Askep Norman Laia-3.docx

  • Uploaded by: necis
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Askep Norman Laia-3.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,378
  • Pages: 31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling sering terjadi. Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau trauma abdominal. Pada banyak kasus, trauma ginjal selalu dibarengi dengan trauma organ penting lainnya. Pada trauma ginjal akan menimbulkan ruptur berupa perubahan organik pada jaringannya. Sekitar 85-90% trauma ginjal terjadi akibat trauma tumpul yang biasanya diakibatkan oleh kecelakaan lalulintas. Ginjal terletak di rongga recroperitonium dan terlindung oleh otot-otot punggung disebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitineal di sebelah anteriornya. Trauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada sistem urogenital, lebih kurang 10% dari trauma pada abdomen menciderai ginjal. Trauma ginjal biasanya terjadi akibat kecelakaan lalulintas atau jatuh. Trauma ini biasanya juga disertai dengan fraktur pada vertebra thorakalis 11-12. Jika terdapat hematuria kausa trauma harus dapat diketahui. Laserasi ginjal dapat menyebabkan perdarahan dalam rongga peritoneum. Tujuan dari penanganan trauma ginjal adalah untuk resusitasi pasien, mendiagnosis trauma dan memutuskan penanganan terapi secepat mungkin. Penanganan yang efisien dengan tehnik resusitasi dan pemeriksaan radiologi yang akurat dibutuhkan untuk menjelaskan manajemen klinik yang tepat. Para radiologis memainkan peranan yang sangat penting dalam mencapai hal tersebut, memainkan bagian yang besar dalam diagnosis dan stadium trauma. Lebih jauh, campur tangan dari radiologis menolong penanganan trauma arterial dengan menggunakan angiografi dengan transkateter embolisasi. Sebagai bagian yang penting dar trauma, radiologi harus menyediakan konsultasi emergensi, keterampilan para ahli dalam penggunaan alat-alat radiologis digunakan dalam evaluasi trauma, dan biasanya disertai trauma tumpul pada daerah abdominal.

1

B. Fenomena Trauma Ginjal Definisi dari trauma adalah suatu keadaan yang menyebabkan kerusakan tubuh atau organ tubuh dimana faktor penyebab berasal dari luar tubuh. Salah satu trauma yan dapat terjadi pada organ tubuh adalah ginjal. Trauma ginjal terjadi rata-rata 1-5% dari semua trauma. Ginjal paling sering terkena trauma, dengam resiko kejadian 3:1 antara laki-laki dan perempuan. Trauma ginjal dapat mengancam jiwa, namun kebanyakan trauma ginjal dapat dikelola secara konservatif. Dengan kemajuan di bidang diagnostik dan terapi telah menurunkan angka intervensi bedah pada penanganan trauma ginjal dan meningkatkan preservasi ginjal. Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.Baik luka tikam atau tusuk pada abdomen bagian atas atau pinggang maupun luka tembak pada abdomen yang disertai hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal. Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik teknik di atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat , tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal.

C. Tujuan 1. Tujuan umum mahasiswa mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien trauma ginjal 2. Tujuan khusus a. Mampu memahami defenisi trauma ginjal b. Mampu memahami etiologi trauma ginjal c. Mampu memahami manifestasi klinis trauma ginjal d. Mampu memahami anatomi fisiologi trauma ginjal e. Mampu memahami klasifikasi trauma ginjal f. Mampu memahami patofisiologis trauma ginjal g. Mampu memahami penatalaksanaan trauma ginjal h. Mampu memahami pemeriksaan diagnostik trauma ginjal i. Mampu memahami komplikasi trauma ginjal

2

BAB II PEMBAHASAN A. Defenisi Trauma ginjal adalah cedera yang mengenai ginjal yangmemberikan manifestasi memar, laserasi, atau kerusakan pada struktur. (Arif Muttaqin, 2011) Cedera ginjal dapat terjadi secara: 1. Langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang. 2. Tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tibatiba didalam ronggaretroperitoneum. (Basuki B. Purnomo, 2003). Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling sering terjadi. Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau trauma abdominal. Pada banyak kasus, trauma ginjal selalu dibarengi dengan trauma organ penting lainnya. Pada trauma ginjal akan menimbulkan ruptur berupa perubahan organik pada jaringannya. Sekitar 85-90% trauma ginjal terjadi akibat trauma tumpul yang biasanya diakibatkan oleh kecelakaan lalulintas. Ginjal terletak di rongga retroperitonium dan terlindung oleh otot-otot punggung di sebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitoneal di sebelah anteriornya. Karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ-organ yang mengitarinya. trauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada sistem urogenital, lebih kurang 10% dari trauma pada abdomen mencederai ginjal. Abdominal trauma merupakan cedera ke bagian perut. Mungkin tumpul atau tajam dan mungkin melibatkan kerusakan pada Abdominal organ. Tanda-tanda dan gejala meliputi nyeri pada perut, kesakitan, kaku, dan lebam dari perut eksternal. Abdominal trauma menyajikan risiko berat kehilangan darah dan infeksi. Diagnosa mungkin melibatkan ultrasonography, Computed Tomography, dan Peritoneal lavage, dan mungkin memerlukan perawatan operasi. Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam rudapaksa baik tumpul maupun tajam. Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneal bagian atas hanya terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara masa ginjal melayang bebas dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia Gerota. Fascia Gerota sendiri yang efektif dalam mengatasi sejumlah kecil hematom , tidak sempurna dalam perkembangannnya. Kantong fascia ini meluas kebawah sepanjang ureter ,meskipun menyatu pada dinding anterior aorta serta vena cava inferior, namun mudah untuk sobek oleh adanya perdarahan hebat sehingga perdarahan melewati garis tengah dan mengisi rongga retroperitoneal.(Guerriero, 1984). Karena miskinnya fiksasi, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh adanya akselerasi maupun deselerasi mendadak, yang bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsial maupun komplet pembuluh darah. Sejumlah darah besar dapat terperangkap didalam rongga retroperitoneal sebelum dilakukan stabilisasi. Keadaan ekstrem ini sering terjadi pada pasien yang datang di ruang gawat darurat dengan kondisi stabil sementara terdapat perdarahan retroperitoneal. Korteks ginjal ditutupi kapsul tipis yang cukup kuat.

3

Trauma yang menyebabkan robekan kapsul sehingga menimbulkan perdarahan pada kantong gerota perlu lebih mendapat perhatian dibanding trauma yang tidak menyebabkan robekan pada kapsul. Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrans didaerah ini bisa menyebabkan trauma pada kedua struktur. Karena letaknya yang berdekatan antara pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial ginjal kanan bisa menyebabkan trauma kombinasi pada pankreas, duodenum dan ginjal.. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur hanya oleh adanya trauma ringan.(McAninch,2000). B. Etiologi  Trauma tumpul ( 80-85% ) langsung ke abdomen, flank atau punggung.  Kecelakaan kendaraan bermotor,penerbangan,jatuh,dan contact-sports.  Kecelakaan kendaraan dengan kecepatan tinggi trauma deselerasi dan trauma pada vasculer besar.  Pada luka tusuk ginjal, juga terjadi trauma pada organ visceral abdomen sekitar 80%.  Trauma penetrasi benda tajam (misalnya: luka tembak, luka tusuk atau tikam) menyebabkan trauma pada ginjal sehingga terjadi syok akibat trauma multisistem.  Trauma tumpul (misalnya: jatuh, cedera atletik, kecelakaan lalulintas, akibat pukulan) menyebabkan ginjal malposisi, dan kontak dengan iga (tulang belakang).  Cedera iatrogenik (misalnya: prosedur endourologi, ESWL, biopsiginjal, prosedur perkutaneus pada ginjal).  Intraoperatif (misalnya diagnostik peritoneal lavage).  Lainnya (misalnya: penolakan transplantassi ginjal, melahirkan[dapat menyebabkan laserasi spontan ginjal]. (Arif Muttaqin, 2011)

C. Mekanisme Trauma Ginjal Cedera ginjal dapat terjadi secara : 1. Langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang atau 2. Tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitonium. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitonium menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal. Mekanisme yang umumnya terjadi pada trauma ginjal , yaitu 1. Trauma tembus 2. Trauma latrogenik 3. Trauma tumpul Trauma tembus seperti tembakan dan tikaman pada abdomen bagian atas atau pinggang merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.

