Anemia Defisiensi Besi.docx

  • Uploaded by: Talitha Nandhika
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Anemia Defisiensi Besi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,635
  • Pages: 32
ANEMIA DEFISIENSI BESI

I.

Pendahuluan Besi merupakan unsur penting yang ada di dalam tubuh dan memegang peranan dalam berbagai fungsi tubuh, seperti perkembangan dan diferensiasi sel, transport oksigen, transfer elektron, dan kofaktor berbagai enzim (Misal peroxidase-generating enzymes, nitrous oxide generating enzymes). Status besi di dalam tubuh bisa berupa kelebihan besi, defisiensi besi tanpa manifestasi klinis, dan anemia defisiensi besi (Bhattacharya dan Satya, 2017). Anemia defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia yang menyerang hampir 2 milyar orang di dunia. Anemia menempati peringkat keempat di dunia atau sekitar 8,8% kejadian dari penyakit secara global. Negara dengan prevalensi tertinggi adalah Afrika dan Asia Selatan. Penelitian menyebutkan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh rendahnya asupan besi menyerang hampir 40% balita, 30% pada wanita menstruasi, dan 38% pada wanita hamil (Kassebaum et al., 2014). Menurut World Health Organization (WHO), 30% anak usia 0-4 tahun menderita anemia dan sekitar 48% anak usia 5-14 tahun menderita anemia. Pada negara berkembang, prevalensi anemia defisiensi besi pada anak sekitar 15,2%62,5% 9 (Ozdemir, 2015). Penyebab terbanyak anemia defisiensi besi pada negara berkembang di antaranya disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang dan kehilangan darah akibat infestasi parasit. Sedangkan pada negara maju, anemia defisiensi besi disebabkan oleh kebiasaan makan (konsumsi vegetarian dan kurangnya konsumsi daging merah), kondisi patologis seperti kehilangan darah karena penyakit kronik atau pun malabsorbsi) (Pasricha et al., 2013).

II. Definisi Defisiensi besi (Iron deficiency) merupakan penurunan penyimpanan besi yang dapat berkembang menjadi anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi merupakan kondisi yang lebih parah akibat rendahnya besi di dalam tubuh yang berhubungan dengan anemia dan ditemukan sel darah merah

mikrositik hipokromik. Berikut merupakan terminologi yang digunakan dalam memahami anemia defisiensi besi (Camaschella, 2015; Ozdemir, 2015), A. Anemia karena penyakit kronik atau anemia karena inflamasi Anemia yang berhubungan dengan peningkatan sitokin pro inflamasi, peningkatan regulasi hepsidin, dan abnormalitas homeostasis besi. B. Functional Iron Deficiency Insufisiensi erythroid iron yang diakibatkan oleh kebutuhan yang meningkat setelah pemberian erythropoiesis-stimulating agents. C. Iron Deficiency Penurunan kadar besi di dalam tubuh, terutama pada penyimpanan besi, dengan eryhroid iron yang normal. Defisiensi besi berkembang tanpa adanya anemia, namun sudah terjadi perubahan pada jaringan. Jika asupan besi turun, cadangan besi akan turun. Setelah cadangan besi turun, kadar hemoglobin masih normal untuk sementara waktu, sehingga dikategorikan sebagai defisiensi besi tanpa disertai dengan anemia. Pada saat ini, hanya kadar ferritin dan transferrin saturation (TfS) yang menurun. D. Iron Deficiency Anemia Penurunan cadangan besi di dalam tubuh yang menyebabkan penurunan hemoglobin sehingga menimbulkan anemia. E. Iron Refractory Iron Deficiency Anemia (IRIDA) Anemia defisiensi besi yang tidak respon terhadap pemberian terapi besi secara oral. Penyebab tersering disebabkan oleh mutasi TMPRSS6, yakni gen yang mengkode protease transmemberan, serine 6 (matriptase-2).

