Menumbuhkan Kesantunan Berbahasa dan Penalaran Moral dalam Upaya Membentuk Jiwa Nasionalisme Melalui Pembelajaran Debat
Aminudin, S.S. Guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Blitar
2
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah artikel dengan judul
Menumbuhkan
Kesantunan Berbahasa dan Penalaran Moral dalam Upaya Membentuk Jiwa Nasionalisme Melalui Pembelajaran Debat telah selesai saya tulis. Artikel ini tersusun untuk memenuhi salah satu pesyaratan mengikuti Olimpiade Guru Nasional (OGN) 2018. Selain itu artikel ini disusun untuk memberi motivasi pada diri sendiri pada khususnya dan para guru Indonesia untuk senantiasa berlomba-lomba menjadi guru terbaik bagi para siswanya. Secara sekilas artikel ini berisi tentang langkah-langkah pembelajaran materi debat dengan metode debat. Dalam pembelajaran ini diharapkan terbangun kesantunan berbahasa, tumbuhnya penalaran moral, serta membangun jiwa nasionalisme. Tentunya untuk dapat memperoleh hasil pembelajaran sebagaimana yang diharapkan, tulisan ini juga berlandaskan beberapa teori belajar, pemerolehan bahasa, serta linguistik pragmatis. Tulisan ini lebih lanjut bisa dikembangkan menjadi Penelitian Tindakan Kelas untuk menguji hipotesa-hipotesa yang ada di dalam artikel. Demikian artikel ini ditulis, semoga memberi manfaat bagi para pendidik untuk membangun bangsa dan negara yang lebih baik. Penulis senantiasa berharap perbaikan terhadap artikel ini. Untuk itu kritik dan saran menjadi harapan penulis.
Blitar, 13 Februari 2018
Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2 DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3 I.
PENDAHULUAN ....................................................................................... 4 1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 4 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 6 1.3. Tujuan................................................................................................... 7 1.4. Manfaat................................................................................................. 7
II.
KAJIAN TEORI .......................................................................................... 7 2.1. Pendidikan Karakter pada Pembelajaran Bahasa ................................ 7 2.1.1. Teori Kesantunan dalam Berbahasa ............................................. 9 2.1.2. Perkembangan Penalaran Moral .................................................. 10 2.2. Tentang Jiwa Nasionalisme .................................................................. 10 2.3. Debat dalam Konteks Pembelajaran bahasa ......................................... 11
III.
PEMBAHASAN ......................................................................................... 12 3.1. Pembelajaran Bahasa dengan Metode Debat ....................................... 12 3.1.1. Pra Debat ...................................................................................... 13 3.1.2. Pelaksanaan Debat ....................................................................... 16 3.1.3. Pasca Debat .................................................................................. 16 3.2. Kesantunan Berbahasa dalam Debat .................................................... 17 3.3. Debat sebagi Stimulan Penalaran Moral .............................................. 20 3.4. Membentuk Jiwa Nasionalisme Melalui Debat ................................... 21
IV.
KESIMPULAN ........................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 25
4
I.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Isu terkait dengan krisis nasionalisme dengan berbagai permasalahannya menjadi hal yang urgen untuk segera diselesaikan. Hal ini ditengarahi banyaknya berita di berbagai media, baik media cetak, media elektronik, bahkan media sosial menyentuh isu masalah nasionalisme, seperti: intoleransi, radikalisme, anti-Pancasila, anti-kebhinekaan, serta antinasionalisme itu sendiri. Ada kalanya isu-isu ini berdasarkan fakta, tetapi juga tidak sedikit berkelindan dengan hoax (berita-berita palsu atau berita-berita bombastis). Dampaknya, banyak diperdengarkan reaksi berupa ujaran kebencian antar kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang perbedaan agama, suku, partai politik, organisasi, serta kebudayaan. Dengan memandang kebangsaan Indonesia yang disatukan atas dasar keragaman sejak tahun 1928, bukan tidak mungkin fenomena tersebut akan memicu pecah-belahnya persatuan. Terkait dengan ujaran kebencian, Munawir Aziz pernah menyinggung melalui tulisan opini di Kompas dengan menyatakan bahwa, narasi kebencian tidak hanya sekadar bahasa, tetapi sudah membangkitkan energi negatif bagi generasi melalui huruf dan kata-kata. Narasi kebencian berupa kutukan, makian, atau umpatan telah mengotori ruang-ruang diskusi, yang bergeser menjadi perdebatan maupun interaksi di media sosial. Generasi milenial yang menjadi generasi muda negeri ini harus dibebaskan dari penyebaran virus ujaran kebencian. Maka, dibutuhkan agresivitas untuk melawan kebencian dengan mengkreasi narasi perdamaian demi merawat ki-bhinekaan.1 Dalam teori neuro linguistic programming, ujaran kebencian melalui percakapan, dialog atau argumen secara tidak langsung akan mempengaruhi perasaan seseorang, mood, dan secara tidak langsung mempengaruhi seseorang dalam merespons sesuatu. Lebih lanjut ujaran kebencian menumbuhkan bahasa negatif yang kuat, serta menghasilkan perilaku negatif yang kuat pula.2 Guru sebagai corong pendidikan menjadi subjek paling utama dan pertama terhadap penyelesaian persoalan bangsa dan negara. Sehingga ada istilah guru bangsa ketika sebuah bangsa mengalami kegoncangan, baik secara struktural maupun kultural yang memungkinkan menjadi penyebab kehancuran bangsa dan negara.3 Dengan mengaitkan fenomena sebagaimana diungkapkan di awal, maka guru harus mengambil peran memalui proses
1
Munawir Aziz, “Melawan Narasi Kebencian”, Kompas, (Jakarta, 19 Januari 2018), hlm. 7 Lindsey Agness, The True Magic of NLP (neuro linguistic programming), (Gerai Ilmu: Yogyakarta, 2010), hlm. 28 3 Marno, M.Pd. & M. Idris, S.Si, Strategi & Metode Pengajaran, (Ar-Ruzz Media: Yogyakarta, 2009), hlm. 16 2
5
pembelajarannya untuk membawa peserta didiknya untuk ikut serta menyelesaikan persoalan terkait isu nasionalisme. Salah satu sikap nasionalisme yang ditumbuhkan sejak tanggal 28 Oktober 1928 melalui Sumpah Pemuda adalah Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia. Dengan mencermati salah satu cita-cita Sumpah Pemuda tersebut, maka pembelajaran Bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat signifikan untuk membangun sikap nasionalisme bagi peserta didiknya. Menumbuhkan sikap nasionalisme merupakan manivestasi pembelajaran karakter. Pendidikan karakter adalah salah satu bentuk pendidikan yang harus terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya setiap satuan pendidikan.4 Dengan demikian, pembelajaran karakter nasionalisme pada mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa diajarkan secara tersendiri, melainkan harus terinternalisasi melalui proses belajar. