Askep Jiwa Gangguan Hubungan Sosial Emi Arnita.docx

  • Uploaded by: Puskesmas Alang-Alang Lebar
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Askep Jiwa Gangguan Hubungan Sosial Emi Arnita.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,010
  • Pages: 44
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN KASUS GANGGUAN HUBUNGAN SOSIAL

Laporan Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dalam Mata Kuliah Keperawatan Jiwa

Disusun Oleh:

EMI ARNITA

PROGRAM NON REGULER PROGRAM STUDI NERS STIK SITI KHADIJAH PALEMBANG TAHUN AKADEMIK 2018/2019

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunianya jualah sehingga dengan segala kesungguhan dan kemampuan yang ada serta berkat bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan tugas keperawatan Jiwa dengan Topik artikel Asuhan Keperawatan Jiwa Gangguan hubungan sosial. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan baik susunannya maupun isinya, hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran-saran dan kritik yang sifatnya membangun sebagai bahan masukan demi membangun kesempurnaan tugas mandiri ini.

Palembang, Desember 2018

Emi Arnita Am, Kep

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Menurut beberapa ahli menguraikan tentang pengertian Gangguan Hubungan sosial yaitu: a. Gangguan Hubungan sosial adalah suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam, (Standar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa, 2006 ; Townsend, M.C, 2002) b. Gangguan hubungan sosial adalah suatu gangguan kepribadian yang tidak fleksibel, pada tingkah laku yang maladaptif, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosialnya. Hal ini disebabkan oleh cara pemecahan masalah yang diselesaikannya kepada orang lain atau lingkungan sosial (Hamid Achir Yani, dkk. 2004). c. Gangguan Hubungan sosial merupakan keadaan di mana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak (Carpenito ,L.J, 2003). d. Gangguan Hubungan sosial menarik diri merupakan usaha menghindar dari interaksi dan berhubungan dengan orang lain, individu merasa kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan dalam berfikir, berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan (Rawlins, R.P 2003; Heacock, P.E 2000). e. Penarikan diri atau withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap.(DEPKES RI, 2008).

B. Etiologi Menurut Townsend (2008) penyebab penarikan diri dari masa bayi sampai tahap akhir perkembangan adalah : a.

Kelainan pada konsep diri

b. Perkembangan ego yang terlambat c.

Perlambatan mental yang ringan sampai sedang

d.

Abnormalitas SPP tertentu, seperti adanya neurotoksin, epilepsi, serebral palsi, atau kelainan neurologis lainnya.

e.

Kelainan fungsi dari sistem keluarga

f.

Lingkungan yang tidak terorganisir dan semrawut

g. Penganiayaan dan pengabaian anak h. Hubungan orang tua – anak tidak memuaskan i.

Model – model peran yang negative

j.

Fiksasi dalam fase perkembangan penyesuaian

k. Ketakutan yang sangat terhadap penolakan dan terlalu terjerumus l.

Kurang identitas pribadi

C. Rentang Respon Hubungan Sosial Manusia dalam memenuhi kebutuhannya sehari – hari selalu membutuhkan orang dan lingkungan sosial. Manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa adanya hubungan dengan lingkungan sosial, berada dalam rentang yang adaptif sampai maladaptif. Respon Adaptif

Respon Maladaptif

Menyendiri ( solitute )

Merasa sendiri

Merasa sunyi ( loneliness )

Otonomi

Manipulasi

Pemerasan ( Eksplotasi )

Interpenden

Curiga

Paranoia

Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma – norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku, dengan kata lain bahwa individu tersebut masih dalam batas – batas normal menyelesaikan masalah, respon ini meliputi : 1. Menyendiri ( solitute ) adalah respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan dilingkungan sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya. 2. Otonomi adalah kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial. 3. Bekerjasama adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima.

4.

Interdependen adalah saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.

Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu untuk menyelesaikan masalahnya, misalnya yang sudah menyimpang dari norma – norma sosial dan kebudayaan suatu tempat. Respon maladaptif yang sering ditemukan antara lain : 1. Menarik diri Terjadi dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. 2. Ketergantungan ( dependen ) Terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri atau kemampuannya untuk berfungsi secara sukses. 3. Manipulasi Gangguan hubungan sosial ini terdapat pada individu yang menganggap orang lain sebagai obyek. Individu tersebut tidak dapat membina hubungan sosial secara dalam. 4. Curiga Gangguan ini terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya ( basic trust ) dengan orang lain.

D. Proses terjadinya Masalah Dalam teori kepribadin (2001 : hal 32) di pandang sebagai suatu struktur yang terdiri dari 3 unsur yaitu : identitas, ego, dan super ego. Ketiga sistem tersebut memiliki fungsi kelengkapan, prinsip – prinsip operasi, dinamisme dan mekanisme masing – masing, keriga sistem ini saling berkaitan serta membentuk totalitas. Tingkah laku manusia merupakan produk interaksi antara identitas, ego, dan super ego.Kepribadian terus – menerus mengalami perkembangan mulai dari lahir hingga akhr hayatnya. Menurut Sigmund Freud, dalam perkembangan kerpibadian manusia tersebut ada beberapa tugas perkembangan yang harus dilaksanakan. Kegagalan atau tidak terselesaikan tahap perkembangan kepribadian dapat berdampak terhadap kepribadian seseorang dimasa yang akan datang. Salah satu di antaranya adalah kegagaln dalam

fase oral. Fase ini berlangsung dari mulai lahir, sampai tahun pertama. Pada waktu seseorang lahir, ia memiliki identitas. Identitas merupakan dunia batin yang berisikan hal – hal yang dibawa sejak lahir, berupa dorongan naluri yang selalu berhubungan dengan jasmani, mementingkan diri sendiri dan merupakan bagian dari alam tak sadar. Karena itu identitas bekerja sesuai dengan prinsip keterangn tanpa memperdulikan kenyataan. Seorang bayi pada waktu lahir telah memiliki identitas. Ia tidak mempunyai kemampuan untuk menghambat, mengawasi atau memodifikasi dorongan nalurinya. Karena itu fase oral ini ia akan sangat tergantung pada ego orang lain didalam lingkungannya. Dalam fase oral ini terbagi atas 2 fase kenikmatan dan sadisme. Mula – mula seorang bayi hanya menerima apapun yang dimasukan kedalam mulutnya, kemudian ia menghisapnya. Inilah yang dinamakan fase kenikmatan. Pada saat itulah mulai tumbuh rasa percaya pada ibunya yang telah memberi makan dan kasih sayang. Ibu merupakan orang pertama yang dikenalinya pada fase sadisme, seseorang bukan hanya menghisap saja akan tetapi ia mulai menggigit, mengunyah, dan menelan. Makanan yang disukai akan ditelannya, sedangkan makanan yang tidak disukai akan ditolak dan dimuntahkannya. Pada usia 4 – 5 bulan dalam fase oral ini mulia terjadi pembentukan ego. Ego bertugas sebagai pengendali untuk menjaga keseimbangan antara identitas dan super ego. Apabila ia lebih dominan dalam diri seseorang maka dia akan lebih berfokus pada dirinya sehingga dia akan bersifat ingin menang sendiri. Sebaliknya apabila super ego lebih dominan dalam dirinya maka ia akan bersifat kaku dan terpaku pada norma – norma yang ada dimasyarakat, sehingga dengan tidak adanya keseimbangan antara identitas dan super ego dapat menimbulkan gangguan dikemudian harinya. Rasa pecaya sejak bayi dilahirkan dan berinteraksi sengan lingkungan, ibu merupakan orang pertama dan utama yang akan membentuk kata percaya. Apabila bayi memperoleh kepuasan sesuai dengan kebutuhannya dari ibu ataupun dari lingkungannya maka dia akan percaya bahwa lingkungannya dapat memenuhi kebutuhan dan terbentuklah rasa percaya terhadap orang lain. Dan apbila hal ini tidak terpenuhi dan berlangsung terus – menerus dalam tempo yang lama maka bayi tdak dapat menyelesaikan pertumbuhan dan perkembangan dengan baik sehingga akan

terbentuk rasa tidak percaya kepada didrinya maupun lingkungannya yang akibatnya individu akan membatasi hubungan dengan lingkungannya. Reaksi ini timbul berbeda – beda pada pihak in dividu, ada yang menetap, prilaku menarik diri merupakan proses terjadinya skizofrenia. Pasien mula – mula rendah diri merasa tidak berharga dan tidak berguna sehingga merasa tidak aman dalam membina hubungan dengan orang lain. Dunia merupakan alam yang tidak menyenangkan, sebagai usaha untuk melindungi diri, pasien menjadi pasif dan kepribadian menjadi kaku. Semakin individu menjauhi kenyataan, semakin banyak kesulitan yang timbul dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain.

