ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN TN ”P ” DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN: GAGAL NAPAS DI RUANG IGD RUMAH SAKIT RK CHARITAS PALEMBANG
Nama: Dwi Puji Lestari Nim: 1835011 Prodi: Profesi Ners
UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS FAKULTAS ILMU KESEHATANPROGRAM STUDI PROFESI NERS PALEMBANG 2018/2019
KATAPENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan laporan Lengkap Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan pada Tn ”P” dengan gagal napas. Dalam penulisan laporan ini, mendapat banyak bimbingan, arahan, bantuan dan penjelasan materi dari pembimbing pendidikan dan beberapa pihak lainnya, oleh karena itu pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas ilmu kesehatan Universitas Khatolik Musi Charitas 2. Ketua program ilmu keperawatan Fakultas ilmu Kesehatan Universitas Khatolik Musi Charitas 3. Pembimbing (Preseptor) pendidikan program studi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan 4. Pembimbing (Preseptor dan Mentor) Klinik Yoseph II RS.RK Charitas Palembang 5. Staff perpustakaan Fakultas Ilmu Kesehatan UNIKA Musi Charitas Semoga Laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis serta dapat pula menambah wawasan dan pengetahuan khususnya mahasiswa/i S1 Keperawatan dan profesi ners.
Palembang, Desember 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Sampul depan Kata Pengantar Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum 2. Tujuan Khusus BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Medis 1. Definisi 2. Anatomi fisiologi 3. Patofisiologi 4. Etiologi 5. Manifestasi Klinis 6. Penatalaksanaan B. Konsep asuhan Keperawatan 1. Pengkajian 2. Diagnosa keperawatan BAB III TINJAUAN KASUS 1. Pengkajian 2. Diagnosa Keperawatan 3. Intervensi 4. Implementasi 5. Evaluasi BAB IV PEMBAHASAN 1. Pengkajian 2. Diagnosa Keperawatan 3. Intervensi 4. Implementasi 5. Evaluasi BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan 2. Saran
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal napas merupakan suatu kondisi kritis yang diartikan sebagau ketidakmampuan sistem pernapasan untuk memprtahankan homeostasis oksigen dan karvondiaksida. Fungsi jalan napas terutama sebagai fungsu ventilasi dan fungsi respiratori. Kasus gagal napas akan terjadi kelainan fungsi obstruksi maupun fungsi refriktif, akan tetapi dalam keilmuan keperawatan kritis yang menjadi penilaian utama adalah defek pertukaran gas didalam unit paru, antara lain kelainan dufysi dan kelainan ventilasi perfusi. Kedua kelainan ini umumnya menimbulkan penurunan Po2, peninggian PaCO2 dan penurunan PH yang dapat menimbulkan komplikasi pada organ lainnya (Tabrani, 2008). Secara teoritis tekanan oksigen di alveolus (PaO2) sama denganan oksigen pada saat inspirasi (PiO2) dan dibagi dengan R (rasio pertukaran respiratori). Rentang nilai standar PaCO2 yaitu antara 80 sampai 100 mmHg. Kasus gagal napas akan dijumpai dengan tekanan oksigen arteri kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondiaksida lebih besar dari 54 mmHg (Hiperkapnia). Umumnya penyakit ini di tentukan oleh adanya kriteria PaO2 < 60% mmHg. paCo2 > 50 mmHg serta adanya perubahan pada PH , < 7,35 atay > 7,45. hCO# < 20, BE < -2,5 dan saturasi oksigen < 90% (tabrani, 2008). Tanda tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien yang mengalami kegagalan pernapasan antara lain: Frekuensi pernapasan > 30 x/menit atau < 10 x/menit, napas pendek atau cepat dan dangkal atau cuping hidung, menggunakan otot bantu pernapasana, adanya whezzing, ronchi pada auskultasi. Batuk terdengar produktif tetapi sekret sulit dikeluarkan, pengembangan dada tidak simetris, ekspirasi memanjnag, mudah capek, sesak napas saat beraktifitas, takhikardi atau bradikardi, tenakan darah dapat meningkat atau menurun, pucat atau dingin, sianosis pada kedua ekstremitas (yildirim, 2010). Menurut WHO (2008), efusi pleura merupakan suatu gejala penyakit yang dapat mengancam jiwa penderitanya. Secara geografis penyakit ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Di negara-negara industri, diperkirakan terdapat 320 kasus efusi pleura per 100.000 orang. Amerika Serikat melaporkan 1,3 juta orang setiap tahunnya menderita efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif dan pneumonia bakteri. Menurut Depkes RI (2006), kasus efusi pleura mencapai 2,7 % dari penyakit infeksi saluran napas lainnya. WHO memperkirakan 20% penduduk kota dunia pernah menghirup udara kotor akibat emisi kendaraan bermotor, sehingga banyak penduduk yang berisiko tinggi penyakit paru dan saluran pernafasan seperti efusi pleura. Menurut Baughman (2009), efusi menunjukkan tanda dan gejala yaitu sesak nafas, bunyi pekak atau datar pada saat perkusi di atas area yang berisi
