Artikel Forensik Aspek Hukum Disaster.docx

  • Uploaded by: Abdillah Akbar Kyuga
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Artikel Forensik Aspek Hukum Disaster.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,973
  • Pages: 11
Aspek Hukum dan Humaniora dalam Disaster Management Taufik Suryadi1, Abdillah Akbar2, Hilma Fadhilah Syahrul3, Ikkel Pasmawita Siska4, Ery Surya Sevriana5 1 2,3,4,5,

Bagian Ilmu Forensik dan Medikolegal Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia Dokter Muda Ilmu Forensik dan Medikolegal Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia Email: [email protected]

Abstrak Ilmu kedokteran forensik bukan hanya digunakan untuk menyelesaikan kasus pada korban meninggal namun dapat juga digunakan pada kasus dengan korban orang hidup.salah satu kasus yang sering menggunakan ilmu kedokteran forensik dalam pemecahan kasusnya adalah kasus ragu ayah.

Abstract Forensic sciences is not only used to solve caused of death victims but also used in cases where casualties are alive. One of cases that used in forensic sciences is the examination of the uncertainty biological father. In that case, the father must proved who is the biological father.

PENDAHULUAN Dengan semakin majunya peradaban dunia

Penentuan

ayah

semakin banyak pula permasalahan yang ada

paternitas

dapat

di dalam kehidupan sosial masyarakat dunia

menggunkan metode

saat ini salah satunya yaitu keraguan terhadap

dengan analisis fenotip pada berbagai sistem

ayah biologis dari anak. Kasus ragu ayah atau

golongan

biasa disebut dengan disputed paternity harus

molekular, yaitu dengan tes DNA. Analisis

segera

pentingnya

fenotip hanya dapat memberikan jawaban

penentuan ayah biologis sebenarnya dari

pasti jika X bukan ayah si anak, sedangkan

seorang anak.(1)

tes DNA didasarkan pada analisis informasi

diselesaikan

Penentuan

status

karena

keayahan

tidak hanya

genetik

darah

yang

biologis

dengan

dilakukan

dan

tes

dengan

konvensional yaitu

metode

sangat

spesifik

forensik

dalam

menyangkut masalah psikologi namun juga

membedakan ciri setiap individu, sehingga

penting

dan

dapat menentukan identitas seseorang hampir

aspek medis. Dalam

aspek

100% pasti sebagai ayah biologis si anak.

hukum masalah ini

berhubungan

Dilihat dari hasil dan akurasinya tes DNA

dengan pembuatan akta kelahiran,hak

lebih baik dibandingkan dengan analisis

waris dan pernikahan sehingga tidak

fenotip yang hanya dapat menunjukkan

menimbulkan

persengketaan

bahwa seseorang tersebut bukanlah ayah

dikemudian hari. Diketahuinya ayah

biologis dari seorang anak berbeda dari tes

biologis juga berguna dari aspek medis

DNA yang dapat menunjukkan siapa ayah

dalam

bilogis dari seorang anak.(4)

dalam

hal

aspek

pendonoran

hukum

darah

atau

transplantasi organ.(2) Selain itu telah menjadi hak seorang anak untuk mengetahui siapa ayah biologis sebenarnya seperti yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 mengenai hak dan kewajiban anak, dalam Pasal 7 ayat 1 yaitu “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”(3)

TES PATERNITAS Tes paternitas adalah tes yang digunakan untuk menentukan ada/tidaknya pertalian darah. Tes paternitas sendiri memiliki landasan sesuai dengan hukum genetika oleh Mendel, bahwa masing-masing dari orang tua hanya akan menyumbang satu saja dari pasangan gen yang dimilikinya kepada

anaknya. Tidak mungkin seorang anak

Terdapat banyak tes yang dapat digunakan

mewarisi sepasang gen yang dimiliki salah

untuk menentukan paternitas, antara lain :

satu dari orang tuanya dan juga tidak akan



mungkin seorang anak tidak mendapatkan

Tes dengan marker genetik dari antigen eritrosit.

gen dari salah satu orang tuanya.