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 dan Permendikbud Nomor 53 Tahun 2015, salah satu aspek penilaian yang harus dilakukan seorang guru yakni penilaian sikap atau karakter. Penilaian sikap dilakukan untuk mengetahui tingkat perkembangan sikap spiritual dan sikap sosial peserta didik. Sementara itu, sikap sosial mencakup kejujuran, kedisiplinan, kesantunan, kepercayaan diri, kepedulian (toleransi, kerjasama, dan gotong-royong), dan rasa tanggung-jawab. Penilaian sikap dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pemerolehan nilainilai spiritual maupun sosial, yang salah satunya dapat mengamalkan nilai-nilai. Peserta didik disebut telah mengamalkan nilai apabila yang bersangkutan telah menjadikan nilai tersebut sebagai ciri dirinya dalam berpikir, berkata, berkomunikasi, dan bertindak. Mata pelajaran Bahasa Indonesia memiliki empat keterampilan yang harus diikuti peserta didik pada setiap jenjang, yakni menyimak, membaca, berbicara dan menulis. Salah satu keterampilan yang masih jauh dari harapan adalah pembelajaran berbicara. Pembelajaran berbicara yang kurang baik sering kali terjadi karena guru lebih menekankan kemampuan penampilan peserta didik sementara tidak disertai latihan agar peserta didik mampu menyusun idenya sendiri. Teks bahan berbicara sudah disediakan kemudian peserta didik menghafalkan, sehingga tidak membentuk kreativitas dalam menyampaikan pendapat dan ide. Sedangkan dalam pembelajaran berbicara ada nilai karakter yang selayaknya dibangun, antara lain disiplin, kepemimpinan, sungguh-sungguh, dan sopan serta santun. Sedangkan pada tahap bicara bergilir diharapkan terbangun karakter rendah hati, terbuka, jujur, beretika dan ilmiah.5
4
Yunus Abidin, M.Pd., Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter, (Refika Aditama: Bandung, 2012), hlm.91 5 Id. At. 133
6
Mengaitkan dengan target penilaian sikap sebagaimana Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 dan Permendikbud Nomor 53 tahun 2016 dengan pendidikan karakter yang semestinya dibangun dalam pembelajaran berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka ada sebuah sinergi positif yang bisa menumbuhkan karakter nasionalisme bagi peserta didik. Beberapa penilaian sikap yang menjadi target Permendikbud adalah kesantunan serta toleransi yang harus mengejawantah pada penerapan berpikir serta berkomunikasi, sedangkan target pendidikan karakter yang hendak dibangun pada pembelajaran berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah sopan santun, rendah hati, beretika dan ilmiah. Berdasarkan fenomena sosial dalam berbangsa dan bernegara sebagaimana disebutkan di awal, serta landasan hukum penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tentang Penilaian Sikap dan Evaluasi Pembelajaran, sekaligus target pendidikan karakter pada pembelajaran berbicara mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka penanaman nilai sikap dan karakter nasionalisme menjadi sangat urgen untuk diselenggarakan. Hal ini pula yang mendasari penulis untuk mengembangkan artikel ilmiah dengan judul Menumbuhkan Kesantunan Berbahasa dan Penalaran Moral dalam Upaya Membentuk Jiwa Nasionalisme Melalui Pembelajaran Debat. Pemilihan materi debat dari sekian materi berbicara yang terdapat dalam silabus Kurikulum 2013 sebagai pijakan penulisan artikel, hal ini hanya didasarkan pada pemikiran penulis antara lain: a) fenomena konfliks nasionalisme adalah bermula dari diskusi dan perdebatan yang sering dipertontonkan di berbagai media; b) debat merupakan bentuk kegiatan berkomunikasi yang bersifat searah sekaligus dua arah (lebih lanjut akan dijelaskan pada Subbab Kajian Teori); c) debat mampu menumbuhkan sikap kritis, argumentatif dan ilmiah yang cukup kompleks karena memadukan pengetahuan multidisipliner dengan kemampuan bernalar yang cepat dan cermat; d) debat bisa menjadi metode dan teknik pembelajaran, sedangkan dalam konteks kurikulum 2013 merupakan bagian dari target kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik di tingkat SMA/SMK; dan e) sesuai dengan pengalaman penulis, materi debat menjadi materi berbicara yang menyenangkan bagi peserta didik dibandingkan dengan materi berbicara lainnya seperti bermain drama, ceramah, negosiasi, presentasi dll.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang belakang masalah tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran debat?
7
2. Bagaimana pembelajaran debat dapat menumbuhkan kesantunan berbahasa dan penalaran moral? 3. Bagaimana membentuk jiwa nasionalisme melalui pembelajaran debat?
1.3. Tujuan Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulisan artikel ini memiliki tujuan: 1. Menjelaskan alur pembelajaran debat. 2. Menguraikan pembelajaran debat yang dapat menumbuhkan kesantunan berbahasa dan penalaran moral. 3. Menguraikan pembelajaran debat yang mampu membentuk jiwa nasionalisme.
1.4. Manfaat Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan artikel ini adalah: 1. Membangun dua kegiatan sinergi sebagai guru mengajar dan siswa belajar, yakni guru mengajarkan bagaimana agar siswa belajar, serta siswa dapat belajar bagaimana caranya belajar. Hal ini karena debat diharapkan menjadi stimulus bagi siswa untuk untuk aktif belajar mengembangkan pengetahuan sekaligus membangun karakter positif. 2. Salah satu upaya melatih keterampilan berbicara pada siswa untuk menyampaikan ide, gagasan, atau pikiran yang bersumberkan pada fenomena hidup dan kehidupan manusia. 3. Memberikan kontribusi untuk menyelesaikan krisis nasionalisme yang mengikis optimisme para generasi milenial dalam menatap masa depan bangsa. Hal ini diakibatkan mereka sering berbenturan dengan berbagai ujaran negatif di berbagai media.
II. Kajian Teori 2.1. Pendidikan Karakter pada Pembelajaran Bahasa Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991) adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, dan lain-lain. Sedangkan Elkind dan Sweet (2004) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu memahami manusia, peduli atas nilai-nilai etis/susila. Berdasarkan grand design yang dikembangkan
8
Kemendiknas (2010), pendidikan karakter merupakan totalitas proses psikologis dan sosialkultural yang dikelompokkan dalam: (1) olah hati, (2) olah pikir, (3) olah raga, (4) olah rasa dan karsa.6 Dalam artikel ini pembelajaran ditekankan pada pengertian yang sederhana, yakni serangkaian proses yang dilakukan guru agar siswa belajar. Dalam hal ini pembelajaran bukanlah proses yang didominasi oleh guru, melainkan proses yang kreatif yang menuntut siswa melakukan sejumlah kegiatan sehingga siswa dapat membangun pengetahuannya secara mandiri dan berkembang pula kreativitasnya.7 Pembelajaran bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan siswa untuk mencapai keterampilan berbahasa tertentu.8 Keterampilan berbahasa yang dimaksud antara lain keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Akan tetapi pada artikel ini lebih khusus membahas pembelajaran keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan kepada orang lain.9 Sedangkan keterpaduan pembelajaran berbicara dengan pendidikan karakter, dapat dibagi dalam tiga proses: -
Tahap prabicara Pada tahap ini siswa dapat melakukan serangkaian aktivitas seperti eksplorasi fenomena untuk mendapatkan ide. Pada saat siswa melakukan kegiatan eksplorasi, ada pembiasaan diri yang sedang dibangun, antara lain: teliti, cermat, peka, antusias, tanggung jawab dan disiplin.
-
Tahap berbicara Pada tahap ini nilai karakter yang hendak dibangun antara lain: disiplin, kepemimpinan, sungguh-sungguh, beorientasi prestasi, dan sopan serta santun. Hal ini disebabkan proses berbicara akan menuntut kemampuan bertukar peran dan giliran tuturan.
