Artikel Bali.docx

  • Uploaded by: Chelsey Chel
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Artikel Bali.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,987
  • Pages: 9
CANANG SARI Religiositas dan Penghormatan dalam Kehidupan Masyarakat Hindu Bali Artikel Ilmiah ini Dibuat sebagai Tugas Karya Wisata dan pemenuhan Tagihan pada mata pelajaran Kelas XI

Disusun oleh :

1. Angelique Cathleen L.

( 11 IPA 2 / 7858 / 04)

2. Chelsey

( 11 IPA 2 / 7873 / 08)

SMA TARAKANITA 2 JAKARTA Jalan Pluit Permai Dalam I, No. 10 Pluit Penjaringan Jakarta Utara 2019

TRADISI CANANG SARI: Makna Religiositas dan Penghormatan dalam Kehidupan Harian Masyarakat Hindu Bali Angelique Cathleen L. dan Chelsey

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagamannya. Terdiri lebih dari 17 ribu pulau, menjadikan Indonesia kaya akan berbagai budaya dan adat istiadat. Pulau Dewata atau yang juga dikenal sebagai Pulau Bali adalah salah satu tempat di mana masyarakatnya masih mempertahankan tradisinya lekat-lekat. Per 2017 lalu, Permendagri no. 137 mencatat ada 4.230.051 jiwa yang menetap di Bali, dengan 83% penduduknya menganut agama Hindu. Tanpa memandang latar belakang, tradisi di Bali memiliki sifat yang mengikat dan melekat dalam kehidupan berbagai lapisan penduduknya. Banyak tradisi di Bali yang masih kuat eksistensinya, dan salah satu yang cukup menonjol ialah ritual upacara keagamaannya yakni agama Hindu. Hal tersebut dikarenakan kepercayaan masyarakat Bali akan agama, seni dan kebudayaan yang menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ajaran agama Hindu sendiri dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tattwa atau filsafat, susila atau etika, ritual atau upacara. Tattwa merupakan aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila adalah aspek yang merujuk pada sikap dan perilaku yang baik sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan. Sementara, ritual adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam tradisi upacara sebagai wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya. Pada dasarnya ritual dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata cara ritual beserta rangkaian kegiatan yang dilakukan. Tradisi ritual Agama Hindu ini dilandaskan atas konsep Tri Hita Karana. Istilah Tri Hita Karana berasal dari Bahasa Sansekerta, berarti ‘Tiga Penyebab Kebahagiaan’. Konsep ini mengajarkan agar manusia mengupayakan hubungan harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia, juga dengan alam lingkungannya (Wiana, 2007:5). Sebagai implementasi dari konsep ini, lahirlah sebentuk simbol berupa upakara. Berasal dari kata ‘upa’ yang berarti berhubungan dengan, serta ‘kara’ yang berarti 1

perbuatan atau pekerjaan tangan. Upakara menjadi bentuk pelayanan yang diwujudkan dari hasil kegiatan kerja berupa materi yang dipersembahkan pada suatu upacara keagamaan. Banten, sesajen, atau sesaji, begitulah cara umat beragama Hindu di Bali menyebut upakaranya. Banten yang paling umum dan banyak ditemui di Bali adalah canang sari. Canang sari sendiri merupakan salah satu jenis banten yang menjadi bentuk persembahan sehari-hari umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Wujudnya

1.1 Canang sari di pinggir jalan

(Doc. Angelique Cathleen)

berupa kotak kecil berwarna hijau yang berisi kombinasi bunga warna-warni. Menurut Ida Pedanda Gede Made Gunung, seorang ulama Hindu di Bali, kata ‘canang’ terdiri atas dua suku kata, ‘ca’ yang berarti indah dan ‘nang’ yang berarti tujuan. Sementara, kata ‘sari’ berarti inti. Dengan demikian, pengertian canang dapat dijabarkan menjadi sebuah sarana yang ditujukan untuk memohon keindahan berupa kedamaian dan ketenangan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sebutan umat Hindu untuk Tuhan Yang Maha Esa. Canang sari sendiri digunakan untuk persembahan harian, mengungkapkan syukur atas keindahan atau kedaiaman yang telah diberikan kepada dunia. Mengingat diperlukannya waktu dan tenaga untuk mempersiapkan persembahan, menjadi filosofi dari proses persembahan ini yakni mengurbankan diri sendiri. Kehadiran banten di antara kehidupan masyarakat Bali sudah dimulai sejak dahulu kala sebagaimana dituturkan dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya. Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya merupakan bhuwana yang dibuat oleh seorang pendeta Hindu Siwa Tattwa bernama Maha Rsi Markandeya. Maha Rsi 2

bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro – Tegal Lalang, Gianyar). Saat itu berarti merupakan 936 Masehi, di mana pada masa itu belum dikenal yang dinamakan Pulau Bali. Maha Rsi Markandeya mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara, mula-mula pada pengikutnya hingga berkembang ke penduduk lain di Puakan. Jenis upakara ini menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air dan api, yang pada masa itu disebut ‘Bali’, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Seiring berkembangnya ajaran Maha Rsi Markandeya, pulau tersebut dinamakan sebagai Pulau Bali (dengan pengertian ‘pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali’, atau ‘pulau di mana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan sarana upakara Bali’). Sampai saat ini, banten masih melekat erat dengan kehidupan masyarakat Bali sekarang, menjadi identik dengan Pulau Bali. Banten dapat ditemukan di berbagai sudut di Pulau Bali, baik di sekitar perempatan, pagar, pohon besar, pura, bahkan di depan toko atau restoran. Banten tidak lagi hanya dibutuhkan pada upacara sakral saja, bahkan tanpa adanya upacara sekalipun banten tetap diadakan. Dalam Bhagawad Gita IX.26 dikatakan, “Patram puspam palam toyam, yo me bhaktya prayyacchati, tat aham bhakti-upahrtam, asnami prayatatmanah.” Kalimat tersebut

berarti,

“Siapapun

yang

dengan

sujud

bhakti

ke

hadapan-Ku

mempersembahkan sehelai daun, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.”. Melihat petikan tersebut, canang sari merupakan banten yang sudah cukup lengkap walau dalam skala kecil karena isinya yang terdiri dari daun, bunga, buah dan biji. Tiap-tiap bagian dari canang sari memiliki filosofinya tersendiri. Kotak kecil berwarna hijau disebut sebagai ceper, alas canang yang terbuat dari daun muda kelapa dan melambangkan angga-sarira atau tubuh manusia. Nasi atau wija melambangkan roh yang memberikan napas kehidupan, melambangkan benih di awal kehidupan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Filosofinya, ceper sebagai badan tidak ada gunanya tanpa kehadiran sang roh. Roh inilah yang membuat setiap umat manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya. Selanjutnya di atas ceper ada porosan yang terbuat dari daun sirih, gambir dan kapur yang melambangkan TriPremana. Daun sirih sebagai lambang warna hitam melambangkan perkataan, gambir melambangkan perbuatan, sementara kapur melambangkan pikiran. 3

Porosan juga menyiratkan bahwa setiap manusia harus memiliki hati yang penuh cinta kasih dan syukur kepada Tuhan. Jaja (kue), tebu dan pisang menyimbolkan kekuatan dalam kehidupan alam semesta. Di mana setelah kita memiliki badan dan roh, maka dengan adanya Tri-Permana kita dapat mewujudkan kekuatan untuk menghidupi badan dan jiwa. Sementara sampian uras, rangkaian janur berbentuk bundar dengan delapan ruas, melambangkan roda kehidupan dengan delapan karakteristik yang menyertai kehidupan manusia. Delapan karakteristik tersebut antara lain kebijaksanaan, kebenaran dan kesetiaan, ketajaman atau intelektualitas, kesenangan, kepemimpinan, kemarahan, kedengkian atau dendam, serta kekuatan. Adanya delapan karakteristik tersebut menjadi pendorong manusia dalam menjalani roda kehidupannya. Bunga juga menjadi aspek yang penting dalam

canang

menunjukkan

sari.

Keberadaan

kedamaian,

ketulusan

bunga hati.