III. Etiologi Etiologi anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan besi yang meningkat, penurunan pengambilan besi, kehilangan darah, obat-obatan, dan faktor genetik yang dapat dilihat pada Tabel 1. dan

Pada anak, etiologi anemia defisiensi besi dapat berupa permasalahan gastrointestinal seperti ulkus peptikum, divertikulum meckel, polip, hemangioma, inflammatory bowel disease, celiac disease, diare kronik, infestasi parasit, dan pulmonary hemosiderosis. Penyebab anemia defisiensi besi terbanyak pada anak adalah defisiensi nutrisi atau asupan nutrisi yang rendah. Pada remaja, anemia defisiensi besi sering disebabkan oleh pertumbuhan yang cepat dan penyakit Von-Willebrand. Pada wanita usia reproduksi, penyebab anemia defsiensi besi terbanyak adalah karena menstruasi. Sedangkan, penyebab anemia defisiensi besi pada pria dan wanita post menopause adalah perdarahan pada sistem gastrointestinal (Camaschella, 2015; Jimenez et al, 2015). Tabel 1. Etiologi Anemia Defisiensi Besi Etiologi Peningkatan kebutuhan (Increased Demand)

Penurunan Pengambilan Besi (Diminished Iron Uptake)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Keterangan Bayi Pertumbuhan yang cepat saat remaja, Masa kehamilan (trimester 2 dan 3) Wanita menyusui (laktasi) Donor darah. Iron-restricted erythropoietic, yakni pemberian erythropoiesis stimulating agents pada anemia karena penyakit kronik, chronic kidney disease (CKD)

Malabsorbsi: 1. Gastrectomy 2. Duodenal bypass 3. Operasi bariatric, 4. Inflammatory bowel disease (Kolitis ulseratif dan penyakit Chron) 5. Celiac disease 6. Infeksi Helicobacter pylori 7. Gastritis atrofi Penyebab dietary: 1. Insufisiensi nutrisi (vegetarian, kurangnya diet asupan besi) 2. Malnutrisi 3. Intake tinggi phytates, polyphenols

vegan,

Kehilangan Darah (Blood Loss)

Penyebab ginekologi, seperti, 1. Menstruasi hebat 2. Meno(metro)ragia Misalnya: pada mioma uteri, endometriosis, gangguan perdarahan 3. Ca cerviks Penyakit pada traktus gastrointestinal, seperti 1. Malignansi 2. Upper gastrointestinal a. Esofagitis b. Gastritis erosif c. Varises esofagus d. Ulkus gaster e. Ulkus duodenal f. Mallory-Weiss Syndrome g. Angiodysplasia, vascular ectasia h. Diulafoy lesions i. Divertikulum Meckel j. Cameron lesions 3. Lower gastrointestinal a. Divertikulitis b. Inflammatory bowel disease c. Angiodysplasia d. Hemoroid e. Fissura analis f. Infestasi cacing parasit Penyebab karena hemolisis intravaskular 1. AIHA 2. Penyakit katup jantung 3. Hemolisis mikroangiopati Penyebab karena systemic bleeding, seperti 1. Hereditary hemorrhagic telangiectasia 2. Schostosomiasis 3. Malaria 4. Munchausens’s Syndrome

Obat-obatan

1. 2. 3. 4.

Glukokortikoid Asam salisilat NSAID jangka panjang Proton-pump inhibitor

Genetik

1. Iron refractory iron deficiency anemia (IRIDA) 2. Idiopathic Pulmonary Hemosiderosis (Camaschella, 2015; Jimenez et al, 2015).

IV. Patogenesis Pria dan wanita dewasa mengandung 4.000 mg besi di dalam tubuhnya, 2.500 mg besi di dalam eritrosit, 1.000 mg tersimpan di dalam lien dan hepar, sedangkan sisanya terdistribusi dalam mioglobin, sitokrom, dan ferroportin. Namun, hanya sekitar 3 mg besi yang berikatan dengan protein transferrin dan sekitar 1-2 mg besi diekskresikan setiap harinya melalui kulit, enterosit, dan kehilangan darah (Camaschella, 2015). Pada saat periode intrauterine, besi fetus bersumber dari plasenta. Pada akhir kehamilan, jumlah total besi fetus sekitar 75 mg/kgBB. Gambar 1 menggambarkan proses absorbsi besi yang terjadi pada intestinum. Absorbsi besi merupakan suatu proses kompleks yang terjadi pada intestinum yakni pada duodenum dan jejunum. Absorbsi besi pada brush border enterosit melibatkan dua bentuk besi heme dan non heme (Fe2+ dan Fe3+). Pada pH asam di lambung, besi heme berdisosiasi dari hemoprotein, sedangkan besi non heme tereduksi menjadi Fe2+ (Abramowski et al., 2014).