E. Pengkajian Untuk dapat membantu pasien dengan gangguan hubungan sosial menggunakan pendekatan proses keperawatan, tahap pertama adalah dengan mengadakan pengkajian. Dalam pengkajian ada beberapa faktor yang penting untuk diketahui, seperti : faktor pendukung, faktor pencetus terjadinya gangguan hubungan sosial, tingkah laku pasien dan koping mekanisme. 1. Faktor Predisposisi Beberapa faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial : a.

Faktor sosial budaya Gangguan hubungan sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu faktor pendukung untuk terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma – norma yang dianut oleh keluarga yang salah, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif diasingkan dari orang lain ( lingkungan sosialnya ). Misalnya pada usia lanjut, penyakit kronis dan penyandang cacat. Tidak nyata harapan dalam hubungan sosial dengan orang lain, merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan hubungan sosial.

b. Faktor tumbuh kembang Pada masa tumbuh kembang seorang individu, ada perkembangan tugas yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Tugas perkembangan ini pada masing – masing tahap tumbuh kembang mempunyai

spesifikasi tersendiri. Bila tugas – tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi, misalnya dalam fase oral dimana tugas dalam membentuk rasa saling percaya tidak terpenuhi, akan menghambat fase perkembangan selanjutnya, antara lain : curuga. c.

Faktor komunikasi dalam keluarga Gangguan komunikasi dalam keluarga, merupakan faktor pendukung untuk terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini termasuk komunikasi yang tidak jelas ( double blind ) dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan, ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga untuk berhubungan diluar lingkungan keluarga ( pingit ).

d. Faktor biologis Faktor keturunan juga merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang jelas mengalami perubahan adalah otak, misalnya pada pasien schizofrenia terdapat struktur abnormal dari organ tersebut yaitu atropi otak, menurunkan berat otak secara drastis, perubahan ukuran dan bentuk sel – sel dalam limbic dan daerah kortikal.

2. Faktor Presipitasi Stresor presipitasi terjadinya gangguan dalam hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor internal dan eksternal dari seseorang. Faktor stressor presipitasi ini dikelompokkan sebagai berikut : a.

Faktor hormonal Gangguan dari fungsi kelenjar bawah otak ( gland pituitary ) menyebabkan turunannya hormon FSH dan LH. Kondisi ini terdapat pada pasien Schizofhrenia.

b. Stressor sosial budaya Stress yang ditimbulkan oleh faktor sosial budaya ini antara lain : Keluarga yang labil, berpisah dengan orang yang terdekat / berarti misalnya : dirawat di rumah sakit akibat penyakit kronik. c.

Hipotesa virus Virus HIV Imunodefisiensi ( virus ) dapat menyebabkan tingkah laku Psikotik.

d. Hipotesa biologikal lingkungan sosial Tubuh akan menggambarkan ambang toleransi seseorang terhadap stres, pada saat terjadinya interaksi dengan stressor dilingkungan sosial. e.

Stressor psikologik Adanya kecemasan yang cukup berat dengan terbatasnya kemampuan dalam menyelesaikan kecemasan tersebut.

3. Tingkah laku Dari observasi tingkah laku pasien, perawat mengumpulkan dan menganalisa data, khususnya tingkah laku yang spesifik pada kondisi pasien dengan kesulitan hubungan sosial. Berikut ini uraian tingkah laku pasien dengan kondisi Tingkah laku sehubungan dengan curiga Tidak mampu mempercayai orang lain Bermusuhan ( hospitilitas ) Mengisolasi diri dalam lingkungan sosial Paranoia Tingkah laku sehubungan dengan menarik diri Kurang spontan Apatis Ekspresi wajah kurang berseri Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri Menurun atau tidak ada komunikasi secara verbal Mengisolasi diri Tidak atau kurang sadar dengan lingkungan sekitarnya Intake makan dan minum terganggu Retensi urine dan feses Aktifitas menurun Kurang energy Kurang harga diri Postur tubuh berubah, misal sikap foetus

Tingkah laku sehubungan dengan manipulasi Ekspresi perasaan yang tidak langsung dengan tujuan Kurang asertif Mengisolasi diri dalam hubungan sosial Harga diri yang rendah Sangat tergantung dengan orang lain

Tingkah laku sehubungan dengan kepribadian batasan menuju terjadinya gangguan kejiwaan psikotik ( borderline personality ) Percobaan bunuh diri yang manipulative Tidak tahu dengan kesendirian Suasana hati yang negative Tingkah laku yang impulsive Tingkah laku yang impulsive Prestasi yang rendah Ambivalensi dalam hubungan dengan orang lain.

4. Mekanisme Koping Mekanisme pertahanan diri yang sering digunakan pada masing-masing gangguan hubungan sosial sangat bervariasi. Berikut ini uraian mengenai mekanisme pertahanan diri dari pasien : a.

Curiga

: regresi, proyeksi, represi

b. Dependen

: reaksi formasi, regresi

c.

Manipulatif

: regresi, represi, isolasi

d. Menarik diri

: regresi, represi, isolasi

e. Borderline personality : reaksi formasi, proyeksi, isolasi, idealisasi dengan orang lain. f.

Schizophrenia

: displasemen, proyeksi, introyeksi, kondensi, isolasi, depresi, regresi.

E. Diagnosa Keperawatan Masalah keperawatan sehubungan dengan gangguan hubungan sosial sangat bervariasi tingkatnya, mulai dari yang ringan sampai yang berat sesuai dengan rentang respon sosial. Diagnosa keperawatan menurut NANDA ( The North American Nursing Diagnosis Association ) : 1.

Gangguan hubungan sosial sehubungan dengan tidak adekuat kemampuan dalam hubungan interpersonal.

2. Tidak efektifnya koping individu sehubungan dengan kurang percaya dengan orang lain. 3.

Tidak efektif koping mekanisme sehubungan dengan kurang percaya dalam mengambil keputusan.

4.

Gangguan hubungan sosial sehubungan dengan tidak mampu menerima kelemahan orang lain : sangat mengkritik orang lain.

5.

Gangguan proses pikir : proyeksi impuls yang agresif sehubungan dengan waham.

6.

Gangguan konsep diri : harga diri yang rendah sehubungan dengan persepsi keluarga yang tidak realitas dalam hubungan sosial.

7. Menarik diri sehubungan dengan waham curiga. 8. Kebersihan diri yang kurang sehubungan dengan kurang energi. 9. Menurunnya kemampuan untuk mengekspresikan perasaan sehubungan dengan Gangguan hubungan sosial. 10. Gangguan hubungan sosial sehubungan dengan tingkah laku yang manipulatif. 11. Menurunnya aktivitas motorik sehubungan dengan acuh terhadap lingkungan. 12. Potensi untuk kecelakaan sehubungan dengan waham curiga. 13. Potensi gangguan keseimbangan cairan dan makanan sehubungan dengan tidak mampu merawat diri. 14. Potensial amuk sehubungan dengan tingkah laku yang impulsif

Diagnosa medis dan diagnosa keperawatan saling melengkapi, pasien dengan satu diagnosa medis mempunyai beberapa diagnosa keperawatan sehubungan dengan

sepanjang rentang respon kesehatan dari pasien. Dalam diagnosa keperawatan pernyataan menggambarkan tentang masalah keperawatan yang termasuk disini respon kesehatan dari pasien yang adaptif dan maladaptif dan stresor pendukungnya, sedangkan diagnose medis adalah masalah kesehatan yang aktual.