cairan, bunyi nafas minimal atau tak terdengar dan pergeseran trachea menjauhi tempat yang sakit. Umumnya pasien datang dengan gejala sesak nafas, nyeri dada, batuk, dan demam. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan abnormalitas dengan bunyi redup pada perkusi, penurunan fremitus pada palpasi, dan penurunan bunyi napas pada auskultasi paru bila cairan efusi 2 sudah melebihi 300 ml. Foto toraks dapat digunakan untuk mengkonfirmasi terjadinya efusi pleura (Khairani dkk., 2012). Akibat lanjut pada pasien efusi pleura jika tidak ditangani dengan Water Sealed Drainage (WSD) akan terjadi atalektasis pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan oleh penekanan akibat efusi pleura, fibrosis paru dimana keadaan patologis terdapat jaringan ikat paru dalam jumlah yang berlebihan, empiema dimana terdapat kumpulan nanah dalam rongga antara paru-paru (rongga pleura), dan kolaps paru (Headher, 2011). Tindakan yang dapat dilakukan pada efusi pleura adalah pemasangan WSD untuk mengembalikan kondisi di dalam cavum pleura kembali normal. WSD adalah suatu sistem drainage yang menggunakan water sealed untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura (rongga pleura) tujuannya adalah untuk mengalirkan udara atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut, dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura / lubricant (Arif, 2008). Permasalahan efusi pleura pasca pemasangan WSD, antara lain nyeri akut berhubungan dengan tindakan insisi pemasangan WSD, pola napas tidak efektif, gerakan iga disisi yang luka menjadi berkurang, risiko infeksi berhubungan dengan tindakan insisi / invansif akibat pemasangan selang WSD kesakitan ketika bernafas dan mendadak merasakan sesak. Sesak nafas terjadi karena masih adanya timbunan cairan dalam ronga paru yang akan memberikan kompresi patologi pada paru sehingga ekspensinya terganggu, 3 dan berkurangnya kemampuan meregang otot inspirasi akibat terjadi restriksi oleh cairan (Syahrudin dkk., 2009). Permasalahan ini perlu ditangani salah satu penanganannya dengan pemberian chest terapy. Chest therapy adalah bentuk teknik terapi latihan dan modalitas untuk mencapai efektivitas evluasi, terutama pasien dengan kondisi penurunan fungsi kardiopulmonal. Dengan melihat fakta tersebut dibutuhkan usaha untuk memperbaiki permasalahan pada efusi pleura pasca WSD terhadap drajat sesak nafas. Metode latihan pernapasan yang akan digunakan antara lain, pursed lips breathing berfungsi untuk memperbaiki dan memperlancar pembersihan saluran nafas dan ventilasi (pertukaran udara) melalui gerakan dan pengeluaran lendir/mukosa, serta menurunkan kebutuhan energi selama pernafasan melalui latihan pernafasan, dan mobilisasi sangkar torak untuk mencegah atau memperbaiki kelainan postural yang berkaitan dengan gangguan pernafasan, membantu relaksasi, memelihara dan memperbaiki gerakan torak, relaksasi sangkar torak (Kisner, 2010). Berdasarkan uraian diatas peneliti merasa tertarik melakukan penelitian mengenai pengaruh chest therapy terhadap drajat sesak nafas pada pasien efusi pleura pasca WSD.
B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Untuk dapat menerapkan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan untuk mengatasi masalah pada penyakit gagal napas. 2. Tujuan Khusu a. Dapat melakukan pengkajian pada Tn “P” yang menderita gagal napas di Ruang IGD Rumah sakit R.K Charitas palembang. b. Dapat menentukan masalah dan diagnosa keperawatan pada Tn “P” yang menderita gagal naps di Ruang IGD Rumah sakit R.K Charitas palembang. c. Dapat membuat perencanaan asuhan keperawatan pada Tn “P” yang menderita gagal napass di Ruang IGD Rumah sakit R.K Charitas palembang. d. Dapat melaksanakan tindakan keperawatan pada Tn “P” yang menderita gagal napas di Ruang IGD Rumah sakit R.K Charitas palembang. e. Dapat melaksanakan evaluasi keperawatan dan mengetahui sejauh mana keberhasilan asuhan keperawatan yang telah diterapkan pada Tn “P” yang menderita gagal napas di Ruang IGD Rumah sakit R.K Charitas palembang. C. Metode Penulisan Metode penulisan yang digunakan dalam laporan ini dengan metode observasi, dengan tehnik pengumpulan data, wawancara, pemeriksaan fisik, dan dokumentasi (rekam medis) D. Sistematika Penulisan Dalam asuhan keperawatan pada pasien Tn ”P” dengan gagal napas. BAB I : Pendahuluan BAB II : Tinjauan Teori BAB III : Tinjauan Kasus BAB IV : Pembahasan BAB V : Penutup
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Medis 1. Definisi Gagal napas akut adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis (Corwin, 2009). Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru yang mendadak dan mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon dioksida dan oksigen yang tidak adekuat (Morton, 2011). Gagal napas akut adalah suatu keadaan klinis yaitu sistem pulmonal tidak mampu mempertahankan pertukaran gas yang adekuat (Chang, 2009). 2. Anatomi Fisiologi
Gambar 2.1 Anatomi sistem pernapasan 1. Anatomi sistem pernapasan 1. Organ pernapasan A. Hidung Hidung atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung (Syaifuddin, 2008). Di bagian depan berhubungan keluar melalui nares (cuping hidung) anterior dan di belakang berhubungan dengan bagian