Gambar 1. Proses Absorbsi Besi

Besi heme lebih mudah diabsorbsi dibandingkan dengan besi non heme. Mayoritas besi heme diabsorbsi di intestinum bagian proksimal dan

kapasitasnya menurun pada intestinum bagian distal. Proses absorbsi besi heme dan non heme ke enterosit terletak di membran apikal enterosit. Protein spesifik yang membawa besi heme adalah hephaestin heme carrier protein (HCP1). Besi non heme yang akan masuk ke dalam enterosit harus berupa Fe2+, sehingga Fe3+ (ferric) akan tereduksi menjadi Fe2+ (ferrous) dengan bantuan enzim ferric reductase melalui aktivitas sitokrom B dan STEAPS (six transmembrane epithelial antigen of prostate protein). Fe2+ masuk ke dalam enterosit melalui protein transporter divalent metal transporter (DMT1) + (Abramowski et al., 2014). Besi yang sudah masuk ke enterosit akan dibawa ke sirkulasi menggunakan protein spesifik, yakni ferroportin (FPN1) yang terletak pada membran basolateral enterosit. Ekspresi ferroportin diinduksi oleh besi dan disupresi oleh hepsidin. Hepsidin yang berikatan dengan ferroportin akan menyebabkan internalisasi yang diikuti dengan degradasi lisosom. Hal ini tentunya mensupresi efluks besi dari enterosit atau pun makrofag sehingga menyebabkan penurunan absorbsi besi pada enterosit. Setelah besi berikatan dengan ferroportin, besi harus bertransformasi dari ferrous (Fe2+) menjadi ferric (Fe3+) kembali dengan bantuan enzim ferroxidase, agar besi dapat berikatan dengan protein transferrin (transferrin hanya dapat berikatan dengan Fe3+). Transferrin merupakan suatu protein transporter besi di plasma. Besitransferin kemudian berikatan dengan transferrin receptor (Tfr1). Ikatan tersebut menyebabkan internalisasi membentuk vesikel endosomal sehingga terjadi pengeluaran besi dan kompleks Tf-Tfr1 pada permukaan sel. Pada pH yang netral, Tf berdiosiasi dengan Tfr1 untuk memulai kembali siklus besi, sedangkan Tfr1 berubah menjadi soluble form Tfr1 (sTfr1) menuju spatium ekstraselular dan intraselular. Transferin dan sTfr1 dapat dijadikan indikator diagnosis untuk iron-depleted eythropoiesis (Abramowski et al., 2014). Kelebihan besi di dalam tubuh dalam menyebabkan toksisitas, sehingga kelebihan besi akan disimpan di dalam sitoplasma dalam bentuk molekul ferritin dengan bantuan protein polyRC binding protein 1. Setiap molekul ferritin dapat mengikat hingga 4.500 atom besi. Ferritin juga memiliki sifat enzimatik, yakni mengubah ferric menjadi ferrous. Serum ferritin juga dapat

dijadikan salah satu marker terhadap gangguan besi di dalam tubuh (Abramowski et al., 2014). Prekursor erythroid membutuhkan besi lebih banyak dibandingkan sel mana pun di dalam tubuh. Transport besi ke dalam mitokondria difasilitasi oleh mitoferrin-1 (mitochondrial iron transporter 1 of eythroid transporter). Mitoferrin berinteraksi dengan ATP-binding transporter dan berikatan dengan ferrochelatase untuk membentuk kompleks oligomeric, sehingga terjadi peningkatan pengambilan besi dan biosintesis heme. Sel erythroid mengandung mekanisme adaptasi saat terjadi defisiensi besi dan stres sel. Saat terjadi defisiensi besi dan konsentrasi heme menurun, heme berdisosiasi dari heme-regulated inhibitor kinase (HR1), menginduksi terjadinya autofosforilasi dan fosforilasi alfa subunit pada translasi (Camashella, 2015). Delesi gen ferroportin dapat menyebabkan blokade dalam absorbsi besi sehingga menyebabkan akumulasi logam besi pada enterosit dan makrofag. Selain itu, pada pasien dengan aceruloplasminemia juga terjadi anemia yang berhubungan dengan gangguan pengangkutan besi. Pada gangguan neurologis spesifik dapat terjadi gangguan pada gen ferritin (Camashella, 2015).

