Antimikroba.docx

  • Uploaded by: Anisa Susianti
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Antimikroba.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,363
  • Pages: 28
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Sejak sulfnamid ditemukan pada tahun 1930, telah banyak ditemukan antimikroba (AM) baru. Seiring dengan itu juga terjadi perkembangan resistensi kuman yang mencemaskan. Pada tahun 2010 WHO menyatakan bahwa perkembangan resistensi kuman adalah salah satu dari 3 ancaman terbesar terhadap kesehatan manusia. Di banyak Negara, termasuk Indonesia, kualitas penggunaan AM masih jauh dari baik karena sekitar 50% dari penggunaan AM adalah tidak rasional. Dewasa ini timbul masalah yang disebabkan oleh berbagai kuman resisten yang dulu tidak menimbulkan persoalan. Sebagai contoh Acinetobacter baumanii dan Serratia marcescens yang dulu dianggap kuman komensal sekarang menjadi penyebab infeksi nosokomial yang ditakuti orang. Streptococcus pneumonia yang dulu sensitif terhadap antibiotika betalaktam, sekarang sekitar 40-50% sudah menjadi resisten di bagian dunia tertentu, termasuk Asia Tenggara. Obat-obat antimikroba efektif dalam pengobatan infeksi karena toksisitas selektifnya. Kemampuan obat tersebut membunuh mikroorganisme yang menginvasi pejamu tanpa merusak sel.Pada kebanyakan kasus, toksisitas lebih relatif daripada absolute, yang memerlukan kontrol konsentrasi obat secara hati-hati untuk menyerang mikroorganisme sehingga dapat ditolerir oleh tubuh. Terapi antimikroba selektif mempunyai keuntungan dengan adanya pwerbedaan biokimia yang timbul antara mikroorganisme dan manusia. Pemusnahan mikroba dengan antimikroba yang bersifat bakteriostatik masih tergantung dan kesanggupan reaksi daya tahan tubuh hospes. Peranan lamanya kontak mikroba dan antimikroba dalam kadar efektif juga sangat menentukan untuk mendapatkan efek khususnya pada tuberkulostatik.

1

1.2 RUMUSAN MASALAH a. Apa definisi dari Antimikroba? b. Jelaskan mekanisme kerja obat Antimikroba? c. Sebutkan golongan-golongan Antimikroba? d. Jelaskan penggunaan Antibiotik e. Apa masalah resistensi pada obat Antimikroba? f. Apa saja kegagalan terapi Antimikroba? g. Apa efek samping akibat penggunaan Antimikroba?

1.3 TUJUAN a. Untuk mengetahui definisi dari Antimikroba b. Untuk mengetahui mekanisme kerja obat Antimikroba c. Untuk mengetahui golongan-golongan Antimikroba d. Untuk mengetahui penggunaan dari Antimikroba e. Untuk mengetahui masalah resistensi pada obat Antimikroba f. Untuk mengetahui saja kegagalan terapi Antimikroba g. Untuk mengetahui efek samping akibat penggunaan Antimikroba

2

BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Defenisi Antimikroba Antimikroba adalah obat pembasmi mikroba terutama yang merugikan manusia. Dimaksudkan dengan mikroba terbatas pada jasad renik yang tidak termasuk parasit. Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungsi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banak antibiotic dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sentetik penuh. Namun dalam praktek sehari-hari AM sintetik yang dapat ditirunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamide dan kuinolon) juga digolongkan sebagai antibiotic. Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia ditemukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes. Sifat toksisitas selektif yang absolute belum atau mungkin tidak akan diperoleh. Antimikroba terbagi menjadi dua kelompok yaitu Antimikroba berspektrum sempit yaitu benzil penisilin dan sterepsomisin, dam spectrum luas seperti tetrasiklin dan kloronfenikol dan batas antara kedua spectrum ini kadang tidak jelas. Antimikroba berspektrum luas cenderung menimbulkan superinfeksi oleh kuman atau jamur yang resisten. Dilain pihak pada septekimia yang penyebabnya belum diketahui diperlukan antimikroba yang bespektrum luas sementara menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik.

2.2 Mekanisme Kerja Antimikroba Pemahaman mengenai mekanisme kerja akan membantu klinisi dalam memilih kombinasi AM yang tepat. Seyogyanyakombinasi AM yang mekanisme kerjanya sama. Beberapa mekanisme kerja AM ialah sebagai berikut:

3

1. Menghambat sintesis dinding sel kuman: berbeda dengan sel mamalia yang tidak mempunyai dinding sel, kuman harus mempunyai dinding sel yang kokoh untuk mencegah pecahnya sel kuman akibat tekanan osmotic intraseluler yang tinggi. AM yang kerjanya menghambat proses sintesis dinding sel (misalnya golongan betalaktam) menyebabkan kematian kuman akibat lisis. AM golongan ini tidak bermanfaat untuk mengatasi infeksi oleh beberapa kuman tertentu yang tidak mempunyai dinding sel, misalnya Mycoplasma pneumonia atau dinding selnya tidak mempunyai peptidoglikan (misalnya Chlamydia). 2. Merusak membrane sel

kuman: antibiotika golongan polien (mis. nistatin,

amfoterisin B), anti jamur golongan azol (mis. flukonazol, ketokonazol), dan golongan polimiksin (mis. kolistin, polimiksin B) merusak membrane sel kuman sehingga beberapa zat intraseluler yang penting lolos keluar dan menyebabkan kematian sel. 3. Menghambat sintesi protein: beberapa jenis antibiotic kmasuk kesel kuman dan menghambat sintesis proteinnya di tingkat ribosom sehingga pemanjangan rantai polipeptida terhenti. Ada yang bersifat bakteriostatik (mis. golongan tetrasiklin, kloramfenikol, makrolid), tetapi ada juga yang bersifat bakterisidal (mis.golongan aminoglikosida). 4. Menghambat metabolisme asam nukleat: beberapa AM bekerja secara langsung dengan merusak sistem replikasi dan perbaikan (repair) DNA (misalnya kuinolon dan metronidazol) atau RNA (mis. rifampisin). Ada juga yang bekerja secara tidak langsung, yaitu dengan menghambat sintesis asam nukleat (mis. Sulfonamiddan trimethoprim).