atas farings (nasofaring). Masing-masing rongga hidung dibagi menjadi bagian vestibulum, yaitu bagian lebih lebar tepat di belakang nares anterior, dan bagian respirasi (Graaff, 2010). Menurut Pearce (2009) permukaan luar hidung ditutupi oleh kulit yang memiliki ciri adanya kelenjar sabesa besar, yang meluas ke dalam vestibulum nasi tempat terdapat kelenjar sabesa, kelenjar keringat, dan folikel rambut yang kaku dan besar. Rambut ini berfungsi menapis benda-benda kasar yang terdapat dalam udara inspirasi. Terdapat 3 fungsi rongga hidung : 1. Dalam hal pernafasan = udara yang di inspirasi melalui rongga hidung akan menjalani 3 proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghanatan, dan pelembaban. 2. Ephithelium olfactory = bagian meial rongga hidung memiliki fungsi dalam penerimaan bau. 3. Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukan suara- suara fenotik dimana ia berfungsi sebagai ruang resonasi. Menurut Graaff (2010) pada potongan frontal, rongga hidung berbentuk seperti buah alpukat, terbagi dua oleh sekat (septum mediana). Dari dinding lateral menonjol tiga lengkungan tulang yang dilapisi oleh mukosa, yaitu: 1. Konka nasalis superior, 2. Konka nasalis medius, 3. Konka nasalis inferior, terdapat jaringan kavernosus atau jaringan erektil yaitu pleksus vena besar, berdinding tipis, dekat permukaan. Diantara konka-konka ini terdapat 3 buah lekukan meatus yaitu meatus superior (lekukan bagian atas), meatus medialis (lekukan bagian tengah dan meatus inferior (lekukan bagian bawah). Meatus-meatus inilah yang dilewati oleh udara pernafasan, sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungan dengan tekak, lubang ini disebut koana. Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas, keatas rongga hidung berhubungan dengan beberapa rongga yang disebut sinus paranasalis, yaitu sinus maksilaris pada rongga rahang atas, sinus frontalis pada rongga tulang dahi, sinus sfenoidalis pada rongga tulang baji dan sinus etmodialis pada rongga tulang tapis (Syaifuddin, 2009). Pada sinus etmodialis, keluar ujung-ujung saraf penciuman yang menuju ke konka nasalis. Pada konka nasalis terdapat sel-sel penciuman, sel tersebut terutama terdapat di bagianb atas. Pada hidung di bagian mukosa terdapat serabut-serabut syaraf atau respektor dari saraf penciuman disebut nervus olfaktorius (Syaifuddin, 2009).
Disebelah belakang konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari langit-langit terdapat satu lubang pembuluh yang menghubungkan rongga tekak dengan rongga pendengaran tengah, saluran ini disebut tuba auditiva eustaki, yang menghubungkan telinga tengah dengan faring dan laring. Hidung juga berhubungan dengan saluran air mata disebut tuba lakminaris (Syaifuddin, 2009). Fungsi hidung, terdiri dari : 1. Bekerja sebagai saluran udara pernafasan 2. Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu hidung 3. Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa 4. Membunuh kuman-kuman yang masuk, bersama-sama udara pernafasan oleh leukosit yang terdapat dalam selaput lendir (mukosa) atau hidung. B. Faring Tekak atau faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan. Terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain keatas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium. Ke bawah terdapat dua lubang, ke depan lubang laring, ke belakang lubang esofagus (Syaifuddin, 2009). Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat folikel getah bening. Perkumpulan getah bening ini dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat 2 buah tonsilkiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang terdapat epiglottis (empang tenggorok) yang berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan (Syaifuddin, 2009). Menurut Graaff (2010) Faring dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Nasofaring, yang terletak di bawah dasar tengkorak, belakang dan atas palatum molle. Pada bagian ini terdapat dua struktur penting yaitu adanya saluran yang menghubungkan dengan tuba eustachius dan tuba auditory. Tuba Eustachii bermuara pada nasofaring dan berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrane timpani. Apabila tidak sama, telinga terasa sakit. Untuk membuka tuba ini, orang harus menelan. Tuba Auditory yang menghubungkan nasofaring dengan telinga bagian tengah. 2. Orofaring merupakan bagian tengah farings antara palatum lunak dan tulang hyodi. Pada bagian ini traktus respiratory
3.
dan traktus digestif menyilang dimana orofaring merupakan bagian dari kedua saluran ini. Orofaring terletak di belakang rongga mulut dan permukaan belakang lidah. Dasar atau pangkal lidah berasal dari dinding anterior orofaring, bagian orofaring ini memiliki fungsi pada system pernapasan dan system pencernaan. refleks menelan berawal dari orofaring menimbulkan dua perubahan makanan terdorong masuk ke saluran cerna (oesophagus) dan secara stimulant, katup menutup laring untuk mencegah makanan masuk ke dalam saluran pernapasan. Orofaring dipisahkan dari mulut oleh fauces. Fauces adalah tempat terdapatnya macam-macam tonsila, seperti tonsila palatina, tonsila faringeal, dan tonsila lingual. Laringofaring terletak di belakang larings. Laringofaring merupakan posisi terendah dari farings. Pada bagian bawah laringofaring system respirasi menjadi terpisah dari sitem digestif. Udara melalui bagian anterior ke dalam larings dan makanan lewat posterior ke dalam esophagus melalui epiglottis yang fleksibel.