Sistem ABO

Mendel membuat suatu kesimpulan yang



Sistem MN

disebut Hukum

I dan Hukum



Sistem Rhesus

Mendel II. Berdasarkan kedua Hukum



Sistem Kell

Mendel tersebut maka pemeriksaan untuk



Sistem Duffy

menentukan ada/tidaknya pertalian darah



Sistem Kidd

Mendel

antara seorang dengan orang lain, melalui pemeriksaan genetic menggunakan



marker dengan

prinsip-prinsip

sebagai

Tes dengan marker genetik dari serum protein.



berikut:

Tes dengan marker genetik dari enzim eritrosit.

1. Seorang anak tidak mungkin mempunyai



Tes dengan marker genetik HLA.

genetik marker yang tidak dipunyai oleh



Penerapan metode DNA :

kedua orang tuanya. 2. Seorang anak pasti mewarisi salah satu



DNA fingerprint.



VNTR (Variable Number of Tandem

pasangan genetik marker dari masing-masing

Repeat). 

orang tuanya. 3. Seorang anak tidak mungkin mempunyai

RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphisms).



sepasang genetik marker yang identik

PCR(Polymerase Chain Reaction).(6–8)

(misalnya AA), kecuali masing-masing dari kedua orang tuanya memiliki genetik marker

ASPEK MEDIKOLEGAL PATERNITAS

yang sama (misalnya A). 4. Seorang anak pasti akan memiliki genetik

Undang-undang no. 1 tahun 1974, mengatur

marker A atau B apabila salah satu dari orang

tentang asal usul anak, dalam pasal 42, 43 dan

tuanya miliki genetik marker yang identik (AA) atau (BB).(5)

44 berbunyi sebagai berikut : 

Pasal 42 : “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”.

Kantor Catatan Sipil untuk menerbitkan Akta Kelahiran sebagai alat bukti (bewijsmiddel), 

Pasal 43 

yang mampu memberikan keterangan dan

Ayat 1 : “Anak yang dilahirkan diluar

penjelasan

perkawinan hanya mempunyai hubungan

diperkarakan di dalam pengadilan.(10)

tentang

masalah

yang

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. 

Ayat 2 : “Kedudukan anak tersebut dalam ayat (1)

diatas selanjutnya akan di atur

dalam Peraturan Pemerintah”. 

Ayat

bahwa 1

:

“Seorang

suami

dapat

menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh

istrinya

membuktikan

bilamana bahwa

ia

istrinya

dapat telah

berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut”. 

Pada tahun 1980, Alec Jeffreys dengan teknologi DNA berhasil mendemonstrasikan

Pasal 44 

IDENTIFIKASI FORENSIK DENGAN TES SIDIK DNA

DNA

memiliki

bagian-bagian

pengulangan (sekuen) yang bervariasi. Hal ini dinamakan polimorfisme, yang dapat digunakan spesifik

sebagai

sarana

identifikasi

dari

seseorang.

(individual)

Perbedaan sidik DNA setiap orang atau individu layaknya sidik jari, sidik DNA ini

Ayat 2 : “Pengadilan memberikan keputusan tentang sah tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan”.

juga bisa dibaca. Tidak seperti sidik jari pada ujung jari seseorang yang dapat diubah

(9)

dengan operasi, sidik DNA tidak dapat dirubah oleh siapapun dan dengan alat

Berikutnya pada Undang-undang No. 7 tahun 1989, tentang Peradilan Agama yang telah diubah dan Undang-undang No. 3 tahun 2006, maka hukum yang berlaku untuk menyelesaikan sengketa/perkara asal usul anak

adalah

Hukum

Perdata

apapun. Bahkan, sidik DNA mempunyai kesamaan pada setiap sel, jaringan dan organ pada setiap individu. Oleh karena itu sidik DNA menjadi suatu metode identifikasi yang sangat akurat(7,11)

Islam.