4

2.3 Golongan- golongan Antimikroba 1.) Penisilin

Aktivitas dan Mekanisme kerjanya : Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Terdapat mikroba yang sensitif, penisilin akan mengasilkan bakterisid. Mekanisme kerja antibiotic betalaktam sebagai berikut : 1. Obat bergabung dengan penicillin-binding protein (PBPs) pada kuman. 2. Terjadi hambatatesis dinsing sel kuman karena proses transpeptidasi antar rantai peptidoglikaso terganggu. 3. Kemudian terjadi aktivitas enzim proteolitik pada dinding sel. Diantara semua penisilin, Penisilin G mempunyai aktivitas terbaik terhadap kuman Gram-posotif yang sensitive. Kelompok ampisilin, walaupun spektrm AM-nya lebar, aktivitasnya terhadapat mikroba Gram positif tidak sekuat penisilin G, tetapi efektif terhadap beberapa mikroba gram-negatif dan tahan asam, sehingga dapat diberikan di oral. Mekanisme resistensi terhadap penisilin : Sejak penisilin mulai di gunakan, jenis mikroba yang tadiyna sensitive makin banyak yang menjadi resistensi. Mekanisme resistensi terhadap penisilin ialah : 1. Pembentukan enzim betalaktamase misalnya pada kuman S.aureus, H.influenzae, gonokokus dan berbagai batang Gram-negatif. Dewasa ini dikenal lebih dari 50 jenis betalaktamase. Pda umumnya kuman Gram-posotif mensekresi betaktamase ekstraseluler dalam jumlah relatif besar. Kuman Gram-negatif hanya sedikit mensekresi keluar betalaktamase tetapi tempatnya strategis, yaitu di rongga periplasmik di antara membram sitoplasma dan dinding se kuman. Kebanyakan jenis betaktamase dihasilkan oleh kuman melalui kendali genetic oleh plasmid : 2. Enzim autolysin kuman tidak bekerja sehingga timbul sifat toleran kuman terhadap obat. 3. Kuman tidak mempunyai dinding sel (misalnya mikoplasma) 4. Perubahan PBP atau obat tidak dapat mencapai PBP. 5

Adapun bagian dari Penisilin : a. Penisilin G Pensilin G (benzil penisilin) digunakan secara parenteral. Sediaan terdapat dalam bentuk pensilin G larut air dan lepas lambat untuk suntik-suntik am-IM. Bubuk pensilin G larut air biasanya terdapatsebagai garam natrium atau kalium dalam vial (atau ampul), berisi 200 ribu sampai 20 juta unit dalam bentuk bubuk. Larutan disedakan dengan penambahan suatu pelarut (akuades, larutan garam fisiologik, atau dekstrosa 5%), sehingga didapat kadar 100.000-300.000 unit per mL. Kedua garam pensilin yang larut dalam air ini dapat digunakan untuk suntikan SK, IM, IV atau intratekal. Pensilin G mempunyai masa kera yang singkat, dan injeksi intramuskularnya menimbulkan rasa nyeri akibat larutan obat dalam air. Oleh karena itu, pensilin dengan masa kerja yang lebih panjang, prokain pensilin (berwarna seperti susu) dihasilkan untuk memperpanjang aktivitasnya. Prokain dalam pensilin mengurangi nyeri akibat injeksi dari pengobatan ini.

b. Penisilin V Penisilin V merupakan tipe penisilin yang diproduksi selanjutnya. Meskipun dua petiga dari dosis oralnya diabsorpsi oleh saluran gastrointestinal, tetapi obat ini merupakan antibacterial yang sedikit kurang kuat dibandingkan dengan penisilin G. Penisilin V efektif melawan infeksi yang ringan sampai sedang. Mula-mula, penisilin dipakai secara berlebihan. Obat ini pertama kali diperkenalkan untuk pengobatan infeksi stafilokokus, tetapi bebrapa tahun kemudian, berkembang starinmutan dari stafilokokus yang resisten terhadap penisilin G dan V. Selain itu, stafilokokus mensekresi enzim bakteri, penisilinase, yang merusak penisilin, sehingga menjadi tidak efektif. Ini mendorong dikembangkannya antibiotic baru yang berspektrum luas dengan struktur serupa dengan penisilin untuk mengatasi infeksi yang resistensi terhadap penisilin G dan V.

6

c. Penisilin Isoksazolil Terdapat sebagai sediaan oral (garam natrium) dalam bentuk daalm bentuk tablet, kapsul 125 mg, 250mg dan 500mg, suspensi 62,5 mg/ml dan 125 mg/5 mg, bubuk kering 62,5 mg dan untuk pemberian parenteral juga sebagai garam natrium dalam vial 250 mg, 500 mg dan 1 gr. Yang dipasarkan di Indonesia adalah kloksasilin, dikloksasilin, dan flukloksasilin. Dosis oksasilin, kloksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin adalah 4-6 x 250-500 mg/kg BB sehari (anak 50-100 mg/kg BB/hari). Untuk infeksi berat diberikan 8-12 g/hari dengan infus intermiten.