Bunga akan ditaruh di atas sampian uras, sebagai lambang bahwa dalam menjalani roda kehidupan berlandaskan

manusia ketulusan

hendaknya hati

dan

selalu selalu

mewujudkan kedamaian bagi setiap insan. Penyusunan bunga pun memiliki arti masingmasing. Bunga berwarna putih (merah muda sebagai substitusi) disusun menghadap timur, 1.2 Perempuan Bali dengan canang sari (Doc. Bli Suryo)

menjadi simbol memohon kekuatan kesucian. Bunga berwarna merah disusun menghadap

selatan, simbol memohon anugerah kewibawaan. Selanjutnya, bunga berwarna kuning disusun menghadap barat sebagai simbol memohon kekuatan intuisi. Terakhir, bunga berwarna hitam (hijau, biru atau ungu sebagai substitusi) disusun menghadap utara sebagai simbol permohonan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga. Di tengah atas susunan bunga tersebut, akan diletakkan kembang rampai. Kembang rampai yang tersusun dari irisan pandan arum menjadi lambang permohonan anugerah kekuatan moksa, pembebasan dari hal-hal duniawi. Beragamnya bunga dengan bau yang tidak semuanya harum pun memiliki filosofi, bahwa kehidupan manusia yang tidak selamanya dapat menikmati kesenangan namun juga akan tertimpa kesulitan. Kembang rampai pun dengan alasan yang 4

serupa menjadi simbol kebijaksanaan yang diperlukan manusia dalam menata kehidupannya. Selanjutnya, ada lepa atau boreh miyik. Boreh miyik merupakan sejenis bubuk halus yang harum sebagai lambang sikap dan perilaku yang baik. Terakhir, ada minyak wangi sebagai lambang pengendalian diri dan ketenangan jiwa manusia dalam menata hidupnya. Kehidupan diumpamakan dengan minyak atau air yang tenang, di mana dengan pengendalian diri yang mantap manusia akan dimampukan menyelesaikan segala beban hidup.

1.3 Perempuan Bali sedang metanding (Doc. Angelica Alfonsus)

Metanding adalah istilah yang digunakan untuk penataan berbagai bahan sesaji menjadi sebuah sesaji yang utuh. Sementara, mejejahitan sebagai bagian dari metanding adalah istilah untuk penjahitan janur yang dirangkai dengan berbagai bunga dan daun-daunan. Umumnya mejejahitan dikerjakan oleh kaum wanita, di mana metanding dan mejejahitan seakan menjadi mata pelajaran pokok dalam kehidupannya. Perempuan-perempuan Bali belajar dan mewariskan apresiasi terhadap estetika, juga terhadap unsur-unsur alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari canang sari. Anak laki-laki juga dilibatkan dalam pembuatan canang sari, yakni dalam memetik bunga, memanjat kelapa, mencari janur atau berbagai perlengkapan dalam tahap persiapan. Proses mentanding dilakukan di atas meja dan tikar atau di atas bale, bangunan khusus untuk metanding. Janur diutas, lalu dijahit dengan teliti. Berbagai bentuk kurva dan persegi, juga memperhatikan prinsip kesatuan dan harmoni dalam seni rupa sehingga membentuk keseimbangan pada

5

jahitan canang sari. Pewarisan keterampilan ini menjadi tradisi dari generasi ke generasi, semuanya berjalan dengan sangat terjaga selama berabad-abad. Keberadaan canang sari untuk persembahan tidak hanya mementingkan aspek

