Askep Anaflaksis Baru.docx

  • Uploaded by: Yulia Patma Desita
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Askep Anaflaksis Baru.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,142
  • Pages: 15
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana artinya jauh dan phylaxis artinya perlindungan. Secara bahasa artinya adalah menghilangkan perlindungan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Portier dan Richet pada tahun 1902 ketika memberikan dosis vaksinasi dari anemon laut untuk keduakalinya pada seekor anjing. Hasilnya, anjing tersebut mati mendadak. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi anafilaktoid. Gejala, terapi, dan risiko kematiannya sama tetapi degranulasi sel mast atau basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE. Data yang menjelaskan jumlah insidensi dan prevalensi dari syok dan reaksi anapilaksis saat ini sangat terbatas. Dari beberapa data yang diperoleh di Indonesia menunjukkan sepuluh dari 1000 orang mengalami reaksi anapilaksis tiap tahunnya. Saat ini diperkirakan setiap 1 dari 3000 pasien rumah sakit di Indonesia mengalami reaksi anafilaksis. Sehingga, resiko mengalami kematian sebesar 1% dari yang mengalami reaksi anapilaksis, yaitu sebesar 500-1000 kematian yang terjadi. Pada kematian akibat reaksi anafilaksis, onset gejala biasanya muncul pada 15 hingga 20 menit pertama, dan menyebabkan kematian dalam 1-2 jam. Reaksi anafilaktik yang fatal terjadi akibat adanya distress pernafasan akut dan kolaps sirkulasi. Oleh karena itu penting sekali memahami dan mengetahui tentang syok anafilaksis. Dalam referat ini, selain akan dipaparkan aspek dari penyakit anafilaksis, dan penatalaksanaan terkini serta sedikit pembahasan tentang sudut medikolegalnya akan turut pula disertakan. Angka kejadian alergi di berbagai dunia dilaporkan meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir. World Health Organization (WHO) memperkirakan di dunia diperkirakan terdapat 50 juta manusia menderita asma. Tragisnya lebih dari 180.000 orang meninggal setiap tahunnya karena asma.

B. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memberikan pemahaman tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit anafilaksis 2. Mendeskripsikan tentang konsep medis mengenai penyakit anafilaksis, mulai dari defenisi penyakit, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan. 3. Mengetahui konsep keperawatan pada pasien dengan penyakit anafilaksis, mulai dari pengkajian, diagnose, dan intervensinya.

BAB II TINJAUAN TEORI A. Definisi Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu alergen.

Anafilaksis merupakan respons

klinis terhadap reaksi imunologi cepat (hipersensivitas tipe I, antara antigen yang spesifik dan antibodi ( Brunner dan Suddarth, 2001). Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang mengancam jiwa dan mendadak terjadi pada pemajanan substansi tertentu. Anafilaksis diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I , dimana terjadi pelepasan mediator kimia dari sel mast yang mengakibatkan vasodilatasi massif, peningkatan permeabilitas kapiler, dan penurunan peristaltic. Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang akut, berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam organ tersebut (Suzanne C. Smeltze, 2001). Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan alergen. Pada pemaparan kedua atau pada pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi alergi. Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh. (Pearce C, Evelyn.2009). Anafilaksis adalah suatu reaksi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa menjadi berat. Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan alergen.Pada pemaparan kedua atau pada pemaparan kedua atau pada pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi alergi. Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba,berat dan melibatkan seluruh tubuh.

B. Etiologi Anafilaksis bisa tejadi sebagai respon terhadap berbagai alergen. Reaksi tersebut terjadi akibat antibody IgE dengan cara: - Antigen melekat pada antibody IgE yang terikat dengan membrane permukaan sel mast serta basofil dan menyebabkan sel-sel target ini diaktifkan - Sel mast dan basofil kemudian melepas mediator yang menyebabkan perubahan vaskuler, pengaktifan trombosit, eosinofil serta neutrofil dan pengaktifan rangkaian rangkaian peristiwa koagulasi. Penyebab yang sering ditemukan adalah:

a) Gigitan/sengatan serangga. b) Serum kuda (digunakan pada beberapa jenis vaksin). c) Alergi makanan d) Alergi obat Serbuk sari dan alergen lainnya jarang menyebabkan anafilaksis. Anafilaksis mulai terjadi ketika alergen masuk ke dalam aliran darah dan bereaksi dengan antibodi IgE. Reaksi ini merangsang sel-sel untuk melepaskan histamin dan zat lainnya yang terlibat dalam reaksi peradangan kekebalan. Beberapa jenis obat-obatan (misalnya polymyxin, morfin, zat warna untuk rontgen), pada pemaparan pertama bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid (reaksiyang menyerupai anafilaksis). Hal ini biasanya merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi racun dan bukan merupakan mekanisme sistem kekebalan seperti yang terjadi pada anafilaksissesungguhnya.

C. Klasifikasi Ada tiga klasifikasi utama anafilaksis. 1. Syok anafilaktik terjadi ketika pembuluh darah di hampir seluruh bagian tubuh melebar, sehingga menyebabkan tekanan darah rendah sampai sedikitnya 30% di bawah tekanan darah normal orang tersebut. 2. Diagnosis anafilaksis bifasik ditegakkan ketika gejala di atas muncul kembali dalam waktu 1–72 jam kemudian meskipun tidak ada kontak baru antara pasien dengan alergen.Beberapa studi menyatakan bahwa kasus anafilaksis bifasik mencakup sampai dengan 20% kasus.Biasanya gejala-gejala tersebut muncul kembali dalam waktu 8 jam.Reaksi kedua tersebut diatasi dengan cara yang sama dengan anafilaksis awal. 3. Pseudoanafilaksis atau reaksi anafilaktoid adalah istilah lama anafilaksis yang bukan disebabkan oleh reaksi alergi, melainkan oleh kerusakan langsung pada sel mast. Nama yang saat ini digunakan oleh Badan Alergi Dunia adalah “anafilaksis nonimun”Beberapa pihak menyarankan agar istilah lama tersebut tidak digunakan lagi.

D. Manifestasi Klinis Gambaran kilinis anafilaksis sangat bervariasi, baik cepat dan lamanya reaksi maupun luas dan beratnya reaksi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodromal baru menjadi berat. Keluhanyang sering dijumpai pada fase permulaan adalah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.

Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada oragan target seperti traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab. a. Reaksi sistemik  Reaksi sistemik ringan Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik.  Reaksi sistemik sedang Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan pada reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan napas, dispnea, batuk dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum, mual dan muntah. Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah. Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik ringan.  Reaksi sistemik berat Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam beberapa menit (terkadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan edema laring disertai serak, stridor, dispnea berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti napas. Edema faring, gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan disfagia, kejang perut hebat, diare dan muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat atau karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok dan koma.

Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal napas dan kolaps kardiovaskular sering sangat cepat dan mungkin merupakan gejala objektif pertama pada anafilaksis. Beratnya reaksi berhubungan langsung dengan cepatnya masa awitan. Reaksi fatal umumnya terjadi pada orang dewasa. Pada anak penyebab kematian paling sering adalah edema laring.

E. Patofisiologi Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok. Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 – H2 pada jaringan menentukan efek akhirnya. (2,3) Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan

pula

rangkaian

reaksi

maupun

sekresi

mediator

sekunder

dari

netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat

meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya mediator.(2,3,4) Pathway

F. Penatalaksanaan Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah: a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.

b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu: - Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. - Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tandatanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. - Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru. 1. Segera berikan adrenalin 0.3-0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit. 2. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus. 3. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel. 4. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan

volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20–40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin. 5. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. 6. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.

G. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan penunjang dapat menolong untuk membedakan kasus yang luar biasa atau menilai penatalaksanaan yang sedang dikerjakan. 2. Pemeriksaan darah lengkap dapat menemukan hematokrit yang meningkat akibat hemokonsentrasi. 3. Bila terjadi kerusakan miokard maka pada pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan peninggian enzim SGOT, CPK (fosfokinase kreatin) dan LDH (dehidrogenase laktat). 4. Foto toraks mungkin memperlihatkan emfisema (hiperinflasi) dengan atau tanpa atelektasis. Pada beberapa kasus dapat terlihat edema paru. 5. Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) bila tidak terjadi infark miokard maka perubahan EKG biasanya bersifat sementara berupa depresi gelombang S-T, bundle branch block,fibrilasi atrium dan berbagai aritmia ventrikular. H. KOMPLIKASI 1. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas. 2. Bronkospasme persisten. 3. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian). 4. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler). 5. Kerusakan otak permanen akibat syok. 6. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan

I. Konsep Asuhan Keperawatan a. Anamnesa Identitas :Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. Identitas ini digunakan untuk membedakan klien satu dengan yang lain. Jenis kelamin, umur dan alamat b. Riwayat penyakit sekarang Pada klien dengan reaksi anafilaksis ditemukan gejala awal dengan rasa gatal dan panas. Biasanya selalu disertai dengan gejala sistemik misal dispnea, mual, kulit sianosis, kejang. Anamnesa yang tepat dapat memperkecil gejala sistemik sebelum berlanjut pada fase yang lebih parah/gejala sistemik berat. c. Riwayat penyakit dahulu Apakah klien mempunyai riwayat alergi terhadap sesuatu. Pernahkah klien mengalami hal yang sama saat setelah kontak dengan alergen misalnya, debu, obatabatan, makanan, atau kontak dengan hewan tertentu. d. Riwayat penyakit keluarga Apakah salah satu dari anggota keluarga pernah mengalami alergi.Punyakah keluarga riwayat penyakit alergi lain misalnya, asma. e. Pemeriksaan fisik - Jalan napas atas Inspeksi : Bersin, pilek, dispneu. Palpasi : edema laring,edema lidah dan faring Auskultasi : ronchi - Jalan napas bawah Inspeksi : Dispnea, emfisema akut, asma, bronkospasme. - Gastro Intestinal Peningkatan peristaltik, muntah, disfagia, mual, kejang perut, diare. - Susunan saraf pusat Gelisah, kejang 1. Diagnosa a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan spasme otot bronkiolus . b. Gangguan perfusi jaringan, berhubungan dengan penurunan curah jantung dan vasodilatasi arteri.

c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan produksi histamine dan bradikinin oleh sel mast. 2. Intervensi  PERENCANAAN INTERVENSI DIAGNOSA

TUJUANDAN KH

INTERVENSI

KEPERAWATAN

(NOC)

(NIC)

a. Ketidakefektifan

NOC

NIC

pola napas

 Kriteria

berhubungan dengan spasme

Hasil - Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw

(NOC) -

otot bronkiolus .

Mendemonstrasika

n batuk efektif, dan - Posisikan

 Batasan

suara napas yang

Karakteristik

pasien

untuk

memaksimalkan pentilasi

bersih, tidak ada - Identifikasi

- Perubahan

sianosis

dan

kedalaman

dispneu

(mampu

pernapasan

bernapas

- Penurunan tekanan

thrust bila perlu

ekspirasi

jalan napas buatan

perlu

Menunjukkan jalan - Monitor napas yang paten

- Penurunan

perlunya pemasangan alat

dengan - Berikan bronkodilator bila

efektif). -

pasien

respirasi

dan

status O2

(klien tidak merasa - Pertahankan jalan napas

venntilasi

tercekik,

semenit

napas,

- Penuurunan

irama

yang paten

frekuensi - Monitor aliran oksigen

pernapasan dalam, - Observasi adanya tanda-

kapasitas vital

tanda hipoventilasi

rentang

- Dipneu

normal,tidak

ada - Monitor

suara abnormal). -

Tanda-tanda dalam normal

darah,suhu dan respirasi

vital - Monitor

rentang

tekanan

suhu,warna,dan

kelembaban kulit

(tekanan - Monitor pola pernapasan

darah, pernapasan).

nadi,

abnormal - Monitor

frekuensi

irama pernapasan

dan

b. Gangguan pertukaran

gas,

NOC

NIC

 (Kriteria hasil)

- Posisikan

berhubungan

n

curah jantung dan

peningkatan - Identifiksi pasien perlunya

ventilasi

vasodilatasi arteri.

oksigenasi

 Batasan

dan

pemasangan

yang

napas buatan

kebersihan

abnormal

keseimbangan

paru-

paru dan bebas dari - Monitor respirasi dan o2

- Pernapasan

distress pernapasan - Monitor

abnormal (mis.