4

Luka karena senjata api dan pisau merupakan luka tembus terbanyak yang mengenai ginjal sehingga bila terdapat luka pada pinggang harus dipikirkan trauma ginjal sampai terbukti sebaliknya. Pada luka tembus ginjal, 80% berhubungan dengan trauma viscera abdomen. (Geehan , 2003; McAninch , 2000). Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik teknik di atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat, tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal . Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat. Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis. Ada beberapa faktor yang turut menyebebkan terjadinya trauma ginjal. Ginjal yang relatif mobile dapat bergerak mengenai costae atau corpus vertebrae, baik karena trauma langsung ataupun tidak langsung akibat deselerasi. Kedua, trauma yang demikian dapat menyebabkan peningkatan tekanan subcortical dan intracaliceal yang cepat sehingga mengakibatkan terjadinya ruptur. Yang ketiga adalah keadaan patologis dari ginjal itu sendiri. Sebagai tambahan, jika base line dari tekanan intrapelvis meningkat maka kenaikan sedikit saja dari tekanan tersebut sudah dapat menyebabkan terjadinya trauma ginjal. Hal ini menjelaskan mengapa pada pasien yang yang memiliki kelainan pada ginjalnya mudah terjadi trauma ginjal.

D. Klasifikasi Patologi Trauma Ginjal Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk memberikan pegangan dalam terapi dan prognosis. Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan menjadi (1) cedera minor, (2) cedera mayor, (3) cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15% termasuk cedera mayor (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.

5

Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang dimodifikasi oleh Federle : Derajat Jenis kerusakan  Kontusio ginjal.  Minor laserasi korteks dan medulla tanpa gangguan pada sistem pelviocalices. Grade I  Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang kadang).  75 – 80 % dari keseluruhan trauma ginjal.  Laserasi parenkim yang berhubungan dengan tubulus kolektivus sehingga terjadi extravasasi urine.  Sering terjadi hematom Grade II perinefron.  Luka yang terjadi biasanya dalam dan meluas sampai ke medulla.  10 – 15 % dari keseluruhan trauma ginjal.  Laserasi ginjal sampai pada medulla ginjal, mungkin terdapat trombosis arteri segmentalis. Grade III  Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal  5 % dari keseluruhan trauma ginjal  Laserasi sampai mengenai Grade IV kalikes ginjal.  Laserasi dari pelvis renal  Avulsi pedikel ginjal, mungkin Grade V terjadi trombosis arteri renalis.  Ginjal terbelah (shattered). Menurut Mooreetal, trauma ginjal dibagi menjadi: (McAninch,2000) 1. Trauma minor Merupakan 85% kasus. Kontusio maupun ekskoriasi renal paling sering terjadi. Kontusio renal kadang diikuti hematom subkapsuler. Laserasi korteks superfisial juga merupakan trauma minor.

6

2. Trauma mayor Merupakan 15% kasus.Terjadi laserasi kortikomeduler yang dalam sampai collecting system menyebabkan ekstravasasi urine kedalam ruang perirenal. Hematom perirenal dan retroperitoneal sering menyertai laserasi dalam ini. Laserasi multiple mungkin menyebabkan destruksi komplit jaringan ginjal. Jarang terjadi laserasi pelvis renalis tanpa laserasi parenkim pada trauma tumpul. 3. Trauma vaskuler Terjadi sekitar 1% dari seluruh trauma ginjal. Trauma vaskuler pada pedikel ginjal ini memang sangat jarang dan biasanya karena trauma tumpul.Bisa terjadi total avulsi arteri dan vena atau avulsi parsial dari cabang segmental vasa ini. Regangan pada arteri renalis utama tanpa avulsi menyebabkan trombosis arteri renalis. E. Patofisiologi Manifestasi Klinis Nyeri terlokalisasi pada satu pinggang atau seluruh perut. Trauma lain seperti ruptur visera abdomen atau fraktur pelvis multiple juga menyebabkan nyeri abdomen akut sehingga mengaburkan adanya trauma ginjal. Kateterisasi biasanya menunjukkan adanya hematuria. Perdarahan retroperitoneal bisa menyebabkan distensi abdomen, ileus, nausea serta vomitus. Perlu diperhatikan adanya syok atau tanda-tanda kehilangan darah masiv karena perdarahan retroperitoneal. Cermati adanya ekimosis pada pinggang atau kuadran atas abdomen.Juga adanya patah tulang iga bagian bawah. Mungkin ditemukan nyeri abdomen difus pada palpasi yang merupakan tanda akut abdomen karena adanya darah pada cavum peritonei. Distensi abdomen mungkin ditemukan dengan bising usus yang menghilang. Masa yang palpable menandakan adanya hematom retroperitoneal besar atau suatu ekstravasasi urin. Namun jika retroperitoneum robek, darah bebas masuk ke cavum peritonei tanpa ditemukan masa palpable pada pinggang. Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat. Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis. Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneal bagian atas hanya terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara masa ginjal melayang bebas dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia Gerota. Fascia Gerota sendiri yang efektif dalam mengatasi sejumlah kecil hematom, tidak sempurna dalam perkembangannnya. Kantong fascia ini meluas kebawah sepanjang ureter, meskipun menyatu pada dinding anterior aorta serta vena cava inferior, namun mudah untuk sobek oleh adanya perdarahan hebat sehingga perdarahan melewati garis tengah dan mengisi rongga retroperitoneal.(Guerriero, 1984).

7

Karena miskinnya fiksasi, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh adanya akselerasi maupun deselerasi mendadak, yang bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsial maupun komplet pembuluh darah. Sejumlah darah besar dapat terperangkap didalam rongga retroperitoneal sebelum dilakukan stabilisasi. Keadaan ekstrem ini sering terjadi pada pasien yang datang di ruang gawat darurat dengan kondisi stabil sementara terdapat perdarahan retroperitoneal. Korteks ginjal ditutupi kapsul tipis yang cukup kuat. Trauma yang menyebabkan robekan kapsul sehingga menimbulkan perdarahan pada kantong gerota perlu lebih mendapat perhatian dibanding trauma yang tidak menyebabkan robekan pada kapsul. Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrans didaerah ini bisa menyebabkan trauma pada kedua struktur. Karena letaknya yang berdekatan antara pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial ginjal kanan bisa menyebabkan trauma kombinasi pada pankreas, duodenum dan ginjal. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur hanya oleh adanya trauma ringan.(McAninch,2000). Jadi gejala yang mungkin terjadi pada trauma ginjal adalah : a. Nyeri b. Hematuria c. Mual dan muntah d. Distensi abdomen e. Syok akinat trauma multisistem f. Nyeri pada bagian punggung g. Hematoma di daerah pinggang yang semakin hari semakin besar h. Massa di rongga panggul i. Ekimosis j. Laserasi atau luka pada abdomen lateral dan rongga panggul F. Diagnosis Kecurigaan terhadap adanya cedera ginjal jika terdapat: - Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu. - Hematuria. - Fraktur costa sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra. - Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang. - Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas.