-
Tahap pascabicara Tahap ini ada aktivitas diskusi performa dan refleksi peforma yang menuntut pembudayaan nilai karakter rendah hati, terbuka, jujur, beretika dan ilmiah.10
6
Heri Gunawan, S.Pd.I., M.Ag., Pendidikan Karakter (Konsep dan Implementasi), (Alfabeta: Bandung, 2012), hlm. 23-24. 7 Op.cit., Yunus Abidin, M.Pd., hlm. 3 8 Ibid 9 Prof. Dr. Iskandarwassid, M.Pd. & Dr. H. Dadang Suhendar, M.Hum., Strategi Pembelajaran Bahasa, (PT. Remaja Rosdakarya: 2009), hlm. 241 10 Op.cit., Yunus Abidin, M.Pd. 141
9
2.1.1. Teori Kesantunan Berbahasa Kajian kesantunan pada dasarnya diperkenalkan dalam ilmu psikologi sosial oleh Erving Goffman dengan mengambil istilah “muka”, yakni citra yang diproyeksikan seseorang dalam kontak sosialnya dengan orang lain. Goffman menghendaki agar studi tentang interaksi sosial, termasuk komunikasi verbal, dilakukan dengan menggunakan perspektif bahwa para peserta interaksi berusaha keras untuk menciptakan stabilitas dalam relasinya dengan orang lain. Oleh karena itu, para peserta percakapan tidak boleh mengganggu muka orang lain. Menolak permohonan atau mencela orang lain merupakan perbuatan-perbuatan yang dapat menciptakan ancaman terhadap muka positif dan muka negatif orang lain. 11 Kesantunan berperan untuk mencegah atau memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh ancaman terhadap citra/muka. Semakin besar ancaman terhadap kestabilan, semakin banyak kesantunan dan teknik-teknik kerja muka yang dibutuhkan. Ada dua jenis kesantunan, seiring dengan adanya dua jenis muka. Yang pertama adalah kesantunan yang ditujukan pada muka positif dan disebut “kesantunan solidaritas”, misalnya dengan memberikan pujian. Yang kedua adalah kesantunan yang ditujukan pada muka negatif disebut “kesantunan respek” yang dapat dilakukan dengan tidak melanggar “wilayah” orang lain dalam berkomunikasi.12 Dalam ranah kebahasaan, kesantunan merupakan wilayah sosio-pragmatik, yakni bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi. Hal ini membedakan pragmalinguistik yang berkaitan dengan tata bahasa. Dengan demikian, dalam sosio-pragmatik, makna tuturan dikaitkan dengan penuturnya serta situasi-situasi ujar. Dengan kata lain pembahasan tentang linguistik pragmatik, khususnya prinsip sopan santun beroperasi secara berbeda dalam kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat bahasa yang berbeda, dalam situasi-situasi sosial yang berbeda, dsb.13 Dalam memerikan teori kesantunan berbahasa pada makalah ini, penulis mendasarkan pada teori Fraser, bahwa kesantunan berbahasa dikaitkan dengan strategi. Kesantunan baginya adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari terhadap kewajibannya. Jadi, ada tiga definisi. Pertama, kesantunan itu adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendengarlah yang menentukan apakah 11
Dr. Ekarini Saraswati, M.Pd., “Kaidah Bahasa”, Suplemensumber Belajar Penunjang Plpg 2017mata Pelajaran/Paket Keahlianpendidikan Bahasa Indonesia, (Malang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah, 2017), hlm. 51. t.d.
12 13
It.ad, hlm. 52 Geoffrey Leech, Prinsip-prinsip Pragmatik, (Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta, 1993), hlm. 15.
10
kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. 14 2.1.2. Perkembangan Penalaran Moral Ada dua teori yang dijadikan dasar penulisan artikel ini terkait dengan penalaran, yakni teorinya J. Piaget dan L. Kohlberg. Piaget melihat perkembangan penalaran dari sudut pandang psikologi perkembangan, khususnya perkembangan kognitif, sedangkan Kohlberg melihat perkembangan penalaran dari sudut pandang psikologi sosial dan pendidikan. Piaget membagi perkembangan kognisi menjadi empat tahap, yaitu “sensori motor” (lahir – 2 tahun), “pre-operational” (2 – 7 tahun), “concrete operational” (7 – 11 tahun) dan “formal operasional” (11 tahun ke atas). Batasan usia hanyalah merupakan perkiraan karena memungkinkan ada perbedaan antar individu maupun antar latar belakang sosio-budaya. Dari sudut pandang penalaran moral, Piaget membedakan per masing-masing tahapan sebagai berikut: tahap “pre-operational”, anak hanya sekadar menurut aturan-aturan yang dibuat orang dewasa, yang disebut tahap “moral heteronomy”; tahap “concrete operational”, anak sudah memahami bahwa pada hakekatnya aturan adalah kesepakatan bersama, yang disebut tahap “moral autonomy”; tahap “formal operational”, remaja sudah mampu berpikir abstrak dan hepotesis dengan menampakkan cara berpikir mendahulukan kemungkinan daripada realitas.15 Kohlberg membagi perkembangan penalaran moral dalam enam tahap yang terbagi menjadi tiga tahapan. Tahapan tingkat I, yakni “pre-conventional” (usia di bawah 9 tahun) aturan-aturan dan harapan-harapan masyarakat ada di luar dirinya. Tahapan tingkat II, yakni “conventional” (9 – 20 tahun) mengidentifikasi dirinya dengan menginternalisasikan aturanaturan atau harapan-harapan orang lain terutama dari penguasa. Tahapan tingkat III, yakni “post-conventional” (20 tahun ke atas), ia telah mampu memisahkan diri dari aturan-aturan dan harapan-harapan orang lain dan mendefinisikan nilai baik dan buruk atas dasar prinsipprinsip yang dipilihnya.16 2.2. Tentang Jiwa Nasionalisme Berdasarkan KBBI, nasionalisme bermakna paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Sedangkan jiwa nasionalisme adalah kesadaran anggota dalam suatu
14
Asim Gunarwan, “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”, Pellba 7, (Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 1994), hlm. 88-89 15 Prof. Dr. Kusdwiratri Setiono, Psi., Psikologi Perkembangan (Kajian Teori Piaget, Selman, Kohlberg, dan Aplikasi Riset), (Widya Padjadjaran: Bandung, 2009), hlm. 20-25. 16 Id.at., hlm. 46-47.
11
bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu. Dari sudut pandang NKRI, pengejawantahan jiwa nasionalisme berupa tumbuhnya kesadaran untuk mempertahankan tetap tegaknya dan utuhnya negara melalui upaya bela negara. Sedang pengertian bela negara menurut UU No. 20/1982: Hankam, adalah tekad, sikap dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan kepada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia. Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditafsirkan bahwa bela negara adalah membela kepentingan nasional pada seluruh aspek kehidupan nasional.17 Hal ini sejalan dengan nilai-nilai karakter dalam proses pendidikan di Indonesia, yang secara umum dirumuskan dalam Kemendiknas (2010a) dengan 18 nilai karakter yang harus dikembangkan dalam proses pembelajaran. Dari 18 nilai karakter tersebut ada empat nilai karakter yang mendukung pembentukan jiwa nasionalisme, antara lain: toleransi, demokratis, semangat kebangsaan dan cinta tanah air.18 2.3. Debat dalam Konteks Pembelajaran Bahasa Debat menurut KBBI adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam dapat mengisyaratkan adanya dua pihak yang saling bertentangan terhadap sebuah persoalan. Debat merupakan suatu argumen untuk menentukan baik tidaknya suatu usul tertentu yang didukung oleh suatu pihak yang disebut pendukung atau afirmatif, dan ditolak, disangkal oleh pihak lain yang disebut penyangkal atau negatif.19 Debat dalam konteks pembelajaran bahasa bisa dikategorikan debat sebagai metode pembelajaran, juga bisa dikategorikan debat sebagai teknik pembelajaran. Secara khusus berdasarkan kurikulum 2013, debat juga merupakan materi pembelajaran, sehingga debat dengan segala teknis-teoritisnya menjadi bagian dari target kompetensi yang harus dikuasai siswa. Debat sebagai metode pembelajaran bahasa memiliki pengertian adanya langkah-langkah secara prosedural dalam mengolah kegiatan belajar mengajar bahasa yang dimulai dari merencanakan, melaksanakan, sampai dengan mengevaluasi pembelajaran.