V. Patofisiologi Defisiensi besi merupakan hasil jangka panjang akibat ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Berbagai penyebab, seperti kebutuhan besi yang meningkat, penurunan pengambilan besi, kehilangan darah, obat-obatan, dan faktor genetik menyebabkan cadangan besi di dalam tubuh menurun. Hal ini pada awalnya dikompensasi oleh supply besi melalui protein transport apotransferin. Seiring berjalannya waktu, saturasi transferrin menurun dan meningkatnya reseptor transferrin di dalam sirkulasi dan pada permukaan sel (Bhattacharya dan Satya, 2017). Efek anemia defisiensi besi bergantung pada keparahan anemia dan penurunan kemampuan hemoglobin dalam mengikat oksigen, hal ini digambarkan pada ilustrasi Gambar 2. Besi merupakan unsur yang esensial untuk perkembangan dan maturasi sel. Saat terjadi defisiensi besi, maka menginduksi terjadinya penurunan supply oksigen ke jaringan, sehingga

timbul gejala anemia seperti pucat, konjungtiva anemis, mudah lelah, lesu, malaise, restless leg syndrome. Selain itu, efek anemia defisiensi besi terjadi pada mukosa, seperti penurunan ketebalan epitel, atrofi dan penipisan laminan propria, abnormalitas keratin, dan penurunan fungsi koenzim. Hal tersebut dapat menyebabkan beberapa manifestasi klinis seperti koilonikia, glossitis, angular stomatitis, Plummer Vinson Syndrome. Saat terjadi atrofil epitel maka dapat terjadi perubahan pada gaya kinetik sel dan menurunkan motilitas sel, seperti menurunkan motilitas pada gaster. Selain itu, besi memiliki peran yang penting dalam pertahanan sel imun, membantu proses perkembangan dan diferensiasi sel leukosit. Ribonucleotide reductase merupakan enzim yang dependent terhadap besi, digunakan untuk sintesis DNA pembentuk sel limfosit T. Oleh karena itu, saat terjadi anemia defisiensi besi maka dapat menurunkan sistem imun di dalam tubuh sehingga menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap infeksi patogen (Bhattacharya dan Satya, 2017). Menurut penelitian, pada anemia defisiensi besi terjadi penurunan reseptor dopamin dan mengganggu enzim-enzim yang berada pada sistem saraf, sehingga manifestasi klinis yang ditimbulkan seperti gangguan kognitif, gangguan motorik, gangguan mood, bahkan dapat menyebabkan retardasi mental pada anak (Ozdemir, 2015).

Gambar 2. Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi

VI. Penegakan Diagnosis A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Tabel 2 menggambarkan manifestasi klinis yang terjadi pada anemia defisiensi besi yang dapat mengenai berbagai sistem organ (Ozdemir, 2015). Tabel 2. Manifestasi Klinis Anemia Defisiensi Besi Sistem Organ

Keterangan

Kulit

Pucat

Kuku

Koilonychia (kuku sendok)

Sistem Muskuloskeletal

Mudah lelah jika beraktivitas

Sistem Kardiovaskular

Peningkatan cardiac output Takikardia Kardiomegali Gagal jantung

Sistem Gastrointestinal

Angular stomatitis

Atrofic glossitis

Penurunan berat badan Pica Disfagia Gluten sensitive enteropathy Plummer-Vinson Syndrome

Sistem Saraf

Iritabilitas Malaise Papiledema Paresis nervus 6 Restless leg syndrome Gangguan tidur Gangguan tumbuh kembang Penurunan fungsi kognitif Retardasi mental (Ozdemir, 2015).