G. Pemeriksaan Diagnostik A. Laboratorium Biasanya didapatkan adanya hematuri baik gross maupun mikroskopis. Beratnya hematuri tidak berbanding lurus dengan beratnya kerusakan ginjal. Pada trauma minor bisa ditemukan hematuri yang berat, sementara pada trauma mayor bisa hanya hematuri mikroskopis. Sedangkan pada avulsi total vasa renalis bahkan tidak ditemukan hematuri.Awalnya hematokrit normal namun kemudian terjadi ppenurunan pada pemeriksaan

8

serial. Temuan ini menandakan adanya perdarahan retroperitoneal persisten yang menyebabkan terjadinya hematom retroperitoneal yang besar. Perdarahan yang persisten jelas memerlukan tindakan operasi. .(McAninch ,2000) B. Imaging 1. Plain Photo Adanya obliterasi psoas shadow menunjukkan hematom retroperitoneaal atau ekstravasasi urin. Udara usus pindah dari posisinya. Pada tulang tampak fraktur prosesus transversalis vertebra atau fraktur iga. (Donovan, 1994). 2. Intravenous Urography (IVU) Pada trauma ginjal, semua semua trauma tembus atau trauma tumpul dengan hemodinamik tidak stabil yang membutuhkan eksplorasi segera harus dilakukan single shot high dose intravenous urography (IVU) sebelum eksplorasi ginjal. Single shot IVU ini bersisi 2 ml/kgBB kontras standar 60% ionic atau non ionic yang disuntikkan intra vena, diikuti satu pengambilan gambar abdomen 10 menit kemudian. Untuk hasil yang baik sistol dipertahankan diatas 90 mmHg. Untuk menghemat waktu kontras dapat disuntikkan pada saat resusitasi awal. Keterbatasan pemeriksaan IVU adalah tak bisa mengetahui luasnya trauma. Dengan IVU bisa dilihat fungsi kedua ginjal, adanya serya luasnya ekstravasasi urin dan pada trauma tembus bisa mengetahui arah perjalanan peluru pada ginjal. IVU sangat akurat dalam mengetahui ada tidaknya trauma ginjal. Namun untuk staging trauma parenkim, IVU tidak spesifik dan tidak sensitive. Pada pasien dengan hemodinamik stabil, apabila gambaran IVU abnormal dibutuhkan pemeriksaa lanjutan dengan Computed Tomography (CT) scan. Bagi pasien hemodinamik tak stabil, dengan adanya IVU abnormal memerlukan tindakan eksplorasi. 3. CT Scan Staging trauma ginjal paling akurat dilakukan dengan sarana CT scan. Teknik noninvasiv ini secara jelas memperlihatkan laserasi parenkim dan ekstravasasi urin, mengetahui infark parenkim segmental, mengetahui ukuran dan lokasi hematom retroperitoneal, identifikasi jaringan nonviable serta cedera terhadap organ sekitar seperti lien, hepar, pancreas dan kolon.(Geehan , 2003; Brandes , 2003) CT scan telah menggantikan pemakaian IVU dan arteriogram.Pada kondisi akut, IVU menggantikan arteriografi karena secara akurat dapat memperlihatkan cedera arteri baik arteri utama atau segmental. Saat ini telah diperkenalkan suatu helical CT scanner yang mampu melakukan imaging dalam waktu 10 menit pada trauma abdomen. .(Brandes , 2003) 4. Arteriografi Bila pada pemeriksaan sebelumnya tidak semuanya dikerjakan, maka arteriografi bisa memperlihatkan cedera parenkim dan arteri utama. Trombosis arteri dan avulsi pedikel ginjal terbaik didiagnosis dengan arteriografi terutama pada ginjal yang nonvisualized dengan IVU. Penyebab utama ginjal nonvisualized pada IVU adalah avulsi total pedikel, trombosis arteri, kontusio parenkim berat yang menyebabkan spasme vaskuler. Penyebab lain adalah memang tidak adanya ginjal baik karena kongenital atau operasi sebelumnya.(MC Aninch , 2000)

9

5. Ultra Sonography(USG) Pemeriksa yang terlatih dan berpengalaman dapat mengidentifikasi adanya laserasi ginjal maupun hematom. Keterbatasan USG adalah ketidakmampuan untu membedakan darah segar dengan ekstravasasi urin, serta ketidakmampuan mengidentifikasi cedera pedikel dan infark segmental. Hanya dengan Doppler berwarna maka cedera vaskuler dapat didiagnosis. Adanya fraktur iga , balutan, ileus intestinal, luka terbuka serta obesitas membatasi visualisasi ginjal.(Brandes SB, 2003). H. Komplikasi A. Komplikasi Awal Komplikasi awal terjadi I bulan pertama setelah cedera 1. Urinoma Terjadi < 1% kasus trauma ginjal. Jika kecil dan noninfeksius maka tidak membutuhkan intervensi bedah. Bila besar perlu dilakukan pemasangan tube ureter atau nefrostomi perkutan /endoskopik. 2. Delayed bleeding Terjadi dalam waktu 2 minggu cedera. Bila besar dan simtomatik dilakukan embolisasi. 3. Urinary fistula Terjadi karena adanya urin yang tidak didrain atau infark segmen besar parenkim gunjal. 4. Abses Terdapat ileus, panas tinggi dan sepsis. Mudsah didrainase perkutan. 5. Hipertensi Pada periode awal pasca operasi biasanya karena rennin mediated, transient dan tidak membutuhkan tindakan . B. Komplikasi Lanjut Hidronefrosis, arteriovenous fistula, pielonefritis, Kalkulus, delayed hipertensi Scarring pada daerah pelvis renis dan ureter pasca trauma bisa menyebabkan obstruksi urine yang menyebabkan terbentuknya batu dan infeksi kronik. Fistula arteriovenosa sering terjadi setelah luka tusuk yang ditandai dengan delayed bleeding. Angiografi akan memperlihatkan ukuran dan posisi fistula.Pada sebagian besar kasus mudah dilakukan penutupan fistula dengan embolisasi. Hipertensi delayed pasca cedera ginjal karena iskemi ginjal merangsang aksis renin-angiotensin. Ginjal sangat terlindungi oleh organ-organ disekitarnya sehingga diperlukan kekuatan yang cukup yang bisa menimbulkan cedera ginjal. Namun pada kondisi patologis seperti hidronefrosis atau malignansi ginjal maka ginjal mudah ruptur oleh hanya trauma ringan. Mobilitas ginjal sendiri membawa konsekuensi terjadinya cedera parenkim ataupun vaskuler.Sebagian besar trauma ginjal adalah trauma tumpul dan sebagian besar trauma tumpul menimbulkan cedera minor pada ginjal yang hanya membutuhkan bed rest. Diagnosis trauma ginjal ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada pemeriksaan fisik digali mekanisme trauma serta kemungkinan gaya yang menimpa ginjal maupun organ lain disekitarnya. Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menilai ABC nya trauma, local ginjal maupun organ lain yang terlibat. Pada pasien ini mungkin ditemukan hematuria gross ataupun mikroskopis atau mungkin tanpa hematuria.