Dengan
demikian, pembelajaran bahasa dengan metode debat ini menggambarkan langkah-langkah 17
Prof. Dr. Hamid Darmadi, M.Pd., Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan, (Alfabeta: Bandung, 2012), hlm. 379-380. 18 Op.cit., Yunus Abidin, hlm. 67-68. 19 Henry Guntur Tarigan, Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Aksara: Bandung, 2008), hlm. 86.
12
pembelajaran yang mendasarkan pada prosedur debat, baik itu langkah pembuka, inti maupun penutup dalam rangka untuk pencapaian kompetensi kebahasaan tertentu. Debat sebagai teknik pembelajaran mengacu pada pengertian implementasi kegiatan belajar mengajar. Hal ini mengacu pada pengertian teknik pembelajaran , yakni menempatkan debat sebagai cara yang secara langsung diterapkan guru dalam menjalankan proses pembelajaran dengan segala aktivitasnya, seperti penugasan dan pengujian. Dengan demikian teknik pembelajaran debat ini tidak tertutup bagi teknik-teknik pembelajaran lain, seperti ketika memasuki prosedur penilaian, penguatan materi, ataupun refleksi pembelajaran. Dengan demikian, debat sebagai metode dan teknik pembelajaran bahasa memiliki target bahwa dengan debat siswa diharapkan menguasai keterampilan bahasa tertentu. Secara umum target yang hendak dicapai penggunaan metode dan teknik debat adalah kemampuan berbicara secara aktif. Sedangkan pembelajaran berbicara secara khusus merupakan aktivitas keterampilan bahasa untuk membentuk model diksi dan ucapan, dan mengurangi penggunaan bahasa nonstandar.20 Dengan demikian, teknik pembelajaran debat ini menjadi bagian dari metode pembelajaran debat saat penilaian peforma. Debat dalam konteks pembelajaran bahasa Indonesia tingkat SMA/MA/SMK berdasarkan silabus kurikulum 2013 merupakan salah satu materi pelajaran yang harus dikuasai siswa, baik secara teknis maupun teoritis. Adapun hal-hal yang harus dikuasai siswa terkait materi debat antara lain: unsur-unsur debat, struktur teks debat, subjek pelaku debat, serta keterampilan melakukan debat.21
III.
Pembahasan
3.1. Pembelajaran dengan Metode Debat Pembelajaran dengan metode debat pada dasarnya merupakan metode pembelajaran berbicara dengan harapan siswa terampil berbicara dengan mengandalkan kemampuannya berlogika dan kemahirannya bertutur santun ketika debat.22Pada umumnya debat selalu melibatkan dua kelompok pro/afirmatif
(pendukung) dan kelompok kontra/negatif
(penyanggah). Dalam istilah debat parlementer dua kelompok yang terlibat disebut kelompok “pemerintah” atau pro dan kelompok “oposisi” atau kontra. Menurut Louma dalam Yunus Abidin, pada umumnya pembelajaran berbicara dikemas dalam tiga tahapan, yakni (1) perencanaan, (2) pemilihan, dan (3) pemroduksian. Oleh Yunus 20
Op.cit., Prof. Dr. Iskandarwassid, M.Pd. & Dr. H. Dadang Suhendar, M.Hum., hlm. 241. Kemendikbud, Silabus Mata Pelajaran Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan (SMA/MA/SMK/MAK), Jakarta, 2016. 22 Op.cit., Yunus Abidin, M.Pd., hlm. 144 21
13
Abidin tahapan bicara tersebut diadaptasi menjadi tiga tahap pula a.l.: (1) prabicara, (2) berbicara, dan (3) pasca bicara.23 Dengan demikian, pembelajaran dengan metode debat dapat disusun sebagaimana tahapan-tahapan tersebut: (1) pradebat, (2) debat, dan (3) pasca debat. 3.1.1. Pra Debat Pra debat merupakan tahapan yang cukup urgen untuk dicermati dalam pengelolaan pembelajaran dengan metode debat. Tahapan ini menjadi penentu sukses tidaknya proses maupun hasil pembelajaran. Tahapan ini selain menjembatani siswa dalam menyusun gagasan yang akan disampaikan, juga tahapan untuk membangun kesepakatan dalam rangka membangun karakter sebagaimana yang ditargetkan. Adapun hal-hal yang harus dilakukan guru bersama siswa pada tahapan ini a.l.: 1. Menyepakati tata tertib debat. Sebelum pelaksanaan debat maka dapat disusun tata tertib debat sbb.: - Permainan dibuat dengan sistem kompetitif/perlombaan (menentukan menangkalah) antar kelompok, yang masing-masing kelompok terdiri dari pembicara 1, pembicara 2 dan pembicara 3. - Penetapan sebagai tim pro dan kontra ditentukan dengan cara pengundian bersamaan dengan pengundian tema/mosi debat. - Setiap pembicara diberi kesempatan sekali dalam menyampaikan argumentasi serta tanggapan dengan batas waktu menyesuasikan situasi dan kondisi.24 - Tim rival boleh menginterupsi pada sesi pembicara 2 dan 3 menyampaikan argumentasinya selama satu menit. - Pada sesi penyampaian kesimpulan masing-masing tim hanya boleh disampaikan oleh pembicara 1 dan 2. - Sebelum pelaksanaan debat, masing-masing tim yang akan berkompetisi diberi kesempatan membangun argumentasi selama 20 s.d. 30 menit (menyesuaikan situasi dan kondisi).25 - Selama pelaksanaan debat, dilarang membawa alat komunikasi berupa ponsel ataupun tablet. - Selama pelaksanaan debat dilarang mengeluarkan kata-kata/sikap negatif, seperti: mengeluarkan ujaran kebencian, mengejek tim lawan, bersikap emosional,
23
It.ad., hlm. 140-142. Umumnya masing-masing pembicara diberi kesempatan maksimal antara 5 s.d. 7 menit. 25 Teknis lomba mengacu pada lomba debat jenjang SMA/SMK/MA pada tingkat Nasional. 24
14
menyinggung persoalan SARA, menyinggung hal-hal yang bersifat pribadi, dan menghindari kata-kata pornografi. - Setiap pelanggaran terhadap tata tertib maka akan dikenai sanksi pengurangan poin penilaian sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan. 2. Menyepakati materi/mosi debat. Materi/mosi debat memiliki cakupan yang sangat luas, makanya pembelajaran debat memiliki cakupan materi multidisiplin ilmu, baik ilmu sosial, agama, politik, sains, dll., bahkan ilmu kebahasaan sendiri. Mosi debat bisa juga diambilkan dari peristiwa/masalah yang masih faktual, baik itu bersifat lokal, nasional, bahkan internasional. Dengan luasnya cakupan materi debat, secara tidak langsung menuntut siswa kuat dalam berliterasi dalam upaya membangun nalar bahasa ataupun nalar berargumen. Penetapan tema/mosi juga terkait dengan target keilmuan serta karakter yang hendak dicapai. Misalkan untuk target pembentukan jiwa nasionalisme, mosi debat bisa diangkat isu-isu sbb.: -
Kebudayaan tradisional akan menghambat pembangunan nasional.
-
Penguasaan Bahasa Inggris lebih penting dibandingkan
penguasaan bahasa
Indonesia dan bahasa Daerah. -
Pancasila menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sudah terbukti kesaktiannya.
-
Teknologi Informasi dan Komunikasi mengikis rasa nasionalisme generasi muda zaman sekarang.
-
Musik dangdut sudah jauh dari etika dan adat di Indonesia.
-
Banyaknya TKI dan TKW sebab melemahnya jiwa nasionalisme.
-
dll.
