Asas Asas Kuhp.docx

  • Uploaded by: rosalinda jati
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Asas Asas Kuhp.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,394
  • Pages: 7
Asas-Asas Berlakunya KUHP

B. Asas tentang berlakunya KUHP menurut ruang waktu Disamping berlakunya undang-undang Hukum Pidana menurut waktu, dikenal juga asas-asas berlakunya KUHP menurut tempat. Manfaat mengetahui asas ini adalah : a. Untuk mengetahui sampai kemana berlakunya undang-undang Hukum Pidana suatu negara. Apakah terhadap seseorang berlaku Hukum Pidana Indonesia, atau Hukum Pidana Asing; b. Untuk menentukan kekuasaan suatu pengadilan (kompetensi). Asas ini diatur oleh KUHP dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 yang diperinci menjadi 4 asas yaitu : 1. Asas Territorialitas (Pasal 2 dan Pasal 3); 2. Asas Nasionalitas Aktif atau Asas Personalitas (Pasal 5, 6, dan 7); 3. Asas Nasionalitas Pasif atau Asas Perlindungan (Pasal 4, 1, 2, dan 8); 4. Asas Universalitas (Pasal 4, 2, dan 4).1

1) Asas Territorialitas atau Wilayah Pertama-tama dilihat bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diatas wilayah negara itu sendiri. Ini merupakan yang paling pokok dan juga asas yang paling tua. Adalah logis kalau ketentuan-ketentuan hukum negara berlaku di wilayah nya sendiri. Bahkan dalam hukum adat pun dikenal asas demikian. Misalnya Van Vollenhoven membagi Indonesia atas 19 wilayah hukum adat, yang merupakan pembagian berdasar asas teritorialitas. A.Z Abidin menyatakan bahwa menurut hukum adat pidana di Sulawesi Selatan berdasarkan lontara, berlaku asas wilayah, terpateri dalam pepatah adat “dimana api menyala, disitu dipadamkan”. Yang berarti dimana delik dilakukan, disitu diadili berdasar atas adat yang berlaku di wilayah itu.2 Hal ini ditagaskan dalam pasal 2 KUHP bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Negara Indonesia. Dengan demikian orang asing yang berada dalam wilayah Indonesia takluk pada hukum pidana di Indonesia.

1 2

M. Ali Zaidan. 2012. Hukum Pidana 1. Jakarta: Fakultas Hukum UPN “VETERAN”, hlm. 194 A.Z. Abidin, op.cit., hlm. 205

Berlakunya hukum pidana berdasarkan wilayah dibatasi oleh hukum internasional. Hal ini tercantum pada pasal 9 KUHP: berlakunya pasal 2, 3, 4, 5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum internasional.3 Disini berarti, bahwa orang yang melakukan delik itu tidak mesti secara fisik betul-betul berada di Indonesia tetapi deliknya (strafbaarfeit) terjadi di wilayah Indonesia. 4 Dimanakah batas wilayah Indonesia tersebut ? a. Daratan dengan batas-batas yang diakui negara-negara asing, yakni bekas Hindia Belanda dulu (penjelasan UUD-1945). Ditambah: Timor-timur ketika itu. b. Laut, perbatasannya mesti ditentukan dalam Hukum Antar Negara. Akan tetapi sekarang belum ada ketentuan yang pasti. Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengumumkan batas laut teritorial itu selebar 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau negara Indonesia (ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960/Perpu) prinsip ini dikenal dengan nama : “Wawasan Nusantara”. c. Udara, diatas daratan dan lautan. Ini sesuai dengan traktat Paris 1919. Pasal 3 KUHP memperluas berlakunya asas teritorialitas dengan memandang kendaraan air (vaarling) Indonesia sebagai ruang tempat berlakunya hukum pidana (bukan memperluas wilayah). Hukum Internasional modern hanya mengakui kapal perang, kapal dagang di laut terbuka dan dalam hal dijalankan ius passagii innoxi (ketentuan yang mengatur suatu kapal yang lewat secara damai di wilayah laut suatu negara lain) sebagai wilayah nasional.5 Jadi, undang-undang tidak menjelaskan apakah vaartuig itu. Yang dijelaskan oleh KUHP, Pasal 95 ialah istilah “kapal” (schip). Pasal itu berbunyi : yang disebut vaartuig Indonesia ialah kendaraan air yang mempunyai surat laut atau pas kapal, atau surat izin sementara, menurut aturan umum mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia. Kewarganegaraan kendaraan air haruslah kewarganegaraan Indonesia. Menurut peraturan umum perkapalan Indonesia, suatu kapal dapat memakai bendera apabila : a. Dimiliki oleh seorang atau lebih WNI, atau b. Dimiliki untuk 2/3 bagian oleh orang seorang atau lebih penduduk Indonesia, dengan syarat bahwa pemegang buku (boekhouder) nya harus WNI yang berdiam di Indonesia. Jadi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam atau diatas suatu kapal Indonesia, meskipun dalam laut wilayah Negara lain, misalnya sedang berlabuh dalam suatu pelabuhan negara asing dapat dituntut oleh jaksa dan dihukum oleh pengadilan Negara Indonesia. 3Saifullah,

