Arsitektur Tradisional Omah Adat Jawa.docx

  • Uploaded by: Elvira Januaris Valianti
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Arsitektur Tradisional Omah Adat Jawa.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,820
  • Pages: 18
Arsitektur Tradisional Omah Adat Jawa

Rumah tradisional Jawa, atau biasa disebut sebagai omah adat Jawa, mengacu pada rumah-rumah tradisional di pulau Jawa, Indonesia. Arsitektur rumah Jawa ditandai

dengan adanya aturan hierarki yang dominan seperti yang tercermin pada bentuk atap rumah. Rumah tradisional Jawa memiliki tata letak yang sangat mirip antara satu dengan lainnya, tetapi bentuk atap ditentukan pada status sosial dan ekonomi dari pemilik rumah. Arsitektur tradisional rumah Jawa banyak dipengaruhi oleh arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dan juga sangat berkontribusi pada perkembangan arsitektur modern di Indonesia pada abad ke-20.

Rumah Joglo (Sumber: www.wovgo.com) Sejarah Orang jawa memiliki kekerabatan yang dekat dengan bangsa Austronesia. Relief di Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 juga menunjukkan bahwa rumah Jawa merupakan pola dasar dari rumah Austronesia. Kedatangan orang Eropa pada abad 16

dan 17 memperkenalkan batu dan batu bata dalam konstruksi rumah, yang banyak digunakan oleh orang-orang kaya. Bentuk rumah tradisional Jawa juga mulai mempengaruhi perkembangan arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Pada awal abad ke 19, rumah Hindia Belanda dibuat menyerupai rumah Jawa karena bentuk rumah yang mampu melawan panas tropis dan hujan lebat, namun tetap mampu mengalirkan udara di bagian dalam rumah.

Rumah Limasan dengan gaya Kontemporer (Sumber: pinterest.com) Hierarki Atap Rumah Sesuai dengan struktur masyarakat Jawa dan tradisinya, rumah-rumah tradisional Jawa diklasifikasikan menurut bentuk atap mereka dari yang terendah ke tertinggi, yaitu Kampung, Limasan, dan Joglo.

Contoh model rumah kampung (Sumber: gambarrumahideal.blogspot.co.id) Rumah Kampung. Atap rumah Kampung diidentifikasikan sebagai rumah dari rakyat biasa. Secara struktural, atap Kampung adalah atap yang paling sederhana. Atap puncak rumah Kampung bersandar pada empat tiang tengah dan ditunjang oleh dua lapis tiang pengikat. Bubungan atap didukung penyangga dengan sumbu Utara -Selatan yang khas. Struktur ini dapat diperbesar dengan melebarkan atap dari bagian atap yang ada.

Rumah Limasan (Sumber: www.jualrumahlimasan.com) Rumah Limasan. Atap Limasan digunakan untuk rumah-rumah keluarga Jawa yang memiliki status lebih tinggi. Jenis rumah ini adalah jenis yang paling umum untuk rumah Jawa. Denah dasar empat tiang rumah diperluas dengan menambah sepasang tiang di salah satu ujung atap.

Rumah Joglo (Sumber: purevillatravel.com) Rumah Joglo. Atap Joglo adalah bentuk atap yang paling khas dan paling rumit. Atap joglo dikaitkan dengan tempat tinggal bangsawan (Keraton, kediaman resmi, bangunan pemerintah, dan rumah bangsawan Jawa atau nigrat). Saat ini pemiliknya tidak lagi terbatas pada keluarga bangsawan, tetapi siapa saja yang memiliki cukup dana unt uk membangunnya. Sebab, untuk membangun rumah Joglo dibutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan lebih mahal. Atap Joglo memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari 2 jenis atap sebelumnya. Atap utama lebih curam, sementara bubungan atap tidak sepanjang rumah Limasan. Di empat tiang utama yang mendukung atap di atasnya terdapat susunan khas berupa tiang-tiang berlapis yang diartikan sebagai tumpang sari. Selain itu, jika rumah Joglo terjadi kerusakan, proses perbaikan tidak boleh mengubah bentuk semula. Orang Jawa percaya, melanggar aturan ini akan menimbulkan pengaruh yang kurang baik pada penghuni rumah.