Pengadilan perkara gugatan asal usul anak

Pemeriksaan identifikasi forensik merupakan

bagi masyarakat yang beragama islam adalah

pemeriksaan yang pertama kali dilakukan,

wewenang Pengadilan Agama. Putusan

terutama pada kasus tindak kejahatan yang

Pengadilan Agama akan menjadi dasar bagi

korbannya

tidak

dikenal

walaupuncidentifikasi juga bisa dilakukan

Pendanaan dan Pengelolaan Bencana (PP No.

pada kasus non kriminal seperti kecelakaan,

22 Tahun 2008), Peraturan Pemerintah

korban bencana alam dan perang, serta kasus

Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta

paternitas (menentukan orang tua). Secara

Lembaga Internasional dan Lembaga Asing

biologis, pemeriksaan identifikasi korban

Non Pemerintah dalam Penanggulangan

bisa dilakukan dengan odontologi (gigi-

Bencana (PP No. 23 Tahun 2008), dan

geligi), anthropologi (ciri tubuh), golongan

Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008

darah

DNA

tentang Badan Nasional Penanggulangan

merupakan gambaran pola potongan DNA

Bencana (Perpres No. 8 Tahun 2008).

dari setiap individu. Seperti halnya sidik jari

Undang-undang penanggulangan bencana

(fingerprint) yang telah lama digunakan oleh

disahkan untuk mengurangi risiko terjadinya

detektif dan laboratorium kepolisian sejak

bencana serta memitigasi dampak bencana

tahun 1930. (4,7)

yang telah terjadi.

serta

sidik

DNA.

Sidik

Shanti Dwi Kartika Politik Hukum Penanggulangan Bencana

Aspek Hukum dalam Disaster Management

Tanggung jawab pemerintah, sesuai dengan bunyi Pembukaan Undang-Undang

Indonesia dikenal sebagai negara yang rawan terhadap

terjadinya

bencana.

mengatasi

permasalahan

Pemerintah

telah

Untuk tersebut,

membentuk

2007

tentang

Penanggulangan

Bencana (UU No. 24 Tahun 2007), sejak 26 April 2007. Undang-undang ini menjadi sumber hukum utama bagi penyelenggaraan penanggulangan bencana, yang kemudian ditindaklanjuti pelaksanaan,

dengan antara

lain

peraturan Peraturan

Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PP

No.

21

Tahun

2008),

RI Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa:

dan

memberlakukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun

Dasar

Peraturan

Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang

“Negara

Kesatuan

Republik

Indonesia

melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah

darah

kesejahteraan

Indonesia, umum,

memajukan mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia

kemerdekaan,

yang

perdamaian

berdasarkan abadi

dan

keadilan sosial”. Aline ke IV Pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebagai implementasi dari amanat tersebut, Pemerintah bersama DPR pada

Bencana nonalam antara lain kebakaran

tahun 2007 telah menetapkan Undang

hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia,

Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang

kecelakan

Penanggulangan Bencana (UU PB) sebagai landasan

hukum

yang

kuat

bagi

transportasi,

kegagalan

konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan.

penyelenggaraan penanggulangan bencana. Bencana sosial antara lain berupa

Definisi bencana dijelaskan dalam

kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam

UU No. 24 Tahun 2007 sebagaimana diatur

masyarakat yang sering terjadi.

dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun

UU No 24 tahun 2007

2007 yang menyatakan bencana sebagai

Undang Undang No. 24 Tahun 2007

peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

menjelaskan ketentuan-ketentuan pokok dalam

mengancam dan mengganggu kehidupan dan

penanggulangan bencana sebagai berikut:

penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan

timbulnya

korban

jiwa

manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. UU No 24 tahun 2007

1. Penyelenggaraan

penanggulangan

bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah,

yang

dilaksanakan

secara

terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. 2. Penyelenggaraan

penanggulangan

Selanjutnya dijelaskan dalam UU No. 24

bencana dalam tahap tanggap darurat

Tahun 2007 Potensi penyebab bencana diwilayah

dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan

negara kesatuan Indonesia dapat dikelompokan

Nasional Penanggulangan Bencana dan

dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam,

Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

bencana non alam, dan bencana sosial.