Konsep Dasar Hukum Pidana. Andi Hamzah. 2014. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 66 5 E. Utrecht. Op.cit., hlm.239 4

Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana. Hal ini juga tidak mengurangi kemungkinan bahwa menurut peraturan hukum Negara asing tersebut, seseorang yang melakukan tindak pidana tadi dapat pula dihukum di pengadilan dari Negara asing itu. Apabila hal tersebut terjadi maka pelanggar hukum pidana tadi tidak akan diadili oleh hukum pidana di Indonesia sebab berdasarkan asas ne bis in idem ( pasal 76 ayat 2 KUHP ). Hal ini dapat diterima sebab dalam peraturan pasal 2 KUHP apabila seseorang warga asing didalam kapal asing dalam suatu pelabuhan Indonesia melakukan tindak pidana, maka orang itu juga dapat dihukum oleh pengadilan Negara Indonesia. KUHP tidak merinci hukum internasional yang membatasi berlakunya hukum pidana. Van Bammelen menunjukkan bahwa kekecualian itu meliputi tidak berlakunya hukum pidana di tempat seorang duta besar dan utusan asing yang secara resmi diterima oleh kepala negara, pegawai kedutaan, dsb. Termasuk mereka yang mengecap imunitas hukum pidana ialah pelayan duta (gens de livree). Ketentuan internasional yang menentukan mereka yang diberikan imunitas hukum pidana tercantum di dalam perjanjian Wina tanggal 18 April 1961 (Trb.1962 Nomor 101).6 Perwakilan negara asing tidak tunduk pada hukum negara tempat mereka berada sebagai lambang kedaulatan negara asing tersebut. Ini sesuai dengan kata-kata Bijkershoek “Quia imaginem principis sui ubigue circcumferunt”, hukum negara penerima tidak berlaku “par in parem non habit potestatem”.7 2. Asas Nasionalitas Aktif/Asas Personalitas (Actieve Nationalitieitbeginsel/ Personaliteitbeginsel) Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum Pidana Indonesia mengikuti warganegaranya dimanapun ia berada. Inti asas ini tercantum dalam pasal 5 KUHP yang berbunyi : “ Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warganegara Indonesia yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia”. 1. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku II dan dalam Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451 KUHP; dan 2. Suatu kejahatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut undang-undang negara, dimana perbuatan itu dilakukan. {2} penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksud pada 2 boleh dijalankan, jika tersangka baru menjadi warga negara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu. Dengan demikian, menurut Pasal 5 ayat (1), asas tersebut hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu, yang dapat diperinci dalam 2 golongan, sebagai berikut :

66 7

J.M. Van Bemmelen, op.cit., hlm. 90-91 D. Hazenwinkel-Suringa, op,cit., hlm.444 dan seterusnya