Layout dari kompleks rumah tradisional Jawa. Ket: 1. lawang pintu 2. pendopo 3. peringgitan 4. emperan 5. dalem 6. senthong 7. gandok 8. dapur (Sumber: www.wikiwand.com) Bangunan rumah Tidak berbeda dengan rumah tradisional Bali, rumah Jawa biasanya dibangun dalam suatu kompleks berdinding. Bahan untuk dinding pelindung kompleks rumah dibuat dari batu untuk rumah orang kaya, atau terbuat dari bambu dan kayu. Rumah tradisional orang Jawa yang ideal terdiri atas tiga bangunan utama, yaitu omah, pendapa, dan peringgitan.

Pendopo rumah Joglo (Sumber: www.boombastis.com) Pendopo. Pendopo atau pendapa adalah sebuah paviliun yang terletak di bagian depan kompleks. Tempat ini digunakan untuk menerima tamu, pertemuan sosial, atau pertunjukan ritual. Pendopo menggunakan atap joglo dan hanya terdapat di kompleks rumah orang kaya. Di beberapa daerah perkotaan yang padat, dinding batu biasanya akan didirikan di sekitar pendopo.

Pringgitan (Sumber: jejakbocahilang.wordpress.com) Pringgitan. Pringgitan adalah ruang yang menghubungkan antara pendopo dengan omah. Peringitan merupakan tempat untuk ringgit, yang memiliki arti wayang atau bermain wayang. Pringgitan memiliki bentuk atap kampung atau limasan.

Teras di Omah Adat Jawa (Sumber: i0.wp.com) Omah. Omah adalah rumah utama. Kata omah berasal dari Austronesia yang berarti “rumah”. Omah biasanya memiliki tata letak persegi atau persegi panjang dengan lantai

yang ditinggikan. Bagian tengah omah menggunakan bentuk atap limasan atau joglo. Daerah di bawah atap dibagi oleh bilah-bilah dinding menjadi daerah dalam dan luar.

Interior rumah joglo (Sumber: pinterest.com) Dalem.Dalem adalah bangunan tertutup dan dibagi lagi sepanjang poros Utara dan Selatan menjadi daerah-daerah yang berbeda. Pada model rumah kampung dan limasan, pembagian ini digunakan untuk membedakan antara bagian depan dan belakang. Namun, pada rumah joglo terdapat tiga pembagian yang lebih rumit, antara depan, tengah, dan belakang. Bagian Timur depan dalem adalah tempat berlangsungnya kegiatan semua anggota keluarga dan tempat semua anggota keluarga tidur pada sebuah ranjang bambu, sebelum pubertas anak-anak. Bagian tengah dalem rumah jogloditegaskan oleh empat tiang pokok. Saat ini, bagian itu tidak lagi memiliki kegunaan khusus. Namun, secara

tradisional daerah ini merupakan tempat pedupaan yang dibakar sekali seminggu untuk menghormati Dewi Sri (dewi padi), juga merupakan tempat pengantin pria dan wanita duduk pada upacara pernikahan.

Senthong Tengah (Sumber: popyaly.blogspot.co.id) Senthong. Senthong merupakan bagian belakang omah yang terdiri dari tiga ruangan tertutup. Senthong Barat merupakan tempat menyimpan beras dan hasil pertanian lain, sementara peralatan bertani disimpan di sisi Timur. Senthong secara tradisional merupakan ruangan yang dihias semewah mungkin dan dikenal sebagai tempat tinggal tetap Dewi Sri. Pasangan pengantin baru terkadang tidur di senthong tengah. Di bagian luar atau belakang kompleks terdapat beberapa bangunan lain seperti dapur dan kamar mandi. Sebuah sumur biasanya ditempatkan di sisi Timur. Sumur sebagai penyedia air dianggap sebagai sumber kehidupan dan selalu menjadi hal pertama yang diselesaikan ketika membangun sebuah kompleks rumah baru. Jika jumlah anggota keluarga atau kekayaan keluarga bertambah, bangunan-bangunan tambahan (gandhok) dapat ditambahkan.