Badan penanggulangan bencana tersebut

Bencana alam antara lain berupa gempa

terdiri dari unsur pengarah dan unsur

bumi karena alam, letusan gunung berapi, angin

pelaksana.

topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran

Penanggulangan Bencana dan Badan

hutan/lahan karena faktor alam, hama penyakit

Penanggulangan

tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa,

mempunyai tugas dan fungsi antara lain

dan kejadian antariksa/benda-benda angkasa.

pengkoordinasian

Badan

Bencana

Nasional

Daerah

penyelenggaraan

penanggulangan

bencana

secara

masyarakat pada setiap tahapan bencana,

terencana dan terpadu sesuai dengan

agar tidak terjadi penyimpangan dalam

kewenangannya.

penggunaan

3. Penyelenggaraan bencana

penanggulangan

dilaksanakan

dana

penanggulangan

bencana.

dengan

8. Untuk menjamin ditaatinya undang-

memperhatikan hak masyarakat yang

undang ini dan sekaligus memberikan

antara

efek jera terhadap para pihak, baik

lain

mendapatkan

bantuan

pemenuhan

kebutuhan

dasar,

karena

mendapatkan

perlindungan

sosial,

kesengajaan

mendapatkan

pendidikan

dan

terjadinya bencana yang menimbulkan

keterampilan dalam penyelenggaraan

kerugian, baik terhadap harta benda

penanggulangan bencana, berpartisipasi

maupun matinya orang, menghambat

dalam pengambilan keputusan.

kemudahan

4. Kegiatan

penanggulangan

dilaksanakan

dengan

kelalaian

maupun

sehingga

akses

karena

menyebabkan

dalam

kegiatan

bencana

penanggulangan

bencana,

dan

memberikan

penyalahgunaan

pengelolaan

sumber

kesempatan secara luas kepada lembaga

daya bantuan bencana dikenakan sanksi

usaha dan lembaga internasional.

pidana, baik pidana penjara maupun

5. Penyelenggaraan

penanggulangan

bencana dilakukan pada tahap pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca

pidana

denda,

dengan

menerapkan

pidana minimum dan maksimum.

UU No 24 tahun 2007

bencana, karena masing-masing tahapan mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda.

Penanggulangan

6. Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan

Lahirnya

bencana

selain

didukung dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, juga disediakan dana siap pakai dengan

Undang-Undang Bencana

juga

diikuti

dengan ditetapkannya beberapa peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang

pertanggungjawaban melalui mekanisme

Peran serta Lembaga Internasional dan

khusus.

Lembaga Asing Non Pemerintah dalam

7. Pengawasan terhadap seluruh kegiatan

Penanggulangan

Bencana,

Peraturan

penanggulangan bencana dilakukan oleh

Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan

Pemerintah, pemerintah daerah, dan

Nasional Penanggulangan Bencana telah

merubah

paradigma

penanggulangan

korban.

Penanganan

masyarakat

dan

bencana di Indonesia dibandingkan masa

pengungsi yang terkena bencana dilakukan

sebelum

Undang-Undang

dengan meliputi pendataan, penempatan pada

Penanggulangan Bencana. Paradigma yang

lokasi yang aman, pemenuhan kebutuhan

dimaksud adalah penanggulangan bencana

dasar seperti kebutuhan air bersih dan

tidak lagi menekankan pada aspek tanggap

sanitasi,

darurat saja, tetapi juga menekankan pada

kesehatan,

keseluruhan aspek penanggulangan bencana

penampungan dan tempat hunian. UU No.24

yang meliputi saat: pra bencana, saat

tahun 2007

lahirnya

bencana, dan sesudah bencana.

Dalam

Anggono, Bayu Dwi. (2010). Harmonisasi

bencana

Peraturan Perundang-undangan di Bidang

pangan,

sandang,

pelayanan

pelayanan psikososial,

()

undang-undang

tanggap

darurat

internasional

tanggung

jawab

pemberi bantuan harus mematuhi hukum

Penanggulangan Bencana, Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor

yang berlaku di Negara terdampak dan hukum internasional, berkoordinasi dengan

2, Juni

lembaga berwenang dalam negeri, dan menghormati martabat manusia. Bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan,

Aspek Humaniora dalam Disaster Management

netralitas dan ketidakberpihakan; Bantuan

Penanggulangan

tidak

bencana

harus

sesuai

diperhitungkan atas dasar kebutuhan saja; menimbulkan

perbedaan

yang

dengan prinsip kemanusiaan, sehingga dapat

merugikan (ras, etnis, agama, kelas, gender,

memberikan

dan

cacat, usia, dll); diberikan tanpa memiliki

penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat

kepentingan atau agenda ekonomi,militer,

dan martabat setiap warga negara dan

politik dan, agama. () Palang Merah Indonesia

perlindungan

penduduk Indonesia secara proporsional. Penyelamatan

dan

evakuasi

korban

dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana melalui upaya pencarian dan penyelamatan korban, pertolongan darurat, dan evakuasi

dan International Federation of Red Cross and Red

Crescent

Societies.

