PENGANTAR ILMU PERTANIAN
OLEH : NAMA
: ANNISA PEBRIANTY
NIM
: 105961104618
KELAS
: 1B
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2019 1. KEPEMILIKAN LAHAN
Sumberdaya lahan sejak zaman dulu hingga kini telah menemukan daya manfaatnya bagi kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Pada zaman sekarang penggunaan sumberdaya lahan tidak hanya berfungsi sebagai permukiman dan pertanian, namun akan lebih banyak pemanfaatannya dan tidak terbatas untuk berbagai keperluan seperti industri, peternakan, perkebunan, pertanian, perkotaan, bangunan, pariwisata, dan perdagangan. Sejalan dengan masalah-masalah pemangunan dan pelaporan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan juga meningkat dengan pesat dan luas lahan pada dasarnya tetap. Kriteria walau lahan yang diperlukan untuk setiap sektor berbeda, akan tetapi pada saat yang sama terjadi. Oleh konsumenPenguasaan terhadap sumber lahan mulai sulit dikendalikan status penggunaan lahan dan status kepemilikannya. Peradaban manusia modern menuntut lahan / ruang sebagai tempat untuk semaksimal mungkin dapat memuaskan hidup. Rekayasa teknologi dengan teknologi modern mulai dari pemotongan lereng bukit, penimbunan rawa, pembuatan tanggul sungai, penambangan dengan alat berat, dan penebangan hutan dengan cepat. Pengelolaan sumber daya seperti ini bertujuan untuk ekonomi, namun jika tidak dapat dilakukan dengan baik, tentu saja dapat berdampak pada kerusakan alam dan lingkungan hidup di Indonesia. Selain itu, masalah lahan yang semakin kompleks dengan adanya penurunan kualitas pada lahan yang menghasilkan penurunan produktivitas pada lahan.
2. BIROKRSI Berbagai permasalahan di lingkungan birokrasi dewasa ini berkaitan dengan citra dan kinerja birokrasi yang belum dapat memenuhi keinginan masyarakat banyak. Beberapa diantaranya akan diuraikan secara lebih rinci dalam analisis di bawah ini.
A. Tingginya Tingkat Penyalahgunaan Kewenangan dalam Bentuk KKN Upaya pemberantasan KKN merupakan salah satu tuntutan penting pada awal reformasi. Namun prevalensi KKN semakin meningkat dan menjadi permasalahan di seluruh lini pemerintahan dari pusat hingga daerah. Tuntutan akan peningkatan profesionalisme sumber daya manusia aparatur negara yang berdaya guna, produktif dan bebas KKN serta sistem yang transparan, akuntabel dan partisipatif masih memerlukan solusi tersendiri. Ini berkaitan dengan semakin buruknya citra dan kinerja birokrasi dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. KKN telah
menjadi extraordinary state of affairs di Indonesia Laporan terakhir di penghujung tahun 2003 mengukuhkan Indonesia di urutan ke-6 negara terkorup didunia. Berdasarkan hasil survei Transparency International (TI) dari 133 negara, Indonesia berada di urutan ke-122 dari 133 negara terkorup.
B. Rendahnya Kualitas Pelayanan Publik Rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan publik di era reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, namun dalam perjalanan reformasi yang memasuki tahun ke enam, ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan. Berbagai tanggapan masyarakat justru cenderung menunjukkan bahwa berbagai jenis pelayanan publik mengalami kemunduran yang utamanya ditandai dengan banyaknya penyimpangan dalam layanan publik tersebut. Sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, dan sumber daya manusia yang lamban dalam memberikan pelayanan juga merupakan aspek layanan publik yang banyak disoroti.
C.
Belum Berjalannya Desentralisasi Kewenangan Secara Efektif Indonesia saat ini dihadapkan oleh berbagai tantangan yang muncul sebagai
akibat dari perkembangan global, regional, nasional dan lokal pada hampir seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sisi manajemen pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan intrumen utama untuk mencapai suatu negara yang mampu menghadapi tantangan-tatangan tersebut. Di samping itu, penerapan desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah juga merupakan prasyarat dalam rangka mewujudkan demokrasi dan pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Namun dalam pelaksanaannya selama ini, dalam kebijakan otonomi dearah masih terdapat beberapa kelemahan, seperti: (a) Otonomi daerah hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka; (b) Perhatian dalam otonomi daerah hanya pada masalah pengalihan kewenangan dari Pusat ke Daerah, tetapi mengabaikan esensi dan tujuan kebijakan tersebut; (3) Otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan prakarsa masyarakat di daerah sesuai tuntutan alam demokrasi; dan (4) Konsep dasarnya yang mengandung prinsip-prinsip federalisme.