C. Laring Pangkal Tenggorokan (laring) merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring (Syaifuddin, 2009). Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara lain: 1. Kartilago tiroid (1 buah) depan jakun sangat jelas terlihat pada pria. 2. Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker 3. Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin 4. Kartilago epiglotis (1 buah). 5. Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis (Syaifuddin, 2009). Proses pembentukan suara : Terbentuknya suara merupakan hasil dari kerjasama antara rongga mulut, rongga hidung, laring, lidah dan bibir. Pada pita suara palsu tidak terdapat otot, oleh karena itu pita suara ini tidak dapat bergetar, hanya antara kedua pita suara tadi dimasuki oleh aliran udara maka tulang rawan gondok dan tulang rawan bentuk beker tadi diputar. Akibatnya pita suara dapat mengencang dan mengendor dengan demikian sela udara menjadi sempit atau luas (Syaifuddin, 2009).
Pergerakan ini dibantu pula oleh otot-otot laring, udara yang dari paru-paru dihembuskan dan menggetarkan pita suara. Getaran itu diteruskan melalui udara yang keluar – masuk. Perbedaan suara seseorang bergantung pada tebal dan panjangnya pita suara. Pita suara pria jauh lebih tebal daripada pita suara wanita (Syaifuddin, 2009). D. Trakea Batang Tenggorokan (trakea) merupakan lanjutan dari laring yang terbentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulangtulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda. Panjang trakea 9-11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia hanya bergerak kearah luar (Syaifuddin, 2009). Trakea terletak di depan saluran esofagus, mengalami percabangan di bagian ujung menuju ke paru-paru. Yang memisahkan trakea menjadi bronkus kiri dan kanan disebut karina. Dinding-dinding trakea tersusun atas sel epitel bersilia yang menghasilkan lendir. Lendir ini berfungsi untuk penyaringan lanjutan udara yang masuk, menjerat partikel-partikel debu, serbuk sari dan kontaminan lainnya. Sel silia berdenyut akan menggerakan mukus ini naik ke faring yang dapat ditelan atau dikeluarkan melalui rongga mulut. Hal ini bertujuan untuk membersihkan saluran pernapasaan (Graaff, 2010). E. Bronkus Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri, bronkus lobaris kanan ( 3 lobus) dan bronkus lobaris kiri ( 2 bronkus). Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental. Bronkus segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfatik dan saraf (Syaifuddin, 2009). 1. Bronkiolus Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus. Bronkiolus mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan nafas. 2. Bronkiolus terminalis 3. Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respirstori. Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara lain jalan nafas konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
4.
Bronkiolus respiratori Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar. Dan kemudian menjadi alvioli.
F. Paru-Paru Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m². Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paruparu ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan) (Syaifuddin, 2009). Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus (Syaifuddin, 2009). Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm (Syaifuddin, 2009). Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-paru. Kedua pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa) sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernapas (Syaifuddin, 2009).
Persyarafan penting dalam aksi pergerakan pernapasan disuplai melalui N. Phrenicus dan N. Spinal Thoraxic. Nervus Phrenicus mempersyarafi diafragma, sementara N.Spinal Thoraxic mempersyarafi intercosta. Di samping syaraf-syaraf tersebut, paru juga dipersyarafi oleh serabut syaraf simpatis dan para simpatis (Pearce, 2008). Di dalam paru terdapat peredaran darah ganda. Darah yang miskin oksigen dari ventrikel kanan masuk ke paru melalui arteri pulmonalis. Selain system arteri dan vena pulmonalis, terdapat pula arteri dan vena bronkialis, yang berasal dari aorta, untuk memperdarahi jaringan bronki dan jaringan ikat paru dengan darah kaya oksigen. Ventilasi paru (bernapas) melibatkan otot-otot pernapasan, yaitu diafragma dan otot-otot interkostal. Selain ini ada otot-otot pernapasan tambahan eperti otot-otot perut (Graaff, 2010). Menurut Pearce (2007) volume udara pernafasan terdiri dari: 1. Volume Tidal (VT) : Volume udara yang keluar masuk paru-paru sebagai akibat aktivitas pernapasan biasa (500 cc). 