Berikut ini adalah prinsip-prinsip penggunaan antibiotik yang perlu diperhatikan. 1. Penegakan diagnosis infeksi perlu dibedakan antara infeksi bakterial dan infeksi viral. Selain itu juga perlu dicari tahu dari mana infeksi bersumber. Misalnya pada pneumonia bakterial, etiologi terseringnya adalah Streptococcus pneumoniae. 2. Dalam setiap kasus infeksi berat, apabila memungkinkan lakukan pengambilan spesimen (seperti darah, sputum, pus, urin, atau usapan/swab) untuk diperiksa di laboratorium. Pemeriksaan yang dilakukan di sini antara lain kultur bakteri, sensitivitas antibiotik, pemeriksaan mikroskopis, dan pewarnaan Gram. Namun pada kenyataannya, praktik semacam ini agak jarang dilakukan karena membutuhkan waktu lebih lama untuk memastikan mikroorganisme penyebab dan antibiotik yang paling tepat untuk infeksi tersebut. 3. Selama menunggu hasil kultur, terapi antibiotik empiris sangat penting untuk diberikan kepada pasien yang sakit berat. Kelemahan cara ini adalah dapat mengganggu diagnosis etiologik berikutnya, dan dapat memberi hasil negatif palsu pada identifikasi mikroorganisme infeksius setelah pemberian antibiotik (apabila diperlukan). 4. Pertimbangkan penggunaan antibiotik dalam terapi kasus gastroenteritis atau infeksi kulit, karena kedua jenis infeksi tersebut jarang memerlukan antibiotik. 5. Pemilihan antibiotik harus mempertimbangkan dosis dan cara pemberian obat. o Mikroorganisme: paling sensitif terhadap antibiotik mana saja. Hal ini dapat diketahui dari uji sensitivitas, namun dapat diperkirakan berdasarkan spektrum antibiotik atau dugaan klinis apabila sensitivitas atau jenis mikroorganisme belum diketahui. o Faktor pasien: umur, ada/tidaknya alergi, fungsi hati, fungsi ginjal, kondisi imunologis, hamil/tidak, dan faktor genetik. o Berat/tidaknya infeksi: mempengaruhi jenis obat yang dipilih dan cara pemberiannya. Sebagian antibiotik tidak begitu baik diabsorbsi apabila diberikan peroral, misalnya aminoglikosida. Pada pasien sakit berat, pemberian antibiotik biasanya dilakukan secara parenteral. o Tempat infeksi: antibiotik seringkali tidak dapat menembus rongga abses dengan baik, karena itu abses biasanya memerlukan drainase di samping terapi antibiotik. Antibiotik tertentu (misalnya aminoglikosida) tidak dapat menembus duramater, sehingga tidak digunakan untuk meningitis. o Adanya benda asing (misalnya katup prostetik, pecahan kaca) dapat mengurangi respons jaringan terhadap antibiotik. o Untuk terapi awal dalam kasus infeksi, antibiotik spektrum luas lebih baik digunakan lebih dahulu, sampai hasil kultur tersedia. Apabila antibiotik spektrum sempit yang digunakan dulul maka basil gram negatif, kokus gram positif, dan fungi yang resisten mulai mendominasi dan terapi selanjutnya menjadi sulit. Setelah hasil kultur diperoleh, barulah digunakan antibiotik spektrum sempit yang spesifik untuk bakteri yang bersangkutan. o Ganti antibiotik spektrum luas menjadi antibiotik spektrum sempit setelah terapi berlangsung 3 hari, untuk mencegah penurunan imunitas pejamu. 6. Nilai keberhasilan terapi secara klinis atau secara mikrobiologis (kultur ulang). Antibiotik tertentu dapat menimbulkan keracunan sehubungan dengan kadar yang terlalu tinggi dalam darah, sehingga kadarnya dalam plasma perlu dipantau terus (misalnya gentamisin). 7. Kombinasi antibiotik baru diberikan apabila: o Terdapat infeksi infeksi campuran (mixed infection), misalnya peritonitis.