3. Menyepakati penilaian. Penilaian debat dapat berfungsi sebagai penetapan nilai per-individu siswa, baik terkait langsung penguasaan materi debat (kognitif),
keterampilan berbicara
(psikomotor), serta sikap/karakter selama debat (afektif). Selain itu, juga berfungsi sebagai penilaian kelompok dalam rangka menetapkan kemenangan, untuk kemudian diberi apresiasi berupa pemberian penghargaan jika memungkinkan. Adapun aspek penilaian debat antara lain: -
Materi.
15
Penguasaan materi memiliki porsi 50%. Penguasan materi meliputi: kedalaman materi, logika berpikir, pengungkapan argumentasi berupa data dan fakta, serta respon berupa tanggapan terhadap argumentasi lawan. Porsi 50% pada penguasaan materi menjadi penentu kemenangan tim. Penguasaan materi dengan segala aspek yang mengiringinya menjadi cerminan kematangan penalaran pembicara. Penalaran juga menunjukkan bahwa pembicara dalam menyampaikan argumentasi tidak hanya bersifat mekanis hafalan, melainkan terbekalinya berbagai pengetahuan yang cukup luas.
Selanjutnya pembicara mampu
merangkai pengetahuannya menjadi argumentasi yang kuat, lengkap dan sulit terbantahkan kebenarannya. -
Metode. Metode penyampaian argumentasi memiliki porsi 20%. Yang dimaksud metode penyampaian debat lebih pada pengertian sistematika debat. Penilaian didasarkan pada struktur penyampaian argumentasi yang mendasarkan pada teknik penyampaian deduktif – induktif atau induktif – deduktif atau campuran. Hal ini perlu dijadikan pertimbangan penilaian sebagai bentuk keteraturan penyampaian argumentasi, yakni mengawali pembicaraan dengan hal-hal yang bersifat umum kemudian fakta-fakta khusus atau sebaliknya, sebelum kemudian mengeksekusi pilihan pendapatnya atau kesimpulan akhir. Hal ini juga memudahkan lawan untuk memahami alur gagasan serta argumentasinya. Ini juga sesuai dengan prinsip-prinsip wacana, bahwa sebuah gagasan harus terdiri atas kalimat utama yang kemudian dijelaskan dengan kalimat-kalimat penjelas, atau sebaliknya.
-
Penampilan Penampilan memiliki porsi penilaian 30%. Penampilan juga menjadi bagian yang cukup penting dicermati karena menjadi cerminan karakter, yakni terkait dengan sikap dan gaya penampilan serta. Sikap yang harus ditekankan dalam konteks kebahasaan, yakni meliputi ranah kebahasaan secara pragmatis, utamanya adalah kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa merupakan refleksi dari kearifan, kerendahan hati, serta aspek-aspek metalinguistik lainnya. Kesantunan berbahasa bukan lantas menunjukkan sikap mengalah atau inkonsistensi terhadap pendapat, melainkan tetap berprinsip pada konsep debat, yakni strategi menyanggah dengan santun, menyampaikan sindiran tanpa ejekan, serta peforma percaya diri tanpa ancaman.
16
3.1.2. Pelaksanaan Debat Pelaksanaan debat merupakan tahapan debat yang sebenarnya, yakni menempatkan tim pro dan kontra untuk saling beradu argumentasi terhadap mosi/tema yang terpilih. Dalam pelaksanaan debat ini guru memberikan kesempatan sepenuhnya terhadap masing-masing tim untuk berdebat sesuai dengan tata tertib yang sudah disepakati. Pada tahap ini memungkinkan terjadinya pelanggaran tata tertib, baik pelanggaran terhadap alur debat, pelanggaran waktu maupun pelanggaran terhadap kesantunan. Tahap ini juga sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan argumentasi terhadap mosi, kehabisan argumentasi, inkonsistensi pendapat atau argumentasi yang tidak sistematis. Apapun yang terjadi pada debat, seminimal mungkin guru tidak ikut campur tangan dalam proses debat kecuali mencermati masing-masing tim dalam berargumentasi, bersikap, serta berpenampilan untuk kemudian memberi penilaian. Tugas guru juga membuat catatan-catatan untuk bahan evaluasi . Bahkan dalam pelaksanaan debat, guru pun tidak memiliki kewajiban untuk menjadi moderator serta penghitung waktu. Guru adalah juri yang menentukan kemenangan bagi salah satu tim untuk bisa lolos pada babak berikutnya, hingga babak final. 3.1.3. Pasca debat Pasca debat adalah saat seluruh alur debat sudah dilaksanakan serta moderator menyatakan debat sudah selesai, kemudian menyerahkan keputusan pada juri. Pada tahapan ini juri yang dijabat oleh guru mengevaluasi pelaksanaan debat sebelum menetapkan kemenangan. Dalam pelaksanaan evaluasi juri bisa memberikan pelurusan terhadap proses debat yang tidak sesuai tata tertib, penambahan pengetahuan terhadap materi-materi yang kurang tajam argumentasinya, serta penyempurnaan terhadap pelaksanaan debat selanjutnya agar lebih baik. Juri di sini harus bersikap objektif dan terbuka pada masing-masing tim dengan menunjukkan kelemahan dan keunggulan selama proses debat. Evaluasi terhadap kelemahan dan keunggulan juga mendasarkan pada aspek penilaian secara menyeluruh, baik aspek materi, metode dan penampilan. Dengan pertimbanganpertimbangan sebagaimana hasil evaluasi, kemudian guru menunjukkan nilai akhir yang diperoleh sebagai bahan penetapan kemenangan tim yang masuk babak berikutnya.