2. Volume Komplemen (VK) : Volume udara yang masih dapat dimasukkan secara maksimal ke dalam paru. 3. Volume Suplemen (VS) : Volume udara yang masih dapat dihembuskan secara maksimal dari dalam paruparu setelah melakukan ekspirasi biasa (1500 cc) 4. Volume Residu (VR) : Volume udara yang selalu tersisa di dalam paru-paru setelah melakukan ekspirasi sekuatkuatnya (1000 cc)Kapasitas Vital (KV) : Volume udara yang dapat dihembuskan sekuat-kuatnya setelah melakukan inspirasi sekuat-kuatnya (KV = VT + VK + VS) 3500 cc 5. Kapasitasi Total (KT) : Volume total udara yang dapat tertampung di dalam paru-paru (KT = KV + VR) 4500 cc Proses Terjadinya Pernafasan Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Jadi, dalam paru-paru terjadi pertukaran zat antara oksigen yang ditarik dan udara masuk kedalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah secara osmosis. Kemudian CO2 dikeluarkan melalui traktus respiratorius (jalan pernapasan) dan masuk kedalam tubuh melalui kapiler-kapiler vena pulmonalis kemudian massuk ke serambi kiri jantung (atrium sinistra) menuju ke aorta kemudian ke seluruh tubuh (jaringan-jaringan dan selsel), di sini terjadi oksidasi (pembakaran). Sebagai sisa dari pembakaran adalah
CO2dan dikeluarkan melalui peredaran darah vena masuk ke jantung (serambi kanan atau atrium dekstra) menuju ke bilik kanan (ventrikel dekstra) dan dari sini keluar melalui arteri pulmonalis ke jaringan paru-paru. Akhirnya dikeluarkan menembus lapisan epitel dari alveoli. Proses pengeluaran CO2 ini adalah sebagian dari sisa metabolisme, sedangkan sisa dari metabolisme lainnya akan dikeluarkan melalui traktus urogenitalis dan kulit (Syaifuddin, 2009). Setelah udara dari luar diproses, di dalam hidung masih terjadi perjalanan panjang menuju paru-paru (sampai alveoli). Pada laring terdapat epiglotis yang berguna untuk menutup laring sewaktu menelan, sehingga makanan tidak masuk ke trakhea, sedangkan waktu bernapas epiglotis terbuka, begitu seterusnya. Jika makanan masuk ke dalam laring, maka akan mendapat serangan batuk, hal tersebut untuk mencoba mengeluarkan makanan tersebt dari laring (Syaifuddin, 2009). Terbagi dalam 2 bagian yaitu inspirasi (menarik napas) dan ekspirasi (menghembuskan napas). Bernapas berarti melakukan inpirasi dan eskpirasi secara bergantian, teratur, berirama, dan terus menerus. Bernapas merupakan gerak refleks yang terjadi pada otot-otot pernapasan. Refleks bernapas ini diatur oleh pusat pernapasan yang terletak di dalam sumsum penyambung (medulla oblongata). Oleh karena seseorang dapat menahan, memperlambat, atau mempercepat napasnya, ini berarti bahwa refleks bernapas juga dibawah pengaruh korteks serebri. Pusat pernapasan sangat peka terhadap kelebihan kadar CO2 dalam darah dan kekurangan dalam darah. Inspirai terjadi bila muskulus diafragma telah mendapat rangsangan dari nervus frenikus lalu mengerut datar (Syaifuddin, 2009). Muskulus interkostalis yang letaknya miring, setelah ,mendapat rangsangan kemudian mengerut dan tulang iga (kosta) menjadi datar. Dengan demikian jarak antara sternum (tulang dada) dan vertebra semakin luas dan melebar. Rongga dada membesar maka pleura akan tertarik, yang menarik paruparu sehingga tekanan udara di dalamnya berkurang dan masuklah udara dari luar (Syaifuddin, 2009). Ekspirasi, pada suatu saat otot-otot akan kendor lagi (diafragma akan menjadi cekung, muskulus interkostalis miring lagi) dan dengan demikian rongga dan dengan demikian rongga dada menjadi kecil kembali, maka udara didorong keluar. Jadi proses respirasi atau pernapasan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara rongga pleura dan paruparu (Syaifuddin, 2009). Pernapasan dada, pada waktu seseorang bernapas, rangka dada terbesar bergerak, pernapasan ini dinamakan pernapasan
dada. Ini terdapat pada rangka dada yang lunak, yaitu pada orang-orang muda dan pada perempuan (Syaifuddin, 2006). Pernapasan perut, jika pada waktu bernapas diafragma turun naik, maka ini dinamakan pernapasan perut. Kebanyakan pada orang tua, Karena tulang rawannya tidak begitu lembek dan bingkas lagi yang disebabkan oleh banyak zat kapur yang mengendap di dalamnya dan banyak ditemukan pada lakilaki (Syaifuddin, 2009). 2. Fisiologi sistem pernafasan Oksigen dalam tubuh dapat diatur menurut keperluan. Manusia sangat membutukan okigen dalam hidupnya, kalau tidak mendapatkan oksigen selama 4 menit akan mengakibatkan kerusakan pada otak yang tidak dapat diperbaiki lagidan bisa menimbulkan kematian. Kalau penyediaan oksigen berkurang akan menimbulkan kacau pikiran dan anoksia serebralis (Syaifuddin, 2009). A. Pernapaan paru Pernapasan paru adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada paru-paru. Pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen diambil melalui mulut dan hidung pada waktu bernapas yang oksigen masuk melalui trakea sampai ke alveoli berhubungan dengan darah dalam kapiler pulmonar. Alveoli memisahkan okigen dari darah, oksigen menembus membran, diambil oleh sel darah merah dibawa ke jantung dan dari jantung dipompakan ke seluruh tubuh. Di dalam paru-paru karbondioksida merupakan hasil buangan yang menembus membran alveoli. Dari kapiler darah dikeluarkan melalui pipa bronkus berakhir sampai pada mulut dan hidung (Syaifuddin, 2009). Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner : 1. Ventilasi pulmoner, gerakan pernapasan yang menukar udara dalam alveoli dengan udara luar. 2. Arus darah melalui paru-paru, darah mengandung oksigen masuk ke seluruh tubuh, karbondioksida dari seluruh tubuh masuk ke paru-paru. 3. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian rupa dengan jumlah yang tepat, yang bisa dicapai untuk semua bagian. 4. Difusi gas yang menembus membran alveoli dan kapiler karbondioksida lebih mudah berdifusi dari pada oksigen. Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi ketika konsentrasi dalam darah mempengaruhi dan merangsang pusat pernapasan terdapat dalam otak untuk memperbesar kecepatan dalam pernapasan, sehingga terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 lebih banyak. Darah merah (hemoglobin) yang banyak mengandunng oksigen dari seluruh tubuh masuk ke dalam
jaringan, mengambil karbondioksida untuk dibawa ke paru-paru dan di paru-paru terjadi pernapasan eksterna (Syaifuddin, 2009). B. Pernapasan sel 1. Transpor gas paru-paru dan jaringan Selisih tekanan parsial antara O2 dan CO2 menekankan bahwa kunci dari pergerakangas O2 mengalir dari alveoli masuk ke dalam jaringan melalui darah, sedangkan CO2 mengalir dari jaringan ke alveoli melalui pembuluh darah. Akan tetapi jumlah kedua gas yang ditranspor ke jaringan dan dari jaringan secara keseluruhan tidak cukup bila O2 tidak larut dalam darah dan bergabung dengan protein membawa O2 (hemoglobin). Demikian juga CO2 yang larut masuk ke dalam serangkaian reaksi kimia reversibel (rangkaian perubahan udara) yang mengubah menjadi senyawa lain. Adanya hemoglobin menaikkan kapasitas pengangkutan O2 dalam darah sampai 70 kali dan reaksi CO2 menaikkan kadar CO2dalam darah mnjadi 17 kali (Syaifuddin, 2009). 2. Pengangkutan oksigen ke jaringan Sistem pengangkutan O2 dalam tubuh terdiri dari paru-paru dan sistem kardiovaskuler. Oksigen masuk ke jaringan bergantung pada jumlahnya yang masuk ke dalam paru-paru, pertukaran gas yang cukup pada paru-paru, aliran darah ke jaringan dan kapasitas pengangkutan O2 dalam darah.Aliran darah bergantung pada derajat konsentrasi dalam jaringan dan curah jantung. Jumlah O2 dalam darah ditentukan oleh jumlah O2 yang larut, hemoglobin, dan afinitas (daya tarik) hemoglobin (Syaifuddin, 2009). 3. Transpor oksigen melalui beberapa tahap (Pearce, 2008) yaitu : a. Tahap I : oksigen atmosfer masuk ke dalam paru-paru. Pada waktu kita menarik napas tekanan parsial oksigen dalam atmosfer 159 mmHg. Dalam alveoli komposisi udara berbeda dengan komposisi udara atmosfer tekanan parsial O2 dalam alveoli 105 mmHg. b. Tahap II : darah mengalir dari jantung, menuju ke paru-paru untuk mengambil oksigen yang berada dalam alveoli. Dalam darah ini terdapat oksigen dengan tekanan parsial 40 mmHg. Karena adanya perbedaan tekanan parsial itu apabila tiba pada pembuluh kapiler yang berhubungan dengan membran alveoli maka oksigen yang berada dalam alveoli dapat berdifusi masuk ke dalam pembuluh kapiler. Setelah terjadi proses difusi tekanan parsial oksigen dalam pembuluh menjadi 100 mmHg. c. Tahap III : oksigen yang telah berada dalam pembuluh darah diedarkan keseluruh tubuh. Ada dua mekanisme peredaran oksigen dalam darah yaitu oksigen yang larut dalam plasma darah yang merupakan bagian terbesar dan
sebagian kecil oksigen yang terikat pada hemoglobin dalam darah. Derajat kejenuhan hemoglobin dengan O2 bergantung pada tekanan parsial CO2 atau pH. Jumlah O2 yang diangkut ke jaringan bergantung pada jumlah hemoglobin dalam darah. d. Tahap IV : sebelum sampai pada sel yang membutuhkan, oksigen dibawa melalui cairan interstisial lebih dahulu. Tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial 20 mmHg. Perbedaan tekanan oksigen dalam pembuluh darah arteri (100 mmHg) dengan tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial (20 mmHg) menyebabkan terjadinya difusi oksigen yang cepat dari pembuluh kapiler ke dalam cairan interstisial. e. Tahap V : tekanan parsial oksigen dalam sel kira-kira antara 0-20 mmHg. Oksigen dari cairan interstisial berdifusi masuk ke dalam sel. Dalam sel oksigen ini digunakan untuk reaksi metabolism yaitu reaksi oksidasi senyawa yang berasal dari makanan (karbohidrat, lemak, dan protein) menghasilkan H2O, CO2 dan energi. 3. Etiologi 1. Depresi Sistem saraf pusat Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal. 2. Kelainan neurologis primer Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi. 3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas. 4. Trauma Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar
5. Penyakit akut paru Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas. 4. Patofisiologi Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel. Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg). Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut. 5. Manifestasi Klinis 1. Gagal Nafas Total a. Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar atau di rasakan. b. Pada gerakan pernafasan spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi. c. Adanya kesulitan inflansi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan. 2. Gagal Nafas Parsial