d. Ampisilin Untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk tablet atau kapsul sebagai ampisilin trihidrat atau ampisilin anhidrat 125 mg, 500 mg dan 1000 mg sedangkan untuk bubuk suspensi sirup mengandung 125 mg atau 500 mg/ml. selain itu, ampisilin tersedia juga untuk suntikan 0,1; 0,25; 0,5; dan 1 g per vial. Dosis ampisilin tergantung dari beratnya penyakit, fungsi ginjal dan umur pasien. Garis besar penetuan dosis ialah sebagai berikut: dewasa, penyakit ringan sampai sedang diberikan 2-4 g sehari, dibagi untuk 4 kali pemberian; untuk penyakit berat sebaiknya diberikan preparat parenteral sebanyak 4-8 g sehari. Pada meningitis bahkan dibutuhkan dosis lebih tinggi lagi. Untuk anak dengan berat badan kurang dari 20 kg diberikan per oral: 50-100 mg/kg BB sehari yang dibagi dalam 4 dosis; IM: 100-200 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam 4 dosis, bayi berumur kurang dari 7 hari diberi 50 mg/kgBB sehari dalam 2 dosis, bayi berumur lebih dari 7 haridiberi 75 mg/kgBB sehari diabgi dalam 3 dosis. Untuk meningitis, diberikan 150-250 mg/kgBB sehari dibagi dalam 6-8 dosis.

7

e. Amoksisilin Amoksisilin tersedia sebagai kapsul atau tablet berukuran 125, 250 dan 500 mg dan sirup 125mg/5mL. Dosis sehari dapat diberikan lebih kecil daripada ampisilin karena absorpsinya lebih baik daripada ampisilin yaitu 3 kali 250-500 mg sehari.

f. Karbenisilin Karbenisilin tersedia untuk suntikan sebagai garam natrium dalam vial 1,2,5 dan 10 g. Pada infeksi berat dosis dewasa berkisar 25-3g sehari,beberapa pasien bahkan pernah diberi 35-40 g sehari. Pemberian IV sebaiknya tidak melebihi 2-2,5 g setiap dua jam. Bayi muda dengan infeksi berat dosis hariannya dapat sampai setinggi 600-800 mg/kgBB. Pada gangguan faal ginjal berat, dosis tidak boleh melebihi 2 g untuk setiap 8-12 jam. Pada saat ini karbenisili tidak dapat dipasarkan di Indonesia.

g. Tikarsilin Suatu karboksipenisilin yang tidak diabsorpsi melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan secara parenteral (IV dan IM). Spectrum aktivitas antibakterinya terhadap bakteri Gram-negatif lebih luas dari aminopenisilin, termasuk terhadap P. aeruginosa dan B. fragilis.

h. Azlosilin, mezlosilin, piperasilin Obat-obat ini tergolong ureidopenisilin yang diindikasikan untuk infeksi berat oleh kuman Gram-negatif, termaksuk di antaranya P. aeruginosa, Proteus indo positif dan enterobakter. Ketiganya lebih poten daripada karbenisilin terhadap kuman Gram-negatif. Piperasilin biasanya dikombinasikan dengan tazobaktam (suatu inhibitor betalaktamase).

8

Penggunaan Klinik Penisilin : Infeksi Kokus Gram-Positif 1. Pneumonia Dosi penisilin G prokain 0,6 juta unit setiap 12 selama 7-10 hari biasanya sudah mencukupi untuk kasus-kasus tanpa komplikasi. Penisilin V oral dan penisilin semisintetik tidak digunakan pada penyakit ini.

2. Meningitis Penisilin sangat mengurangi mortalitas meningitis oleh pneumokokus. Dosis yang di anjurkan ialah 20-24 juta unit penisilin G sehari dapat diberikan dengan tetesan atau bolus IV tiap 2-3 jam. Lama pengobatan sekitar 14 hari.

3. Endokarditis Endokarditis oleh pneumokokus (jarang dijumpai ) memerlukan penisilin G 12-20 juta unit sehari.

4. Lain-lain Berbagai pneumokokus memerlukan dosis penisilin yang lebih tinggi daripada dosis untuk penyakit-penyakit, bahkan sampai 10-20 juta unit sehari. Dasar pertimbangan dosis tinggi ialah kesulitan penetrasi obat ini ke dalam eksufdat purulenta yang kadar fibrinya cukup tinggi. Untuk lebih mudah mencapai kadar yang tinggi dalam darah dan jaringan digunakan larutan penisilin G parenteral.

Infeksi Kokus Gram-Negatif

1. Infeksi Meningokokus Penisilin G merupakan obat terpilih, karena sangat efektif tidak saja terhadap menginitis dan meningokoksemia tetapi juga untuk artritis supuratifdan endokarditis akut oleh menigokokus. Dosisnya adlah 2 juta unit IV setiap 2 jam. Terapi diberikan 9

selama 12-14 hari. Untuk yang resistensi terhadap penisilin , alternative yang efektif adalah kloramfenikol 1 g diberikan 4 kali sehari. Penisilin G tidak efektif untuk menghilangkan status kuman Carrier state.

2. Infeksi Gonokokus Karena meningkatnya resistensi penisilin G dewasa ini tidak lagi dianggap obat terpilih untuk gonore.

3. Sifilis Penisilin G merupakan obat yang sangat efektif, aman dan murah untuk sifilis. Cara penggunaannya sangat sederhana penyembuhannya mudah dan cepat untuk mengendalikan penyakit sifilis, khususnya dengan penisilin G terhadap beberapa regimen terapi.

4. Aktinomikosis Penisilin G merupakan obat terpilih untuk semua bentuk klinik aktinomikosis. Dosis yang dianjurkan bervariasi dari 12-20 juta unit IV sehari, selama 6 minggu, diteruskan dengan terapi oral penisilin V 500 mg empat kali sehari untuk 2-3 bulan berikutnya. Untuk mendapatkan penyembuhan, diperlukan penyingkiran jaringan yang rusak dengan surgical drainage.

