Sirosis Hepatis Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronik yang menyebabkan proses difus pembentukan nodul dan fibrosis. Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat adanya nekrosis hepatoselular. Sirosis hepatis (SH) merupakan konsekuensi dari penyakit hati kronis yang ditandai dengan penggantian jaringan hati oleh fibrosis, jaringan parut dan nodul regeneratif (benjolan yang terjadi sebagai hasil dari sebuah proses regenerasi jaringan yang rusak) akibat nekrosis hepatoseluler, yang mengakibatkan penurunan hingga hilangnya fungsi hati. Penyebab utama sirosis hepatis di negara barat adalah alkohol dan Hepatitis C, sedangkan di Indonesia penyebab utama sirosis hepatis adalah Hepatitis B (40%-50%) dan Hepatitis C (30%-40%) ( Wahyudo,2014). Komplikasi yang terjadi pada sirosis hepatis akan meningkatkan risiko kematian dan angka kesakitan pasien, komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan saluran cerna, asites, sindrom hepatorenal, ensefalopati hepatik, peritonitis bacterial spontan dan karsinoma hepatoselular (Lovena,2017). Sirosis hepatis secara klinis terbagi menjadi sirosis hepatis kompensata dan sirosis hepatis dekompensata, perubahan dari kompensata menjadi dekompensata disebabkan oleh insufisiensi sel hati dan hipertensi portal. Hal tersebut akan memengaruhi tes fungsi hati dan pemeriksaan hematologi, beberapa diantaranya yaitu kadar albumin, jumlah trombosit, dan kadar kreatinin. Albumin merupakan protein yang hanya disintesis di hati sehingga kadarnya akan memburuk sesuai perburukan hati. Jumlah trombosit pada sirosis hepatis biasanya akan mengalami penurunan dan akan meningkatkan risiko perdarahan pada pasien sirosis hepatis. ( Wahyudo,2014) Pengukuran serum kreatinin dapat digunakan untuk menilai fungsi ginjal pada pasien sirosis hepatis.Prognosis pasien sirosis hepatis dapatdiperkirakan menggunakan klasifikasi Child Pugh,yang dibagi menjadi Child pugh A, B, dan C yang masing-masing mempunyai angka ketahanan hidup dua tahun sebesar 85%, 57%, dan 35%. Komplikasi yang terjadi pada sirosis hepatis akan meningkatkan risiko kematian dan angka kesakitan pasien, komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan saluran cerna, asites, sindrom hepatorenal,
nsefalopati hepatik,
peritonitis bacterial spontan dan karsinoma hepatoselular. (Lovena,2017). Sirosis hati disebabkan oleh berbagai macam sebab. Beberapa faktor pencetus timbulnya sirosis hepatis yaitu Virus hepatitis (B,C,dan D), alkohol, kelainan metabolik berupa
hemakhomatosis (kelebihan beban besi), penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga), defisiensi Alphal-antitripsin, glikonosis type-IV, galaktosemia, dan tirosinemia,malnutrisis, toksin dan obat, sistosomiasis,
obstruksi
bilier
(intrahepatik,
ekstrahepatik),
obstruksialiran
vena,
autoimun.4Sekitar 20 % pasien hepatitis kronik berkembang menjadi sirosis ( Wahyudo,2014).
Lovena,Angela., Saptino Miro., Efrida. 2017. Karakteristik Pasien Sirosis Hepatis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.Vol 6(1): 5-12. Wahyudo ,Riyan A. 2014. 78 Years Old Woman With Hepatic Cirrhosis. J Medula Unila. Vol 3 (1): 174-83.
Glaukoma Glaukoma berasal dari kata Yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan, yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma adalah suatu keadaan dimana tekanan intraokuler (tekanan bola mata) seseorang demikian tinggi atau tidak normal sehingga merusak saraf optik dan mengakibatkan gangguan pada sebagian atau seluruh lapang pandang atau buta (Theja ,2016). Glaukoma sering disebut sebagai pencuri penglihatan karena gejala yang sering tidak disadari oleh penderita atau dianggap sebagai gejala dari penyakit lain, sehingga banyak pasien yang datang ke dokter dalam keadaan yang lanjut atau buta. Hal ini disebabkan oleh karena glaukoma dapat merusak saraf optikus sehingga dapat menyebabkan kehilangan penglihatan dan akhirnya kebutaan yang permanen yang tidak dapat disembuhkan (Putri, 2018). Risiko terjadinya glaukoma, progresifitas penyakit hingga menimbulkan kebutaan, dihubungkan dengan berbagai faktor risiko. Selain tingginya tekanan intaokular, yang dapat menjadi faktor risiko penyakit glaukoma adalah ras, jenis kelamin, usia, jenis/tipe glaukoma, adanya riwayat glaukoma dalam keluarga, adanya penyakit yang mempengaruhi vaskular dan penglihatan, dan riwayat pengobatan yang didapatkan. Kebutaan pada penderita glaukoma juga dipengaruhi oleh faktor perilaku kesehatan. Pada tahun 2010, di Asia Tenggara total penderita dengan glaukoma berkisar 4,25 juta orang dengan populasi orang dengan umur diatas 40 tahun
adalah 178 juta orang. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2013, prevalensi kebutaan dari rentang umur 45 tahun hingga lebih dari 75 tahun mengalami peningkatan yang cukup tinggi (Putri, 2018). Glaukoma dapat menyebabkan kebutaan yang bersifat ireversibel dalam hitungan jam maupun hari. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2002, dilaporkan bahwa glaukoma merupakan penyebab kebutaan paling banyak kedua dengan prevalensi sekitar 4,4 juta (sekitar 12,3% dari jumlah kebutaan di dunia). Pada tahun 2020 jumlah kebutaan akibat glaucoma diperkirakan akan meningkat menjadi 11,4 juta. Prevalensi glaukoma diperkirakan juga akan mengalami peningkatan, yaitu dari 60,5 juta (2010) menjadi 79,6 juta (2020). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 prevalensi glaukoma di Indonesia adalah 4,6% (Tobing, 2014). Putri, Putu Giani Anabella Bestari., I Wayan Eka Sutyawan,., AA Mas Putrawati Triningrat. 2018. Karakteristik penderita glaukoma primer sudut terbuka dan sudut tertutup di divisi glaukoma di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar periode 1 januari 2014 hingga 31 desember 2014. E-Jurnal Medika. Vol 7 (1): 16-21. Theja ,Andri., Vera Sumual ., Yamin Tongku. 2016. Gambaran pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi tentang glaukoma .Jurnal e-Clinic (eCl). Vol 4 (1): 291-295. Tobing, Laras Maranatha 2014. Acute Glaucoma On Right Eye. J Agromed Unila. Vol 1(2) :99103. Sindroma nefrotik Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif ( 3,5 g/hari), hipoalbuminemia (<3,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai kompli-kasi yang terjadi pada SN. Hipoalbumine-mia,hiperlipidemia,lipiduria,gangguan
keseim-bangan
nitrogen,
hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium, tulang, dan hormon tiroid sering dijumpai pada SN (Arsita,2017). Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode, SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.1-4 Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer atau sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik. Glomerulonefritis primer / idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada GN pascainfeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes melitus (Arsita,2017). Arsita, Elli. 2017. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Sindroma Nefrotik. J. Kedokt Meditek.Vol 23(64): 73-82.