1) a. Kejahatan-kejahatan dalam Bab I dan Bab II Buku ke II yakni Pasal 104 s.d Pasal 139 berupa kejahatan-kejahatan yang melanggar Keamanan Negara; b. Kejahatan-kejahatan menghasut (Pasal 160) dan menghasut dengan tulisan (Pasal 161); c. Kejahatan-kejahatan membuat diri atau orang lain tidak cakap memenuhi kewajiban militer (Pasal 240); d. Kejahatan perompakan di laut (Pasal 450 dan 451). Tindak-tindak pidana diatas mengancam kepentingan-kepentingan yang khusus bagi Indonesia, dan belum tentu menurut undang-undang pidana negara asing dapat dipidana. Oleh karena itu, dicantumkan secara tegas dalam asas ini. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat 1 ke-2 bermaksud agar orang Indonesia yang melakukan kejahatan di luar negeri lalu kembali ke Indonesia sebelum diadili di luar negeri, jangan sampai lolos dari pemidanaan. Indonesia tidak akan menyerahkan warganya untuk diadili di luar negeri. Ketentuan ini berlaku bagi semua kejahatan menurut KUHP Indonesia. Ketentuan ini tidak berlaku untuk delik pelanggaran. Asas ini diperluas dengan Pasal 7 yang berbunyi : “Aturan hukum pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang pegawai negeri yang diluar Indonesia melakukan salah satu perbuatan pidana tersebut dalam Bab XXVIII Buku Kedua”. Pengertian pegawai negeri (ambtenaar) dijelaskan secara otentik oleh Pasal 92 KUHP. Khusus untuk delik korupsi, pengertian “pegawai negeri” diperluas lagi oleh Pasal 2 UUPTPK, sehingga meliputi juga pegawai swasta yang mendapat subsidi atau kelonggarankelonggaran dari pemerintah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara asas teritorial dengan asas personalitas. Jika asas teritorial menyatakan batas berlakunya hukum pidana bagi wilayah negara tanpa memperhatikan kewarganegaraan pelaku, maka asas personalitas dapat diartikan bahwa keberlakuan hukum pidana Indonesia mengikuti keberadaan warga negara Indonesia kemana pun ia berada. Oleh karena itu, asas personalitas disebut juga dengan asas nasional aktif. Demikianlah, setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di mana pun berada, ia berhak diadili menurut hukum pidana Indonesia hal mana dikenal dengan asas nasional aktif.8 3. Asas Nasionalitas Pasif/Asas Beschermingsbeginsel)

Perlindungan

(Passieve

Nasionalitetitsbeginsel/

Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Negara.

8Wirjono

54

prodjodikoro. 2008. asas-asas hukum pidana di Indonesia. Bandung:PT Refika Aditama. Hlm. 53-

Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia berdasarkan atas kerugian nasional sangat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja termasuik orang asing yang melakukannya dimana saja, pantas untuk dihukum di pengadilan Indonesia. 9 Hal diatas dapat terlaksana apabila pelaku dibawa di wilayah Indonesia. Prinsip nasional pasif ini termuat dalam pasal 4 ke 1, 2, dan 3 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang diluar wilayah Indonesia telah melakukan : Ke-1: salah satu dari kejahatan-kejahatan yang termuat dalam pasal-pasal 104-108, 110, 111, bis sub 1, 127, 130-133 Ke-2 : suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas atau mengenai segel atau mereka yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia Ke-3 : suatu pemalsuan dalam surat-surat hutang ( scheldbrieven ) atas beban Indonesia atau daerah dari Indonesia, atau pemalsuan dalam tanda-tanda deviden atau bunga dari surat-surat hutang itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat-surat yang dipalsukan itu. Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional (universal). Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut. Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu : a. Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1) b. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2) c. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3) d. Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4). Hanya ada sedikit kejahatan yang dikenakan Prinsip nasional pasif ini, yang terberat saja dari titel 1 dan 2 buku II KUHP, kemudian pemalsuan uang Indonesia, pemalsuan segel dari Indonesia, dan pemalsuan surat-surat hutang atas beban Indonesia atau daerahnya. Pasal 8 mengatur tentang nahkoda dan penumpang alat pelayaran/pengangkutan air Indonesia yang melakukan kejahatan BAB XXIV Buku II, Bab IX Buku III dan undang-undang tentang Pas kapal.10 4. Asas Universalitas (Universaliteitsbeginsel) Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua Negara di dunia. Apabila ada tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama

9

Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia, 56 M. Ali Zaidan. Hukum Pidana 1. hlm. 200

10

dari semua Negara, maka hal ini dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap Negara, dengan tidak dipedulikan siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan. Hukum pidana ini berlaku umum, melampaui negara yang bersangkutan. Perlindungan disini untuk kepentingan dunia. Jadi tiap-tiap negara berkewajiban untuk ikut melaksanakan tata hukum sedunia, demikian menurut V. Hattum. Asas ini dianut dalam Undang-undang Pidana kita, seperti yang terdapat dalam pasal 438 dan 444 KUHP yang mengancam dengan hukuman terhadap siapa saja yang telah bersalah melakukan pembajakan laut dengan segala akibat yang mungkin timbul dengan kegiatan tersebut. Berlakunya pasal 2-5 dan pasal 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional). Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana yan dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing. Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal). Asas ini terdapat pada pasal 4 ayat 2 dan 4 KUHP sejauh kepentingan negara-negara lain yang dilindungi oleh kekuatan-kekuatan pidana tersebut. Pasal tersebut semula dibentuk hanya untuk melindungi mata uang dan uang kertas yang telah dikeluarkan oleh bank sirkulasi. Namun sejak tahun 1932 tidak hanya mata uang saja yang harus dilindungi. Tetapi juga hal-hal lain yang menyebabkan adanya tindak pidana berskala internasional. Dalam pasal 4 sub 4 KUHP yang menentukan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, termasuk orang-orang asing yang diluar wilayah Indonesia melakukan kejahatan-kejahatan, termuat dalam pasal-pasal 438, 444-446 sepanjang mengenai pembajakan laut, dan pasal 447 mengenai membawa suatu kapal ke bawah kekuasaan bajak laut. Dewasa ini makin banyak perjanjian antara Indonesia dengan negara asing untuk menumpas suatu tindak pidana yang dalam sistem hukum negara lain juga dianggap sebagai tindak pidana, apalagi tindak pidana tersebut memiliki karakteristik yang transnasional, umpamanya kejahatan narkotika, psikotropika, perdagangan orang, perompakan di laut dan lain sebagainya.

Dewasa ini pula, asas universal banyak diterapkan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Seluruh dunia merasa berkepentingan dengan aksi-aksi terorisme, karenanya sebagian besar negara sepakat bahwa terorisme adalah kejahatan universal yang dengan demikian menjadi universal pula kewenangan untuk menangani dan mengadilinya. A. Hukum Pidana Supranasional Bentuk yang paling sempurna berfungsinya hukum pidana supranasional, ialah diterimanya sejumlah peraturan-peraturan supranasional oleh negara-negara berupa delik-delik yang mempunyai sifat internasional, ditetapkan sebagai dapat dipidana yang berdasarkan ketentuan umum yang seragam, dipidana oleh hakim yang supranasional. 1. Pengadilan penjahat perang dunia II 2. Mahkamah Kriminal Internasional untuk Yugoslavia dan Rwanda 3. Pengadilan pidana internasional permanen (the permanent international criminal court atau ICC)

Related Documents


More Documents from ""

Asas Asas Kuhp.docx
December 2019 25
Analisis Usaha.docx
June 2020 13
Convenio Ucv.docx
June 2020 10
Teks Editorial.docx
December 2019 14
Fulltext01.pdf
November 2019 10