D. Pengaruh politik yang kuat terhadap birokrasi Pengaruh politik yang kuat terhadap birokrasi, juga menjadi penyumbang terhadap masih terhambatnya kinerja birokrasi sehingga lemah dalam merespon agenda dan tantangan dalam pembangunan nasional. Kondisi ini tidak dapat dihindari karena sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Indonesia. Sistem kepartaian yang dianut oleh Indonesia, sedikit banyak berdampak pada kinerja aparatur yang tidak netral. Aparatur negara terkooptasi dan terintervensi oleh kepentingan partai yang dinilai berjasa dalam mengusung namanya menjadi aparatur negara. Tidak sedikit pengangkatan pejabat eselon I berbagai kementerian/lembaga negara serta BUMN yang disesuaikan dengan nafas politik menterinya (Bappenas, 2004). Pergolakan politik berkontribusi terhadap jalannya pemerintahan di Indonesia. Kedua hal ini, baik birokrasi dan politik memang tidak dapat dipisahkan. Beberapa jabatan di birokrat tidak dapat dipungkiri diduduki oleh orang-orang yang berangkat dari partai, yang membawa kepentingan partainya masing-masing yang diperoleh melalui pemilu. Pada akhirnya mengarahkan anggapan bahwa masyarakat hanya dijadikan sebagai obyek dalam pemilu untuk memenangkan tujuan berpolitik beberapa pihak/kelompok, mengantarkan elit pimpinan menjadi pimpinan negara dan pemerintah. Setelah terpilihnya pihak-pihak tersebut, lantas kepentingan rakyat terlupakan dengan kepentingan pribadi/kelompok. Kondisi ini menunjukan sangat lemahnya akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada publik.
3. MODAL A. Petani Kekurangan Modal Ciri khas dari kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan, pendapatan, dan pengeluarannya. Hasil produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak seperti kematian, pesta perkawinan dan selamatan lain. Petani kaya dapat menyimpan hasil panen untuk kemudian dijual sedikit demi sedikit pada waktu diperlukan sedangkan petani gurem (tidak berlahan dan penguasaan lahan sempit) masih kesulitan untuk menyimpan hasil sehingga petani kekurangan modal. Sekitar 70 persen petani Indonesia terutama petani-petani gurem diklasifikasikan sebagai masayarakat miskin berpendapatan rendah. Keberadaan kredit benar-benar dibutuhkan
oleh petani untuk tujuan produksi, pengeluaran hidup sehari-hari sebelum hasil panen terjual dan untuk pertemuan sosial lainnya. Dikarenakan penguasaan lahan tergolong sempit, upah yang mahal dan kesempatan kerja terbatas di luar musim tanam, sebagian besar petani tidak dapat memenuhi biaya hidupnya dari satu musim ke musim lainnya tanpa pinjaman. Kredit sudah menjadi bagian hidup dan ekonomi usahatani, bila kredit tidak tersedia tingkat produksi dan pendapatan usahatani akan turun drastis karena tidak ada modal untuk membeli pupuk, bibit, air, sehingga tanaman tidak tumbuh optimal. Masalah utama dalam penyediaan kredit ke petani gurem adalah adanya jurang pemisah antara penyaluran dengan penerimaan kredit. Banyak lembaga permodalan dengan berbagai skim kreditnya ditawarkan ke petani, tetapi pada kenytaannya hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu sedangkan petani kecil masih tetap kesulitan. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan hingga akhir 2012, total kredit yang disalurkan perbankan mencapai Rp 2.725 triliun. Dari total kredit tersebut yang disalurkan ke sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) hanya sekitar 19,31 persen atau sekitar Rp 526,4 triliun. Dari Rp 526,4 triliun kredit untuk UMKM ini yang paling banyak disalurkan ke sektor perdagangan sebesar 47,2 persen, sedangkan ke sektor pertanian hanya 7,73 persen atau sebesar Rp 40,70 triliun.”Untuk sektor petanian umumnya lari ke perkebunan kelapa sawit dan tebu. Sulitnya petani mendapatkan akses modal menyebabkan keterpurukan sektor pertanian tak ada habisnya
B. Sistem Perbankan yang Kurang peduli kepada Petani Profesi petani kurang mendapat kepercayaan dari bank untuk mendapatkan suntikan dana. Hal ini dikarenakan penghasilan petani dinilai terlalu kecil dan tak punya agunan memadai untuk jaminan pinjaman.Berbagai kredit program yang dikembangkan untuk usaha pertanian seperti Kredit Ketahanan Pangan-Energi (KKP-E), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) perkembangannya masih jauh dari harapan.Meskipun pemerintah telah berkali-kali menyatakan pinjaman KUR bisa tidak pakai agunan, tetapi dalam pelaksanaannya, bank tidak akan memberikan kredit kepada petani kalau tidak ada agunan. Pihak
perbankan menyakini bahwa sektor
pertanian di Indonesia yang belum dikelola dengan skala industri menjadi salah satu kekhawatiran perbankan dalam memberikan kredit ke sektor pertanian. Sebab, resiko gagal panen dan biaya produksi semakin tinggi.