Infeksi Batang Gram- Positif 1. Difteria Antitoksin sangat diperlukan untuk mengurangi insidens komplikasi dan mepercepat penyembuhan penyakit. Penisilin G digunakan hanya untuk mengatasi status pembawaan basil akut maupun kronik. Penisilin G prokain 2-3 juta unit sehari yang diberikan sebagai dosisi tunggal atau terbagi selama 10-12 juta hari, memberikan hasil terapi sangat memuaskan. Bagi mereka yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin. 10

2. Klostridia Penisilin G merupakan obat terpilih untuk terapi gangrene gas dan tetanus; dosisnya 12-20 juta unit sehari selama 2 minggu. Untuk mendapatkan hasil terapi yang memuaskan diperlukan penyingkiran jaringan rusak dan pada tetanus perlu ditambah toksoid tetanus dan immunoglobulin tetanus (ATS) sebab penisilin G hanya tertuju untuk pembasmian mikroba vegetative saja.

3. Antraks Penisilin G terpilih untuk semua bentuk klinik infeksi antraks. Dosis 5-10 juta unit sehari terbagi untuk beberapa kali suntikan, diberikan selama 2 minggu. Bberapa turunan B. Anthracis telah resisten terdapat penisilin G.

4. Listeria Penisilin G parental dengan dosis 15-20 juta unit sehari diberikan sedikitnya 2 minggu pada meningitis, dan 4 minggu pada endokarditis. Dosis setinggi ini khususnya diperlukan untuk meonatus dan individu dengan defisiensi imunologik, dan terapi perlu sedini mungkin. Ampisin juga cukup efektif.

Efek Samping dari Penisilin : Efek samping dari penisilin alam maupun sintetik dapat terjadi pada semua cara pemberian, dapat I melibatkan berbagai jaringan dan organ secara terpisah maupun bersama-sama dan dapat muncul dalam bentuk yang ringan sampai fatal. Frekuensi kejadian efek samping bervariasi, tergantung dari sedian dan cara pemberian. Pada umumnya pemberian oral lebih jarang menimbulkan efek samping daripada pemberian parenteral. Adapun efek sampingnya sebagai berikut : 1. Reaksi Alergi reaksi alergi merupakan bentuk efek samping yang dijumpai pada golongan penisilin bahkan penisilin G khususnya merupan salah satu obat yang sering menimbulkan reaksi alergi. Namun mereka yang belum pernah diobati dengan 11

penisilin dapat jugs mengalami reaksi alergi. Dalam hal ini diduga sensitisasi terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh penisilin (misalnya makanan asal hewan atau jamur) 2. Reaksi Toksik dan iritasi local Pada manusia penisilin umumnya tidak toksik. Banyak di antara toksis terjadi berdasarkan sifat iritatif penisilin dalam kadar tinggi. Batas dosis tetinggi penisilin yang dapat diberikan secara aman belum dapat dipastikan. Secara aman belum dapat di pastikan. Pada pasien tertentu kandungan natrium yang sediaan ini mungkin menyebabakn gangguan keseimbangan elektrolit. Hanya sebagian kecil kemerahan kulit oleh ampisilin berdasarkan reaksi alergi dan disini pemberian ampisilin harus di hentikan. Namun sebagian besar kemerahan kulit diperkirakan karena toksik. Kemerahan ini bersifat difusi, tidak gatal, berbentuk makulo popular dan bersifat nonurtikarial. Kemerahan kulit ini sering timbul efek 710 hari setelah dimulainya terapi dan menghilang sendiri walaupun pemberian ampisilin diteruskan. Efek samping ini sering timbul bila ampisilin diberikan kepada pasien infeksi virus misalnya mononucleosis infeksiosa. Jadi sebaiknya penisilin tidak diberikan pada pasien dengan mononucleosis.

3. Perubahan Biologik Perubahan biologik oleh penisilin terjadi akibat gangguan flora bakteri di berbagai bagian tubuh. Abses dapat terjadi pada tempat suntikan dengan penyebab stafilokokus atau bakteri ram negatif. Gejala pellagra, terutama pada daerah selangkang dan skrotum mungkin berhubungan dengan gangguan flora usus yang mengakibatkan defisiensi asam nikotinad. 2.) Sefalosporin

Sefalosporin berasal dari fungus Cephalosporium acremonium yang disolasi pada tahun 1948 oleh Brotzu. Inti dasar Sefalosporin C ialah asam 7 amino Sefalosporanat (7-ACA : 7 aminocephalosporanic acid) yang merupakan kompleks 12

cincin dihidrotiazin dan cincin betalaktam. Sefalosporin C resisten terhadap penisilinase, tetapi dirusak oleh sefalosporinase. Hidrolisis asam sefalosporin C menghasilkan 7-ACA yang kemudian dapat dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotic sefalosporin. Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi berdasarkan aktivitas antimikrobanya yang secara tidak langsung juga sesuai dengan urutan masa pembuatannya.Dewasa ini sefalosforin yang lazim digunakan dalam pengobatan, telah mencapai generasi keempat. Mekanisme Kerja Sefalosporin : Seperti halnya antibiotic betalaktam lain, mekanisme kerja antimikroba sefalosforin ialah menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat ialah reaksi transpeptidase tahap ketiga kedalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Sefaslosporin aktif terhadap kuman Gram-positif maupun Gram-negatif, tetapi spectrum antimikroba masing-masing derivate bervariasi.

1. Sefalosporin Generasi Pertaman (SG I)

In vitro, sefalosporin generasi pertama memperlihatkan spectrum antimikroba yang terutama aktif terhadap kuman Gram-positif.Keunggulannya dari penisilin ialah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase.Golongan ini efektif terhadap sebagian besar S.aureus dan streptococcus termasuk S.pygones, S.virinadsdan S.pneumoniae. Aktivitas antimikroba berbagai jenis sefalosporin generasi pertama sama satu dengan yang lain,hanya sefalotin sedikit lebih aktif terhadap S.aureus.

