah,

urine

dan

hipotensi,pengisian kapiler lambat 5.

menurunkan curah jantung 5. Diberikan untuk mengendalikan

Kolaborasi : berikan obat

pengaruh tirotoksikosis terhadap

sesuai dengan indikasi : Penyekat

takikardi, tremor dan gugup

beta seperti: propranolol, atenolol,

serta obat pilihan pertama pada

nadolol

krisis tiroid akut. Menurunkan frekuensi/ kerja jantung oleh daerah reseptor penyekat beta adrenergic dan konversi dari T3 dan T4.

BAB 3 PENUTUP Kesimpulan Prevalensi diabetes mellitus di dunia semakin meningkat sehingga dianggap sebagai wabah. Angka prevalensi yang sangat meningkat ini diperkirakan terjadi di Negara yang sedang berkembang seperti Cina dan India termasuk Indonesia. Seiring pertambahan usia, sel-sel tubuh menjadi lebih resisten terhadap insulin, yang mengurangi kemampuan lansia untuk memetabolisme glukosa. Selain itu, pelepasan insulin dari sel beta pancreas berkurang dan melambat. Hasil dari kombinasi proses ini adalah hiperglikemia. Pada pasien lansia, konsentrasi glukosa yang mendadak dapat meningkatkan dan lebih memperpanjang hiperglikemia. Diabetes terjadi hampir satu dari lima orang yang berusia 65 tahun atau lebih. Karena gejalanya samar, para peneliti percaya lebih banyak pasien lansia yang menderita diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terdiagnosis. Selain itu, lebihari 40% individu pada usia ini memiliki beberapa bentuk intoleransi glukosa.

Saran Kelompok berharap setelah mendapatkan pemaparan dan memahami DM yang terjadi pada lansia, kelompok dan rekan lainnya mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan sesuai dengan evidence based yang sudah di tampilkan dan mampu menerapkan sedini mungkin pencegahan terjadinya DM pada lansia yang belum menderirta DM atau mengurangi angka kematian. Kesimpulan Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat. Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Jika

DAFTAR PUSTAKA Bakta, I.M. dan Suastika, I.K. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: EGC. Chang, E. dkk. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta: EGC Darmojo, B & Hadi Martono.(2000). Buku Ajar Geriatri Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI Depkes RI, 2006. Penderita Diabetes Indonesia Urutan ke-4 di dunia. Diakses dari www. Depkes.go.id. Pada tanggal 20 Maret 2010.

Hariawan, Hamdan. 2013 . Askep Krisis Tiroid. http://hamdan-hariawanfkp13.web.unair.ac.id/artikel_detail-88249-askep%20endokrin-askep%20krisis %20tiroid.html. Diunduh tanggal 26 Februari 2014. Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC. Price Sylvia, A.1994. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2. Edisi 4. Jakarta: EGC. Nanda International. 2007. Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC. Rumahorbo, H. 1999. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: EGC. Smeltzer dan Bare.2002.Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi IV. Jakarta : EGC

Related Documents

Askep Pa Jae.docx
October 2019 43
Pa
May 2020 33
Pa
May 2020 39
Pa
June 2020 34
Pa
June 2020 33
Pa
April 2020 32

More Documents from ""