Kerumitan masalah administrasi dan agunan menjadi salah satu kendala bagi petani untuk mengajukan kredit ke perbankan. Selain itu petani juga malas untuk berurusan dengan sistem administrasi yang terlihat rumit sehingga petani lebih memilih untuk mendapat pinjaman modal dari rentenir dengan bunga yang tinggi serta tanpa jaminan.
C. Belum Memiliki Asuransi Pertanian Dunia asuransi dewasa ini sudah begitu berkembang, namun pada saat yang sama asuransi masih sedikit sekali menyentuh dunia pertanian terutama di negara kita. Padahal seperti yang kita ketahui, sektor pertanian secara umum adalah leading sector
di
Indonesia. Tercatat lebih dari 50% penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor ini, bukan hanya menyediakan bahan pangan saja tetapi sektor pertanian juga menyediakan lapangan kerja yang cukup besar. Sektor pertanian juga dikenal telah menyediakan 48 juta lapangan kerja, menyediakan bahan baku industri serta penyedia bahan baku ekspor baik mentah maupun olahan. Berusaha di bidang pertanian secara umum mempunyai potensi yang tinggi, namun risikonya juga sangat besar. Usaha pertanian memiliki karakteristik sebagai usaha yang penuh risiko terhadap dinamika alam, bersifat biologis dan musiman, rentan terhadap serangan hama dan penyakit, yang kesemuanya secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dapat menyebabkan kerugian. Oleh karena sudah selayaknya usaha pertanian juga mendapat perhatian khusus untuk memperkecil risiko, dalam halini dengan manajemen risiko dalam bentuk asuransi, yang kita sebut dengan asuransi pertanian. Asuransi pertanian adalah mekanisme finansial yang akan membantu mengelola kerugianpertanian akibat bencana alam atau iklim yang tidak mendukung diluar kemampuan petani untuk mengendalikanya. Manajemen risiko dibidang pertanian adalah masalah yang sangat penting dalam investasi dan keputusan finansial petani. Program asuransi sangat bergantung pada rasio cost/benefit bagi petani, pengusaha pertanian dan penyedia jasa asuransi dan yang tidak kalah pentingnya adalah asuransi yang diberikan didasarkan pada pertimbangan apakah biaya asuransi tersebut cukup efektif dalam menanggung sebuah risiko. Secara umum tujuan asuransi untuk sektor pertanian adalah untuk memberikan proteksi atau penggantian terhadap risiko gagal panen akibat serangan hama, penyakit, ataupun bencana alam. Asuransi pertanian ini diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi para pihak baik itu petani itu sendiri baik menyangkut tingkat
produksi bahkan sampai pada perbaikan situasi ekonomi
maupun perusahaan
penyedia jasa asuransi. Sebagai salah satu bentuk usaha yang
memiliki resiko pertanian, sudah selayaknya diperlukan suatu bentuk asuransi usaha yang tepat bagi pertanian. Resiko-resiko pertanian yang biasa melanda usaha ini adalah yang berakibat kepada gagal panen yang berasal dari kejadian peubahan iklim yang ekstrim, serangan hama atau rendahnya penggunaan teknologi pertanian. Jika hal ini tidak dapat diantisipasi dengan tepat, maka hal ini dapat melemahkan semangat petani untuk tetap melaksanakan kegiatan pertanian. Petani dalam kemampuannya beradaptasi dengan permasalahan ini dan dalam mengembangkan usahanya selalu terkendala oleh modal, penguasaan teknologi dan akses pasar. Pendekatan konvensional dengan menerapkan salah satu atau kombinasi strategi produksi, pemasaran, finansial, dan pemanfaatan kredit informal diperkirakan kurang efektif. Oleh karena itu diperlukan sistem proteksi melalui pengembangan asuransi pertanian Asuransi pertanian ini dilakukan dalam upaya untuk melindungi petani dari kegagalan panen dan saat terjad iover supply, dalam rangka melindungi simpanan masyarakat di bank. Banyak petani telah mengetahui program asuransi, namun hampir tidak ada petani yang membeli polis asuransi dengan alasan:
Tidak mampu membayar premi.