SUMBER KEDUA Rumah Joglo merupakan rumah tradisional Jawa, yang umumnya terbuat dari kayu Jati (Tectona Grandis Sp.).Disebut Joglo karena mengacu pada bentuk atapnya, mengambil filosofis bentuk sebuah gunung. Pada awalnya filosfis bentuk gunung tersebut diberi nama atap Tajug, tapi kemudian berkembang menjadi atap Joglo/Juglo (Tajug Loro = Dua Tajug ~ penggabungan dua Tajug). Dalam kehidupan manusia Jawa -gunung sering dipakai sebagai idea bentuk yang dituangkan dalam berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang sakral. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa.

Konstruksi atap Joglo ditopang oleh Soko Guru (tiang utama) yang berjumlah 4 buah. Jumlah ini adalah merupakan simbol adanya pengaruh kekuatan yang berasal dari empat penjuru mata angin, atau biasa disebut konsepPajupat. Dalam konsep ini, manusia dianggap berada di tengah perpotongan arah mata angin, tempat yang dianggap mengandung getaran magis yang amat tinggi. Tempat ini selanjutnya disebut sebagaiPancer atau Manunggaling Keblat Papat.

Istilah Guru digunakan untuk menunjukan bagian utama (inti) dari sebuah konstruksi Joglo. Soko Guru menopang sebuah konfigurasi balok yang terdiri dari Blandar dan Pengeret -disebut sebagai Pamidhangan atau Midhangan. Menurut naskah Kawruh Kalang konfigurasi Blandar-Pengeret inilah yang menjadi patokan, acuan, rujukan bagi perhitungan struktur keseluruhan Joglo. Semua ukuran dan dimensi struktur serta

bangunan mengacu pada ukuran dan dimensi Blandar-Pengeret tersebut, berdasarkan standar perhitungan tertentu yang disebut sebagai Petungan. Berikut petikannya : "Tembung midhangan punika mirit wujudipun angemperi pundhaking griya, manawi mirid parlunipun tiyang anindakaken damel griya (ukuraning griya) nama wau leresipun papundhen, dening kajeng midhangan sakawan iji punika ingkang lajeng manjing nama: guru. Wondene saka ageng sakawan winastan saka guru, leresipun: sakaning guru, utawi saka ingkang nyanggi guru, amargi sasampuning wujud catokan sakawan, sakatahing ukur bade pandamelipun babalungan ageng alit saha panjang celak, tuwin tumpang-tumpangipun sadaya, sami mendhet ukur saking salebeting gagelengan kajeng sakawan wau, boten saged tilar utawi boten kenging kaempanan saking dugi-dugi kemawon." "Di sini keempat batang kayu yang membentuk midhangan [=pamidhangan, balandar-pangeret] itu lalu mendapatkan sebutan yaitu guru. Adapun keempat batang saka [=tiang] yang besar-besar itu lalu dinamakan sakaguru, yang lebih tepatnya adalah sakaning guru atau saka ingkang nyanggi guru [saka yang menyangga guru]. Penamaan ini disebabkan oleh karena setelah terwujud menjadi empat buah cathokan maka segenap pengukuran dalam membuat besar-kecilnya balungan griya maupun segenap tumpang, sama-sama mengambil patokan ukuran pada keempat batang balandar-pangeret tadi. Jadi, mengukur itu tidak boleh sekadar menduga-duga atau asal mengukur semata."