Selain itu, anamnesis dapat dibedakan menurut kategori usia, seperti pada masa bayi dan anak-anak, wanita usia reproduksi, lelaki dewasa dan wanita usia non reproduktif. 1. Bayi dan anak-anak a. Riwayat antenatal care, intranatal, dan postnatal b. Riwayat ASI, riwayat makanan pendamping ASI, riwayat penggunaan susu formula c. Riwayat imunisasi d. Riwayat transfusi e. Riwayat penyakit genetik 2. Wanita usia reproduksi a. Riwayat menstruasi b. Riwayat keputihan c. Riwayat menikah d. Riwayat penggunaan kontrasepsi e. Riwayat laktasi 3. Dewasa a. Riwayat nyeri pada perut b. Riwayat BAB hitam, BAB berdarah c. Riwayat muntah darah d. Riwayat komorbid penyakit, misal hipertensi, DM, penyakit jantung, penyakit ginjal e. Riwayat penggunaan obat-obatan jangka panjang, Misal: NSAID, proton pump inhibitor, asam salisilat f. Riwayat pekerjaan

B. Pemeriksaan Penunjang 1. Lab Darah Gambar 3 menggambarkan algoritma pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis anemia mikrositik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan seperti darah lengkap (hemoglobin, mean corpuscular hemoglobin, mean corpuscular volume, red blood cell distribution width), serum iron, total iron binding capacity, transferrin saturation, ferritin, gambaran darah tepi, dan bone marrow biopsy (Jimenez et al, 2015; Vranken, 2010).

Gambar 3. Algoritma Diagnosis Anemia Mikrositik

a. Hemoglobin Menurut World Health Organization (WHO), anemia dikategorikan saat Hb <13 g/dL pada pria dewasa, <12 g/dL pada wanita dewasa yang tidak hamil, dan <11 g/dL pada wanita hamil (Jimenez et al, 2015). Sedangkan, pada anak-anak kriteria anemia dikategorikan berdasarkan usia dan jenis kelamin yang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria Anemia pada Anak berdasarkan WHO Kelompok berdasarkan usia dan jenis kelamin Anak usia 6-59 bulan Anak usia 5-11 tahun Anak usia 12-14 tahun Anak perempuan usia >15 tahun Anak laki-laki usia >15 tahun

Hemoglobin (g/dL) 11 11,5 12 12 13

Hematokrit (%) 33 34 36 36 39 (Ozdemir, 2015).

b. Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) dan Mean Corpuscular Volume (MCV) Pada anemia defisiensi besi, MCV dan MCH turun, sehingga menyebabkan gambaran anemia mikrositik hipokromik (Thomas et al, 2013). Defisiensi nutrisi (Misal: Malabsorbi) atau penggunaan thiopurine (Misal azathioprine pada IBD) dapat menyebabkan kombinasi anemia defisiensi besi dan anemia makrositik, sehingga menyebabkan anemia normositik (Jimenez et al, 2015). c. Red blood cell distribution width (RDW) Red blood cell distribution width mengukur variasi ukuran sel darah merah. Pada anemia defisiensi besi terjadi peningkatan RDW >14. Namun, RDW normal pada anemia karena penyakit kronik (Vranken, 2010). d. Serum Iron Serum iron menurun pada anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi dikategorikan jika serum iron <30 mcg/dL. Serum iron memiliki variasi diurnal, di mana kadar serum iron memiliki konsentrasi yang lebih tinggi pada malam hari. Peningkatan serum

iron secara sementara dapat terjadi akibat ingesti daging merah atau pun sumplementasi besi (Vranken, 2010). e. Total Iron Binding Capacity (TIBC) TIBC merupakan kemampuan unsaturated transferrin, dalam mengikat besi. Pada anemia defisiensi besi, TIBC meningkat, sedangkan pada anemia karena penyakit kronik TIBC menurun. Pada anemia defisiensi besi TIBC meningkat >480 mcg/dL (Vranken, 2010). f. Transferrin saturation (TfS) Transferrin saturation adalah persentase serum iron/TIBC x 100. TfS di bawah 20% mengindikasikan terjadinya anemia defisiensi besi, namun pada penelitian lain <16% (Vranken, 2010; Ozlemir, 2015). g. Ferritin Ferritin merupakan kompleks besi yang berikatan dengan protein apoferritin, Ferritin menggambarkan penyimpanan besi. Kadar ferritin 15 ng/mL (15 mcg/L) pada orang sehat mengindikasikan terjadinya anemia defisiensi besi, sedangkan pada pasien dengan inflamasi kronik kadar ferritin 50 ng mL (50 mcg per L) baru menggambarkan anemia defisiensi besi. Kadar ferritin dapat meningkat pada keadaan inflamasi kronik, CHF, CKD, dan keganasan. Kadar ferritin >100 ng/mL tidak menggambarkan anemia defisiensi besi (Vranken, 2010).