Tidak percaya pada perusahaan asuransi. Repot mengurusnya.
D. Sistem Ijon Menurut Faried Wijaya (1991), ijon, merupakan bentuk perkreditan informal yang berkembang di pedesaan. Transaksi ijon tidak seragam dan bervariasi, tetapi secara umum ijon adalah bentuk kredit uang yang dibayar kembali dengan hasil panenan. Ini merupakan “penggadaian” tanaman yang masih hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen atau dituai. Tingkat bunga kredit jika diperhitungkan
pada waktu
pengembalian akan sangat tinggi, antara 10 sampai dengan 40 persen. Umumnya pemberi kredit merangkap pedagang hasil panen yang menjadi pengembalian hutang. Praktek ijon yang dilakukan pedagang/tengkulak hasil pertanian sudah mengakar dan menjadi tradisi perdagangan hasil pertanian di pedesaan. Praktek ijon
pada komoditas pertanian
melibatkan banyak aktor dalam mata rantai yang berperan sebagai distributor pinjaman sekaligus pengepul hasil pertanian dengan sistem multilevel. Tengkulak biasanya terbagi
menjadi beberapa level yang mencerminkan tingkat kekuatan modalnya. Tengkulak kabupaten memiliki “bawahan” beberapa tengkulak kecamatan. Tengkulak kecamatan memiliki beberapa “bawahan” tengkulak desa, begitu seterusnya sampai level dusun. Modal yang dipinjamkan sampai dengan petani merupakan milik pemodal besar di tingkat
kabupaten,
sementara
tengkulak
kecamatan,
desa
dan
dusun
hanya
mendistribusikan. Petani meminjam uang dan mengijonkan tanamannya untuk kebutuhan konsumtif dan jangka pendek. Budaya konsumerisme yang merebak sampai pelosok pedesaan juga menjadi faktor pendorong maraknya sistem ijon. Dalam beberapa kasus, petani meminjam karena ada kebutuhan mendesak, dan tengkulak yang meminjamkan uang anggap sebagai penolong. Di daerah pedesaan, hubungan petani dan tengkulak pengijon memang sangat pribadi dan patronase. Antara petani dan tengkulak merasa sebagai satu keluarga yang saling tolong menolong, dan saling menjaga kepercayaan. Hal ini yang jeli dimanfaatkan pemodal besar dari luar daerah sehingga eksploitasi yang dilakukan tersamar dengan hubungan kekeluargaan dan saling tolong menolong. Petani sendiri merasa dirugikan tetapi juga diuntungkan. Mereka merasa rugi karena seharusnya dia bisa mendapatkan hasil lebih jika tanamannya tidak diijonkan, namun mereka merasa untung juga dengan adanya pengijon, karena jika ada kebutuhan mendesak, mereka akan cepat mendapatkan uang. Prosedur pinjaman dengan sistem ijon memang mudah, luwes dan informal, tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini yang menjadi daya tarik petani untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan praktis. Alasan menggunakan sistem ijon bukan sekedar derasnya modal yang ingin mengeksploitasi petani, namun juga karena persoalan budaya dan pola pikir masyarakat yang tidak berkembang Tengkulak sebagai kreditor dan pembeli hasil produk pertanian mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan tersebut didapat dari bunga dari pinjaman yang diberikan, dan keuntungan dari selisih harga beli di petani dengan harga jual di pasar konsumen. Tengkulak leluasa membeli hasil panen petani dengan harga rendah karena posisi tawar yang sangat kuat di hadapan petani. Walaupun harga akan bergerak sesuai permintaan dan penawaran barang, selisih keuntungan akan lebih banyak dinikmati tengkulak atau pengepul. Sebaliknya, petani akan dirugikan karena terbebani hutang dengan bunga pinjaman tinggi, serta dirugikan untuk mendapat kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya
4. KETERAMPILAN Keterampilan petani adalah,, di mana kita mengetahui dulu apa definisi keterampilan, keterampilan adalah usaha untuk memperoleh kompetensi cekat, cepat dan
tepat dalam menghadapi permasalahan yang datang. Dalam hal ini, kita bawah Keterampilan kedalam keterampilan petani ialah sebagai proses komunikasi pengetahuan untuk
mengubah
perilaku
petani
menjadi
cekat,
cepat
dan
tepat
melalui