bahan-bahan

maupun

proses

pembuatannya

saja,

melainkan

juga

memerhatikan tata cara peletakannya. Penghaturan canang sari paling baik dilakukan pada pagi hari sebagai simbolis agar dalam hari tersebut manusia mendapat restu anugerah dan karunia dari Ida Sang Hyang Widhi. Peletakannya harus disesuaikan dengan arah mata angin, kemudian diselipkanlah sebatang dupa dan dipercikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Gerakan memercik tersebut harus dilakukan dengan tangan kanan secara lemah gemulai. Bagi umat beragama Hindu di Bali, canang sari menjadi suatu sarana yang wajib dilakukan. Namun, masyarakat Bali di luar agama Hindu pun boleh melakukannya. Hal ini yang membuat banyaknya sesajen yang dapat ditemukan hampir di semua tempat. Misalnya di depan rumah, sebagai penghormatan kepada roh penunggu rumah agar terhindar dari segala bentuk bencana. Ada juga yang meletakkan canang sari di depan toko, agar toko terlindungi dari gangguan dan dapat menyebabkan toko menjadi laris. Canang sari juga dapat diletakkan di dapur untuk mewujudkan rasa syukur atas apa yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi. Masyakarat Bali percaya bahwa di setiap tempat ada roh yang menunggu, maka peletakan canang sari menjadi penghormatan agar dihindar dari berbagai gangguan sehingga canang sari juga dapat ditemukan di persimpangan jalan, di bawah pohon, atau bahkan di kendaraan bermotor untuk memberi keselamatan saat berkendara. Terkait adanya canang sari di berbagai tempat di Bali, ada tata krama yang perlu dipatuhi. Salah satunya adalah dengan tidak menginjak, maupun melengkahi. Cara melewatinya adalah dengan berjalan agak menyamping, menghindari canang sari. Jika canang sari tak sengaja terinjak, maka penginjak harus meminta maaf. Hal tersebut perlu dilakukan bukan karena takut terkena musibah, namun untuk menunjukkan penghormatan terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat. Bukan hanya canang sari, namun menginjak banten apapun merupakan tindakan yang tercela seakan-akan tidak menghormati dan menghargai keberadaan banten tersebut. Mitos-mitos mistis tentang bencana yang terjadi jika menginjak banten memang banyak tersebar meski kebenarannya belum bisa dipastikan. Kebanyakan mitos-mitos tersebut dibuat untuk mencegah pengunjung yang iseng agar tidak menginjak sesajen. Apabila tidak sengaja menginjak, maka tidak seharusnya 6

ditakuti. Namun, tiap orang harus mengusahakan penggunakan alas kaki supaya lebih hormat dan sopan. Canang sari memegang peran penting di Bali, sehingga memang sudah sepatutnya dihargai dan dihormati. Pada dasarnya, canang sari merupakan tradisi yang sudah bertahan lama di Bali. Terlebih, jenis banten ini mengandung makna religiositas yang tinggi antara masyarakat Hindu di Bali dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ada juga nilai-nilai penghormatan terhadap kepercayaan masyarakat setempat. Canang sari sangat lekat, tidak bisa lepas dengan kehidupan masyarakat Hindu di Bali dan tiada hari yang terlewat tanpa dibuatnya persembahan ini. Nilai religiositas dan penghormatan inilah yang hendaknya terus dipertahankan dan diwariskan sebagai tradisi dari generasi ke generasi.

Sumber Pustaka

Berapa Jumlah Pulau di Indonesia? https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/10/16/berapa-jumlah-pulau-diindonesia (diakses 25 Februari 2019)

Upakara dalam Upacara Yadnya http://blog.isi-dps.ac.id/yogagiri/upakara-dalam-upacara-yadnya (diakses 25 Februari 2019)

Sejarah Banten (Sesajen) di Bali http://kb.alitmd.com/sejarah-banten-sesajen-di-bali/ (diakses 25 Februari 2019)

Banten Canang Sari sebagai Identitas Budaya Bali https://media.neliti.com/media/publications/196060-ID-banten-canang-sari-sebagaiidentitas-bud.pdf (diakses 27 Februari 2019)

Budaya Bali: Makna Banten di Bali http://cakepane.blogspot.com/2014/12/makna-banten-dan-bebantenan-di-bali.html (diakses 27 Februari 2019)

7

Budaya Bali: Cara Membuat Canang Sari dan Kajian Filosofinya http://cakepane.blogspot.com/2013/01/cara-membuat-canang-sari-dan-kajian.html (diakses 27 Februari 2019)

Sesajen Bali: Keunikan Peletakan Sesaji di Bali http://sesajenbali.blogspot.com/2015/06/keunikan-peletakkan-sesaji-di-bali.html (diakses 27 Februari 2019)

Sumber Lisan Suryo, tour guide Harmony Travel

Hasil Observasi Kunjungan ke Bali selama tanggal 18-22 Februari 2019

8

Related Documents

Artikel
April 2020 61
Artikel
June 2020 55
Artikel
July 2020 41
Artikel
November 2019 56
Artikel
April 2020 44
Artikel
November 2019 61

More Documents from ""

Artikel Bali.docx
April 2020 6
Antidotes
June 2020 10
Erdrugs--
June 2020 8
The Aminoglycosides
June 2020 8
9. 50-56.pdf
December 2019 5