2. Gambaran Darah Tepi Gambar 4 menunjukkan gambaran anemia mikrositik hipokromik pada gambaran darah tepi. Gambar 5, 6, 7 menunjukkan gambaran khas anemia defisiensi besi berupa sel mikrositik hipokromik dan gambaran sel target, sel tear drop, dan sel pensil (Adewoyin dan Nwogoh, 2014).

Gambar 4. Anemia Mikrositik Hipokromik pada Gambaran Darah Tepi

Gambar 5 Gambaran Darah Tepi Sel Target pada pada Anemia Defisiensi Besi

Gambar 6 Gambaran Darah Tepi Sel Tear Drop pada Anemia Defisiensi Besi

Gambar 7. Gambaran Darah Tepi Sel Pensil pada Anemia Defisiensi Besi

Tabel 4 menunjukkan abnormalitas bentuk sel berdasarkan penyakit yang ditimbulkan. Gambaran khas pada anemia defisiensi besi berupa sel target, sel tear drop, sel pensil (Adewoyin dan Nwogoh, 2014). Tabel 4. Abnormalitas Bentuk Sel pada Gambaran Darah Tepi Bentuk Sel Sickled red cells (drepanocytes)

Differential Diagnosis Sickle cell syndrome

Sel target (codocytes, mexican hat cells)

Sickle cell disease, thalassemia, anemia defisiensi besi, kolestasis, asplenia

Sel fragmentosit (schistosit, sel helmet, keratosit)

Thrombotic micro-angiopathic haemolytic, misal disseminated intravascular coagulopathy (DIC), idiopathic trombositopenia purpura, haemolytic uraemic syndrome

Sel burr (echinocytes, crenated red cells)

Uraemia, malnutrisi

Sel spurr (acanthocytes) Penyakit hati, renal failure, abetalipoproteinemia, spurr cell anemia, defisiensi piruvat kinase Sel tear drop

Myelofibrosis, extramedullary haemopoiesis, anemia defisiensi berat, anemia megaloblastik, thalassemia, myelodisplastic syndrome (MDS)

Sel bites (dacrocytes)

Defisiensi enzim G6PD, stres oksidatif, congenital heinz body anemia

Sel pensil

Anemia defisiensi besi

Stomatosit

Penyakit hati, alkoholism, penyakit paru obstruktif

Elliptosit

Hereditary elliptocytes

Sel basket (half ghost cells, blister cells)

Stres oksidatif, defisiensi enzim G6PD, unstable hemoglobin

Sferosit

Hereditary spherocytes, inkompatibilitas ABO, AIHA (warm antibody type) (Adewoyin dan Nwogoh, 2014).

3. Bone Marrow Biopsy Bone marrow biopsy digunakan untuk mengidentifikasi anemia sideroblastik. Anemia sideroblastik didiagnosis menggunakan biopsi sumsum tulang (bone marrow biopsy) ketika ≥15% sumsum tulang berisi cincin sideroblastik (Bhandari et al, 2016). . 4. Pemeriksaan Penunjang untuk mengetahui underlying disease a. Pemeriksaan Coomb Test b. Pemeriksaan Hb elektroforesis c. Pemeriksaan Feses d. Pemeriksaan Urinalisis e. Pemeriksaan Ureum, Kreatinin f. Pemeriksaan Fungsi Hati g. Pemeriksaan Foto thoraks h. Pemeriksaan Ultrasonography i. Pemeriksaan Endoskopi j. Pemeriksaan Kolonoskopi k. Pemeriksaan CT scan l. Pemeriksaan Ekokardiografi

VII. Differential Diagnosis Anemia mikrositik didefinisikan saat mean corpuscular volume (MCV) <80 µm3 (80 fL). Penyebab anemia mikrositik berdasarkan kategori usia dapat dilihat pada Tabel 5 (Vranken, 2010). Tabel 5. Differential Diagnosis Penyebab Anemia Mikrositik berdasarkan Kategori Usia Anak-anak Wanita Usia Pria dan Wanita Reproduksi Non-Menstruasi 1. Anemia defisiensi 1. Anemia defisiensi 1. Anemia defisiensi besi besi besi 2. Thalassemia 2. Thalassemia 2. Anemia karena 3. Hemoglobinopathy 3. Kehamilan penyakit kronik 4. Tokisistas Timbal 4. Anemia karena 3. Thalassemia 5. Inflamasi kronik penyakit kronik 6. Anemia sideroblastik 5. Anemia sideroblastik (Vranken, 2010).