pengembangan kerajinan dan teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan. Perilaku terampil ini dibutuhkan dalam pengenbangan pertanian dalam hal budidaya dan pengolahan tanaman hingga pemsaran untuk mendapatkan hasil produksi yang maksimal. Melihat uraian tersebut, secara substansi bidang Keterampilan mengandung kinerja kerajinan dan teknologis. Istilah kerajinan berangkat dari kecakapan melaksanakan, mengolah dan menciptakan dengan dasar kinerja psychomotoric-skill. Keterampilan Teknologi terdiri dari Teknologi Rekayasa (Enginering) dan Teknologi Pengolahan. Teknologi Rekayasa berisi keterampilan menguraikan dan menyusuri kembali hasil teknologi seperti mesin. Keterampilan Teknologi Pengolahan yaitu keterampilan mengubah fungsi, bentuk, sifat, kualitas bahan maupun perilaku obyek.Nah untuk mendapatkan hasil maksimal dan produksi tinggi tentu di perlukan keterampilan petani yang dapat menunjang bagaimana aplikasi pertanian yang sebenar-benarnya, tentunya dari proses pengolahan sampai panen dan siap untuk di pasarkan. Beberapa aplikasi keterampilan petani yang sangat mempengaruhi kwalitas produksi
1. Pengolahan lahan Tentunya dalam hal ini kita menentukan komoditi apa yang benar-benar cocok untuk lahan yang akan di persiapkan nantinya, dari segi tempratur dan suhu, dan humus atau keadaan tanahnya .tentunya itu sangat berpengaruh.
2. Pembibitan Di fase ini kita benar-benar teliti karena di pembibitan adalah penentuan bagaiamana kwalitas komoditi yang akan di budidayakan.
3. Penanaman Penanaman harusnya kita sesuaikan dengan bentuk dan rupa komoditi yang kita budidayakan tentunya dengan mengikuti aturan penanaman yang betul- betul di teliti bagaimana hasil kwalites tanaman
4. Pemeliharaan tanaman
5. Pengendalian hama dan penyakit 6. Pemangkasan 7. Panen 8. pengolahan hasil 9. dan pemasaran 5.INFORMASI Petani di Indonesia selama ini dihadapkan pada permasalahan rendahnya akses informasi akan teknologi, pasar, pengetahuan yang terbaru dan lain sebagainya. Akses yang lemah akan teknologi ini disebabkan antara lain karena tidak adanya pihak yang bisa menjadi jembatan dari pihak terkait yang mana disini adalah penyuluh petani kepada petani utuk memberikan transfer informasi dan pengetahuan. Penyuluh pertanian selama ini merupakan elemen yang penting dalam mengembangan sektor pertanian. Namun, peran penyuluh pertanian ternyata kurang diimbangi dengan jumlah penyuluh pertanian dan kemampuannya dalam mentransfer pengetahuan kepada petani. Serta profesi penyuluh pertanian yang kurang diminati oleh generasi muda. Hal ini membuat regenerasi penyuluh pertanian kurang berjalan dengan baik dan terpola. Dengan kurangnnya regenerasi penyuluh pertanian maka membuat up date akan informasi menjadi terhambat juga mengingat kesulitan dari tenaga yang ada untuk senantiasi mengup date informasi yang berbasis teknologi.Pembangunan informasi tidak hanya terbatas pada mentransfer pengetahuan kepada petani, memberikan informai akan teknologi modern namun juga memberikan informasi akan pasar pemasaran, dan produk. Hal ini nampaknya belum dibangun dengan maksimal oleh pihak-pihak yang terkait sehingga menjadi permasalahan terendiri di ekonomi pertanian.
6. KEBIJAKAN Menurut Henry, seluruh kebijakan yang dibuat tidak berakar pada masalah mendasar petani Indonesia yang sebagian besar tidak memiliki tanah produksi.Sementara
sebagian tanah dikuasai perusahaan besar yang melakukan alih fungsi ke non pertanian, seperti perusahaan perkebunan sawit, karet, kehutanan dan perusahaan properti. "Masalah mendasar petani Indonesia adalah tidak punya tanah. Tanah kita sejak zaman kolonial telah dikuasai oleh perusahaan besar. Perkebunan kelapa sawit, karet kehutanan dan properti. Upaya koreksi ini tidak dilakukan," ujar Henry saat memberikan keterangan pers peringatan Hari Tani Nasional 2016 di kantor sekretariat nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, Pancoran, Jakarta Selatan, Sabtu (24/9/2016). Henry menilai yang dilakukan oleh Pemerintah saat ini malah mendistorsi permasalahan mendasar tersebut dengan peningkatan produktivitas. Penurunan produktivitas, kata Henry, terjadi karena petani tidak memiliki tanah sendiri. Oleh karena itu distribusi pupuk, benih dan alat penunjang produksi seperti traktor bukan solusi yang tepat. "Produktivitas menurun karena memang petani tidak punya tanah maka solusinya bukan bagi-bagi pupuk dan alat penunjang produksi seperti traktor," kata Henry. Di sisi lain, Pemerintah juga membuat kebijakan yang dinilai akan mematikan produksi pangan petani dalam negeri.