- Tanda-tanda

Kecepatan,iram

dalam

a

normal.

dan

- Warna abnormal

rata-

rata,kedalaman,irama,dan

vital

usaha respirasi

rentan

- Catat

kedalaman)

pergerakan

dada,

amati kulit

kesimetrisan,penggunaan

(mis.

otot tambahan,retraksi otot

Pucat,kemerahan) - Sakit

jalan

mengoptimalkan

- Memelihra

- Ph darah arteri

alat

- Atur intake untuk cairan

kuat

Karakteristik

untuk

memaksimalkan ventilasi

- Mendemonstrasika

dengan penurunan

pasien

supraclavicular

kepala

dan

intracosta

saat bangun

- Monitor

- Iritabilitas

kelelahan

otot

diagfragnma - Auskultasi

suara

napas,

catat area penurunan atau tidak adanya ventilasi dan suara tambahan

NOC 

c. Kerusakan integritas berhubungan

kulit

NIC Pressure manajement

(kriteria hasil) - Integritas

kulit

yang baik bisa di

-

Anjurkan pasien untuk menggunakan

pakaian

dengan

pertahankan

peningkatan

(sensasi, elastisitas,

produksi histamine

temperatur, hidrasi,

dan bradikinin oleh

pigmentasi).

sel mast.

- Tidak

 Batasan

ada

- Perfusi

luka

lapisan

jaringan

kulit

pemahaman dalam proses

(dermis) - Gangguan

terjadinya

kulit

agar tetap bersih dan kering -

Monitor

kulit

akan

adanya kemerahan -

Oleskan

lotion

yang tertekan

(epidermis)

pada

kebersihan

dan

mencegah

cedera

Memandikan

atau daerah

pasien

dengan sabun dan air

berulang

hangat

- Mampu

-

melindungi

kulit

dan mempertahankan keembapan

alami.

Jaga

minyak pada

kulit

dan

kerutan

perbaikan

permukaan kulit

struktur

Hindari

tempat tidur

baik menunjukkan

- Kerusakan

tubuh

-

atau lesi pada kulit

Karakteristik

- Invasi

yang longgar

kulit

perawatan

Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa menjadi berat. 2. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu alergen. 3. Anafilaksis bisa tejadi sebagai respon terhadap berbagai alergen. Reaksi tersebut terjadi akibat antibody IgE, penyebab yang sering ditemukan adalah gigitan/sengatan serangga, serum kuda (digunakan pada beberapa jenis vaksin), alergi makanan, alergi obat 4. Gambaran kilinis anafilaksis sangat bervariasi, baik cepat dan lamanya reaksi maupun luas dan beratnya reaksi, dimana gejala dapat dimulai dengan gejala prodromal baru menjadi berat 5. Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaidah kegawat daruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. B. Saran Diharapkan dengan pembuatan askep ini dapat dijadikan pedoman dan pembelajaran bagi mahasiswa untuk memanjemen pelayanan di Rumah Sakit dalam upaya peningkatan kesehatan secara menyeluruh, terhadap pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Barbara C, Long. 1996. Perawatan medikal bedah. EGC : Jakarta Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 3. EGC : Jakarta Gleadle, Jonathan. 2005. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga. http://debyrahmad.blogspot.com/diakses pada tanggal 4 Juni, 2015. Nurarif Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdaarkan Diagnosa

Medis dan

Nanda NIC NOC Jilid 1. Yogyakarta: Medi Action. Pearce C, Evelyn. 2009. Anatomi dan fisiologi. Gramedia : Jakarta Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC :

Jakarta

Related Documents

Askep
October 2019 90
Askep
July 2020 51
Askep
May 2020 71
Askep Malaria.docx
April 2020 6

More Documents from "Chrisna Wahyu Ramadhan"