10

Bila kondisi tidak stabil walau dengan resusitasi maka tidak ada pilihan kecuali eksplorasi segera. Pada pemeriksaan penunjang plain photo bisa ditemukan patah tulang iga bawah, prosesus transversus vertebra lumbal yang menunjukkan kecurigaan kita terhadap trauma ginjal. Pada pemeriksaan IVU akurasinya 90% namun pada pasien hipotensi tidak bisa diharapkan hasilnya. IVU juga tidak bisa menilai daerah retroperitoneal serta sangat sulit melakukan grading. Pada kondisi tak stabil, maka hanya dilakukan one shot IVU yang bisa menilai ginjal kontralateral. Pemeriksaan dengan CT scan merupakan gold standard karena dengan alat ini bisa melakukan grading dengan baik. Bagian-bagian infark ginjal terlihat, serta seluruh organ abdomen serta retroperitoneum juga jelas. Pemeriksaan angiografi sangat baik dilakukan pada kecurigaan cedera vaskuler. Dilakukan arteriografi apabila CT scan tidak tersedia. Kerugiannya pemeriksaan ini invasif. Prinsip penanganan trauma ginjal adalah meminimalisasi morbiditas dan mortalitas serta sedapat mungkin mempertahankan fungsi ginjal. Hanya pasien dengan indikasi jelas dilakukan nefrektomi. Keselamatan jiwa pasien tentunya lebih penting dari pada usaha peyelamatan ginjal namun jiwa melayang. Teknik operasi saat ini memegang peranan penting dalam penyelamatan ginjal. Dengan kontrol pembuluh darah ginjal maka terjadi penurunan angka nefrektomi. Kontrol pembuluh darah dilakukan diluar fasia Gerota sebelum masuk zona trauma. Tanpa isolasi arteri dan vena , dekompresi hematom ginjal yang dilakukan durante operasi meningkatkan insidensi nefrektomi. I. Penatalaksanaan 1. Konservatif Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini dilakukan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, suhu tubuh), kemungkinan adanya penambahan masa di pinggang, adanya pembesaran lingkar perut, penurunan kadar hemoglombin dan perubahan warna urin pada pemeriksaan urin serial, (Purnomo , 2003). Trauma ginjal minor 85% dengan hematuri akan berhenti dan sembuh secara spontan. Bed rest dilakukan sampai hematuri berhent, (McAninch, 2000). 2. Eksplorsi a. Indikasi absolut Indikasi absolut adalah adanya perdarahan ginjal persisten yang ditandai oleh adanya hematom retroperitoneal yang meluas dan berdenyut. Tanda lain adalah adanya avulsi vasa renalis utama pada pemeriksaan CT scan atau arteriografi. b. Indikasi relatif - Jaringan nonviable Parenkim ginjal yang nekrosis lebih dari 25% adalah indikasi relatif untuk dilakukan eksplorasi. - Ekstravasasi urin Ekstravasasi urin menandakan adanya cedera ginjal mayor. Bila ekstravasasi menetap maka membutuhkan intervensi bedah. - Incomplete staging

11

-

-

Penatalaksanaan nonoperatif dimungkinkan apabila telah dilakukan pemeriksaan imaging untuk menilai derajat trauma ginjal. Adanya incomplete staging memerlukan pemeriksaan imaging dahulu atau eksplorasi /rekonstruksi ginjal. Pada pasien dengan kondisi tidak stabil yang memerlukan tindakan laparotomi segera, pemeriksaan imaging yang bisa dilakukan hanyalah one shot IVU di meja operasi. Bila hasil IVU abnormal atau tidak jelas atau adanya perdarahan persisten pada ginjal harus dilakukan eksplorasi ginjal. Trombosis Arteri Cedera deselerasi mayor menyebabkan regangan pada arteri renalis dan akan menyobek tunika intima, terjadi trombosis arteri renalis utama atau cabang segmentalnya yang akan menyebebkan infark parenkim ginjal. Penegakan diagnosis yang tepat serta timing operasi sangat penting dalam penyelamatan ginjal. Renal salvage dimungkinkan apabila iskemia kurang dari 12 jam. Jika ginjal kontralateral normal, ada kontroversi apakah perlu revaskularisasi atau observasi.Jika iskemia melebihi 12 jam, ginjal akan mengalami atrofi. Nefrektomi dilakukan hanya bila delayed celiotomy dilakukan karena adanya cedera organ lain atau jika hipetensi menetap pasca operasi. Trombosis arteri renalis bilateral komplit atau adanya ginjal soliter dibutuhkan eksplorasi segera dan revaskularisasi. Trauma tembus Pada trauma tembus indikasi absolut dilakukan eksplorasi adalah perdarahan arteri persisten. Hampir semua trauma tembus renal dilakukan tindakan bedah. Perkecualian adalah trauma ginjal tanpa adanya penetrasi peluru intraperitoneum Luka tusuk sebelah posterior linea aksilaris posterior relatif tidak melibatkan cedera organ lain.(Brandes, 2003)

3. Teknik Operasi A. Approach Dilakukan transperitoneal karena dapat mengenali dan menanggulangi trauma intraabdominal lain serta dapat melakukan isolasi pembuluh darah ginjal sebelum melakukan eksplorasi ginjal. B. Isolasi pembuluh darah ginjal(Prosedur MCAninch) Dimaksudkan untuk mengendalikan perdarahan waktu dilakukan eksplorasi ginjal sebelum tamponade hematom retroperitoneal dibuka. Usus halus dan kolon disingkirkan ke lateral dan cranial. Buat insisi pada peritoneum posterior sebelah medial dan sejajar dengan vena mesentrika superior. Insisi berada di ventral aorta dan dengan meneruskan insisi ke cranial akan didapat vena renalis kiri yang berjalan melintang di ventral aorta. Vena renalis kiri merupakan tanda yang penting karena relatif mudah ditemukan, sementara di kraniodorsal akan didapat arteri renalis kiri. Vena renalis kanan bermuara pada vena kava lebih kaudal disbanding vena renalis kiri dan di cranial vena renalis kanan akan dijumpai arteri renalis kanan. Pada saat pembuluh darah dijerat untuk mengendalikan perdarahan tapi wrm ischaemic time tidak boleh lebih dari 30 menit. Bila diperlukan lebih lama ginjal didinginkan dengan es. Dengan teknik ini di RSCM dapat diturunkan angka nefrektomi dari 635 menjadi 36%.

12

Setelah prosedur ini, eksplorasi ginjal dilakukan dengan membuat irisan peritoneum parakolika.(Taher A, 2003). C. Rekonstruksi Setelah membuka fascia gerota maka ginjal harus terpapar seluruhnya. Pada saat inilah biasanya terjadi perdarahan yang dapat dikendalikan dengan melakukan oklusi sementara pembuluh darah ginjal. Selanjutnya dilakukan debridemen fasia dan jaringan ginjal diikuti hemostasis sebaik mungkin. Bila dijumpai perdarahan pada leher kaliks, dilakukan penjahitan dengan benang absorabel kecil dan jarum atraumatik. Defek pelviokalises memerlukan penjahitan yang kedap air. Setelah itu baru dilakukan penjahitan parenkim sekaligus kapsulnya dengan jahitan matras menggunakan benang kromik 2-0. Lemak omentum dapat digunakan untuk menutup defek parenkim yang luas. Jaringan nonviable pada kutub atas maupun bawah yang luas memerlukan nefrektomi pasrsial. Cara guillotine merupakan cara yang mudah, namun penting untuk menyisakan kapsul ginjal agar dapat dipakai untuk menutup defek parenkim ginjal. Sebagai penggantinya dapat dipakai free graft peritoneum. Nefrektomi biasanya dilakukan pada robekan scattered atau mengenai daerah hilus. Laserasi luas pada bagian tengah ginjal dan mengenai pelviokalises sering berakhir dengan nefrektomi, (Taher, 2003).