Tabel Perbandingan Diagnosa Medis dan Diagnosa Keperawatan Golongan Diagnosa Medis Gangguan Schizophrenia

Golongan Diagnosa Keperawatan Gangguan dalam hubungan sosial

Gangguan Kepribadian Diagnosa Medik (DSM III-R)

Diagnosa Keperawatan (NANDA)

Schizophrenia

Gangguan komunikasi verbal

Tipe paranoid

Koping keluarga tidak efektif

Tabel perbandingan diagnosa medis dan diagnosa keperawatan Diagnosa Medis

Diagnosa Keperawatan

Schizophrenia 1. Tipe Schizoid

1. Tidak efektif koping individu

2. Tipe Katonik

2. Gangguan dalam pola asuh

3. Tipe Disorganisasi

3. Gangguan identitas diri

4. Tipe undifferent

4. Gangguan peran

5. Tipe Residual

5. Gangguan penyesuaian diri

Gangguan

Perawatan diri yang kurang

1. Paranoid

1. Gangguan harga diri

2. Schizaoid

2. Gangguan interaksi sosial

3. Schizotypal

3. Gangguan persepsi / sensori

4. Antisosial

4. Gangguan hubungan sosial

5. Borderline

5. Gangguan proses pikir

6. Dependent

6. Gangguan penyesuaian diri

F. Perencanaan

Tujuan yang ingin dicapai dalam memberikan tindakan keperawatan adalah untuk menumbuhkan perasaan yang menyenangkan dalam hubungan interpersonal secara maksimal dan menetapkan serta mempertahankan perubahan yang telah dicapai dalam hubungan persahabatan tersebut.

G. Tindakan Keperawatan Berikut ini diuraikan tindakan keperawatan yang berkaitan dengan kesehatan jiwa untuk pencegahan supaya jangan terjadi gangguan hubungan sosial dan tindakan keperawatan untuk gangguan hubungan sosial. Rencana Pendidikan Kesehatan Jiwa untuk Mencegah Gangguan Hubungan Sosial Isi

Kegiatan Instruksional

Evaluasi

Menggali arti dari 1. Membahas pengalaman 1. Pasien menguraikan satu pengalaman yang menyenangkan

yang menyenangkan. 2. Mengidentifikasi satu

pemgalaman yang menyenangkan. 2. Pasien mengidentifikasikan peranan

aktivitas yang potensial

yang menyenangkan.

menyenangkan pasien. 3. Partisipasi dalam aktivitas adanya perasaan yang menyenangkan, saling bagi rasa dengan orang lain. 4. Sering diulang untuk mengungkapkan perasaan. 5. Membantu pasien mengidentifikasikan dan mempraktekkan secara mandiri. Menguraikan tingkah1. Membuat daftar tentang 1. Pasien mengidentifikasi tingkah laku tentang adanya

berbagai macam indikasi

ansietas.

tingkat ansietas.

laku sehubungan tingkat ansietas.

2. Pasien mengidentifikasi ansietas

Menggali situasi

2. Situasi bermain peran

yang menimbulkan

dibutuhkan untuk

ansietas.

memonitor tingkat

sehubungan dengan situasi yang khusus. 3. Pasien melakukan latihan relaksasi

ansietas secara mandiri.

bila ada tanda ansietas.

3. Menguraikan reaksi stres. 4. Mendemonstrasikan latihan relaksasi. Bantu pasien untuk mengulang demonstrasi tersebut. 5. Membantu pasien untuk menggunakan relaksasi bila ada tanda-tanda awal muncul.

Rencana Tindakan Keperawatan Gangguan Hubungan Sosial Tujuan : Untuk menumbuhkan perasaan yang memuaskan dalam hubungan interpersonal dan menetapkan serta mempertahankan hubungan persahabatan dengan orang lain. Prinsip

Rasional

Tindakan Keperawatan

Menetapkan hubungan

Rasa saling percaya

1. Bersama dengan pasien

saling percaya.

adalah fasilitas untuk

untuk mengadakan

ekspresi pikiran /

kontrak

perasaan secara terbuka. 2. Bersama dengan pasien menetapkan tingkat tingkah laku yang ingin dicapai dalam tindakan keperawatan 3. Mempertahankan terusmenerus tingkah laku yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh smua staf perawat

4. Menjaga rahasia pribadi dan rasa nyaman selama interaksi. 5. Semua tindakan sesuai dengan kemampuan pasien Mengidentifikasikan dan

Keberhasilan perawatan 1. Mengkaji koping pasien

mendukung kekuatan

diri, hubungan

pasien.

interpersonal, dan

yang membangun 2. Menganjurkan pasien

aktivitas meningkatkan

merawat diri dan

perubahan harga diri.

membuat keputusan

Mengenal kekuatan

menyampaikan

dengan memberikan

kemampuan diri.

kepercayaan, menolong 3. Tetap menghargai pasien pasien.

yang membutuhkan bantuan aktifitas sehari – hari 4. Mendorong pasien untuk beraktivitas yang memberikan pengalaman untuk sukses. 5. Memberikan pendidikan pada pasien dan keluarga tentang perawatan kesehatan dan pengobatan yang dibutuhkan.

Meningkatkan

Hubungan interpersonal 1. Komunikasi berdasarkan

komunikasi secara

yang sehat dibentuk

tingkat pendidikan

terbuka, jelas,

dengan komunikasi yang

pasien, latar belakang,

pertahankan.

terbuka.

kebudayaan, status

2. Menggunakan komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai 3. Bersama – sama dengan pasien menilai arti dari penbicaraan. 4. Mengenal arti simbolik dari pembicaraan. 5. Berperan sebagai model dengan membagi perasaan, persepsi, dan respon dengan pasien saat ini dan sekarang 6. Memberikan empati dan menganjurkan pasien mengeksplorasi diri 7. Membatasi tujuan tindakan yang jelas dan pertahankan Menurunkan tingkat

Tingkat kecemasan yang1. Tetap memberikan

kecemasan dalam

berat dan panik

dukungan dengan tenang

hubungan interpersonal.

disebabkan oleh pikiran

setiap berinteraksi

terpecah, kesulitan

dengan pasien

menterjemahkan

2. Menurunkan rangsangan

rangsangan dari luar dan dalam diri.

dari lingkungan

3. Menerangkan prosedur dan kejadian – kejadian yang lain. 4. Mengenal tingkah laku pertahanan diri, waham, halusinasi, mekanisme,

pertahanan diri. 5. Membantu pasien untuk menggunakan koping yang sehat dan menghindar koping yang tidak sehat. 6. Mengajarkan teknik untuk menurunkan kecemasan, teknik relaksasi, aktifitas fisik. 7. Membuat jadwal kegiatan diberikan tahap demi tahap instruksi yang khusus, menurunkan kebutuhan untuk membuat pilihan dan sering mengadakan kontak dengan pasien 8. Menganjurkan pasien untuk control diri dan melindungi pasien dari tingkah laku kompulsif yang merusak. 9. Menghargai kebutuhan pasien untuk kebersihan diri 10. Mengkaji makan, tidur, eliminasi, dan kebiasaan untuk kebersihan diri. 11. Mengenal makanan dan minuman yang disukai

pasien. Mempertahankan

Menggunakan regresi dan 1. Jika menawarkan

keutuhan fisik pasien.

proyeksi mungkin

makanan dan minuman

disebabkan kurang

yang teratur.

perhatian terhadap

2. Membantu makan dan

kebutuhan dasar biologis.

minum jika perlu.

3. Mengenal kebiasaan eliminasi pasien. 4. Membantu pasien mandi jika perlu. 5. Mencatat intake dan output terutama bila ada gangguan atau potensial. 6. Mencatat gangguan eliminasi bila perlu diberikan obat pencahar. 7. Memonitor tanda vital. 8. Menganjurkan pasien mandi bila perlu dan dibutuhkan. 9. Menganjurkan pasien untuk mencuci baju. 10. Membantu dan menganjurkan pasien untuk berhias diri. 11. Membantu pasien merawat rambut dan gigi. 12. Menyediakan lingkungan agar pasien dapat istirahat dan tidur. 13. Melaksanakan program

terapi dokter untuk tidur bila perlu. 14. Mengobservasi efek samping dari pengobatan dan memberikan informasi mengenai pendidikan sehubungan dengan pengobatan.