2. Sefalosporin Generasi Kedua (SG II) Golongan ini kurang aktif terhadapbakteri Gram-positif dibandingkan dengangenerasi pertama, tetapi lebih aktif tehadap kuman Gram negative misalnya H. influenza, P.mirabilis,E.coli dan Klebsiella.Terhadap P.aeruginosa dan enterokokus

13

golongan ini tidak efektif.Untuk infeksi saluran empedu golongan ini tidak dianjurkan karena di khwatirkan enterokokus termasuk salah satu penyebab infeksi.Sefoksitin aktif terhadap kuman anaerob.

3. Sefalosporin Generasi Ketiga (SG III) Golonganini umunya kurang aktif dibandingkan generasi pertama terhadap kokum gra-positif, tetapi jauh lebh aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase.Seftazidim dan sefoperazon aktif terhadap P.aeruginosa.

4. Sefalosporin Generasi Keempat (SG IV) Antibiotik golongan ini (misalnya sefapim sefpirom) mempunyai spectrum aktivitas lebih luas dari generasi ketiga dan lebih stabil terhadap hidrolisis oleh betalaktamase.Antibiotika tersebut dapat digunakan untuk mengatasi infeksi kuman yang resisten terhadap generasi ketiga.

14

Efek Samping Sefalosporin : Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip dengan reaksi alergi yang ditimbulakan oleh penisilin.Reaksi menddak yaitu anafilaksis dengan spasme brionkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang umumnya terjadi pada pasien dengan penisin yang berat, sedangkan pada alergi penisilin ringan atau sedang kemungkinannya kecil. Dengan demikian pada pasien alergi penisilin berat, tidak dianjurkan penggunaan sefalosporin atau kalau sangat diperlukan harus diawasi dengan sungguh-sungguh.Reaksi Coomb sering timbul pada penggunaan

sefalosporin

dosis

tinggi.Depresi

sumsum

tulang

terutama

granulositopenia dapat timbul mekipun jarang. Sefolosporin bersifat nefrotoksik, meskipun jauh lebih ringan dibandingkan dengan aminoglokosida dan polimiksin.Nekrosis ginjal dapat terjadi pada pemberian sefaloridin 4 g/hari (obat ini tidak beredar di Indonesia). Sefalosporin lain pada dosis terapi jauh korang toksik dibandingkan dengan sefaloridin. Kombinasi sefalosporin dengan gentamisin atau tobramisin mempermudah terjadinya nefrotoksisitas.

3.) Antibiotika betalaktam lainnya Dewasa ini telah dikembangkan antibiotic betalaktam lain yang tidak golongan penisilin maupun sefalosforin.

Karbapenem Karbapenem merupakan betalaktam yang struktur kimianya berbeda dengan penisilin dan sefalosporin.Golongan obat ini mempunyai spectrum yang lebih luas. Karbapenem di bagi menjadi beberapa bagian : 1. Impenem Impenem suatu turunan tienamisin, merupakan karbapenem pertama yang digunakan dalam pengobatan. Impenem mengandung cincin betalaktam dan cincin lima segi tanpa atom sulfur. Oleh enzim dehidropeptidase yang terdapat pada brush border tubuli ginjal, obat ini dimetabolisme menjadi metabolic yang nefrotoksik. 15

Hanya sedikit yang terdeksi dalam bentuk asal di urin.Silastatin, penghambat dehidropeptidase-1, tidak beraktivitas antibakteri. Bila diberikan bersama imipenem dalam perbandingan sama, silastatin akan meningkat kadar imipenem aktif dalam urin dan mencegah efek toksinya terhadap ginjal. 2. Meropenem Berbeda dengan impenem, obat ini tidak dirusak oleh enzim dipeptidase di tubuli ginjal, sehingga tidak perlu dikombinasikan dengan silastatin. Secara umum efek toksisnya sama dengan impenem,hanya obat ini dilaporkan kurang menyebabnya kejang. Spektrum aktivitas invitro dan efek kliniknya sebanding dengan impenem. Moropenem dewasa ini digunakan sangat sering sehingga mulai timbul resistensi kuman terhadapnya. 3. Doripenem Spektrum antimikroba doripenem luas hampir serupa dengan morepenem, kuman yang telsh resisten terhadap morepenem mungkin sensitive terhadap doripenem, mungkin juga tidak. Resistensikuman terhadap obat ini dapat terjadi melalui 3 mekanisme

yaitu

kuman

mengubah

penicillin-binding

proteinnya

atau

mengurangi permeabilitas membran sel.

4.) Tetrasiklin Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertma ditemukan ialah klortetrasiklin yang

dihasilkan

oleh

Stereptomyces

aureofaciens.Kemudian

ditemukan

oksitetrasiklin dari Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri di buat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi jiga dapat diperoleh dari spesies Streptomyces lain. Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk garam natrium atau garam HCL-nya mudah larut.Dalam keadaan kering, bentuk basa dan garam HCL tetrasiklin bersifat relative stabil.Dalam larutan, kebanyakan tetrasiklin sangat labil sehingga cepat berkurang potensinya.

16

Spektrum Antimikroba : Tetrasiklin memperlihatkan spektum antibakteri luas yang meliputi kuman Gram-positif dan negative,aerobic dan anaerobic.Selain itu ia juga aktif terhadap spiroket , mikoplasma, riketsia, klamidia,legionella, dan protozoa tertentu.Spektrum golongan tetrasiklin umumnya sama sebab mekanisme kerjanya sama, namun terdapat perbedaan kuantitatif dari aktifitas masing-masing derivate terhadap kuman tertentu. Tetrasiklin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin dalam pengobatannya infeksi batang Gram-positif seperti B.anthracis, Erysipelothrix rhusiophatiae, Clostridium tetani dan Listeria monocytogenes.Tetrasilin juga merupakan obat yang sangat efektif untuk infeksi Mycoplasma pneumonia, Ureaplasma urealyticum, Chlasmydia trachomatis, Chlasmydia psittaci dan bebagai riketsia. Penggunaan Klinik Karena penggunaan yang berlebihan , dewasa ini terjadi resistensi yang mengurangi efektivitas tetrasiklin. Penyakit yang obat pilihannya golongan tetrasiklin ialah : 1. Riketsiosis Perbaikan

yang

dramatis

tampak

setelah

pemberiangolongan

tetrasiklin.Demam mereda dalam 1-3 hari dan ruas kulit menghilang dalm 5 hari. Perbaikan klinis yang nyata telah tampak 24 jam setelah terapi dimulai.