13

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA GINJAL 1. PENGKAJIAN A. Riwayat kesehatan a. Keluhan utama Keluhan utama yang paling sering adalah nyeri bagian pinggang b. Riwayat kesehatan sekarang Biasanya pasien mengalami nyeri bagian abdomen, Hematuria, Distensi abdomen, Syok akinat trauma multisistem,Nyeri pada bagian punggung, Hematoma di daerah pinggang yang semakin hari semakin besar,Massa di rongga panggul, Ekimosis, Laserasi atau luka pada abdomen lateral dan rongga panggul c. Riwayat kesehatan dahulu Beberapa tahun sebelumnya pasien mengalami benturan mengenai daerah pinggang, baik Trauma penetrasi benda tajam (misalnya: luka tembak, luka tusuk atau tikam), Trauma tumpul (misalnya: jatuh, cedera atletik, kecelakaan lalulintas, akibat pukulan) Cedera iatrogenik (misalnya: prosedur endourologi, ESWL, biopsiginjal, prosedur perkutaneus pada ginjal).Intraoperatif (misalnya diagnostik peritoneal lavage). Dan juga penolakan transplantassi ginjal, dan melahirkan d. Riwayat kesehatan keluarga Apakah keluarga klien ada yang mempunyai penyakit seperti yang dialami pasien,dan apakah keluarga pasien ada memiliki riwayat hipotensi, jantung, ginjal, DM, dan penyakit menular, atau menurun lainnya. B. Tanda- tanda vital TD : biasanya lebih dari 130/90, meningkat (hipertensi) RR :biasanya lebih dari 24 x/i, kusmaul HR : biasanya lebih dari 80 x/ menit, takikardi Temp : bisanya lebih dari 35-37.5 meningkat (demam) C. Pemeriksaan fisik a. Rambut Biasanya keadaan kulit kepala bersih, tidak ada ketombe, tidak ada lesi,warna rambut hitam, tidak bau dan tidak ada edema b. Wajah Biasanya simetri kiri dan kanan, tidak ada edema/hematome, tidak ada lesi c. Mata Biasanya mata simetris kiri dan kanan, reflek cahaya normal yaitu pupil mengecil, konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik d. Hidung Biasanya simetris kiri dan kanan, tidak menggunakan cupping hidung, tidak ada polip, dan tidak ada lesi e.Telinga Biasanya simetris kiri dan kanan, fungsi pendengaran baik. f. Mulut Biasanya berwarna pucat dengan sianosis bibir, tidak terjadi stomatitis, tidak terdapat pembesaran tongsil, lidah putih.

14

g. Leher Biasanya tidak ada pembesaran pada kelenjer tiroid, tidak ada pembesaran JVP h. Dada dan Thorax : Biasanya pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar rochi, wheezing, ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan reflek batuk dan menelan. i. Kardiovaskuler : - Inspeksi : ictus cordis terlihat - Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari - Perkusi : di intercosta V media klavikularis sinistra bunyinya pekak - Auskultasi : irama denyut jantung normal tidak ada bunyi tambahan j. Abdomen : Biasanya Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang terdapat kembung, k. Genitaurinaria : Biasanya adanya terdapat lecet pada area sekitar anus. Anus kadang terdapat incontinensia atau retionsio urine. l. Lengan-Lengan Tungkai : Ekstemitas atas dan bawah : Biasanya kekuatan otot berkurang. Rentang gerak pada ekstremitas pasien menjadi terbatas karena nyeri, m. Sistem Persyarapan : Biasanya kelemahan otot dan penurunan kekuatan D. Pola kebiasaan sehari-hari a. Makanan dan cairan Biasanya pasien Anoreksia, mual dan muntah, Intoleransi makanan, sehingga menyebabkan Penurunan berat badan, kakeksia, berkurangnya masa otot, Perubahan pada kelembaban/trugor kulit. b. Eliminasi Perubahan eliminasi urinaryus, misalnya nyeri atau rasa terbakar pada saat berkemih, hematuria, sering berkemih. Sehingga menyebabkan Perubahan pada bising usus, distensi abdomen. c. Aktivitas / istirahat Kelemahan atau keletihan, Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur , Keterbatasan partisipasi dalam hobi atau latihan

2. Diagnosa keperawatan 1. Nyeri 2. Intoleransi aktivitas 3. Gangguan rasa nyaman 4. Risiko infeksi

15

3. Intervensi keperawatan No . 1.

Diagnosa keperawatan

NOC

NIC

Nyeri Definisi : Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedekimikian rupa (international) Association for the studay of pain: awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensits ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi > 6 bln Batasan karakteristik :  Perubahan selera makan  Perubahan tekanan darah  Perubahan frekuensi jantung  Perubahan frekuensi pernafasan  Laporan isyarat  Diaforesis  Prilaku distraksi (mis, berjalan mondarmandir mencari orang lain atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)  Mengekskresikan prilaku (mis, gelisah, merengek, menangis)  Masker wajah (mis, mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus meringis)  Sikap melindungi area nyeri  Fokus menyempit

 Pain level Pain managemen  Pain kontrol  Tentukan  Compor level riwayat nyeri, Kriteria hasil : misal: lokasi  Mampu nyeri, frekuensi, mengontrol nyeri durasi, dan (tahu penyebab intensita (skala nyeri, mampu 0-10), dan menggunakan tindakan teknik nonpenghilangan farmakologi untuk yang digunakan mengurangi nyeri,  Evaluasi/ sadari mencari bantuan ) terapi tertentu  Melaporkan bahwa misal: radiasi, nyeri berkurang pembedahan, dengan kemoterapi, menggunakan bioterapi, manajemen nyeri ajarkan pasien  Mampu atau orang mengennali nyeri ( terdekat apa skala intensitas, yang diharapkan frekuensi, dan  Berikan tindakan tanda nyeri) kenyamanan Menyatakan rasa dasar, misal: nyaman setelah nyeri resposisi, berkurang gosokan punggung dan aktifitas hiburan misal: musik dan televisi  Dorong penggunaan keterampilan manejemen nyeri(misal: teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi), tertawa, musik dan sentuhan teraupetik.  Evaluasi penghilangan nyeri/kontrol

16

     

2.

(mis, gangguan persepsi nyeri, hambatan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan Indikasi nyeri yang dapat diamati Perubahan posisi untuk menghindari nyeri Sikap tubuh melindungi Dilatasi pupil Melaporkan nyeri secara verbal Gangguan tidur

nilai aturan pengobatan bila perlu.

Faktor yang berhubungan Agen cedera (mis, biologis, zat kimia, fisik, psikologis)  Energy Intoleransi aktivitas Aktivity therapy conservation  Kolaborasikan Definisi : Ketidakcukupan energi  Activity tolerance dengan tenaga psikologis dan fisiologis untuk  Self care :ADLs rehabilitasi melanjutkan atau medik dalam Kriteria hasil : menyelesaikan aktivitas  Berpartisipasi merencanakan kehidupan sehari-hari yang dalam aktivitas program terapi harus atau yang ingin fisik tanpa disertai yang tepat dilakukan peningkatan  Bantu klien tekanan darah, nadi untuk Batasan karakteristik : dan RR mengidentifikasi  Respon tekanan darah  Mampu melakukan aktivitas yang abnormal terhadap aktivitas seharimampu aktivitas hari (ADLs) secara dilakukan  Respon frekuensi mandiri  Bantu untuk jantung abnormal  Tanda-tanda vital memilih terhadap aktivitas normal aktivitas  Perubahan EKG yang  Energy psikomotor konsisten yang mencerminkan aritmia  Level kelemahan sesuai dengan  Perubahan EKG yang  Mampu berpindah kemampuan mencerminkan iskemia : dengan atau tanpa fisik, psikologis,  Ketidaknyamanan bantuan alat dan social setelah beraktivitas  Bantu untuk  Dipsnea setelah mengidentifikasi beraktivitas dan  Menyatakan rasa letih  Status mendapatkan  Menyatakan rasa kardiopulmonari sumber yang lemah adekuat diperlukan untuk Faktor yang berhubungan:  Sirkulasi status

17

    

3.

Tirah baring atau imobilisasi Kelemaham umum Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen Imobilitas Gaya hidup monoton

Gangguan rasa nyaman Definisi : merasa kurang senang, lega dan sempurna dalam dimensi fisik, psikospiritual, lingkungan dan sosial Batasan karakteristik  Ansietas  Menangis  Gangguan pola tidur  Takut  Ketidakmampuan untuk rileks

baik  Status respirasi : pertukaran gas dan ventilasi adekuat

   

Ansiety Fear level Sleep deprivation Comfort, Readines for Enchanced Kriteria hasil :  Mampu mengontrol kecemasan  Status lingkungan yang nyaman  Mengontrol nyeri  Kualitas tidur dan istirahat adekuat

18

mendapatkan aktivitas yang diinginkan  Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas sperti kursi roda, krek  Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai  Bantu klien untuk membuat jadwal ltihan diwaktu luang  Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas  Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas  Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan  Monitor respon fisik, emosi, sosial, dan spiritual Ansiety Reduction (penurunan kecemasan)  Gunakan pendekatan yang menenangkan  Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien  Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur

  

4.