H. Pelaksanaan Tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien yang tidak mampu secara tetap mempercayai hubungan interpersonal secara intim yang terapeutik, target tindakan keperawatan yang diberikan berdasarkan tingkah laku yang merefleksi kesulitan dalam hubungan interpersonal. Pendekatan yang utama dalam gangguan hubungan sosial ini adalah : 1. Pasien menarik diri a.

Memperhatikan kebutuhan dasar fisiologis

b. Tindakan keperawatan dapat diramalkan c.

Memberikan kegiatan secara bertahap

d. Membatasi pilihan yang akan dianjurkan kepada pasien e.

Harapan komunikasi lebih jelas

2. Gangguan komunikasi a.

Mendengarkan dengan teliti

b. Menghindari salah interpretasi c.

Mempertahankan agar komunikasi verbal dan non verbal harus sama

d. Membatasi pilihan e.

Sebagai model untuk mengekspresikan perasaan yang dilakukan dengan perawat lainnya

f.

Memberikan umpan balik tentang ingkah laku pasien

g. Orientasikan pasien pada realitas h. Menghindari dukungan terhadap waham dan halusinasi

3. Pasien curiga a.

Menetapkan hubungan saling percaya

b. Merencanakan kontak yang singkat c.

Memperlihatkan kebutuhan fisiologis

d. Menghargai pribadi pasien e.

Membatasi jumlah tim perawatan yang merawat pasien

f.

Menerangkan harapan dari tindakan keperawatan bersama – sama dengan pasien

g. Ikutkan pasien dalam rencana keperawatan h. Observasi secara cermat bila memberikan pengobatan i.

Melindungi hak pasien bila menolak pengobatan atau perawatan

4. Pasien dependen a.

Membantu pasien untuk mengenal perasaannya

b. Menganjukan untuk menolong dirinya sendiri c.

Menghindari pujian dan tingkah laku yang dependen

d. Membuat rencana secara teratur dan membuat jadwal untuk mengadakan kontak dengan pasien 5. Pasien manipulatif a.

Melibatkan orang-orang yang berarti bagi pasien

b. Melindungi pasien dari ancaman diri sndiri c.

Berpedoman pada respon tingkah laku pasien

d. Membatasi kontak secara tetap dan jelas tujuannya e.

Tindakan keperawatan terstruktur

f.

Membantu pasien untuk mengenal perasaannya

g. Tindakan keperawatan difokuskan pada kekuatan pasien

Berikut ini menguraikan 2 diagnosis keperawatan dan asuhan keperawatan sehubungan dengan gangguan dalam hubungan sosial.

Tujuan

Rencana Tindakan

Jangka Panjang : Pasien dapat berhubungan dengan orang lain tanpa curiga. Jangka Pendek : 1.

Pasien dapat membina hubungan 1. Sapa pasien dengan ramah secara verbal dan denga perawat.

non verbal. 2. Jelaskan tujuan pertemuan kepada pasien dengan jelas. 3. Tujukan sikap empati dan penuh perhatian. 4. Terima pasien apa adanya. 5. Ciptakan lingkungan yang sama. 6. Hargai privasi pasien. Kontrol penampilan perawatan : 1. Selalu siap bila dibutuhkan pasien. 2. Jawab pertanyaan pasien secara jujur. 3. Perlihatkan perilaku sesuai, oleh semua anggota perawatan : sama – sama menggunakan komunikasi terapeutik mendekati pasien. 4. Menghindari pola komunikasi bersifat rahasia dekat dengan pasien.

2.

Pasien dapat mengenal perasaan 1. Diskusi dengan pasien cara mengungkapkan curiganya.

perilaku : apa alasan pasien selalu menghindar bila disapa oleh perawat. 2. Tujukan komunikasi yang jujur dari respon perilaku pasien.

3.

Pasien dapat mengatasi perasaan 1. Sediakan waktu untuk pasien curiganya.

mengekspresikan perasaannya 2. Pada saat berkomunikasi gunakan “pertanyaan terbuka” 3. Diskusikan dengan pasien tentang penyebab

perasaan curiga 4. Diskusikan dengan pasien apa yang dilakukannya sehubungan dengan perasaan curiga 5. Berikan kesempatan kepada pasien untuk melakukan sesuatu yang rasional 6. Bantu pasien untuk mengenal perilakunya dan hubungan dengan perasaanya 7. Diskusikan bersama pasien alternatif – alternatif pemecahan masalah 8. Berikan kebebasab kepada pasien untuk memilih alternatif pemecahan masalah 9. Hindari perilaku perawat yang tidak sesuai antara aspek dan verbal. Jawab pertanyaan pasien tentang obat – obat 10. Jangan bohongi melalui makanan. Gunakan komunikasi theuarapetik, misalnya : “ini obat ibu, minum dan telan ya”’ 11. Diskusikan dengan pasien jadwal harian yang harus dilakukan seperti berkomunikasi dengan perawat dengan cara menjawab dua pertanyaan atau tiga pertanyaan sehari, menjawab pertanyaan pasien lain duduk bersama perawat 5 – 10 menit dan seterusnya waktu ditingkatkan. 12. Bantu pasien mengenal adaptasi yang sifatnya mengalihkan : senam atau kegiatan ruangan. 13. Berikan dukungan terhadap keberhasilan yang sudah dicapai 4. Pasien menunjukkan perkembangan 1. Perlahan-lahan sertakan pasien dalam penurunan perilaku curiga.

kelompok misalnya dengan menghadirkan

satu atau dua perawat ruangan dalam komunikasi dengan pasien 2. Usahakan pesan b=verbal dan non verbal jelas dan konsisten dalam komunikasi 3. Beri dukungan atas keberhasilan pasien 4. Perlahan-lahan adirkan pasien, lakukan bermain peran dengan tukar pendapat, persepsi dan reaksi pasien 5. Diskusikan dengan anggota keluarga pasien : perilaku pasien demikian karena curiga, penyebab perilaku, cara keluarga menghadapi pasien yang sedag menghadapi perilaku curiga. 6. Motivasi anggota keluarga untuk secara bergantian menengok pasien setiap harinya. 7. Berikan umpan balik pada pasien tentang perubahan perilakunya 8. Mendukung pasien untuk menggunakan perilaku yang asertif.

I. Evaluasi. 1. Pasien menggunakan sumber koping yang adekuat. 2.

Pasien mengadakan hubungan interpersonal yang efektif dan menurunnya jumlah, waktu, asal dan alamiahnya hubungan komunikasi dan hubungan sosial yang tidak membangun.

3.

Tingkah laku pasien merefleksikan kemampuan untuk mengadakan hubungan interpersonal yang intim dan terapetik seperti jujur , terbuka, dan kerja sama.

J. STRATEGI PELAKSANAAN SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien

mengenal penyebab

isolasi, membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, dan mengajarkan pasien berkenalan Orientasi (Perkenalan) “Assalamu ‘alaikum” “Saya H….., Saya senang dipanggil Hes….., Saya mahasiswa Keperawatan yang praktik di ruang….. ini selama…..dan akan merawat ibu.” “Siapa nama Ibu? Senang dipanggil siapa?” “Apa keluhan K hari ini?” Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga dan teman-teman K? Mau dimana kita bercakap-cakap? Bagaimana kalau di ruang tamu? Mau berapa lama, K? Bagaimana kalau 15 menit” Kerja: (Jika pasien baru) “Siapa saja yang tinggal serumah? Siapa yang paling dekat dengan K? Siapa yang jarang bercakap-cakap dengan K? Apa yang membuat K jarang bercakap-cakap dengannya?” (Jika pasien sudah lama dirawat) “Apa yang K rasakan selama K dirawat disini? O… K merasa sendirian? Siapa saja yang K kenal di ruangan ini” “Apa saja kegiatan yang biasa K lakukan dengan teman yang K kenal?” “Apa yang menghambat K dalam berteman atau bercakap-cakap dengan pasien yang lain?”