2. Infeksi Klamidia Untuk penyakit ini, golomgan tetrasiklin merupakanobat pilihan utama.Pada infeksi akut diberikan terapi selama 3-4 minggu dan untuk keadaan kronis diberikan terapi 1-2 bulan.Empat hari setelah terapi diberikan bubo mulai mengecil.

3. Infeksi Mycoplasma Pneumoniae Pneumoniae primer atipik yang disebabkan oleh mikroba ini dapat diatasi dengan pemberian golongan tetrasiklin.Walaupun penyembuhan Klinis cepat dicapai

17

Mycoplasma Pneumoniae mungkin tetap terdapat dalam sputum setelah obat dihentikan.

4. Infeksi Kokus Golongan tetrasiklin sekarang tidak lagi diindikasikan untuk infeksi stafilokokus maupun streptokokus karena sering dijumpai resistensi. Tigesiklin efektif untuk infeksi kulit dan jaringan lunak oleh streptokokus dan stafilokokus (termasuk MRSA)

Efek Samping Tetrasikin Efek samping yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu reaksi kepekaan, reaksi toksik dan iritatif serta reaksi yang timbul akibat perubahan bioogik. 1. Reaksi Kepekaan Reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin ialah erupsi mobiliformis, urtikaria dan dermatitis eksfoliatif.Reaksi yang lebih hebat ialah edema angioneurotik dan reaksi anafilaksis.Demam dan eosinophilia dapat pula terjadi pada waktu terapi berlangsung.Sensitisasi silang antara berbagai derivate tetrasiklin sering terjadi.

2. Reaksi Toksik dan Iritatif Iritasi lambung paling sering terjadi pada pemberian tetrasiklin per oral, terutama dengan oksitetrasiklin dan doksisiklin.Makin besar dosis yang diberikan, makin sering terjadi reaksi ini. Keadaan ini dapat diatasi dengan mengurangi dosis untuk sementara waktu atau memberikan golongan tetrasiklin bersama dengan makanan, tetapi jangan dengan susu atau antacid yang mengandung aluminium, magnesium atau kalsium. Diare seringkali timbul akibat iritasi dan harus dibedakan

18

dengan diare akibat superinfeksi stafilokokus atau Clostridium difficlie yang sangat berbahaya.

3. Efek Samping Akibat Perubahan Biologik Seperti antibiotic lain yang berspektrum luas, pemberian golongan tetrasiklin kadang-kadang diikuti oleh terjadinya superinfeksi oleh kuman resistensi dan jamur.Superinfeksi kandida biasanya terjadi dalam rongga mulut, faring, bahkan kadang-kadang menyebabkan infeksi sitemik.Faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya superinfeksi ini ialah diabetes mellitus, leukemia, lupus eritematosus diseminata, daya tahan tubuh yang lemah dan pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid dalam waktu lama. Salah satu manifestasi superinfeksi ialah diare akibat terganggunya keseimbangan flora norma dalam usus. Dikenal 3 jenis diare akibat superinfeksi dalam saluran cerna sehubungan dengan pemberian golongan tetrasiklin.

19

5.) Klomfenikol

Kloramfenikol merupakankristal putih yang sukar dalam air (1:4000) dan rasanya sangat pahit.

EfekAntimikroba Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Efek toksik kloramfenikol pada system hemopoetik sel mamalia diduga berhubungan dengan mekanisme kerja obat ini. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu. Spectrum antibakteri kloramfenikol meliputi D. pneumonia, S. pyogenes, S. viridans, Neisseria, Haemophilus, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella, P. multocida, C. diphtheria, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema dan kebanyakan kuman anaerob.

Resistensi. Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh

asetil transferase yang diperantarai oleh faktor R. Resistensi terhadap P.

aeruginosa, Proteus dan Klebsiella terjadi karena perubahan permeabilitas membrane yang mengurangi masuknya obat kedalam sel bakteri. Beberapa strain D. pneumonia, H. influenza, dan N. meningitides bersifarresisten; S. aureusumumnya sensitive, sedang Enterobactericeace banyak yang telah resisten.Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E. coli, K. pneumonia dan P. mirabilis, kebanyakan strain Serratia, Providenciadan Proteus rettgeriiresisten, jugakebanyakan P. aeruginosadan strain tertentu S. typhi.

20

Penggunaan Klinik Banyak perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya obat ini hanya digunakan untuk mengobati demam tifoid dan meningitis oleh H.influenza, Infeksi lain sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba lain yang lebih aman dan efektif. Kloramfenikol dikontrain dikasikan untuk neonates, pasien dengan gangguan faal hati dan pasien hipertensi terhadapnya. Bila terpaksa diberikan neonates, dosisnya jangan melebihi 25 mg/kgBBsehari.