Iritabilitas Merintih Melaporkan rasa dingin  Malaporkan rasa panas  Melaporkan perasaan tidak nyaman  Melaporkan gejala distress  Malaporkan rasa lapar  Melaporkan rasa gatal  Melaporkan kurang puas dengan keadaan  Melaporkan kurang senang dengan situasi tersebut  Gelisah  Berkeluh kesah Faktor yang berhubungan :  Gejala terkait penyakit  Sumber yang tidak adekuat  Kurang pengendalian lingkungan  Kurang privasi  Kurang kontrol situasional  Stimulasi lingkungan yang mengganggu  Efek samping terkait terapi (mis, medikasi, radiasi)

 Agresi

Resiko infeksi Definisi : mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik Faktor-faktor resiko :  Penyakit kronis - Diabetes melitus - Obesitas  Pengetahuan yang tidak cukup untuk menghindari

 Imune status  Knowledge :

pengendalian diri  Respon terhadap

pengobatan  Control gejala  Status kenyaman

meningkat  Dapat mengontrol ketakutan  Support social  Keinginan untuk hidup

infection control  Risk control Kriteria hasil :  Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi  Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor

19



Pahami prespektif  Pasien terhadap situasi stress  Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi rasa takut  Dorong keluarga untuk menemani anak  Lakukan back/neck rub  Dengarkan dengan penuh perhatian  Identifikasi tingkat kecemasan  Bantu pasien untuk mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan  Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi  Berikan obat untuk mengutrangi kecemasan Environment Management Confort Pain Management Infection Control (Kontrol Infeksi )  Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain  Pertahankan teknik isolasi  Batasi pengunjung bila perlu





 

 

pemanjanan patogen Pertahan tubuh primer yang tidak adekuat - Gangguan peritalsis - Kerusakan integritas kulit (pemasangan kateter intravena, prosedur infasif) Perubahan sekresi Ph - Penurunan kerja siliaris - Pecah ketuban dini - Pecah ketuban lama - Merokok - Statis cairan - Trauma jaringan (mis, trauma destruksi jaringan) Ketidakadekuatan pertahan sekunder - Penurunan hemoglobin - Imunosepresi (mis, imunitas didapat tidak adekuat, agen farmaseutikal termasuk imunosupresan, steroid, antibodi monoklonal, imunomudulator) - Supresi respon inflamasi Vaksinasi tidak adekuat Pemanjanan terhadap patogen lingkungan meningkat - Wabah Prosedur infasif Malnutrisi

yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaanya  Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi  Jumlah leukosit dalam batas normal  Menunjukkan perilaku hidup sehat

20



Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien  Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan  Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan  Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung  Pertahankan lingkungan antiseptik selama pemasangan alat  Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum  Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing  Tingkatkan intake nutrisi  Berikan terapi antibiotik bila perlu Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)  Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal

 

 



 







  







21

Monitor hitung granulosit, WBC Monitor kerentanan terhadap infeksi Batasi pengunjung Sering pengunjung terhadap penyakit menular Pertahankan teknik aspesis pada pasien yang berisiko Pertahankan teknik isolasi k/p Berikan perwatan kulit pada area epidema Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase Inspeksi kondisi luka/ insisi bedah Dorong masukkan nutrisi yang cukup Dorong masuk cairan Dorong istirahat Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi Ajarkan cara menghindari infeksi Laporkan kultur positif

4. Implementasi No

Diagnosa

1.

Nyeri b/d Agen cedera (mis, biologis, zat kimia, fisik, psikologis )

Tujuan dan Kriteria Hasil Tujuan : Pasien tidak mengala mi nyeri atau tidak atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima.

Intervensi

 Tentukan riwayat nyeri, misal: lokasi nyeri, frekuensi, durasi, dan intensitas (skala 0-10), dan tindakan penghilangan yang digunakan  Berikan tindakan kenyamanan dasar, misal: resposisi, gosokan punggung dan aktifitas hiburan misal: musik dan televisi  Dorong penggunaan keterampilan manejemen nyeri(misal: teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi), tertawa, musik dan sentuhan teraupetik

22

Rasional

Implementasi

Evaluasi

09.00-15.00  Untuk mengetah  Menentuka ui lokasi n lokasi nyeri dan nyeri pasien tingkat dengan cara nyeri yang menanyaka di rasakan n kepada pasien pasien lokasi nyeri yang di rasakan  Memberika n tindakan kenyamana  Sebagai analgesik n dasar tambahan kepada pasien misal: resposisi, gosokan punggung dan aktifitas hiburan misal:  Untuk musik dan menguran televisi. gi rasa sakit  Mendorong penggunaan keterampila n manejemen nyeri(misal: teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi), tertawa, musik dan sentuhan teraupetik

S : pasien menunjukk an lokasi nyeri yang di rasakan O: lokasi nyeri sudah di ketahui A: masalah belum teratasi P: intervensidi lanjutkan

 Evaluasi penghilangan nyeri/kontrol nilai aturan pengobatan bila perlu.

2.

Intolerans i aktivitas b/d Tirah baring atau imobilisasi , Ketidaksei mbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, Imobilitas Gaya hidup monoton

Tujuan :  Bantu klien Pasien untuk mendapat mengidentifi istrahat kasi aktivitas yang yang mampu adekuat dilakukan  Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologis, dan social  Bantu untuk

mendapatkan alat bantuan aktivitas sperti kursi roda, krek  Bantu klien

untuk membuat jadwal ltihan diwaktu luang

23

 Untuk mencegah kambuhny a nyeri

 Mengevalu asi penghilang an nyeri/kontr ol nilai aturan pengobatan bila perlu.

 Untuk  Membantu mengetahu klien untuk i tingkat mengidentif kemampua ikasi n fisik aktivitas pasien yang mampu dilakukan  Untuk menguran  Membantu gi untuk pengeluara msmilih n energi memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologis,  Menguran dan social gi  Membantu kelelahan untuk pada mendapatka pasien n alat bantuan aktivitas  Menguran sperti kursi gi roda, krek kelelahan  Membantu pasien klien untuk membuat jadwal ltihan diwaktu luang

S: Pasien masih mengeluh lelah O: Tubuh pasien tampak lemas A: Masalah belum teratasi P: Intervensi dilanjutkan

3.

4.

Ganggua n rasa nyaman b/d Gejala terkait penyakit, Kurang pengendal ian lingkunga n, Stimulasi lingkunga n yang menggang gu, Efek samping terkait terapi (mis, medikasi, radiasi)

Tujuan :  Jelaskan pasien semua mendapat prosedur dan kan rasa apa yang nyaman dirasakan selama prosedur  Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi rasa takut  Dorong pasien untuk mengungkap kan perasaan, ketakutan, persepsi  Berikan obat untuk mengurangi kecemasan

 Mengetah ui tingkat rasa nyaman pasien

Resiko infeksi b/d Penyakit kronis - Diabetes melitus - Obesita s Pengetah uan yang tidak cukup untuk menghind ari pemanjan an

Tujuan :  Bersihkan Tidak lingkungan menunju setelah kkan dipakai tandapasien lain tanda  Cuci tangan infeksi setiap dan sebelum dan penyemb sesudah uhan luka tindakan berlangsu keperawatan ng  Gunakan normal kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung

 Membersih S:Pasien  Untuk masih kan menguran lingkungan merasakan gi dampak sakit akibat setelah pemindaha infeksi dipakai n bakteri pasien lain dari pasien O: Pasien lain  Mencuci nampak tangan  Untuk meringis setiap mencegah sakit karena sebelum bakteri dan sesudah faktor pindah ke infeksi tindakan pasien keperawata  Untuk A: Masalah n mencegah  Menggunak belum dampak teratasi an kateter besar intermiten infeksi untuk