17
3.2. Kesantunan Berbahasa dalam Debat Sebagaimana disampaikan dalam bagian landasan teori, bahwasanya kesantunan berbahasa adalah ranah bahasa sosio-pragmatik. Artinya konteks kesantunan berbahasa tidak bisa dilepaskan dari latar kebudayaan penuturnya. Maka dari itu, konteks pembahasan kesantunan berbahasa dalam debat ini tidak bisa dipisahkan dari tata kesantunan budaya ketimuran. Dengan mendasarkan pada teori Fraser, sebagaimana disampaikan dalam landasan teori, definisi kesantunan yang pertama adalah properti. Dalam proses debat, maka yang harus diperhatikan guru bukan isi ujaran siswa ketika menyampaikan argumentasinya, melainkan cara siswa menyampaikannya. Dengan mengaitkan teori Brown dan Levinson di depan, maka properti ujaran ketika berargumentasi haruslah mencerminkan prinsip kesantunan negatif, yakni sikap memberi penghargaan terhadap lawan bicaranya. Dua ujaran sanggahan tidak santun yang bisa dijadikan contoh dalam debat, misalnya: a. “Saya kira pendapat Anda belum bisa dikatakan benar, karena tidak ada bukti yang bisa Anda sampaikan. Kami di sini menemukan bukti ....” b. “Pendapat Anda saya kira menyimpang dari tema.” Pernyataan (a) dan (b) bisa diperbaiki dengan menerapkan prinsip kesantunan sbb.: (1) Ujaran tidak langsung. Ujaran tidak langsung adalah sanggahan dengan tetap memberi penghargaan terhadap lawan bicara. Hal ini sangat penting karena untuk mengurangi keterancaman lawan bicara, yang memungkinkan sikap emosional. Ujaran sanggahan tanpa penghargaan mengandung ancaman muka bagi lawan bicara, sehingga perdebatan menjadi terlihat tidak menarik atau bahkan menjadi sejenis ajang olok-olok. Sanggahan yang dilakukan siswa sebagaimana pernyataan
(a) dan (b)
memungkinkan benar dari sisi isi, juga tidak menyalahi kaidah kebahasaan, tetapi tidak memenuhi kriteria kesantunan berbahasa. Maka, harus ada evaluasi perbaikan, misalnya: “Pendapat Anda sudah bagus, tapi perlu penguatan bukti. Justru berdasarkan bukti yang saya temukan ...” atau “Mari kita perlu cermati ulang tema kita hari ini ...” (2) Memberi penghormatan. Norma-norma sosial budaya dalam konteks komunikasi menjadi bagian yang harus dicermati. Menunjukkan rasa hormat menjadi sangat penting dalam koridor percakapan pada kebudayaan ketimuran. Di Jawa terkenal dengan istilah tata krama dalam percakapan. Maka dalam debat pun etika kesantunan
18
menjadi sangat perlu untuk dijunjung sebagai refleksi penghormatan terhadap lawan bicara. Dengan menggunakan prinsip kesantunan berupa penghormatan, maka siswa dalam menyanggah lawan bicara memungkinkan berkata, “Pendapat Saudara memberi kemungkinan benar, jika saja Saudara melengkapi dengan bukti yang riil..” dan “Saya akan mencoba kembali mengembalikan persoalan pada tema, barangkali kami yang salah memahami tema..” (3) Minta maaf. Sanggahan yang dibarengi dengan permintaan maaf menunjukkan kerendahan hati penuturnya. Permintaan maaf juga mengindikasikan bahwa kebenaran tidak bersifat mutlak. Permintaan maaf menunjukkan ketaksepakatan sebagian. Ketaksepakatan sebagian adalah cerminan perasaan simpati pula terhadap lawan bicara. Tentunya dalam konteks debat ketaksepakatan sebagian pun akan menurunkan tensi perdebatan yang bersifat ancaman, juga tidak mengurangi kekuatan argumentasi asalkan tetap bisa mengimbanginya dengan fakta. Kalimat untuk memenuhi kriteria ini, siswa dapat menginterupsi pendapat seperti, “Mohon maaf, saya berharap Saudara bisa menunjukkan bukti yang meenguatkan pendapat Saudra!” atau “Mohon maaf, izinkan saya membaca ulang tema debat kita hari ini!” (4) Impersonal. Debat secara umum dipahami sebagai adu argumen. Akan tetapi, debat tidak selalu dipahami sebagai upaya menjatuhkan lawan, melainkan melihat persoalan dari paradigma yang berbeda. Maka dari itu prinsip impersonal memungkinkan untuk diterapkan sebagai refleksi kesantunan berbahasa. Prinsip ini menempatkan lawan bicara bukan sebagai rival, melainkan mitra bicara. Sehingga ujaran sanggahan yang diperlukan dalam prinsip ini adalah tidak menyebutkan penutur dan pendengar. Adapun sanggahan yang bisa disampaikan siswa, “Mari kita bersama-sama telaah data-data ini, kemudian kita bisa saling menyampaikan argumentasi...” dan “Tampaknya kita bisa sama-sama cermati ulang tema kita hari ini ....” (5) Meminimalkan paksaan. Dalam upaya memenangkan debat adakalanya siswa memaksakan pendapatnya mendapat pembenaran lawan bicaranya. Tentunya hal ini tidak mungkin terjadi. Ketaksepakatan terhadap argumentasi lawan bicara menjadi bagian yang sudah semestinya tampak dalam debat. Ketidaksepakatan kadang kala ditampakkan dengan cara yang sangat berlebihan berupa ungkapan penyesalan. Maka dari itu adakalanya untuk mengurangi ancaman yang berlebihan, ketaksepakatan bisa disampaikan dengan menunjukkan seakan-akan memberi kesepakatan sebagian.
19
Adapun pernyataan sanggahan yang bisa disampaikan siswa, “Bisa jadi pendapat Saudara benar, akan tetapi saya belum sepakat sepenuhnya karena Saudara belum menunjukkan data konkret ...” dan “Pendapat Saudara adalah pendapat yang baik, tetapi sayang sekali tidak sesuai dengan pembahasan kita ...” Contoh pernyataan-pernyataan tersebut hanyalah sebagian kecil dari sekian pernyataan yang muncul dalam proses debat. Artinya, pihak guru bisa memperbanyak contoh pernyataan kesantunan
berbahasa
Pengembangan
dengan
pernyataan
memenuhi
kesantunan
prinsip-prinsip
berbahasa
juga
bisa
kesantunan
berbahasa.
dikembangkan
dalam
menyampaikan pembukaan bicara, pernyampaian argumentasi, saat mendebat, atau mengakhiri debat/menyampaikan kesimpulan. Prinsip-prinsip kesantunan tersebut menjadi penting dalam debat, meskipun sebenarnya prinsip-prinsip tersebut sering dipakai dalam percakapan umum. Ada sebagian berpendapat bahwa dalam debat seseorang harus menampakkan posisi superior dibandingkan lawan bicara sehingga dapat mempengaruhi juri dalam memberikan penilaian. Kadang kita melupakan bahwa dalam debat selaian kekuatan argumen, juga ada estetika dan etika dalam berkomunikasi sebagai cerminan kesantunan berbahasa.. Dalam debat justru orang yang mampu bertahan dalam kesantunan berbahasa akan menampakkan terkendalinya emosi sehingga tetap bertahan pada pemikiran yang logis dan sistematis. Juri sebagai bagian dari pendengar tentu akan lebih tertarik pada pembicaraan teratur dengan tetap tidak meninggalkan esensi pembicaraan. Dari sinilah prinsip kesantunan kedua terjawab, bahwa pendengarlah yang bisa menetapkan apakah pembicara memenuhi kriteria kesantunan atau tidak. Hal ketiga yang harus dicermati dalam kesantunan berbahasa adalah kesantunan yang dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Dalam pelaksanaan debat, memungkinkan siswa melanggar beberapa aturan, seperti menyela pendapat tanpa memohon izin pada moderator, atau mengambil hak bicara teman satu tim, atau tetap berbicara meskipun sudah melewati batas waktu yang ditentukan. Kadangkala pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan dengan tidak sengaja alias spontan saja karena dorongan emosional. Bentuk-bentuk pelanggaran tersebut bisa dijadikan bahan refleksi bagi guru untuk mengevaluasi pelaksanaan debat. Tentunya dengan menunjukkan pelanggaran terhadap tata tertib akan memberi perbaikan pada pelaksanaan debat berikutnya. Pelanggaran-pelanggaran tersebut tetap harus memperoleh konsekuensi pengurangan nilai sehingga menumbuhkan kesadaran bagi siswa bahwa ada kesantunan yang telah dilanggar.