2.4 Penggunaan Antibiotik

a. Spektrum luas versus sempit Banyak klinis cenderung menggunakan AM berspektrum luas dengan harapan dapat menyembuhkan infeksi yang etiologinya tidak diketahui atau pola kepekaannya tidak diketahui. Pendapat ini hanya dibenarkan untuk infeksi yang sifatnya mengancam jiwa misalnya sepsis dan merupakan terapi awal ketika hasil biakan dan uji kepekaan belum diperoleh (terapi empiris). Dalam hal ini harus dilanjutkan dengan terapi de-eskalasi, dimana pemberian AM empiris ini kemudian diganti dengan terapi definitif sesuai dengan hasil pemeriksaan biakan. Bila hasil uji kepekaan kemudian menunjukkan ada beberapa pilihan AM yang efektif menghambat kuman yang menjadi penyebab infeksi, maka selalu yang harus dipilih ialah AM berspektrum sempit. Penggunaan AM berspektrum luas, terutama dalam waktu lama, mengganggu keseimbangan ekologi kuman dalam tubuh pasien. Banyaknya spesies kuman yang terhambat oleh AM berspektrum luas akan menguntungkan beberapa spesies kuman yang residen sehingga mereka dapat tumbuh baik karena tidak mempunyai pesaing lagi. Keadaan ini bukan saja membahayakan bagi pasien yang bersangkutan, tetapi juga lingkungannya karena ia menjadi sumber penyebaran kuman resisten. Contoh yang jelas terlihat di Intensive Care Unit (ICU). Disini sering diberikan AM 21

berspektrum luas jangka lama. Kuman yang diisolasi dari ICU sering merupakan kuman yang resisten terhadap banyak AM. b.Biakan dan uji kepekaan kuman

Pemeriksaan uji Pemeriksaan uji kepekaan kuman in vitro memberikan petunjuk yang berharga untuk memilih AM yang efektif untuk menghambat pertumbuhan kuman, namun perlu diingat bahwa pemeriksaan ini mempunyai keterbatasan sebagai berikut : 1. Uji in vitro dapat menemukan adanya kumn tertentu di lokasi tubuh tertentu, tetapi tidak dapat membedakan apakah kuman ini penyebab infeksi atau sekedar kuman penghuni (colonizer). Pasien hanya perlu diberi AM bila kuman itu penyebab infeksi, tetapi tidak bila ia sekedar colonizer. 2. Beberapa kuman dikenal sering memberi gambaran peka secara in vitro terhadap AM tertentu, tapi secara klinis tidak demikian. Contoh : secara in vitro strepotokokus mungkin dinyatakan sensitif terhadap gentamisin tapi tidak secara in vivo. Demikian pula untuk H. influenza yang dinyatakan sensitif in vitro terhadap penisilin. 3. Uji kepekaan in vitro tergantung dari jenis mikroba, metodologi, dan kadar AM. Biasanya hasil pengukuran in vitro ini diatur sedemikian rupa dengan mengandaikan kuman ada dalam darah dan terpajan dengan AM dengan kadar yang tercapai dalam darah setelah mendapat dosis AM yang lazim. Namun pada bagian atau cairan tubuh tertentu (misalnya urin) kadar AM yang tercapai bisa jauh lebih tinggi dari yang tercapai dalam darah sehingga dapat memberi hasil pengobatan yang baik walaupun secara in vitro dinyatakan kuman “resisten” terhadap AM tertentu. Sebaliknya dalam likuor serebrospinal, atau di prostat, kadar AM biasanya jauh lebih rendah dari pada yang tercapai dalam darah sehingga diperoleh hasil “sensirtif” semu.

22

c. Lama pemberian antimikroba Kebanyakan infeksi

bakterial akut memerlukan pengobatan dengan AM

selama 5-10 hari. Namun ada beberapa infeksi yang hanya memerlukan pengobatan dosis tunggal, misalnya pengobatan untuk urethritis gonore akut tanpa komplikasi. Sebaliknya ada beberapa infeksi yang harus diobati beberapa minggu sampai beberapa bulan (misalnya endocarditis bacterial, osteomyelitis, tubekulosis paru, lepra) atau bahkan mungkin seumur hidup (misalnya HIV, infeksi sitomegalovirus). Bila penggunaan AM sudah salah sejak awal, maka tidak perlu meneruskannya sampai lima hari untuk mencegah timbulnya resistensi. Sebagai contoh pasien yang sudah terlanjur diberi AM selama dua hari untuk influenza, tidak perlu meneruskannya untuk lima hari baru dihentikan. Dalam hal ini, makin cepat pemberian AM dihentikan makin baik karena indikasi pemberiannya sudah salah sejak awal. Pada dasarnya makin lama pemberian AM, makin besar kemungkinan terjadi resistensi kuman karena terjadi tekanan selektif (selective pressure) terhadap populasi kuman. Karena itu pemberian AM berkepanjangan yang tidak mempunyai dasar evidence-based harus dihindarkan. Pada kebanyakan infeksi, jarang diperlukan pengobatan dengan AM yang melebihi dua minggu, walaupun masih ada demam ringan. Pemberian AM berkepanjangan tanpa dasar ilmiah bukan saja tidak memberi manfaat bagi pasien, tetapi juga meningkatkan efek samping, interaksi obat, biaya, resistensi, dan superinfeksi.

2.5 Masalah Resistensi Penyebaran kuman resisten menimbulkan masalah besar dewasa ini. Menurut riwayat terjadinya, resistensi terhadap AM dapat terjadi sebagai berikut : 1.

Resistensi yang terjadi secara alamiah (natural) : di sini bakteri memang

sudah resisten sejak awal mula. Misalnya kuman anaerobik fakultatif resisten secara alamiah terhadap metronidazol karena tidak mempunyai kemampuan mereduksi gugus nitro pada obat tersebut sehingga tidak dapat menjadi aktif.