24

 Menjelaska S: Pasien

n semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur  Untuk mengalihk  Menemani pasien an untuk perhatian memberikan pasien keamanan terhadap dan kecemasan mengurangi karena rasa takut penyakit  Mendorong  Untuk pasien mengetahu untuk i tingkat mengungka kecemasan pkan pasien perasaan,  Membantu ketakutan, menguran persepsi gi kecemasan  Memberika n obat untuk pasien mengutrang i kecemasan

mengatakan sudah merasa nyaman O: Pasien terlihat nyaman dengan situasi sekarang A: Masalah teratasi P: Intervensi di hentikan

patogen, Pertahan tubuh primer yang tidak adekuat - Ganggua n peritalsik - Kerusaka n integritas kulit (pemasan gan kateter intravena , prosedur infasif)

kencing menurunkan P:  Nutrisi infeksi Intervensi yang baik  Tingkatkan kandung di lanjutkan intake nutrisi dapat kencing menurunk  Berikan an dampak  Meningkatk terapi besar an intake antibiotik bila infeksi nutrisi perlu  Memberika n terapi  Mencegah terjadinya antibiotik infeksi bila perlu

25

BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Ginjal sangat terlindungi oleh organ-organ disekitarnya sehingga diperlukan kekuatan yang cukup yang bisa menimbulkan cedera ginjal. Namun pada kondisi patologis seperti hidronefrosis atau malignansiginjal maka ginjal mudah ruptur oleh hanya trauma ringan. Mobilitas ginjal sendiri membawa konsekuensi terjadinya cedera parenkim ataupun vaskuler. Sebagian besar trauma ginjal adalah trauma tumpul dan sebagian besar trauma tumpul menimbulkan cedera minor pada ginjal yang hanya membutuhkan bed rest.. Diagnosis trauma ginjal ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada pemeriksaan fisik digali mekanisme trauma serta kemungkinan gaya yang menimpa ginjal maupun organ lain disekitarnya. Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menilai ABC nya trauma, lokal ginjal maupun organ lain yang terlibat. Pada pasien mungkin ditemukan hematuria gross ataupun mikroskopis atau mungkin tanpa hematuria. Bila kondisi tidak stabil walau dengan resusitasi maka tidak ada pilihan kecuali eksplorasi segera .Pada pemeriksaan penunjang plain photo bisa ditemukan patah tulang iga bawah, prosesus transversus vertebra lumbal yang menunjukkan kecurigaan kita terhadap trauma ginjal. Pada pemeriksaan IVU akurasinya 90% namun pada pasien hipotensi tidak bisa diharapkan hasilnya. IVU juga tidak bisa menilai daerah retroperitoneal serta sangat sulit melakukan grading. Pada kondisi tak stabil, maka hanya dilakukan one shot IVU yang bisa menilai ginjal kontralateral. Pemeriksaan dengan CT scan merupakan gold standard karena dengan alat ini bisa melakukan grading dengan baik. Bagian-bagian infark ginjal terlihat, serta seluruh organ abdomen serta retroperitoneum juga jelas. Pemeriksaan angiografi sangat baik dilakukan pada kecurigaan cedera vaskuler. Dilakukan arteriografi apabila CT scan tidak tersedia. Kerugiannya pemeriksaan ini invasif. Prinsip penanganan trauma ginjal adalah meminimalisasi morbiditas dan mortalitas serta sedapat mungkin mempertahankan fungsi ginjal. Hanya pasien dengan indikasi jelas dilakukan nefrektomi. Keselamatan jiwa pasien tentunya lebih penting dari pada usaha peyelamatan ginjal namun jiwa melayang. Teknik operasi saat ini memegang peranan penting dalam penyelamatan ginjal. Dengan kontrol pembuluh darah ginjal maka terjadi penurunan angka nefrektomi. Kontrol pembuluh darah dilakukan diluar fasia Gerota sebelum masuk zona trauma. Tanpa isolasi arteri dan vena , dekompresi hematom ginjal yang dilakukan durante operasi meningkatkan insidensi nefrektomi.

2. Saran Kelainan traumatic pada saluran kemih seringkali tak disadari dan mungkin tidak meninggalkan tanda/gejala klinis. Namun apabila tanda dan gejala tersebut diatas anda alami maka penulis menyarankan untuk cepat memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca.

26

3. JURNAL 1. Tatalaksana Konservatif Pasien Dewasa dengan Trauma Tumpul Ginjal Derajat IV Terisolasi Abstract Trauma ginjal adalah trauma saluran kemih yang paling sering, tetapi trauma ginjal berat terisolasi cukup jarang. Tulisan ini membahas kasus pasien dewasa dengan cedera ginjal derajat IV terisolasi yang ditatalaksana konservatif non-operatif. Tidak ditemukan komplikasi signifikan selama masa observasi dan pasca-rawat. Tatalaksana konservatif nonoperatif dapat menjadi salah satu pilihan tatalaksana trauma ginjal derajat IV tanpa masalah hemodinamik. References : - Summerton DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas F, Lumen N, Serafetinidis E. Guidelines on urological trauma. European Association of Urology. 2014. - Santucci RA, Doumanian LR. Upper urinary tract trauma. In: Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell’s urology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders Company; 2011. p1169-78. 2. ULTRASONOGRAFI UNTUK PREDIKSI LASERASI PARENKIM GINJAL DAN HEMATOMA PERIRENAL PADA PASIEN TRAUMA TUMPUL ABDOMEN DENGAN KECURIGAAN TRAUMA GINJAL Abstract Tujuan: Untuk mengevaluasi sensitivitas dan spesifisitas ultrasound dalam memprediksi laserasi parenkim ginjal dan hematoma perirenal pada pasien dengan trauma tumpul perut dengan kecurigaan trauma ginjal, sebagaimana ditegaskan oleh temuan operatif dalam laparotomi eksploratif. Bahan & metode: Dari Maret 2005 hingga Maret 2006, kami menemukan 28 pasien yang dirawat di bagian gawat darurat dengan trauma tumpul perut dengan kecurigaan trauma ginjal. Setiap pasien dipindai secara sonografi untuk mendeteksi adanya laserasi parenkim ginjal dan hematoma perirenal. Semua pasien tersebut menjalani laparotomi untuk indikasi tertentu, tetapi bukan karena temuan ultrasound. Temuan ultrasound kemudian diperiksa dengan temuan operatif. Hasil: Sensitivitas ultrasound dalam memprediksi laserasi parenkim ginjal adalah 53,8%, sementara sensitivitasnya dalam memprediksi hematoma perirenal adalah 75%. Kekhususan ultrasound dalam memprediksi kedua laserasi parenkim ginjal dan hematoma perirenal adalah 100%. Kesimpulan: USG untuk trauma ginjal sensitif dalam memprediksi adanya hematoma perirenal, tetapi tidak sensitif dalam memprediksi keberadaan laserasi parenkim ginjal. Ultrasound sangat spesifik dalam memprediksi apakah hematom perirenal dan laserasi parenkim ginjal hadir. (Terjemahan dari bahasa inggris) References : - McAninch JW, Santucci RA. Genitourinary trauma. In: Walsh, Retik, Vaughan, Wein. Campbell’s Urology. 8th ed. Philadelphia: Saunders; 2002. p. 3710 – 14. - Argyle B. Abdominal trauma. 1996. Available from: http://www.medsci.com/. Diakses Mei 2005