20
3.3. Debat sebagai Stimulasi Penalaran Moral Sebagaimana teori perkembangan sebagaimana dalam landasan teori, bahwa siswa sekolah menengah termasuk kategori “convensional”, yakni menganggap kebenaran adalah sesuatu yang harus sesuai dengan keinginan kelompok atau masyarakat, atau dalam konteks debat adalah seluruh personil yang terlibat dalam debat. Siswa pada tahapan ini tentunya sangat memperhatikan aturan-aturan, harapan-harapan, serta peran-peran. Tindakan benar menurutnya adalah motivasi untuk melakukan sesuatu sesuai harapan lingkungannya yang didasarkan pada prinsip kepatuhan sehingga dapat diterima orang lain. Dia merasa menjadi bagian dari anggota kelompok sehingga segala tindakan berorientasi pada perspekstif kelompok. Maka dari itu, kegiatan debat untuk anak usia sekolah menengah harus beorientasi pada pematangan moral sebagaimana tahapan perkembangan yang dimilikinya. Moralitas yang hendak dibangun dalam debat adalah sikap yang berhubungan dengan interaksi antara diri dan orang lain. Target debat adalah kemenangan tim dengan memenuhi syarat dan aturan serta kriteria penilaian. Aturan dan kriteria penilaian yang memapankan moral menjadi sangat penting dalam menyusun pedoman debat, selaian beberapa rambu kesantunan berbahasa. Ada tiga pembagian tahapan dalam penyelenggaraan debat yang bisa dijadikan pijakan untuk membangun moralitas. Pertama, tahap pra-debat. Pada tahap ini ada proses eksplorasi, yakni membangun materi dengan mendayagunakan bekal keilmuan yang diperolehnya sebagai bahan pembicaraan. Waktu yang diberikan pada proses ini antara 20 sampai dengan 30 menit. Debat merupakan bentuk pembelajaran kooperatif, sehingga pada proses ini harus terbiasakan sikap saling menghargai, kerja sama, dan tanggung jawab. Artinya selama proses kerja sama eksplorasi materi memungkinkan terjadinya perselisihan pendapat, akan tetapi mereka harus tetap beorientasi pada satu komitmen yang sama untuk kebaikan kelompok. Hal ini sesuai dengan perspektif kohesi sosial dalam pembelajaran kelompok, yakni prestasi belajar akan diraih siswa jika dalam kelompok kooperatif terjalin autau kohesivitas antaranggota di dalamnya. Kohesivitas ini dapat dimaknai sebagai suatu kondisi yang menunjukkan stiap anggota kelompok saling membantu satu sama lain karena mereka merasa peduli pada yang lain dan ingin sama-sama sukses.26 Kedua, tahap pelaksanaan debat. Pada tahap ini adanya dua tim yang saling berhadapan untuk mendudukan peran pro dan kontra. Tahap ini tentunya kedua tim tetap memenuhi tata tertib aturan debat sebagaimana yang sudah disepakati sebelum pelaksanaan debat. Ada
26
Miftahul Huda, M.Pd., Cooperative Learning, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2011), hlm. 37.
21
beberapa moralitas yang harus diaplikasikan oleh siswa terkait tata tertib antara lain disiplin, sungguh-sungguh, berorientasi prestasi, dan sopan serta santun. Disiplin berarti memahami kapan saat bicara dan kapan saat mengakhiri pembicaraan. Sungguh-sungguh berarti menunjukkan sikap yang antusias dalam menyampaikan argumentasinya. Berorietasi prestasi berarti memiliki satu pandangan dengan anggota kelompoknya dalam mencapai target kemenangan kelompok. Sopan serta santun merupakan serangkaian interaksi dengan lawan bicara yang tidak menampakkan sikap berupa kata ejekan atau penyerangan individu. Demikian halnya ketika proses pergantian bicara atau giliran tuturan, maka harus membiasakan diri itu bersikap menghargai orang lain, peduli, dan bertanggung jawab. Berdasarkan kenyataan tersebut, jika aktivitas debat dijalankan dengan memenuhi tata tertib yang ada, siswa tidak hanya memperoleh kemampuan berbicara tetapi juga terbangunnya perkembangan moral positif yang akan membudaya pada siswa. Ketiga, tahap pasca bicara. Tahap ini adalah berupa refleksi yang dilakukan oleh juri (guru) dalam mengevaluasi pelaksanaan debat sekaligus pengambilan keputusan untuk menetapkan kemenangan yang bersifat mengikat. Tahap ini dibutuhkan sikap moral sportif, rendah hati, jujur dan rasa ingin tahu. Sportif artinya menerima dengan lapang dada segala keputusan yang disampaikan oleh juri. Rendah hati artinya kalau timnya mendapat sanjungan serta kemenangan bukan lantas bersikap sombong. Jujur adalah pengakuan terhadap keunggulan tim lawan atau kelemahan timnya jika harus mendapat keputusan kalah. Sedangkan rasa ingin tahu yakni mencermati dengan seksama evaluasi yang disampaikan oleh guru sebagai bahan perbaikan untuk pelaksanaan debat berikutnya.
3.4. Membentuk Jiwa Nasionalisme melalui Debat Debat sesungguhnya secara tidak langsung pembelajaran melihat persoalan dari dua perspektif. Satu pihak berdasarkan perspektif yang berlaku benar bagi kelompok tertentu, baik negara maupun masyarakat dalam bentuk konstitusi, undang-undang, peraturan, etika sosial, maupun teks keagamaan. Pihak pada sudut pandang atau perspektif ini dianggap sebagai pihak afirmatif/pro/pemerintah. Sedangkan pihak lain melihat dari perspektif yang berseberangan atau yang bertentangan dengan hal-hal yang bersifat normatif. Pihak pada perspektif ini disebut pihak negatif/kontra/oposisi. Posisi sebagai tim afirmatif atau negatif bukan atas dasar pilihan, melainkan sebab dari undian atau dipilihkan. Sebab dari posisi yang bukan menjadi pilihannya mengakibatkan tim berdasarkan pandangan subjektifnya merasa tidak sesuai berada pada posisi tersebut. Sebab dari ketidaksesuaian tersebut memaksa dirinya untuk memberi dukungan terhadap persoalan
22
yang dianggapnya salah. Hal ini pula memaksanya untuk mempelajari atau membangun argumentasinya dari perspektif yang berseberangan dengan “nuraninya”. Kalau dikaitkan dengan pandangan nasionalisme, maka debat sesungguhnya memberikan keluasan berpikir bagi siswa untuk membentuk jiwa nasionalisme. Sebagaimana pengertian nasionalisme pada landasan teori bahwa jiwa nasionalisme merupakan sikap cinta bangsa dan tanah air. Sedangkan nasionalisme Indonesia dibangun atas dasar keberagaman agama, suku bangsa serta kebudayaan. Keluasan berpikir yang dibangun melalui debat, dengan melihat setiap persoalan dari perspektif yang saling berseberangan maka akan membangun kesadaran bahwa kebenaran sesungguhnya bersifat subjektif. Setiap pandangan dibangun atas dasar latar belakang agama, suku bangsa serta kebudayaan, bahkan lebih sempit lagi dibangun sebab dari latar belakang pendidikan, kepartaian/keorganisasian, dan sosial-ekonomi. Selain berdasarkan paradigma tersebut, yang merupakan sebab tidak langsung dari kegiatan debat, jiwa nasionalisme bisa pula dibangun melalui sebab langsung kegiatan debat berupa pilihan materi atau mosi. Mosi debat bisa mengambil persoalan-persoalan yang berkaitan dengan isu nasionalisme. Beberapa contoh materi yang bisa dijadikan mosi debat, misalnya: Budaya tradisonal menghambat pembangunan nasional, Undang-undang pembubaran ormas tertentu bertentangan dengan pasal kebebasan berserikat dan berorganisasi, Penguasaan Bahasa Inggris lebih penting daripada penguasaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah, Penggunaan media sosial merusak jiwa nasionalisme anak muda, dll. Dalam debat siswa secara tidak langsung akan berkenalan dua perspektif yang saling bertentangan. Dengan mengambil salah satu contoh mosi Budaya tradisonal menghambat pembangunan nasional, tentu akan ada dua pandangan yang bisa disimulasikan sebagai berikut: Argumentasi pro: “Budaya tradisional mengisyaratkan akan masa lalu dan ketinggalan zaman alias kuno. Hal ini dikaitkan dengan penerapan kebudayaan yang tidak efisien dan efektif, bahkan cenderung primitif. Kebudayan tradisonal juga dicirikan sebagai kegiatan tidak memiliki dasar ilmiah, lepas dari logika, sehingga terkesan menghambat tercapainya tujuan. Budaya yang jauh dari spirit kekinian yang serba canggih berupa teknologi mesin dan teknologi informasi.