a. Terdengar suara nafas tambahan gargling, snring, growing dan wheezing. b. Ada retraksi dada c. Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran ( PCO2 ). d. Hipoksemia yaitu takikardia, glisah, berkeringat atau sianosis ( PO2 ) menurun. 6. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemerikasan gas-gas darah arteri Hipoksemia Ringan : PaO2 < 80 mmHg Sedang : PaO2 < 60 mmHg Berat : PaO2 < 40 mmHg 2. Pemeriksaan rontgen dada Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui 3. Hemodinamik Tipe I : peningkatan PCWP 4. EKG Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan Disritmia 7. Penatalaksanaan 1. Terapi oksigen Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong 2. Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP 3. Inhalasi nebuliser 4. Fisioterapi dada 5. Pemantauan hemodinamik/jantung 6. Pengobatan a. Brokodilator b. Steroid 7. Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan
B. Konsep Dasar Keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu sumber pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu (Nursalam, 2009). 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik mengenai respons individual keluarga dan masyarakat berkaitan dengan masalah kesehatan akual atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan keperawatan. Diagnosa keperawatan diangkat dari kumpulan data yang diperoleh dari pengkajian melalui observasi, wawancara dan studi kepustakaan (Nanda, 2015). 3. Rencana Tindakan Rencana dalam proses keperawatan dimulai setelah data yang dikumpulkan sudah dianalisa dan masalah-masalah atau diagnosa keperawatan telah ditentukan. Secara sederhana perlu cara merumuskan keputusan awal apa yang akan dilakukan, bagaimana, kapan itu dilakukan, dan siapa yang akan dilakukan kegiatan tersebut. 4. Evaluasi Proses yang disengaja dan sistemik dimana penilaian dinuat mengenai kualitas, nilai atau kelayakan dari sesuai dengan membandingkan pasa kriteria yang diindefikasi atau standar sebelumnya. Dalam proses keperawatan, evaluasi adalah suatu aktifitas yang direncanakan, terus menerus, aktifitas yang disengaja dimana setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien, keluarga, perawat serta tenaga profesional lainnya dapat menentukan rencana asuhan keperawatan (Nurjanah, 2010).
BAB III TINJAUAN KASUS
1.
Pengkajian A. SURVEI PRIMER Nama Usia Jenis kelamin Keluhan Riwayat keluhan Diagnosa medik
: Tn ‘P” : 45 tahun : Laki-Laki : Sesak napas : Sesak dari tadi pagi, badan lemas dan pusing : Suda 2 tahun ini sesak sering timbul
B. TRIAGE Cara masuk Alat medis terpasang Alasan kujungan Kasus
: Brankar : Tidak ada : datang sendiri : Non trauma
Jalan napas Pernapasan
: TTV : TD: 170/80 mmHg : Napas : 23x/menit : Nadi : 104x/menit : Suhu : 36 : SPO2 : 93 : tidak ada riwayat alergi : kooperatif : 15 : Skala nyeri 2 Numeric
Sirkulasi Kondisi GCS Nyeri C. SURVEI PRIMER Airway Sumbatan Batuk Bunyi napas Breating Sesak Frekuensi Saturasi O2 Circulation TD Suhu Nadi
: Tidak : Non produktif : Ronchi : Iya (aktivitas) : 23x/menit :93 : 170/80 mmHg : 36 : Cepat
Kekuatan Ekstremitas Warna kulit Edema
: Lemah : Dingin : Sianosis : Tidak
D. Diagnosa Keperawatan 1. Diagnosa keperawatan : Ketidakefektifan pola napas b.d keletihan otot pernafasan DS: pasien menggatakan sesak nafas saat berbaring DO: pasien tampak nafasnya sesak TTV: TD: 170/80 mmhg P : 23x/menit S : 36 N : 104x/menit Spo2 : 93 NOC Setelah dilakukan pengkajian 1x60 menit ketidakefektifan pola napas terpenuhi dng kriteria: 1. frekuensi pernafasan 2. suara auskultasi pernafasan 3. kepatenan jalan nafas 2. irama pernafasan 3. saturasi oksigen NIC 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 2. Buang sekret 3. Auskultasi suara nafas 4. Posisikan untuk meringankan sesak nafas 5. Monitor status pernafasan Implementasi 08 00 Memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 09 00 Membuang sekret 10 00 Memposisikan untuk meringankan sesak nafas 11 00 Memonitor status pernafasan Evaluasi S : - pasien menggatakan sesak nafas saat berbaring O : -pasien tampak sesak saat berbaring A : ketidakefektifan pola nafas teratasi P : intervensi diteruskan: 1. observasi tanda-tanda vital 2. berikan posisi nyaman 2. anjurkan banyak istirahat 3. libatkan keluarga motivasi pasien 4. kolabora tim medis