“Menurut K apa saja keuntungannya kalau kita mempunyai teman? Wah benar, ada teman bercakap-cakap. Apa lagi? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa) Nah kalau kerugiannya tidak mempunyai teman apa ya K? Ya, apa lagi (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa). Jadi banyak juga ruginya tidak punya teman ya. Kalau begitu inginkah K belajar bergaul dengan orang lain? << Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita belajar berkenalan dengan orang lain?’’ “Begini lho K, untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu nama kita dan nama panggilan yang kita suka, asal kita dan hobi. Contoh: Nama saya K, senang dipanggil Ka. Asal saya dari Palembang, hobi memasak”. “Selanjutnya K menanyakan nama orang yang diajak berkenalan. Contohnya begini: nama bapak siapa? Senang dipanggil siapa? Asalnya dari mana / hobinya apa?” “Ayo K dicoba! Misalnya saya belum kenal dengan K, coba berkenalan dengan saya!” “Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali” “Setelah K berkenalan dengan orang tersebut K bisa melanjutkan percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan K bicarakan. Misalnya tentang cuaca, tentang hobi, tentang keluarga, pekerjaan dan sebagainya.” Terminasi: “Bagaimana perasaan K setelah kita latihan berkenalan?” “K tadi sudah mempraktekkan cara berkenalan dengan baik sekali” “Selanjutnya K dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama saya tidak ada. Sehingga K lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain. K mau praktekkan ke pasien lain. Mau jam berapa mencobanya. Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan hariannya.”

“Besok pagi jam 10 saya akan datang kesini untuk mengajak K berkenalan dengan teman saya, perawat R. Bagaimana, K mau kan?” “Baiklah, sampai jumpa. Assalamu ‘alaikum…..

SP 2: Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan orang pertamaseorang perawat-) Orientasi: “Assalamu ‘alaikum K!” “Bagaimana perasaan K hari ini ? << Sudah diingat-ingat lagi pelajaran kita tentang berkenalan >> Coba sebutkan lagi sambil bersalaman dengan Suster! >> << Bagus sekali, K masih ingat. Nah seperti janji saya, saya akan mengajak K mencoba berkenalan dengan teman saya perawat R. Tidak lama kok, sekitar 10 menit >> << Ayo kita temui R di sana >> Kerja: (Bersama-sama K mendekati perawat R) << Selamat pagi perawat R, ini ingin berkenalan dengan R >> << Baiklah K, K bisa berkenalan dengan perawat R seperti yang kita praktikkan kemarin >> (pasien mendemonstrasikan cara berkenalan dengan perawat R: member salam, menyebutkan nama, menanyakan nama perawat, dan seterusnya)

<< Ada lagi yang K ingin tanyakan kepada perawat R, coba tanyakan tentang keluarga perawat R >> << Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, K bisa sudahi perkenalan ini. Lalu K bisa buat janji bertemu lagi dengan perawat R, misalnya jam 1 siang nanti >> << Baiklah perawat R, karena K sudah selesai berkenalan, saya dan K akan kembali ke ruangan K. Selamat pagi >> (Bersama-sama pasien meninggalkan perawat R untuk melakukan terminasi dengan K di tempat lain) Terminasi: “Bagaimana perasaan K setelah berkenalan dengan perawat R” “K tampak bagus sekali saat berkenalan tadi”. “Pertahankan terus apa yang sudah K lakukan tadi. Jangan lupa untk menanyakan topik lain supaya perkenalan berjalan lancar. Misalnya menanyakan keluarga, hobi dan sebagainya. Bagaimana, mau coba dengan perawat lain. Mari kita masukkan pada jadwalnya. Mau berapa kali sehari? Bagaimana kalau 2 kali. Baik nanti K coba sendiri. Besok kita latihan lagi ya, mau jam berapa? Jam 10? Sampai besok.”

SP 3 Pasien: Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan orang kedua-seorang pasien-) Orientasi: “Assalamu ‘alaikum K! Bagaimana perasaan hari ini? “Apakah K bercakap-cakap dengan perawat R kemarin siang” (jika jawaban pasien: ya, komunikasi bisa dilanjutkan berikutnya orang lain)

“Bagaimana perasaan K setelah bercakap-cakap dengan perawat R kemarin siang” “Bagus sekali K menjadi senang karena punya teman lagi?” “Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan orang lain, yaitu pasien O? Seperti biasa kira-kira 10 menit” “Mari kita temui dia di ruang makan” Kerja: (Bersama –sama K mendekati pasien) << Selamat pagi, ini ada pasien saya yang ingin berkenalan.>> << Baiklah K, K sekarang bisa berkenalan gengannya seperti yang telah K lakukan sebelumnya.>> (pasien mendemonstrasikan cara berkenalan: memberi salam, menyebutkan nama, nama panggilan, asal dan hobi dan menanyakan hal yang sama).>> << Ada lagi yang K ingin tanyakan kepada O>> <> (K membuat janji untuk bertemu kembali dengan O) << Baiklah O, karena K sudah selesai berkenalan, saya dan K akan kembali ke ruangan K. Selamat pagi>> (Bersama –sama pasien meninggalkan O untuk melakukan terminasi dengan K di tempat lain) Terminasi: “Bagaimana perasan K setelah berkenalan dengan O?” “Dibandingkan kemarin pagi dengan perawat R, tampak lebih baik saat berkenalan

dengan O” “Pertahankan apa yang sudah K lakukan tadi. Jangn lupa untuk bertemu kembali dengan O jam 4 sore nanti” “Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan berkenalan dan bercakap-cakap dengan orang lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi satu hari K dapat berbincangbincang dengan orang lain sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1 siang, dan jam 8 malam, K bisa bertemu dengan R dan tambah dengan pasien yang baru dikenal. Selanjutnya K bisa berkenalan dengan orang lain lagi secara bertahap. Bagaimana K, setuju kan?” “Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk membicarakan pengalamanK. Pada jam yang sama dan tempat yang sama ya. Sampai besok…Assalamu ‘alaikum”

SP 1 Keluarga: Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang masalah isolasi social, penyebab isolasi social, dan cara merawat pasien dengan isolasi social. Orientasi: “Assalamu ‘alaikum Pak” “Perkenalkan saya perawat H, saya yang merawat anak bapak, K, di ruang….. ini” “Nama Bapak siapa? Senang dipanggil siapa?” “Bagaimana perasan Bapak hari ini? Bagaimana keadaan anak K sekarang ?” “Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang masalah anak Bapak dan cara perawatannya “ “Kita diskusi di sini saja ya? Berapa lama Bapak punya waktu? Bagaimana kalau

setengah jam?” Kerja: “Apa masalah yang Bpk/Ibu hadapi dalam merawat K? Apa yang sudah dilakukan? “Msalah yang dihadapi oleh K disebut isolasi social. Ini adalah salah satu gejala penyakit yang juga dialami oleh psien-pasien gangguan jiwa lain.” “Tanda-tandanya antara lain tidak mau bergaul dengan orang lain, mengurung diri, kalaupun berbicara hanya sebentar dengan wajah menunduk” “Biasanya masalh ini muncul karena memiliki pengalaman yang mengecewakan saat berhubungan dengan orang lain, seperti sering ditolak,tidak dihargai, atau berpisah dengan orang-orang terdekat” “Apabila masalah isolasi social ini tidak diatasi maka seseorang bisa mengalami halusinasi, yaitu mendengar suara atau melihat bayangan yang sebetulnya tidak ada.” “Untuk menghadapi keadaan yang demikian Bapak dan anggota keluarga lainnya harus sabar menghadapai K. Dan untuk merawat K, keluarga perlu melakukan beberapa hal. Pertama keluarga harus membina hubungan saling percaya dengan K yang caranya adalah bersikap peduli dengan K, dan jangan ingkar janji. Kedua, keluarga perlu memberikan semangat dan dorongan kepada K untuk bisa melakukan kegiatan bersama-samadengan orang lain. Berilah pujian yang wajar dan jangan mencela kondisi pasien.” << Selanjutnya jangan biarkan K sendiri. Buat rencana atau jadwl bercakap-cakap dengan K. Misalnya sholat bersama, makan bersama, rekreasi bersama, melakukan kegiatan rumah tangga bersama.” “Nah bagaimana kalau sekarang kita latihan untuk melakukan semua cara itu.” “Begini contoh komunikasinya, Pak: K, bapak lihat sekarang kamu sudah bisa bercakap-cakap dengan orang lain. Perbincangannya juga lumayan lama. Bapak