7. PETANI Petani adalah orang yang melakukan budidaya tanaman, mulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, sampai dengan memanen hasilnya. Hasil panen bisa digunakan untuk keperluan pribadi maupun dipasarkan. Petani merupakan pelaku utama dalam pembangunan pertanian Indonesia. Petani memiliki peran penting untuk menghasilkan produk pertanian, baik untuk keperluan bahan pangan maupun industri. Petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian tentu memiliki berbagai masalah. Masalah ini sering menghambat petani untuk mengembangkan usahataninya. Masalah yang dihadapi petani ini juga merupakan masalah dasar yang harus diselesaikan untuk melakukan pembangunan pertanian. Berikut adalah berbagai masalah petani Indonesia yang perlu diperhatikan.
Permodalan Terbatas
Permodalan sering menjadi masalah ketika petani akan memulai usahataninya. Modal menjadi masalah karena petani tidak selalu sukses dalam proses budidaya. Sifat hasil pertanian yang lebih tergantung ke alam membuat hasil panen tidak menentu. Sering terdapat kendala seperti cuaca ekstrim dan serangan OPT. Jika petani mengalami gagal panen atau merugi tentu petani jadi tidak memiliki modal untuk melakukan usahanya kembali. Sebenarnya penyedia modal bagi petani sudah ada, namun aksesnya masih terbatas. Lembaga penyedia modal biasanya juga jadi memberatkan petani karena prosedurnya yang rumit dan tingginya suku bunga. Berdasarkan hasil survei Susenas tahun 2016, hanya 15% petani Indonesia yang mengakses kredit untuk modal di bank. Petani lebih memilih untuk kredit di lembaga nonbank karena prosedurnya yang gampang walaupun dengan suku bunga yang lebih tinggi. Tentu ini sangat merugikan petani.
Harga Produk Tidak Stabil Sifat hasil pertanian adalah musiman, yang berarti produk tersebut akan memiliki jumlah yang mencukupi pada waktu tertentu saja. Misalnya, pada musim panen padi akan melimpahnya pasokan beras, namun pada musim paceklik pasokannya sangat terbatas. Sifat ini tentu sangat mempengaruhi harga produk pertanian yang dihasilkan petani. Saat pasokan melimpah harga akan jatuh, sedangkan saat pasokan terbatas akan terjadi lonjakan harga. Petani harus cerdas dalam memasarkan hasil panennya. Jangan sampai seluruh hasil panen dijual saat harga sedang turun karena mampu merugikan petani. Salah satu strategi yang dapat dilakukan petani adalah penggudangan. Dengan langkah ini tentu produk pertanian yang ada di pasar dapat dikendalikan dan harga juga akan terkendali.
Penguasaan Lahan Sempit Salah satu masalah yang terus menghantui pembangunan petani Indonesia adalah sempitnya penguasaan lahan. Dengan lahan garapan sempit tentu petani juga akan mendapat penghasilan terbatas dan membuat tingkat kesejahteraannya di bawah. Ratarata petani Indonesia hanya memiliki luas lahan 0,2 hektar. Belum lagi masalah kondisi tanah yang kualitas tidak optimal karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida.
Penguasaan lahan yang sempit menyebabkan rendahnya kesejahteraan petani Indonesia. Petani dengan penghasilan yang kecil dan terbatas tentu akan sulit untuk mengembangkan skala usahataninya. Masalah ini masih terus mengakar dan menjadi pekerjaan rumah seluruh stakeholder terkait untuk membangun pertanian Indonesia lebih maju.