Undang-Undang

Tanggap Darurat Bencana Internasional (IDRL) di Indonesia Analisis Dampak dan Pelaksanaan Kerangka Hukum untuk Bantuan Bencana Internasional di Indonesia. Jenewa, 2014

Penyelenggaraan penanggulangan tanggap bencana harus memperhatikan kelompok rentan dengan memberikan prioritas berupa penyelamatan, pelayanan

evakuasi,

kesehatan,

pengamanan,

dan

psikososial.

Kelompok yang dimaksud terdiri atas: bayi, balita, dan anak-anak, ibu yang sedang

Aspek sosial ekonomi merupakan faktor yang penting dalam kajian manajemen kebencanaan, disamping aspek fisik. Manusia memegang peranan penting untuk terciptanya kembali kondisi penghidupan seperti sediakala sebelum terjadi bencana (disaster resilience). Manusia sebagai pelaku objek dalam kajian kebencanaan serta pemulihan perekonomian pasca bencana yang dilakukan manusia.

mengandung atau menyusui, penyandang cacat, orang lanjut usia. () UU No.24 tahun 2007 Responsif terhadap kebutuhan kelompok rentan (anak-anak, orang tua, pengungsi, orang cacat, dll); dikoordinasikan dengan para pelaku domestik; agar sensitif terhadap praktek-praktek sosial, budaya dan agama; memastikan keterlibatan masyarakat secara memadai; meningkatkan kapasitas lokal dan mengurangi kerentanan di masa depan; meminimalkan

dampak

negatif

secara

transparan.() Palang Merah Indonesia dan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies. Undang-Undang Tanggap Darurat

Bencana

Internasional

(IDRL)

di

Indonesia Analisis Dampak dan Pelaksanaan Kerangka Hukum untuk Bantuan Bencana Internasional di Indonesia. Jenewa, 2014

Keadaan Indonesia yang rentan akan terjadi bencana membuat masyarakat harus dapat beradaptasi dengan keadaan tersebut mengingat dampak dari bencana tersebut sangat luas, baik dari segi fisik maupun sosial ekonomi.

Nilai-nilai kebersamaan dan saling tolongmenolong antar masyarakat, khususnya masyarakat terdampak bencana, tercermin dari masih mengakarnya budaya gotong royong di kawasan pedesaan. Belajar dari bencana gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006, erupsi Gunungapi Merapi 2010, serta banjir rob yang yang rutin terjadi di Demak., gotong royong menjadi senjata yang ampuh dalam komunitas masyarakat menanggulangi akibat yang ditimbulkan suatu bencana karena gotong royong merupakan kombinsi antara solidaritas dan kerjasama antar sesama. Kajian bencana tidak dapat terlepas dari pemulihan kondisi ekonomi. Dalam proses pemulihan kondisi ekonomi ,modal sosial dalam masyarakat merupakan salah satu sumber daya yang penting untuk dimaksimalkan efektifitasnya. Modal sosial bagi masyarakat di kawasan rawan bencana merupakan jenis strategi adaptasi untuk bertahan hidup. Sumberdaya lokal dan kearifan lokal menjadi dasar dan bentuk dari modal sosial. sumber: R. Rijanta, D.R. Hizbaron, M. Baiquni, Modal Sosial dalam Manajemen Bencana. ISBN: 979-420-868-X. Yogyakarta : Gadjah Mada Univerity Press. 2015.

molekuler melalui tes DNA teknik yang dapat

KESIMPULAN Pada kasus ragu ayah atau disputed paternity dapat diselesaikan dengan cara menggunakan metode kedokteran forensik

dipilih

yaitu

Polymerase

Chain

Reaction. PCR dipilih karena prosesnya cepat dengan tingkat akurasi yang tinggi serta tidak membutuhkan banyak sampel.