Dengan mengasumsikan bahwa budaya
modern membutuhkan mobilitas serba cepat dan praktis, maka budaya tradisonal tidak memiliki kelayakan untuk dikembangkan lebih lanjut.” Argumentasi kontra: “Budaya tradisonal akan diidentikkan dengan budaya daerah. Dengan menyitir pendapat Ki Hajar Dewantara, budaya daerah merupakan akar dari
23
kebudayaan nasional, di mana menjadi ciri khas kebudayaan Indonesia yang sepatutnya dipertahankan. Selain budaya daerah menjadi identitas nasional, budaya daerah juga kaya akan nilai-nilai filosofis yang menjadi dasar pandangan hidup bangsa.” Dua argumen tersebut hanya asumsi kemungkinan yang muncul ketika mosi Budaya tradisonal menghambat pembangunan nasional. Pihak pro menjadi pihak yang bisa dikategorikan “tidak nasionalis” sedangkan kontra pihak yang “nasionalis”. Akan tetapi dalam perdebatan posisi tersebut bisa memungkinkan bagian dari drama yang harus mereka mainkan, mengingat mereka tidak selalu sepakat dengan yang diargumentasikan atau tidak selaras dengan hati nurani. Tetapi situasi debat bisa menjadi menjadi cerminan situasi riil yang terjadi di sekitar mereka, bahwa cita-cita kebaikan ada tantangan dan hambatan baik dari dalam maupun dari luar. Dengan melihat asumsi tersebut maka bisa kita kaitkan, bahwa pandangan nasionalisme dapat dipastikan memiliki tantangan yang bersifat kontraproduktif. Siswa yang terlibat dalam debat secara tidak langsung akan mencermati tantangan yang mereka hadapi. Mereka mengetahui setiap konsekuensi yang harus dihadapi ketika mereka harus memihak salah satu, dalam hal ini jiwa nasionalisme. Secara tidak mereka sadari pula, mereka telah menerapkan tentang prinsip-prinsip SWOT, dengan menguji kekuatan dan kelemahan sekaligus. Tujuan pengujian ini untuk memaksimalkan kekuatan, meminimalkan kelemahan, mereduksi ancaman dan membangun peluang.27 Debat adalah analog dari analisis SWOT dalam rangka menguji kekuatan dan kelemahan sekaligus. Dalam konteks pengambilan mosi nasionalisme, maka debat memiliki tujuan untuk memaksimalkan jiwa nasinalisme, meminimalkan pandangan yang bertentangan dengan nasionalisme, menyiapkan kekuatan yang merongrong nasionalisme, dan mencari jalan membangun jiwa nasionalisme yang kokoh.
IV.
Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pembelajaran dengan metode debat dapat dilaksanakan dalam tiga tahapan, yakni: a. Pra-debat: terangkai membangun kesepakatan berupa tata tertib, kesepakatan materi/mosi yang akan dijadikan bahan debat, serta kesepakatan aspek-aspek penilaian; b. Pelaksanaan debat: menempatkan dua tim debat sebagai pro dan kontra untuk salaing berargumen. Guru seminimal mungkin tidak ikut ambil bagian dalam debat.
27
Edward Sallis, Total Quality Management in Education, (IRCiSod: Yogyakarta, 2012), hlm. 222
24
c. Pasca-debat: kegiatan refleksi yang dilakukan juri/guru, yakni evaluasi kegiatan berupa perbaikan proses debat dengan mengaitkan pendidikan karakter yang semestinya mereka cermati. Selanjutnya juri mengambil keputusan berupa hasil penilaian untuk menetapkan kemenangan pada salah satu pihak. 2. Pembelajaran debat dapat menumbuhkan kesantunan berbahasa dan perkembangan penalaran moral. a. Beberapa prinsip kesantunan berbahasa yang harus diperhatikan dalam debat dapat dinyatakan bahwa kesantunan berbahasa merupakan: -
Properti, bahwa yang harus diperhatikan dalam debat tidak hanya isi, melainkan prinsip-prinsip kesantunan yang mengiringinya, a.l.: pernyataan tak langsung, memberi penghormatan, permohonan maaf, impersonal, dan meminimalkan paksaan.
-
Kesantunan hanya bisa dinilai orang kedua. Maka evaluasi dan penilaian juri/guru menjadi bagian yang harus dipatuhi dan diakui kebenaran objektif terhadap kesantunan yang dilakukan pembicara debat.
-
Kesantunan selalu terkait dengan hak dan kewajiban para penyerta komunikasi. Maka, dalam proses debat tidak selayaknya melakukan pelanggaran terhadap hak-hak lawan dan kawan bicara berupa menyela pembicaraan, mendominasi pembicaraan dan melewati batas waktu yang ditentukan.
b. Penalaran moral yang hendak dibangun dalam debat menyesuaikan perkembangan moral siswa sekolah menengah, yakni moralitas sebab dari aturan atau konvensi yang berlaku di kelompok dan lingkungannya. Debat merupakan stimulan untuk memaksimalkan perkembangan moral dengan pembiasaan. Adapun pembiasaan yang untuk membangun penalaran moral melalui debat dapat dijelaskan sesuai dengan tahapan-tahapan berikut: -
Pra-debat, membiasakan sikap saling menghargai, kerja sama, dan tanggung jawab.
-
Pelaksanaan debat, membiasakan sikap disiplin, sungguh-sungguh, berorientasi prestasi, dan sopan serta santun.
-
Pasca-debat, membiasakan sikap moral sportif, rendah hati, jujur dan rasa ingin tahu.
3. Debat dapat membentuk jiwa nasionalisme berdasarkan dua hal:
25
-
Debat merupakan analogi dari paradigma keberagaman argumentasi yang bisa mendewasakan seseorang untuk
mau menerima keragaman. Sedangkan
keragaman menjadi hakikat nasionalisme yang ada di Indonesia. -
Debat merupakan analogi analisa SWOT. Dengan memformulasikan pelaksanaan debat melalui materi-materi yang terkait dengan isu nasionalisme, maka siswa dapat melihat sisi kelemahan dan kekuatan nasionalisme. Dari dua pandangan tersebut, maka watak nasionalisme dapat dibangun dengan memaksimalkan kekuatan, meminimalkan kelemahan, mereduksi ancaman dan membangun peluang
DAFTAR PUSTAKA Abidin, M.Pd., Yunus. 2012. Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Refika Aditama. Agness, Lindsey. 2010. The True Magic of NLP (neuro linguistic programming). Yogyakarta: Gerai Ilmu. Azis, Munawir.2018. “Melawan Narasi Kebencian”. Kompa. (Jakarta, 19 Januari 2018). hlm. 7 Darmadi, M.Pd.,Prof. Dr. Hamid. 2012. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung: Alfabeta. Gunawan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”. Pellba 7. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Gunawan, Heri, S.Pd.I., M.Ag..2012. Pendidikan Karakter (Konsep dan Implementasi). Bandung: Alfabeta: Bandung. Huda, M.Pd.,Miftahul.2011. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Iskandarwassid, M.Pd. , Prof. Dr. & Dr. H. Dadang Suhendar, M.Hum..2009. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Kemendikbud. 2016. Silabus Mata Pelajaran Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan (SMA/MA/SMK/MAK). Jakarta. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Marno, M.Pd. & M. Idris, S.Si.,2009. Strategi & Metode Pengajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Sallis, Edward. 2012. Total Quality Management in Education, Yogyakarta: IRCiSod.
26
Saraswati, , M.Pd, Dr. Ekarini.2017. “Kaidah Bahasa”. Suplemensumber Belajar Penunjang Plpg 2017mata Pelajaran/Paket Keahlianpendidikan Bahasa Indonesia. Malang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah.hlm. 51. t.d. Setiono, Psi., Prof. Dr. Kusdwiratri. 2009. Psikologi Perkembangan (Kajian Teori Piaget, Selman, Kohlberg, dan Aplikasi Riset). Bandung: Widya Padjadjaran. Tarigan, Henry Guntur. 2008. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Aksara.