o
Pada kasus endokarditis karena Enterococcus dan meningitis karena Cryptococcus. o Untuk mencegah resistensi mikroba terhadap monoterapi, misalnya pada tuberkulosis dan lepra. o Apabila sumber infeksi belum diketahui dan terapi antibiotik spektrum luas perlu segera diberikan karena pasien sakit berat, misalnya pada sepsis. o Apabila dua antibiotik yang dipergunakan dapat memberi efek sinergisme, misalnya penisilin dan gentamisin untuk terapi endokarditis infektif. 8. Antibiotik dapat digunakan untuk kebutuhan profilaksis (pencegahan infeksi). Antibiotik profilaksis diberikan dalam jangka pendek (24 jam atau kurang), dengan pilihan antibiotik sesuai pengalaman klinis. Indikasi antibiotik profilaksis antara lain: o Sebelum prosedur operasi usus, penggantian sendi, dan ginekologi. o Riwayat kontak erat dengan pasien tuberkulosis atau meningitis meningococcal. o Sebelum prosedur ekstraksi gigi pada pasien dengan katup jantung prostetik, untuk mencegah endokarditis infektif. o Pencegahan infeksi Streptococcus pada pasien dengan penyakit jantung reumatik. 9. Perhatikan pola bakteri penyebab infeksi nosokomial setempat. Bakteri yang sering menyebabkan infeksi nosokomial antara lain MRSA (meticillin-resistant Staphylococcus aureus) dan Pseudomonas sp; namun distribusinya berbeda-beda di berbagai tempat. Terapi untuk infeksi MRSA adalah vankomisin, dan infeksi Pseudomonas dengan golongan penisilin spektrum luas. Dalam menginterpretasikan hasil kultur, perlu diingat bahwa segera setelah terapi antibiotik dimulai, koloni flora normal bakteri pada kulit, rongga mulut, dan sputum akan berubah. Koloni semacam ini tidak perlu diberantas dengan antibiotik spektrum luas, karena justru akan menimbulkan munculnya mikroorganisme multiresisten. Jadi penggantian antibiotik menjadi antibiotik spektrum luas setelah hasil kultur diperoleh, tidak perlu dilakukan. Infeksi baru biasanya ditandai dengan demam yang muncul mendadak dengan pola demam yang berubah dan ditemukannya leukositosis dengan shift to the left. Referensi:
Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 2nd edition. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers, 1997. Southwick FS. Anti-Infective Therapy, in Southwick FS (eds). Infectious Diseases: A Clinical Short Course, 2nd edition, New York: McGraw-Hill Companies, 2007.
1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel Bakteri memiliki dinding sel, yang mengelilingi sitoplasma membran sel, yang lebih kaku bila dibandingkan dengan sel hewan.11 Tekanan osmotik dalam sel bakteri lebih tinggi daripada di luar sel, maka kerusakan dinding sel bakteri akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal pada bakteri yang peka. Dinding sel mengandung polipeptidoglikan.9,11 Lapisan peptidoglikan jauh lebih tebal pada dinding sel bakteri gram positif daripada dinding sel bakteri gram negatif.11 Antibiotik yang memiliki mekanisme kerja ini secara berturut-turut dari yang paling dini menghambat sampai yang kurang menghambat yaitu sikloserin, basitrasin, vankomisin, penisilin dan sefalosporin. 9,11 2. Antibiotik yang menghambat permeabilitas atau fungsi membran sel Membran sitoplasma bakteri dan jamur tertentu lebih mudah dirusak oleh agen tertentu daripada membran sel hewan.11 Antibiotik yang mengubah tegangan permukaan, dapat merusak permeabilitas selektif dari membran sel mikroba.9 Akibatnya, aktivitas kemoteraupetik selektif dapat terjadi. Antibiotik yang berperan dalam menghambat fungsi membran sel yaitu azoles, polien, dan polimiksin.11 Polimiksin dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba. Polimiksin tidak efektif terhadap bakteri Gram-positif karena jumlah fosfor bakteri ini lebih sedikit. Antibiotik polien bereaksi dengan struktur sterol pada membran sel. Oleh karena itu, bakteri tidak sensitif terhadap antibiotik polien, karena tidak memiliki struktur sterol pada membran selnya.9 3. Antibiotik yang menghambat sintesis protein sel mikroba Sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA.9 Perbedaan tipe ribosom, komposisi kimiawi, dan spesivitas fungsional antara sel bakteri dan sel mamalia berbeda sehingga dapat menerangkan antibiotik dapat menghambat sintesis protein di ribosom bakteri tanpa menunjukkan efek nyata pada ribosom mamalia.11 Aminoglikosida, tetrasiklin, makrolida atau eritromisin, kloramfenikol, dan linkomisin terbukti dapat menghambat sintesis protein melalui kerja pada ribosom bakteri. 9,11 Streptomisin dan tetrasiklin berikatan dengan komponen ribosom 30S menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein sehingga akan terbentuk protein yang abnormal dan nonfungsional bagi sel mikroba. Gentamisin, kanamisin, dan neomisin memiliki mekanisme kerja yang sama tetapi potensinya berbeda. Eritromisin, likomisin, dan kloramfenikol berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat translokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida. Akibatnya, rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang karena lokasi asam amino tidak dapat menerima kompleks tRNA-asam amino yang baru.9 4. Antibiotik yang menghambat metabolisme sel mikroba Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini ialah sulfonamida, trimetoprim, paminosalisilat acid (PAS) dan sulfon. Antibiotik ini bekerja dengan efek bakteriostatik. Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya.9 Bakteri patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari para amino benzoic acid (PABA). Sulfonamida bersaing dengan PABA dalam pembentukan asam folat sehingga mencegah bergabung ke dalam folat. Trimetoprim bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase (FAH2) sehingga asam dihidrofolat tidak dapat direduksi menjadi asam tetrahidrofolat (FAH4) yang berfungsi.9,12 PAS adalah analog PABA yang menghambat asam folat pada Mycobacterium tuberculosis.9 Sulfonamid adalah analog struktur PABA dan menghambat dihidropteroat sintetase.11 Sulfonamida tidak efektif terhadap M.tuberculosis dan sebaliknya PAS tidak efektif terhadap bakteri yang sensitif terhadap Sulfonamida.9
5. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba Kebanyakan antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat digunakan sebagai obat antikanker ataupun sebagai antivirus karena sifat sitotoksisitasnya. Oleh karena itu, obat antibiotik yang akan dipaparkan yaitu rifampisin, dan golongan kuinolon. Rifampisin berikatan dengan enzim polimerase-RNA sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA. Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada bakteri yang fungsinya menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga dapat muat dalam sel bakteri yang kecil.9
Mengurangi Dampak dan Membatasi Penyebaran Langkah yang dapat diambil untuk mengurangi dampak dan membatasi penyebaran resistensi antibiotik oleh masyarakat umum: 1. 2. 3. 4. 5.