23

2. Mutasi : dalam suatu populasi kuman, mutasi terjadi secara spontan (tanpa paparan terhadap AM apa pun) dengan frekuensi sekitar satu per 108. Mutan resisten ini tidak menimbulkan masalah karena jumlahnya kecil sekali dibandingkan dengan kuman yang tidak bermutasi (wild type). Namun bila ada paparan terhadap AM dalam waktu yang lama, maka terjadi tekanan selektif (selective pressure) yang mematikan kuman yang sensitive. Mutan yang resisten lalu berkembang mengisi kekosongan ekologi yang terjadi akibat kematian kuman yang peka. Semua penggunaan AM yang terlalu sering dan lama, baik yang rasional maupun irasional, akan menyebabkan terjadinya tekanan selektif ini. Karena itu sangat penting upaya mengurangi penggunaan AM yang irasional untuk mengurangi kemungkinan terjadinya tekanan selektif ini. 3. Tranmisi gen antar kuman : materi genetic (mis. Plamid, suatu DNA estra kromosomal) yang dapat membuat enzim perusak kuman dapat dipindahkan antara kuman. Yang sering terjadi ialah pemindahan plasmid untuk membuat enzim betalaktamase dan yang merusak aminoglikosida. Menurut mekanismenya, kuman menjadi resisten terhadap AM dengan cara berikut : 1.

Menghasilkan enzim yang merusak AM : misalnya enzim yang mampu merusak aminoglikosida

2.

Mengubah target site : kuman tertentu dapat mengubah sedemikian tempat ikatan obat sedemikian rupa sehingga AM yang masuk ke dalam sel kuman tidak lagi mampu berikatan dengan reseptor itu. Misalnya kuman Methicillin resistant S. aureus (MRSA)resisten terhadap banyak antibiotik betalaktam bukan dengam cara menghasilkan enzim betalaktamase, tetapi dengan mengubah Penicillin Binding Protein (PBP)-nya.

3.

Mengubah jalur metabolisme : beberapa jenis kuman menjadi resisten terhadap sulfonamide karena menggunakan asam folat yang tersedia di lingkungannya. Kuman-kuman ini tidak lagi mensintesis asam folat dengan menggunakan bahan baku PABA (para amino benzoic acid), dan demikian tidak dapat lagi dihambat dengan sulfonamid yang merupakan analog PABA. 24

4.

Memompa keluar AM berhasil masuk ke dalam sel (efflux) : pompa efflux ini bisa bekerja untuk banyak AM (multiple drug resistance, MDR) atau hanya satu AM. Mekanisme ini dijumpai pada banyak kuman, antara lain C.jejuni, E.coli, dan P.aeruginosa.

2.6 Kegagalan Terapi Keberhasilan pengobatan suatu infeksi tergantung 3 faktor yaitu kuman, AM, dan pejamu (host). Factor yang terakhir sering dilupakan orang sehingga dianggap bahwa keberhasilan pengobatan hanya tergantung dari interaksi antara AM dengan kuman. Akibat adanya banyak factor yang dapat menyebabkan kegagalan terapi AM. Beberapa penyebab kegagalan terapi AM ialah : 1.

Kuman peka secara in vitro tetapi tidak peka secara in vivo.

2.

Terjadi toleransi pada kokus gram positif

3.

Spectrum AM yang tidak sesuai

4.

Kadar AM dalam darah yang terlalu rendah

5.

Kadar AM dalam jaringan yang terlalu rendah

6.

Abses yang tidak diinsisi

7.

Adanya benda asing

8.

Inaktivasi AM

9.

Berkurangnya aktivitas AM di jaringan

10.

Superinfeksi oleh jamur

11.

Mengobati kolonisasi, bukan infeksi

12.

Mengobati penyakit non-infeksi (misalnya demam obat, lupus eritematosus sistemik)

13.

Mengobati penyakit infeksi yang tidak responsive terhadap AM

14.

Daya tahan host yang buruk

25

2.7 Efek Samping Banyak klinikus menganggap AM tergolong obat yang aman sehingga dalam penggunaannya tidak perlu dikhawatirkan timbulnya efek samping. Pendapat ini tidak benar karena bila diperhatikan dengan teliti, ada cukup banyak efek samping dan efek toksik yang dapat timbul akibat penggunaan AM (Tabel 38.1)

26

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Antimikroba adalah obat pembasmi mikroba terutama yang merugikan manusia. Dimaksudkan dengan mikroba terbatas pada jasad renik yang tidak termasuk parasit. Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungsi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banak antibiotic dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sentetik penuh. Namun dalam praktek sehari-hari AM sintetik yang dapat ditirunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamide dan kuinolon) juga digolongkan sebagai antibiotic. Antimikroba terbagi menjadi dua kelompok yaitu Antimikroba berspektrum sempit yaitu benzil penisilin dan sterepsomisin, dam spectrum luas seperti tetrasiklin dan kloronfenikol dan batas antara kedua spectrum ini kadang tidak jelas. Antimikroba berspektrum luas cenderung menimbulkan superinfeksi oleh kuman atau jamur yang resisten. Dilain pihak pada septekimia yang penyebabnya belum diketahui diperlukan antimikroba yang bespektrum luas sementara menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik. Ada beberapa efek samping akibat dari penggunaan seperti reaksi hipersensitivitas, gangguan sal,anemia, aplasia sumsum tulang, gangguan visus, gangguan keseimbangan, gangguan pendengaran, kerusakan ginjal, perdarahan dan lain-lain.

3.2 SARAN Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan lebih mengetahui dan memahami tentang pentingnya mempelajari golongan obat antibiotik dan efek samping dari penggunaan antibiotic.

27

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan SG. 2016. Farmakologi dan Terapi. Edisi 6. Jakarta: Departemen Farmakologi danTerapeutik FKUI, 594-699. L Joyce., Kee., Hayes R. Evelyn., 1996. Farmakologi: pendekatan proses keperawatan, Ahli bahasa: Peter anugerah,dkk. Jakarta: EGC Katzung, G. Bertman, 2001. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi pertama. Diterjemahkan oleh Dripasjabana, dkk. Ed 1. Jakarta: Salembamedika

28

More Documents from "Anisa Susianti"