senang sekali melihat perkembangan kamu, Nak. Coba kamu bincang-bincang dengan saudara yang lain. Lalu bagaimana kalau mulai sekarang kamu sholat berjamaah. Kalau di rumah sakit ini, kamu sholat di mana? Kalau nanti di rumah, kamu sholat bersama-sama keluarga atau di mushola kampong. Bagaimana K, kamu mau coba kan, nak?” “Nah coba sekarang Bapak peragakan cara komunikasi seperti yang saya contohkan” “Bagus, Pak. Bapak telah memperagakan dengan baik sekali” “Sampai sini ada yang ditanyakan Pak” Terminasi: “Baiklah waktunya sudah habis. Bagaimana perasan Bapak setelah kita latihan tadi?” “Coba Bapak ulangi lagi apa yang dimaksud dengan isolasi social dan tanda-tanda orang yang mengalami isolasi social.” <<Selanjutnya bisa Bapak sebutkan kembali cara-cara merawat anak Bapak yang mengalami masalah isolasi social>> << Bagus sekali Pak, Bapak bisa menyebutkan kembali cara-cara perawatan tersebut>> << Nanti kalau ketemu K coba Bpk/Ibu lakukan. Dan tolong ceritakan kepada semua keluarga agar mereka juga melakukan hal yang sama.>> << Bagaimana kalau kita bertemu tiga hari lagi untuk latihan langcung kepada K ?” << Kita ketemu di sini saja ya Pak, pada jam yang sama>> << Assalamu ‘alaikum >>

SP 2 Keluarga: Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan masalah isolasi social langsung di hadapan pasien. Orientasi: “Assalamu ‘alaikum Pak/ Bu” “Bagaimana perasan Bpk/Ibu hari ini?” “Bapak masih ingat latihan merawt anak Bapak seperti yang kita pelajari beberapa hari yang lalu?” “Mari praktikkan langsung ke K! Berapa lama waktu Bpk/ Ibu baik kita akan coba 30 menit.” “Sekarang mari kita temui S” Kerja: “Assalamu ‘alaikum K. Bagaimana perasaan K hari ini?” “Bpk/Ibu K dating besuk. Beri salam! Bagus. Tolong K tunjukkan jadwal kegiatannya!” (kemudian saudara berbicara kepada keluarga sebagai berikut) “Nah Pak, sekarang Bapak bisa mempraktikkan apa yang sudah kita latihkan beberapa hari lalu” (Saudara mengobservasi keluarga mempraktikkan cara merawat pasien seperti yang telah dilatihkan pada pertemuan sebelumnya). “Bagaimana perasan K setelah berbincang-bincang dengan orang tua K ?” “Baiklah, sekarang saya dan orang tua ke ruang perawat dulu”

(Saudara dan keluarga meninggalkan pasien untuk melakukan terminasi dengan keluarga) Terminasi: “Bagaimana perasan Bapak/ Ibu setelah kita latihan tadi? Bapak/Ibu sudah bagus.” << Mulai sekarang Bapak sudah bisa melakukan cara merawat tadi kepada K>> << Tiga hari lagi kita akan bertemu untuk mendiskusikan pengalaman Bapak melakukan cara merawat yang sudah kita pelajari. Waktu dan tempatnya sama seperti sekarang Pak>> << Assalamu ‘alaikum>>

SP 3 Keluarga: Membuat perencanaan pulang bersama keluarga Orientasi: “Assalamu ‘alaikum Pak/Bu” “Karena besok K sudah boleh pulang, maka perlu kita bicarakan perawatan di rumah.” “Bagaimana kalau kita membicarakan jadwal K tersebut di sini saja” “Berapa lama kita bisa bicara? Bagaimana kalau 30 menit?” Kerja: “Bapak /Ibu , ini jdwal K selama di rumah sakit. Coba dilihat, mungkinkah dilanjutkan di rumah? Di rumah Bapak/Ibu yang menggantikan perawat. Lanjtkan jadwal ini di rumah, baik jadwal kegiatan maupun jadwal minum obatnya” “Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilaku yang ditampilkan oleh anak Bapak selama di rumah. Misalnya kalau K terus menerus tidak mau bergaul

dengan orang lain, menolak minum obat atau memperlihatkan perilaku membahayakan orang lain. Jika hal ini terjadi segera hubungi perawat S di puskesmas….., puskesmas terdekat dari rumah Bpk, ini nomor telepon puskesmasnya: (0711) xxxxxxx “Selanjutnya perawat S tersebut yang akan memantau perkembangan S selama di rumah Terminasi: “ Bagaimana Pak/Bu? Ada yang belum jelas? Ini jadwal kegiatan harian S untuk dibawa pulang. Ini surat rujukan untuk perawat S di PKM ….. Jangan lupa control ke PKM sebelum obat habis atau ada gejala yang tampak. Silakan selesaikan administrasinya!”

Gangguan hubungan sosial adalah suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan malu dengan orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam dirinya (NANDA, 2007). Kegagalan yang sering terjadi dalam menghadapi stresor dan penolakan dari lingkungan mengakibatkan individu tidak mampu berpikir secara rasional, individu akan berpikir bahwa dirinya orang yang gagal. Ketidakmampuan berfikir secara logis menyebabkan timbulnya rasa tidak percaya diri atau harga diri rendah dimana individu merasa tidak berguna, dan merasa malu yang ditunjukkan dalam bentuk perilaku Gangguan hubungan sosial. Pada klien dengan Gangguan hubungan sosial terlihat adanya gejala negatif dari dimensi utama gejala skizoprenia Secara spesifik proses penilaian stresor menimbulkan respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon perilaku dan respon sosial (Stuart, 2009). Penilaian klien Gangguan hubungan sosial terhadap stresor secara kognitif adalah merasa kesepian, ditolak orang lain atau lingkungan, orang lain tidak memahami dirinya, tidak berguna, putus asa, tidak mempunyai tujuan hidup, dirinya tidak aman dengan orang lain, tidak mampu berkonsentrasi dan mengambil keputusan (Keliat, 2005; NANDA, 2007; Townsend, 2009). Respon afektif berupa afek yang tidak sesuai, tumpul atau datar dan kadang apatis, cendrung merasa bingung/ragu sehingga tidak mampu untuk mengambil keputusan.