Tabel 6 menggambarkan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis anemia mikrositik. Penyebab anemia mikrositik antara lain adalah anemia defisiensi besi, anemia karena penyakit kronik, toksisitas timbal, anemia sideroblastik, dan thalassemia. Tabel 6. Pemeriksaan Penunjang sebagai Indikator Penyebab Anemia Mikrositik Diagnosis Test Anemia Anemia karena Anemia Thalassemia defisiensi besi penyakit kronik sideroblastik Serum ferritin Menurun Meningkat Normal Normal Meningkat Meningkat RDW Normal Normal Meningkat Meningkat Meningkat Serum iron Normal Normal Normal – Menurun Meningkat Menurun Meningkat TIBC Normal Menurun Normal Meningkat Saturasi Normal Normal Normal Menurun Trasnferrin Meningkat Menurun Meningkat (Vranken, 2010). Thalassemia β merupakan penyakit genetik autosomal resesif yang ditandai dengan berkurangnya produksi rantai β globin. Pasien dengan thalassemia β memiliki anemia sedang (Hb <9,3 g/dL). Kadar MCV biasanya lebih rendah dibandingkan anemia defisiensi besi. Pemeriksaan Hb elektroforesis perlu dilakukan. Pada pasien dengan thalassemia terjadi peningkatan HbA2. Thalassemia α disebabkan oleh berkurangnya produksi rantai α globin. Produksi rantai α globin dikontrol oleh 4 gene pada kedua kromosom, delese sebuah gen menghasilkan status silent carrier pada pasien. Namun, delesi kedua gen dapat menimbulkan manifestasi klinis mikrositosis tanpa anemia. Pada pemeriksaan Hb elektroforesis seringkali hasil normal (Vranken, 2010). Anemia karena penyakit kronik dapat disebabkan oleh inflamasi atau pun infeksi kronik. Peningkatan sitokin pro inflamasi menyebabkan penurunan produksi eritropoietin, penurunan respon terhadap eritropoietin, dan mempengaruhi metabolisme besi. Walaupun anemia karena penyakit kronik biasanya menimbulkan anemia normositik, namun hampir 1/3 kasus

menggambarkan anemia mikrositik. Pada anemia karena penyakit kronik ditandai oleh penurunan serum besi, peningkatan ferritin, dan penurunan TIBC (Vranken, 2010). Anemia sideroblastik merupakan anemia yang ditandai oleh cincin sideroblast pada sumsum tulang, eritropoiesis yang tidak efektif, dan peningkatan besi pada jaringan. Anemia sideroblastik ditandai oleh gambaran eritrosit hipokromik pada pemeriksaan gambaran darah tepi. Anemia sideroblastik didiagnosis menggunakan biopsi sumsum tulang (bone marrow biopsy) ketika ≥15% sumsum tulang berisi cincin sideroblastik (Bhandari et al, 2016).

VIII. Tatalaksana A. Farmakologis 1. Oral Iron Therapy Pemberian dosis besi elemental pada dewasa sebesar 100200 mg per hari, sedangkan pada anak dosis pemberian besi elemental 3-6 mg/kgBB. Besi elemental yang diberikan dapat berupa ferrous sulfate, ferrous gluconate, dan ferrous fumarat. Preparat besi elemental dapat dilihat pada tabel (Jimenez et al, 2015; Sharma dan Meenakshi, 2010). Terapi oral diberikan selama 3-6 bulan untuk mengganti penyimpanan besi dan menormalkan kadar ferritin serum (Camaschella, 2015).