2. Diagnosa Keperawatan Intoleransi aktifitas NOC Setelah silakukan tindakan pengkajian 3x60 menit intoleransi aktifitas terpenuhi dng kriteria: 1. Saturasi oksigen saat beraktivitas 2. Frekunsi pernafasan saat beraktifitas 3. Kemampuan berbicara saat melakukan aktifitas NIC 1. Bantu dng aktifitas fisik secara teratur 2. Bantu untuk meningidentifikasi aktivitas yg diinginkan 3. Dorong aktifitas yg diinginkan 4. Dorong aktifitas yang tepat IMPLEMENTASI 15.01 bantu dengan aktifitas secara teratur 15.10 mendorong aktifitas kreatif yang tepat 15.20 membantu aktifitas yang diinginkan EVALUASI S = pasien menggatakan badanya lemas O = pasien tampak lemas hanya berbaring ditempat tidur A = intoleransi aktifitas P = intervensi 1. observasi tanda-tanda vital 2. berikan posisi nyaman 3. anjurkan banyak istirahat 4. libatkan keluarga motivasi pasien 5. kolabora tim medis
BAB IV PEMBAHASAN A. Pengkajian Pada tahap pembahasan pengkajian ini penulis membandingkan antara teori pengkajian dengan data hasil pengkajian pada Tn “P” dengan gagal napas. Untuk memperoleh data tersebut, penulis melakukan pengkajian kepada pasien, keluarga, melakukan pemeriksaan fisik observasi serta dari mempelajari status pasien. Data yang dikaji dengan data dasar pengkajian. Pengkajian pada klien dengan gagal napas yaitu meliputi identitas pasien, riwayat kesehatan pasien dan keluarga, pola kebiasaan sehari hari. Pada kasus nyatra ditemukan tanda dan gejala yaitu pasien sesak nafas, badan lemes. B. Diagnosa Keperawatan Pada penyusunan diagnosa keperawatan pada kasus ini menggunakan pendapat Doengoes (2008) sebagai dasar untuk penggunaan diagnosa keperawatan, penulis mengacu pada diagnosa keperawatan NANDA (20092011). Diagnosa yang muncul pada Tn ”P” dengan gagal napas dengan kasus adalah: 1) Ketidakefektifan pola napas Menurut NANDA 2009-2011 Ketidakefektifan pola napasmemburuknya proses pertukaran gas paru yang mendadak dan mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon dioksida dan oksigen yang tidak adekuat 2) Intoleransi Aktivitas Diagnosa ini muncul berdasarkan keluhan pasien yang menggatakan lemas dan pusing. C. Intervensi Keperawatan Adapun pembahasan perencanaan kepada pasien Tn ‘P” dengan gagal napas sesuai prioritas diagnosa keperawatan sebagai berikut: Ketidakefektifan pola napas : berhubungan denga penurunan energi atau kelelahan, tujhuan umumnya adalah memapu mencapai respiratory status: ventilation, perencanaan untuk diagnosa ini yang sesuai dan sudah dilakukan serta dengan NIC NOC yaitu tanda vital dalam rentan normal (TD: 120/80 mmHg. Suhu 36, nadi 105, Pernapasan 23x/menit, dan semua perencanaan sesuai dengan (NIC); Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi, Buang sekret, Auskultasi suara nafas, Posisikan untuk meringankan sesak nafas, Monitor status pernafasan. Intoleransi aktifitas : tujuan dari perencanaan diagnosa adalah diharapkan pasien mampu mencapai Selfe Care : perencaan diagnosa ini sesuai dengan NIC NOC : Bantu dng aktifitas fisik secara teratur, Bantu untuk meningidentifikasi aktivitas yg diinginkan, Dorong aktifitas yg diinginkan, Dorong aktifitas yang tepat
D. Implementasi Pada tahap pelaksanaan ini, pada dasarnya disesuaikan dengan sususan perencanaan, dengan maksut kebutuhan pasien terpenuhi. Dalam melakukan asuhan keperawatan ini, penulis melibatkan pasien, keluarga, dan tim kesehatan lainnya sehingga dapat bekerja sama dengan dokter dan tim kesehatan lainnya. E. Evaluasi Pada evaluasi penulis mengukur tindakan yang telah dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Evaluasi disesuaikan dengan kriteriapenilaian yang telah ditetapkan dan waktu yang telah ditentukan pada tujuan keperawatan. Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya, (Nursalam, 2008). BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Gagal napas akut adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis (Corwin, 2009). Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru yang mendadak dan mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon dioksida dan oksigen yang tidak adekuat (Morton, 2011). Gagal napas akut adalah suatu keadaan klinis yaitu sistem pulmonal tidak mampu mempertahankan pertukaran gas yang adekuat (Chang, 2009).
B. Saran 1. Bagi mahasiswa semoga laporan ini dapat membantu kita semua dalam berbagai ilmu pada proses pembelajaran. 2. Diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan Gagal napas dan komplikasinya 3. Bagi pembaca semua, diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif pada pasien dengan Gagal napas dan komplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media Morton, Patricia Gonce. 2011. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistic. Jakarta: EGC Graff, Erik De dan Anette Kolmos. 2003. “Characteristics of Problem-Based Learning”, International Journal. Vol. 19, No. 5, 657-662. Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia Edisi 2. Jakarta: salemba Medika Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologis Untuk Para Medis, Cetakan kedua puluh Sembilan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. p. 141142. Arif Muttaqin, 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika. Kisner, C dan Colby L. A. 2007. Therapeutic Exercise: Foundations and Techniques. 5th Ed. Philadelphia: F. A. Davis Company. Jakarta