Klien merasa sedih, cemas, tidak ada motivasi, ditolak, sendiri, tidak mampu untuk merasa senang dan takut berhubungan dengan orang lain (Townsend, 2009). Adapun respon fisiologis yang terjadi pada klien Gangguan hubungan sosial berupa lemah, penurunan/peningkatan nafsu makan, malas beraktivitas, lemah, kurang energi (NANDA, 2007; Fortinash, 1999 dalam Jumaini, 2010). Klien dengan masalah Gangguan hubungan sosial menurut Townsend (2009) menunjukkan perilaku malas untuk merawat diri, tidak mempunyai tenaga melakukan aktivitas atau berinteraksi dengan orang lain, menyendiri. Biasanya posisi hanya pada satu tempat/tidak berubah walaupun sebenarnya posisi tersebut tidak nyaman. Sedangkan respon sosialnya adalah tidak komunikatif, senang menyendiri, tidak mau berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya (Townsend, 2009). Intervensi yang dilakukan pada klien dengan perilaku Gangguan hubungan sosial bervariasi. Frisch and Frisch (2006) menyatakan bahwa tindakan keperawatan pada klien Gangguan hubungan sosial bertujuan untuk melatih klien keterampilan sosial sehingga merasa nyaman dalam situasi sosial dan melakukan interaksi sosial. Tindakan keperawatan diberikan kepada klien sebagai individu, kelompok, keluarga, maupun komunitas, berupa terapi standar (generalis) dan terapi spesialis berupa psikoterapi. Terapi generalis yang diberikan kepada individu berupa tindakan membina hubungan saling percaya antara perawat dengan klien, membantu klien menyadari perilaku Gangguan hubungan sosialnya, dan melatih klien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap (Keliat, 2006). Adapun terapi generalis yang dapat dilakukan pada kelompok klien adalah terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS). Sedangkan tindakan keperawatan terapi spesialis berupa psikoterapi. Psikoterapi secara individu berupa terapi kognitif, terapi perilaku, terapi kognitif-perilaku (Cognitive Behaviour Therapy/CBT) dan Social Skill Trainning (SST); terapi kelompok, seperti terapi Suportif, psikoedukasi kelompok, Logotherapy dan CBSST merupakan kombinasi cognitive behavioral therapy (CBT) dan social skills training (SST); terapi keluarga, berupa terapi Psikoedukasi Keluarga; dan terapi komunitas, berupa terapi asertif komunitas (Assertif Community Therapy/ACT). Semua terapi di atas dapat diberikan kepada klien dengan masalah Gangguan hubungan sosial namun pemberiannya secara bertahap, hal ini karena variasi dari kondisi dan sumber koping yang dimiliki klien. Social skills training merupakan salah satu terapi spesialis. Social skills training (SST) bertujuan; 1) meningkatkan kemampuan seseorang untuk meng-ekspresikan apa yang

dibutuhkan dan diinginkan; 2) mampu menolak dan menyampaikan adanya suatu masalah; 3) mampu memberikan respon saat berinteraksi sosial; 4) mampu memulai interaksi; 5) mampu mempertahankan interaksi yang telah terbina (Eikens, 2000 dalam Renidayati, 2008). Menurut Stuart (2009) social skills training melatih kemampuan klien dalam 4 (empat) tahapan yaitu; 1) menggambarkan perilaku yang baru untuk dipelajari dengan cara memberikan bimbingan kepada klien yang mengalami gangguan dalam hubungan interpersonal; 2) mempelajari perilaku baru dengan menggunakan bimbingan dan demonstrasi; 3) mencoba melakukan perilaku baru dengan memberikan umpan balik; 4) melaksanakan perilaku baru dalam lingkungan. Kekuatan dari seorang perawat professional dalam memberikan asuhan keperawatan akan meningkat ketika menggunakan ilmu pengetahuan berdasarkan teori karena secara sistematis akan membangun suatu metode yang dapat memandu dalam berpikir kritis dan mengambil keputusan (Tomey, 2006). Banyak model konseptual yang dikemukakan oleh para ahli keperawatan, salah satunya adalah model konseptual keperawatan Hildegard E. Peplau yang dikenal dengan “Interpersonal Process” dan Teori Virginia Henderson dengan “Comprehensive Definition”. Hildegard E. Peplau yang dikenal dengan “Interpersonal Process”. Peplau berpikir bahwa psikodinamik keperawatan ditekankan pada kemampuan yang dimiliki oleh perawat agar dapat memahami perilakunya sendiri dalam menolong orang lain sehingga mampu mengidentifikasi kesulitan yang dirasakannya. Ada 4 komponen sentral dalam teori Peplau yaitu proses interpersonal, perawat, klien dan kecemasan.

Perawat ( 6 Peran )

Proses Interpersonal

Klien dalam keadaan sakit (Ansietas)

Manusia yang Produktif (kecemasan Energi yang sehat) Transformasi

Gambar 1. Model Keperawatan Peplau : Proses Interpersonal

Pada gambar 1. dapat terlihat proses interpersonal yang terjadi antara perawat dengan klien. Seorang perawat akan melakukan proses interpersonal kepada klien yang mempunyai masalah kesehatan aktual maupun risiko atau sehat. Perawat akan melakukan proses interpersonal secara langsung dengan menggunakan komunikasi terapeutik kepada klien yang sakit yaitu klien yang tidak mampu mentransformasi energi kecemasannya menjadi hal yang produktif. Perawat selama proses tersebut melaksanakan 6 peran yaitu stranger (orang asing), resource person (narasumber), teacher (guru), leader (pemimpin), surrogate (wali/wakil) dan counselor (konselor). Peran tersebut akan dilaksanakan selama proses interpersonal berlangsung yang terdiri atas 4 tahapan dimulai dari orientasi sampai resolusi, untuk membantu klien mengatasi kecemasan yang menjadi stresor dalam kehidupannya dengan cara mengajarkan dan melatih individu merubah energi dari kecemasan menjadi hal yang positif sehingga berguna untuk perkembangan manusia agar sehat dan produktif. Adapun proses terapi menurut konsep ini adalah build feeling security (berupaya membangun rasa aman pada klien), trusting relationship (menjalin hubungan yang saling percaya) dan interpersonal satisfaction (membina kepuasan dalam bergaul dengan orang lain sehingga klien merasa berharga dan dihormati). Peran perawat dalam terapi adalah share anxieties (berupaya melakukan sharing mengenai apa-apa yang dirasakan klien, apa yang biasa dicemaskan oleh klien saat berhubungan dengan orang lain), therapist use empathy and relationship (perawat berupaya bersikap empati dan turut merasakan apa-apa yang dirasakan

oleh klien). Perawat memberikan respon verbal yang mendorong rasa aman klien dalam berhubungan dengan orang. Teori Virginia Henderson dengan “Comprehensive Definition”. Menurut Henderson keperawatan memandang manusia

sebagai individu yang kompleks, terdiri dari biologis,

psikologis, sosiologis dan spiritual yang memiliki 14 kebutuhan dasar yaitu: 1. bernafas dengan normal; 2. makan dan minum adekuat; 3. eliminasi; 4. bergerak dan mempertahankan postur yang diinginkan; 5. tidur dan istirahat yang cukup; 6. memilih pakaian yang sesuai; 7. mempertahankan suhu tubuh tetap normal; 8. jaga kebersihan tubuh dan kulit; 9. hindari bahaya dari lingkungan dan melukai orang lain; 10. komunikasi dengan orang lain untuk mengemukakan emosi, kebutuhan, rasa takut dan pendapat; 11. beribadah menurut keimanan; 12. bekerja; 13. berpartisipasi dalam berbagai bentuk rekreasi; 14. belajar, menemukan dan kepuasan untuk perkembangan ke arah keseatan dan menggunakan sarana kesehatan yang ada (Henderson dalam Tomey, 2006). Teori Virginia Henderson juga mengidentifikasi adanya 3 level hubungan antara klien dengan perawat, dimana perawat bertindak sebagai ; 1. pengganti klien; 2. penolong klien; 3. teman klien. Henderson mendorong sikap empati perawat dalam memahami klien serta menyatakan bahwa perawat harus dapat masuk kebawah kulit dari kliennya masing-masing agar dapat mengetahui apa yang dibutuhkannya (Henderson, 1964 dalam Tomey, 2006). Hal ini berarti seorang perawat harus benar-benar mampu mengenal dan mengkaji sedalamdalamnya tetang klien sehingga dapat mengetahui dengan jelas kebutuhannya. Aplikasi Teori Keperawatan Hildegard E. Peplau Dan Virginia Henderson Pada Klien Dengan Gangguan hubungan sosial. Kelainan jiwa seseorang muncul akibat adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (anxiety). Dimana perasaan takut seseorang itu didasari adanya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang sekitarnya. Energi yang dihasilkan dari kecemasan yang semakin meningkat tidak ditransformasikan dengan baik sehingga menurunkan tenaga, semangat dan kemampuan klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga klien menjadi sakit dan mengalami Gangguan hubungan sosial. Berdasarkan konsep model Peplau dan Henderson maka dalam proses interpersonal antara perawat dengan klien Gangguan hubungan sosial terjadi 4 tahapan mulai dari orientasi sampai resolusi. Agar berlangsungnya proses interpersonal pada fase orientasi maka perlu adanya kesepakatan (kontrak). Kesepakatan tersebut merupakan penerapan dari teori