DAFTAR PUSTAKA 1.

Laksmita AS. Keragaman genetik dan deteksi mutasi tiga generasi masyarakat bali berdasar penanda dna mikrosatelit autosom. Universitas Udayana; 2015.

2.

Latumahina RE. HUBUNGAN KEPERDATAAN ANTARA ANAK LUAR KAWIN DAN ORANGTUANYA: STUDI PERBANDINGAN DENGAN HUKUM KELUARGA DI BELANDA Rosalinda Elsina Latumahina*. 2018;48(1):181–98.

3.

RI (REPUBLIK INDONESIA). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak [Internet]. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia 2002 p. 1–14. Available from: http://pih.kemlu.go.id/files/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK.pdf

4.

Afolabi OA, Roeder AD, Iyengar A, Hadi S. Evaluation of genetic markers for forensic identification of human body fluids. Forensic Sci Int Genet Suppl Ser. 2017;6(August):e241–3.

5.

Campbell NA, Reece JB, Urry LA, Cain ML, Wasserman SA, Minorsky P V., et al. Biology. In: Biology. 2008.

6.

Presciuttini S, Toni C, Spinetti I, Rocchi A, Domenici R. An unusual case of disputed paternity: When the legitimate children of a deceased alleged father deny DNA. Int Congr Ser. 2006;1288:831–3.

7.

Hahn S, Mourges M, Simpson A. Chapter 1 - Forensic Sciences and Forensic Identification. In: David TJ, Lewis JMBT-FO, editors. Academic Press; 2018. p. 1–17. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780128051986000013

8.

Säde E, Björkroth J. IDENTIFICATION METHODS | DNA Fingerprinting: Restriction Fragment-Length Polymorphism. In: Batt CA, Tortorello MLBT-E of FM (Second E, editors. Oxford: Academic Press; 2014. p. 274–81. Available from:

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780123847300004109 9.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR I TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Mentri/Sekretaris Negara Republik Indonesia indonesia; 1974 p. 12.

10.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006. indonesia; 2006.

11.

Barrot C, Sánchez C, Ortega M, De Alcaraz-Fossoul J, Carreras C, Medallo J, et al. DNA paternity tests in Spain without the mother’s consent: The legal responsibility of the laboratories. Forensic Sci Int Genet. 2014;8(1):33–5.

12.

Mittal B, Chaturvedi P, Tulsyan S. Restriction Fragment Length Polymorphism. In: Maloy S, Hughes KBT-BE of G (Second E, editors. San Diego: Academic Press; 2013. p. 190–3. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780123749840013140

13.

Kang S-J, Ha G-C, Ko K-J. Association between resting heart rate, metabolic syndrome and cardiorespiratory fitness in Korean male adults. J Exerc Sci Fit [Internet]. 2017;15(1):27– 31. Available from: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1728869X1730028X

14.

Machida M, Taki T, Kibayashi K. Screening for single nucleotide polymorphisms in highly degraded DNA by using the amplified fragment length polymorphism technique. Forensic Sci Int Genet [Internet]. 2017;31:5–11. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S187249731730176X

15.

Martins C, Lima G, Carvalho MR, Cainé L, Porto MJ. DNA quantification by real-time PCR in different forensic samples. Forensic Sci Int Genet Suppl Ser [Internet]. 2015;5:e545–6. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1875176815301335

16.

Dorado G, Besnard G, Unver T, Hernández PBT-RM in BS. Polymerase Chain Reaction (PCR). In Elsevier; 2017. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780128012383089972

17.

Ottens R, Templeton J, Paradiso V, Taylor D, Abarno D, Linacre A. Application of direct PCR in forensic casework. Forensic Sci Int Genet Suppl Ser [Internet]. 2013;4(1):e47–8. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1875176813000255

18.

Alaeddini R. Forensic implications of PCR inhibition—A review. Forensic Sci Int Genet [Internet]. 2012;6(3):297–305. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1872497311001797

19.

Cavanaugh SE, Bathrick AS. Direct PCR amplification of forensic touch and other challenging DNA samples: A review. Forensic Sci Int Genet [Internet]. 2018;32:40–9. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1872497317302119

Related Documents


More Documents from "palma alfira"