Mencegah infeksi dengan teratur mencuci tangan, Menjaga kebersihan makanan, Menghindari kontak dekat dengan orang yang sakit, Melakukan vaksinasi ulangan. Hanya menggunakan antibiotik ketika diresepkan oleh dokter, selalu membeli resep antibiotika secara penuh, jangan pernah menggunakan antibiotik sisa, dan jangan pernah berbagi antibiotik dengan orang lain.
Para dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya dapat berperan dengan: 1. 2. 3. 4.
Mencegah infeksi dengan memastikan tangan bersih, Memastikan juga kebersihan instrumen medis dan lingkungan RS terjaga, Memberikan vaksinasi terbaru kepada pasien (up to date), Ketika terjadi dugaan infeksi bakteri, melakukan kultur bakteri dan pemeriksaan penunjang medik lainnya untuk konfirmasi, 5. Hanya meresepkan dan mengeluarkan antibiotik ketika benar-benar dibutuhkan, pada dosis dan durasi pengobatan yang tepat. Para pejabat dan pembuat kebijakan kesehatan dapat bertindak dengan: 1. Menyusun rencana aksi regional atau nasional yang kuat untuk mengatasi resistensi antibiotik, 2. Meningkatkan pengawasan infeksi bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik, 3. Memperkuat langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi, 4. Mengatur dan mempromosikan penggunaan yang tepat atas obat antibiotika yang berkualitas, 5. Membuat informasi tentang dampak resistensi antibiotik, 6. Memberikan apresiasi atas pengembangan obat, vaksin dan alat diagnostik yang baru. Organisasi profesi kesehatan, misalnya IDI (Ikatan Dokter Indonesia), dapat berperan dengan:
1. Melakukan sosialisasi berulang dalam program pendidikan kedokteran berkelanjutan tentang tatalaksana terbaru penyakit infeksi. 2. Melakukan advokasi kepada semua pihak, agar para dokter anggota IDI dapat berperan secara optimal dalam menekan kejadian resistensi antibiotika. Para petugas sektor pertanian dapat membantu dengan: 1. Memberikan antibiotik untuk hewan hanya saat digunakan untuk mengobati penyakit menular dan di bawah pengawasan seorang dokter hewan, 2. Vaksinasi hewan untuk mengurangi kebutuhan antibiotik dan mengembangkan alternatif tindakan, selain penggunaan antibiotik pada tanaman yang terinfeksi. 3. Mempromosikan dan menerapkan praktek yang baik di semua tahap produksi dan pengolahan makanan dari sumber hewan dan tumbuhan yang aman, 4. Mengadopsi sistem yang berkelanjutan dengan meningkatkan kebersihan, 5. Biosecurity dan penanganan hewan bebas penyakit, 6. Melaksanakan standar internasional untuk penggunaan antibiotik yang bertanggung jawab, yang ditetapkan oleh OIE, FAO dan WHO. Para pelaku industri bidang kesehatan dapat membantu dengan berinvestasi untuk antibiotik, vaksin, dan alat diagnostik baru. Menanggulangi resistensi antibiotik juga merupakan prioritas WHO. Sebuah rencana aksi global melawan resistensi antimikroba, termasuk resistensi antibiotik, telah disepakati pada Majelis Kesehatan Dunia pada bulan Mei 2015. Rencana aksi global bertujuan untuk memastikan bahwa pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi dengan obat yang aman dan efektif dapat terus berjalan.