Kelangkaan Saprodi Masalah terakhir yang sering dihadapi petani adalah kelangkaan saprodi atau sarana produksi pertanian. Padahal saprodi disini berperan sebagai input usahatani yang dilakukan petani. Sulitnya mendapatkan input ini tentu menjadi masalah karena mampu menghambat kelancaran usahatani. Disamping sulit, terkadang saprodi ini memiliki harga yang tinggi dan meresahkan petani. Salah satu penyebab kelangkaan saprodi ini adalah banyaknya kebocoran sistem distribusinya sehingga menyulitkan petani untuk mendapatkan input dengan mudah dan harga terjangkau. Perlu adanya regulasi yang lebih baik agar saprodi dapat terdistribusikan dengan baik dan tepat sasaran. Pengadaan Kartu Tani saat ini semoga mampu menanggulangi masalah distribusi saprodi ini.
8. ORGANISASI TANI Petani dan keluarganya adalah kelompok masyarakat yang paling berperan dalam memproduksi pangan. Ironisnya, petani juga adalah konsumen pangan terbesar. Sehingga krisis harga pangan yang banyak dipengaruhi oleh spekulasi harga di tingkat internasional ikut berimbas pada sebagian besar masyarakat Indonesia dan keluarga petani. Karena itu, sembilan organisasi tani berkumpul dalam ‘Forum Konsultasi Nasional Petani Indonesia’ untuk mendiskusikan upaya mencegah krisis pangan dan membangun kapasitas petani. Forum konsultasi tersebut diadakan selama dua hari pada 10-11 Agustus 2011 lalu. Pada hari kedua, forum yang diorganisir oleh tiga organisasi tani yaitu Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Masyarakat Tani (Wamti), dan SPI (Serikat Petani Indonesia), mengundang Menteri Pertanian, Suswono untuk berdialog dengan mereka. Forum juga dihadiri oleh perwakilan kelompok tani lain, seperti HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan), STPN HPS (Serikat Tani Peringatan Hari Pangan Sedunia).
Menteri Pertanian, Suswono dalam sambutannya mengatakan bahwa sektor pertanian merupakan tulang punggung dan berkontribusi besar dalam perekonomian nasional. Mengingat perannya yang strategis, seharusnya sektor ini harus diperhatikan. Mengenai krisis pangan, Menpan mengatakan, masalah ini telah didiskusikan di berbagai forum internasional, namun tren kelaparan justru meningkat. Suswono mengatakan, distribusi atau akses masyarakat atas pangan adalah salah satu masalah untuk menangani kelaparan.Karena itu, Kementerian Pertanian (Kementan) mencanangkan empat target sukses, tercapainya swasembada dan swasembada yang berkelanjutan; diversifikasi pangan; peningkatan nilai tambah dan daya saing; dan peningkatan kesejahteraan petani.Suswono menyampaikan bahwa Kementan mendukung kemandirian pangan untuk memenuhi ketersediaan pangan di dalam negeri.Forum kemudian mendengarkan pernyataan-pernyataan petani, hasil perumusan para peserta Forum Konsultasi, yang dibacakan oleh tiga orang yaitu Agusdin Pulungan dari Wamti, M. Nurrudin dari API, dan Henry Saragih dari SPI secara bergantian.Dalam pernyataannya, organisasi tani meminta supaya pelibatan berbagai organisasi tani (khususnya) dalam perencanaan program-program pertanian. Dalam masalah peraturan perundangan, forum menyerukan pentingnya meninjau kembali berbagai undang-undang dan peraturan yang dinilainya tidak ramah dengan petani. Beberapa di antaranya adalah UU No. 18/2004 tentang Perkebunan; UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, berbagai peraturan pemerintah tentang impor dan rendahnya tarif impor berbagai produk pertanian, dan berbagai kebijakan yang cenderung mendorong pengusaha besar dan perlunya reforma agraria yang berpihak pada petani.Rekomendasi lain yang disampaikan kepada Menteri Pertanian, Suswono, adalah meminta dengan segera implementasi UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, menyelesaikan revisi UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, dan mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Forum organisasi tani juga menyoroti minimnya akses petani pada penyuluh pertanian yang baik, menyusutnya lahan pertanian untuk petani dan generasi muda, keluhan distribusi bantuan yang mengarah pada kelompok tani tertentu.Diskusi yang dihadiri juga oleh beberapa organisasi kemasyarakatan, Ketua Komisi IV DewanPerwakilan Rakyat, Rohahurmuzy, perwakilan dari kementerian koordinator perekonomian, Bulog (Badan urusan logistik), perwakilan dari Badan Pangan PBB (FAO – Food and Agriculture
Organization) Agus Heriyanto, dan perwakilan dari IFAD (Dana internasional untuk pembangunan pertanian).