Karena sifat keutamaan itulah maka konfigurasi Blandar-Pengeret diistilahkan sebagai Guru ; Sedangkan 4 buah tiang penopangnya disebut sebagai Soko Guru atau Sakaning Guru(tiang yang menyangga Guru). Hal-hal tersebut di atas mencerminkan manusia Jawa yang dapat digolongkan sebagai golongan masyarakat archaic yang menempatkan kosmologi sebagai sesuatu yang penting dalam hidupnya. Yang meyakini kehidupan ini dipengaruhi kekuatan yang muncul dari dirinya sendiri (Jagad Alit / Mikrokosmos) dan kekuatan yang muncul dari luar dirinya atau alam sekitarnya (Jagad Gede / Makrokosmos). Sehingga perwujudan dari konsep bentuk Rumah Joglo merupakan refleksi dari lingkungan alamnya yang sangat dipengaruhi oleh geometric , yang sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan dari dalam diri sendiri; dan pengaruh geofisik, yang sangat tergantung pada kekuatan alam lingkungannya. Rumah Joglo memiliki struktur utama berupa struktur Rongrongan, yang terdiri dari :

A. B. C. D. E. F. G.Tumpangsari

Soko Sunduk

Umpak Guru Sunduk Kili Pengeret Blandar

Tumpangsari merupakan pengakhiran dari struktur Rongrongan ditopang oleh Beladar & Pengeret. Tumpangsari merupakan susunan balok menyerupai piramida, dan bisanya dihiasi oleh ukiran yang sangat indah dan berfungsi menopang bagian langit-langit Joglo (pamindhangan). Tumpangsari merupakan susunan balok bertingkat pada bangunan Joglo. Secara struktural berfungsi sebagai penopang atap Joglo. Sedangkan fungsi arsitektural -merupakan bagian dari langit-langit utama struktur Rongrongan (UmpakSoko Guru-Sunduk-Belandar). Tumpangsari ditopang langsung oleh balok Blandar dan Pengeret. Biasanya Tumpangsari dipenuhi oleh ukiran yang sangat indah dan merupakan center pointbagi interior bangunan Joglo. Tumpangsari terbagi menjadi 2 bagian yaitu Elar dan Elen, dijabarkan sebagai berikut

: A. Elar 

Berada diposisi lingkar luar konfigurasi Blandar-Pengeret ; Berfungsi sebagai penopang usuk dan struktur atap lainnya ; Berjumlah ganjil yaitu 3 (tiga) atau 5 (lima).

 

B. Elen 

Berada diposisi lingkar dalam konfigurasi Blandar-Pengeret;  Berfungsi sebagai langit-langit struktur Rongrongan dan menopang papan penutup langit-langit (Pamindhangan);  Berjumlah ganjil yaitu 5 (lima), 7 (tujuh), atau 9 (sembilan). Tumpangsari pada bangunan Joglo terbagi menjadi 2 grid persegi empat yang sama dan simetris, yang dipisahkan dan ditopang tepat ditengah-tengah oleh balok Dadapeksi.

Hubungan antara Soko Guru Sunduk -Sunduk Kili menggunakan sistim Purus. Sedangkan antara Soko Guru Pengeret & Blandar menggunakan sistim Cathokan. Sistim persendian antara Umpak dan Soko Guru dapat berfungsi untuk mengurangi getaran pada saat bencana gempa bumi. Sedangkan sistem Purus & Canthokan yang bersifat jepit terbatas menjadikan atap berlaku sebagai bandul yang menstabilkan bangunan saat menerima gaya gempa (berlaku seperti pendulum). Hal ini merupakan hasil karya manusia Jawa dalam mendesain bangunan Joglo melalui proses trial by error mengingat letak geografis arsitektur bangunan Joglo yang berada di daerah Gempa III (gempa sedang) yang membentang sepanjang Cirebon sampai Banyuwangi.

Perluasan ruang dilakukan dengan penambahan struktur di sekeliling struktur Rongrongan tersebut -dengan penambahan Soko Pengarak (tiang samping). Bangunan Joglo dapat berfungsi sebagai ruang pertemuan (Pendopo) maupun rumah (Omah). Pendopo merupakan bangunan yang bersifat publik sehingga bangunan Joglo hanya merupakan struktur terbuka tanpa adanya dinding pelingkup. Sedangkan Omah merupakan hunian yang memiliki ruang yang bersekat-sekat. Biasanya Rumah Joglo memiliki dinding pelingkup konstruksi kayu, dan memiliki bukan berupa jendela dan pintu (Gebyok).

Related Documents


More Documents from ""