27

3. Renal Trauma Abstract Ginjal adalah organ berpasangan yang terletak di belakang posterior peritoneum di setiap sisi kolom vertebral dan dikelilingi oleh jaringan ikat adiposa. Setiap ginjal memiliki bentuk karakteristik dengan kutub superior dan inferior, perbatasan cembung ditempatkan di lateral, dan perbatasan medial cekung. Secara garis besar mereka sejajar dengan batas atas vertebra torakel kedua belas, inferior dengan lumbar ketiga. Ginjal kanan biasanya lebih rendah karena volume hati, sedangkan yang kiri sedikit lebih panjang dan sempit dan terletak lebih dekat dengan bidang median. Sumbu panjang masing-masing ginjal diarahkan secara inferolateral dan melintang secara posterolateral. (Terjemahan dari bahasa inggris) References : - Abdalati H, Bulas DI et al (1994) Blunt renal trauma in children: healing of renal injuries and recommendations for imaging follow-up. Pediatr Radiol 24:573PubMedCrossRefGoogle Scholar - Abu-Zidan FM, Al-Tawheed A et al (1999) Urologic injuries in the Gulf War. Int Urol Nephrol 31:577PubMedCrossRefGoogle Scholar - Acheson, AG, Graham AN et al (1998) Prospective study on factors delaying surgery in ruptured abdominal aortic aneurysms. J R Coll Surg Edinb 43:182PubMedGoogle Scholar

4. Hubungan gambaran ultrasonografi ginjal dengan laju Filtrasi Glomerulus (GFR) pada penderita gangguan ginjal Abstract : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami korelasi antara pemeriksaan ultrasonografi ginjal dan Laju Filtrasi Glomerular (GFR) pada pasien penyakit ginjal yang dirujuk ke ultrasonografi ginjal di Instalasi Radiologi, Rumah Sakit Sardjito. Subjek penelitian adalah pasien dengan gangguan ginjal yang diobati dari Juli 2008 hingga Juli 2009 yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah usia 20-65 tahun, berat badan normal (Indeks Massa Tubuh 18,5-22,9 kg / m), dan kreatinin serum normal. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan anomali kongenital ginjal dan trauma ginjal. Variabel independen adalah ukuran, struktur gandeng, batas antara korteks dan medula, sistem pyelocaliceal dan gambar abnormal lainnya seperti batu, massa. Variabel dependen adalah GFR (Schwartz). Chi square digunakan untuk menganalisis korelasi antara variabel independen dan dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi yang signifikan diamati antara fungsi ginjal (GFR) terhadap ukuran (p = 0,012); echostructure (p = 0,000); cortex-medulla border (p = 0,004) dan sistem pyelocaliceal (p = 0,01). Di sisi lain, batu ginjal dan massa tidak menunjukkan korelasi dengan fungsi ginjal (GFR), p = 0,670. Disarankan bahwa penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk meningkatkan akurasi ultrasonografi ginjal dalam mengklarifikasi korelasi antara fungsi ginjal ke indeks resistivitas arteri ginjal dengan menggunakan ultrasonografi doppler. (Terjemahan dari bahasa inggris)

28

References : -

-

-

Bates JA 2004. Abdominal Ultrasound: How, Why and When,ed 2, Churchill Livingstone. Edinburg London New York Offord Philadelphia St Louis Sydney Toronto. Cosgrove D, Meire H dan Dewbury K 1993. Abdominal and General Ultrasound, vol.2, Churchill Livingstone, Edinburgh London Madrid Melbourne New York and Tokyo. Dahlan SM 2006. Besar Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Pusat Consulting, ed 2, PT ARKANS, Pulogadung, Jakarta.

5. Faktor-Faktor Resiko Penyebab Gagal Ginjal Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisa Di Rsud Rsud Dr. Soedarso Pontianak Tahun 2013 Supriadi Supriadi, Wuriani Wuriani, Margediana Margediana Abstract Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini seluruh penderita gagal ginjal di ruang hemodialisis Rumah Sakit Dr. Soedarso Pontianak. Dengan sampel 30 orang diambil secara purposive sampling. Pengambilan data dilakukan pada 1 - 23 Januari 2014 dengan berdasarkan faktor makanan dari hasil penelitian ini (berminyak dan kolesterol) sebanyak 46,7%, faktor minuman (minuman ringan dan alkohol) 43,3% dan karena kebiasaan mengkonsumsi lebih sedikit -air sebanyak 73,3%, faktor cedera ginjal 26,7%, faktor merokok sebanyak 26,7%, faktor hipertensi sebanyak 53,3%, faktor kerja 26,7%, faktor suplemen 50%, faktor diabetes mellitus sebanyak 56,7%, faktor dari keluarga (pernah menderita gagal ginjal) sebanyak 20%. (Terjemahan dari bahasa inggris)

References : - Arikunto.(2002). Metodologi penelitian suatu pendekatan proposal. PT Rineka Cipta: Jakarta - Binangkit, Anintia Ayu (2008). Identifikasi faktor – faktor penyebab gagal ginjal di ruang haemodialisa rumah sakit militer kota malang.KTI.Program studi DII keperawatan.Universitas Muhammadyah Malang. - Brunner and Suddarth.(2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah, edisi 8, volume 3.EGC : Jakarta.

29

4. KUISIONER 1. Pada penanganan trauma ginjal grade IV yang menyebabkan komplikasi paling minimal dan paling baik melindungi fungsi ginjal adalah berikut dibawah ini a. konservativ b. pemasangan stent c. Renorrhapy d. Nephrectomy e. Embolisasi ginjal via catheter 2. Pasien yang menunjukkan laserasi kurang ginjal yang terbatas pada korteks Sedalam kurang dari 1 cm, dengan hematoma pada jaringan sekitar ginjal, tanpa ektravasasi; a. I b. II c. III d. IV e. I dan II 3. Pada pasien trauma ginjal hal yang terpenting dari informasi klinis yang diikuti adalah a. Nilai serum kreatinin. b. CT ren c. USG renal d. Pengukuran tekanan darah e. Level serum kreatinin. 4. Menurut anda kebisaan apa yang dapat menjaga kesehatan ginjal? a. Bekerja terus menerus, minum – minuman berenergi b. Banyak olahraga, banyak makan – makanan berminyak, banyak minum teh. c. Banyak olahraga, banyak minum air putih, banyak istirahat d. Kurangi olahraga, perbanyak duduk e. a, b, c, dan d benar

5.

Faktor yang menjadi pencetus gagal ginjal kronik adalah . . . a. Pola hidup, penyakit darah tinggi, diabetes b. Keturunan, keluarga, riwayat penyakit kronis c. Gaya hidup, keturunan, kelainan d. Pola kebisaan e. a, b, c, dan d salah

30

Daftar Pustaka -

Purnawan Junadi, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 2. Media Aeskulapius, FKUI

-

1982. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990.

-

Doenges E Marilynn, 2000., Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta

-

Kalim, Handono, 1996., Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

-

Mansjoer, Arif, 2000., Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculaapius FKUI, Jakarta.

-

Prince, Sylvia Anderson, 1999., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit., Ed. 4, EGC, Jakarta.

Jurnal : -

Summerton DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas F, Lumen N, Serafetinidis E. Guidelines on urological trauma. European Association of Urology. 2014.

-

McAninch JW, Santucci RA. Genitourinary trauma. In: Walsh, Retik, Vaughan, Wein. Campbell’s Urology. 8th ed. Philadelphia: Saunders; 2002. p. 3710 – 14.

-

Abdalati H, Bulas DI et al (1994) Blunt renal trauma in children: healing of renal injuries and recommendations for imaging follow-up. Pediatr Radiol 24:573PubMedCrossRefGoogle Scholar

-

Bates JA 2004. Abdominal Ultrasound: How, Why and When,ed 2, Churchill Livingstone. Edinburg London New York Offord Philadelphia St Louis Sydney Toronto.

Internet : www.google.com stikep.blogspot.com www.pdfcoke.com media.asuhankeperawatan.blogspot.com

31

Related Documents

Askep Norman Laia-3.docx
November 2019 11
Norman Rockwell
June 2020 8
Norman Borlogue
June 2020 13
Norman Rockwell
June 2020 15
Norman Sprague
December 2019 30
Norman Lincoln
December 2019 31

More Documents from "Angus Davis"