Henderson dimana perawat perlu menyepakati bersama klien tentang keinginan klien untuk sembuh, kekuatan dari diri klien untuk mau bekerjasama dalam menyelesaikan masalahnya beserta dukungan dari anggota keluarga dan pengetahuan tentang masalah yang dihadapi serta cara mengatasinya. Ini akan membantu mempermudah perawat untuk dapat menunjukkan konsistensinya dan mebuat klien lebih terfokus pada tujuan yang akan dicapai. Dengan demikian perawat dan klien Gangguan hubungan sosial dapat membina hubungan saling percaya sehingga fase-fase selanjutnya dapat dilewati secara bertahap. Model Virginia Henderson juga mengidentifikasi adanya 3 level hubungan antara klien dengan perawat, dimana perawat bertindak sebagai ; 1. pengganti klien; 2. penolong klien; 3. teman klien. Henderson mendorong sikap empati perawat dalam memahami klien serta menyatakan bahwa perawat harus dapat masuk kebawah kulit dari kliennya masing-masing agar dapat mengetahui apa yang dibutuhkannya (Henderson, 1964 dalam Tomey, 2006). Level hubungan perawat dan klien sebagai pengganti dan penolong yang dikemukakan oleh Henderson juga dikemukakan oleh Peplau namun ada 1 (satu) peran perawat sebagai teman klien belum ditemukan pada Peplau dan peran ini dirasa sangat tepat diberikan kepada klien dengan Gangguan hubungan sosial. Level atau peran ini akan sangat membantu bagi klien Gangguan hubungan sosial pada saat melakukan pengkajian, hal ini disebabkan karena bila peran ini dijalankan maka klien akan lebih terbuka sehingga dapat mengungkapkan perasaan dan masalahnya dengan lebih rinci kepada perawat. Ini akan membantu perawat dalam menegakkan diagnosa keperawatan dan memberikan tindakan keperawatan berupa terapi yang tepat. Sehingga pada akhirnya klien terbebas dari sakit/masalah dan menjadi mandiri. Berikut ini digambarkan tentang skema penerapan konsep model Peplau dan Henderson dalam pelaksanan proses interpersonal antara perawat dengan klien Gangguan hubungan sosial agar dapat belajar cara membina hubungan interpersonal dengan orang lain.

Perawat ( 7 Peran ) Kekuatann Keinginan Pengetahuan

Proses Interpersonal 1. 2. 3. 4.

Orientasi Identifikasi Ekploitasi Resolusi

Klien dengan Isolasi Sosial

Energi Transformasi

Manusia yang Produktif (mampu bersosialisasi)

Terapi Keperawatan (SST)

Gambar 2 Model Keperawatan Peplau dan Henderson dalam Proses Interpersonal Perawat dengan Klien Gangguan hubungan sosial

Individu yang mengalami masalah Gangguan hubungan sosial awalnya memiliki beberapa kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sepanjang perkembangannya seperti secara biologis ditemukan adanya gangguan pada konteks frontal sehingga menimbulkan gejala negatif dari klien skizoprenia. Bila dilihat secara psikologis pengalaman masa lalu klien yang tidak menyenangkan/ kegagalan dalam salah satu tugas perkembangan yang seharusnya sudah terlewati. Sedangkan secara sosial ditemukan, tidak terpenuhinya kebutuhan seperti pendidikan, pekerjaan, dan status sosial ekonomi yang rendah. Semua hal di atas merupakan kebutuhan klien yang sampai saat ini belum terpenuhi sedangkan harapan klien untuk masa depannya sangat tinggi sehingga kondisi ini membuat klien menjadi frustrasi dan tidak berkembang menjadi matur seperti yang disampaikan Peplau. Pada akhirnya timbul perasaan malu, menghindar dari orang lain dan lingkungan sosialnya yang berlanjut timbulnya perilaku Gangguan hubungan sosial. Peplau menyatakan bahwa individu yang mengalami masalah Gangguan hubungan sosial adalah individu yang tidak mampu mentransformasikan atau menyalurkan energi kecemasan yang ditimbulkan oleh stresor-stresor dalam perkembangan dirinya menjadi hal yang produktif. Oleh karena itu klien dengan Gangguan hubungan sosial membutuhkan perawat untuk dapat belajar merubah energi kecemasan akibat stresor menjadi bentuk yang produktif sehingga menjadi sehat. Perawat akan membantu klien Gangguan hubungan sosial melalui tindakan keperawatan yang diberi seperti pemberian terapi SST, berdasarkan penilaian individu terhadap stresor (tanda dan gejala) dan sumber koping yang dimiliki. Bila sumber koping yang dimiliki klien telah positif dan mendukung maka tindakan selanjutnya melatih atau mempertahankan kemampuan klien untuk dapat menyelesaikan masalahnya. Dalam asuhan keperawatan pada klien perawat menggunakan tahapan proses interpersonal yang dikemukakan oleh Peplau, yang terdiri atas tahapan orientasi, identifikasi, ekploitasi, resolusi (Peplau dalam Fitzpatrick, 1989). Keberhasilan dalam melaksanakan proses interpersonal bersama klien ditentukan pada tahap orientasi karena pada tahap ini perawat harus mampu

mengubah kepercayaan klien yang negatif terhadap orang lain. Bila tahap ini tidak dapat dilewati maka tahapan lainnya tidak akan bisa di mulai. Peplau dalam teorinya kurang memberikan gambaran cara melewati tahap orientasi khususnya pada klien yang memiliki masalah dalam melakukan proses interpersonal tersebut seperti klien dengan Gangguan hubungan sosial. Untuk itu maka penulis menambahkan dengan teori Henderson yang dapat memperjelas dengan teorinya bahwa perlu adanya kesepakatan atau kontrak yang jelas antara perawat dan klien dalam melakukan hubungan interpersonal yaitu klien akan dapat dibantu oleh perawat bila memiliki kekuatan, keinginan dan pengetahuan untuk dapat mancapai kemandirian atau terbebas dari penyakit dengan segera (Henderson dalam Fitzpatrick, 1989).

DAFTAR PUSTAKA

Carson, V. B. (2000). Mental health nursing: The nurse-patient journey. (2nd ed). Philadelphia : W.B. Saunders Company. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/IndonesiaNasional.pdf. Februari 23, 2009. Fitzpatrick. (1989). Conceptual models of nursing: analysis and application. (2nd ed). East Norwalk. Frisch, N. C., & Frisch, L. E. (2006). Psychiatric mental health nursing. (3th ed). Canada: Thomson Delmar Learning. Keliat, B. A., & Akemat. (2005). Keperawatan jiwa terapi aktivitas kelompok. Jakarta: EGC. Keliat, B. A. (2006). Peran serta keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa. Jakarta: EGC. NANDA. (2007). Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2007-2008. Philadelphia: NANDA International. Stuart, G. W. & Laraia, M. T. (2005). Principles and practice of psychiatric nursing. (8th ed). Missouri: Mosby, Inc. Stuart, G. W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing. (9th ed). St Louis: Mosby. Tomey, A. M. (2006). Guide to nursing management and leadership. (6th ed). St Louis: Mosby. Townsend, M. C. (2005). Essentials of psychiatric mental health nursing. (3rd ed). Philadelphia: F.A. Davis Company. Videbeck, S. L. (2006). Psychiatric-mental health nursing. (4th ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. WHO. (2001). The world health report: 2001: mental health: New understanding, new hope. www.who.int/whr/2001/en/

DEPKES RI . Pedoman Perawatan Psikiatrik, Ed I, DEPKES RI, Jakarta Stuart, G.W & Sundeen, S.J, . Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Edisi 3, EGC, Jakarta Townsend, M.C, (2008). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikitari (terjemahan), Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Depkes RI. (2007). Kesehatan Jiwa. (online) (http:/www.depkes.go.id, diakses Hamid Achir Yani, dkk. Pedoman Perawatan Psikiatrik Intervensi Keperawatan. Direktorat Keseshatan Jiwa Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Stuart, Gail Wiscarz dan Sandra J. Sundeen. Keperawatan Jiwa edisi : 3. Penerbit Buku Kedoktera : EGC. Jakarta.

Related Documents


More Documents from "Radian Dipta P"