9. MENTALITAS Mentalitas pembanguann adalah lebih menilai tinggi ke arah masa depan, dengan demikian lebih bersifat hemat untuk memperhitungkan hidupya di masa depan, lebih menilai tinggi exsplorasi untuk mempertinngi kapasitas berinovasi, lebih menilai tinngi kea rah achievement dari karya, serta berusaha dengan kemampuan sendiri, percaya diri, berdisiplin murni, dan berani bertanggung jawab.Sistem nilai budaya adalah tingkat yang paling abstrak dari adat. Sistem nilai budaya ini terdiri dari konsepsi konsepsi yang hidup dalam alam fikiran masyarakat mengenai hala hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup.(Koentjaraningrat) Sifat sifat kelemahan mentalitas Indonesia yang sudah ada sejak lama dalam sistem nilai budaya tradisional terdapat dalam sebuah negara Indonesia yang kaya akan hasil alamnya serta kaya akan kebudayaan ini. Di Indonesia sendiri terdapat dua golongan masyarakat yang menonjol yaitu masy`rakat desa dan masyarakat Kota. Akan tetapi meskipun terdapat
dua
golongan
hanya
masyarakat
desalah
yang
dominan
menonjol
perbandingannya kurang lebih sekitar 84% masyarakat desa dan sisanya masyarakat Kota. Dari kedua golongan inilah terlihat perbedaan mentalitas pembangunan yang berbeda. Masyarakat desa mayoritas bekerja di sector pertanian dan mentalitas mereka merupakan mentalitas yang khas, atau bisa kita sebut dengan mentalitas petani. Sedangkan masyarakat kota bekerja sebagai buruh,pedagang, usahawan atau pegawai. Dalam masyarakat kota pekerjaan kelas buruh,pedagang, dan usahan masih lemah yang terkuat adalah pekerjaan kelas pegawai
10. TEKNOLOGI Petani dan pertanian merupakan hal utama dan sangat penting dalam pembangunan nasional Indonesia. Produk pertanian, khususnya pangan merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Sektor pertanian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memacu pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Namun, pada dasarnya pertanian Indonesia mulai mengalami penurunan dalam hal lahan, petani muda dan teknologi yang mendukung sektor pertanian. Lahan pertanian Indonesia
semakin berkurang dikarenakan pembangunan infrastruktur industri, perumahan dan lainnya.Pasca panen menjadi masalah lainnya. Selama ini petani hanya beraktivitas pada on-farming, menanam hingga panen. Petani tidak terlibat dalam proses pasca panen (offfarming). Padahal keuntungan terbesar ada di sisi pasca panen. Untuk itu, teknologi pertanian merupakan hal yang harus dikembangkan dalam pertanian. Teknologi modern merupakan hal yang memang sangat dibutuhkan untuk di tengah fenomena turunnya luas lahan. Menurut Wakil Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB), Bidang Kajian Strategi dan Publikasi Ilmiah, Dr. Eva Anggraini, S.Pi, M.Si, perkembangan teknologi menjadi tantangan pertanian saat ini. Wanita kelahiran 2 Mei 1979 di Batusangkar itu menyatakan, IPB terus mencoba untuk membuat inovasi teknologi modern agar dapat mensejahterakan atau membantu petani Indonesia dalam setiap permasalahan di sektor pertanian.
11. PASAR DAN TATA NIAGA SATU kesalahan besar memisahkan tata niaga dari kegiatan produksi dan konsumsi. Ini yang tergambar dalam potret tata niaga produk pertanian masa lalu dimana tata niaga didefinisikan sebagai aktivitas yang baru akan dimulai setelah proses produksi selesai dilakukan, sehingga tampak bahwa tata niaga adalah kegiatan terpisah dan bukan merupakan satu kesatuan dengan kegiatan produksi. Pada era 1960-an, tata niaga dipandang tidak produktif (tidak berguna) bagi petani karena ada anggapan bahwa petani tugasnya hanya di ranah produksi, sementara kegiatan memasarkan produk adalah ranahnya pedagang. Permasalahan kemudian muncul, di mana para pedagang produk pertanian memiliki akses keuntungan yang lebih dari keuntungan normal (normal profit). Terjadilah distribusi keuntungan yang tidak adil dari produk pertanian, di mana petani sebagai produsen berada di pihak yang memperoleh keuntungan lebih kecil dibanding pedagang. Ketidakadilan distribusi keuntungan tersebut mendorong dideskripsikannya tata niaga produk pertanian yang lebih komprehensif. Tata niaga di era kini dipandang sebagai kumpulan komponen kegiatan ekonomi yang saling terkait dan terkoordinasi antarpara pelaku agar proses transaksi antara produsen dan konsumen berjalan lancar.