Preparat besi yang

paling sering digunakan adalah ferrous sulphate karena memiliki bioavaibilitas yang tinggi (Ozlemir, 2015). Tabel 7. Preparat Besi Secara Oral Preparat Besi Ferrous fumarate Ferrous gluconate Ferrous glycine sulphate Ferrous succinate Ferrous sulphate Ferrous sulphate dried

Elemental Iron (mg) 65 mg 35 mg 45 mg 35 mg 60 mg 65 mg (Sharma dan Meenakshi, 2010).

Pemberian suplementasi besi secara oral efektif bila pengambilan besi pada intestinal baik. Efikasi pemberian besi secara oral berkurang ketika terjadi permasalahan pada absorbsi besi di intestinal (Misal, celiac disease, autoimmune gastritis, anemia karena penyakit kronik, post gastric atau pun duodenal resection), kehilangan darah yang banyak (Misal: menorhagia, perdarahan gastrointestinal, atau pun post-surgery). Tabel 8 menggambarkan

keuntungan

dan

kerugian

pemakaian

suplementasi besi secara oral (Jimenez et al, 2015). Tabel 8. Keuntungan dan Kerugian Suplementasi Besi secara Oral Keuntungan Kerugian 1. Mudah untuk diberikan 1. Efikasi obat berkurang saat 2. Tidak mahal terdapat gangguan pada 3. Pemberian efektif jika absorbsi besi di intestinal absorbsi besi pada 2. Efek samping gastrointestinal intestinal tidak mengalami yang ditimbulkan dapat gangguan mempengaruhi dosis obat yang diberikan (Misal, mual, muntah, nyeri perut, konstipasi) 3. Iritasi pada lapisan mukosa (Jimenez et al, 2015). Pemberian suplementasi besi dibatasi pada pasien dengan anemia ringan (Hb 11,0-11,9 g/dL pada wanita tidak hamil dan Hb 11,0-11,9 g/dL pada pria) karena penggantian besi berjalan lambat. Ketika penggantian besi dibutuhkan dalam waktu yang cepat, maka suplementasi besi secara parenteral lebih dianjurkan. Respon pemberian terapi dimonitoring melalui peningkatan kadar Hb 2 g/dL selama 4-8 minggu. Jika kadar Hb tidak respon dalam rentang waktu pemberian terapi, modifikasi terapi perlu dilakukan (Misal: pemberian suplementasi besi secara parenteral) dan identifikasi etiologi utamanya (Jimenez et al, 2015). Efek jangka panjang pemberian besi di antaraya mual, muntah, konstipasi, dan BAB hitam. Penelitian menujukkan bahwa salah beberapa parameter evaluasi terapi pemberian besi secara oral adalah dengan pemeriksaan kadar hemoglobin, retikulosit, dan hepsidin serum. Jika terapi besi oral berhasil maka terjadi

penurunan kadar hepsidin serum, namun jika pasien tidak respon terhadap pemberian besi secara oral, kadar hepsidin serum cenderung normal atau meningkat (Camaschella, 2015).

2. Parenteral Iron Therapy Pemberian suplementasi besi secara parenteral merupakan terapi efektif pada anemia defisiensi besi dan dapat diberikan ketika terapi besi secara oral tidak respond. Indikasi pemberian terapi besi secara parenteral dapat dilihat pada Tabel 9 (Camaschella, 2015). . Tabel 9. Indikasi Parenteral Iron Therapy Indikasi Established Indication

Keterangan Terapi besi secara oral tidak respon. Iron Refractory Iron Deficiency Anemia (IRIDA), misalnya pasca gastrectomy atau pun duodenal bypass, infeksi Helicobacter pylori, celiac disease, gastritis atrofi, inflammatory bowel disease, atau pun IRIDA secara genetik. Pasien membutuhkan koreksi anemia secara cepat, misalnya anemia defisiensi besi berat saat kehamilan trimester dua dan tiga, perdarahan kronik yang tidak membaik dengan terapi besi secara oral, dan pada pasien dengan kelainan koagulasi kongenital (Misal: hereditary hemorrhagic telangiectasia). Pasien dengan pemberian erythropoiesis-stimulating agents pada chronic kidney disease

Potential Indication

Anemia pada chronic kidney disease (tanpa pemberian erythropoiesis-stimulating agents dan menerima hemodialisa) Anemia persisten setelah pemberian erythropoiesisstimulating agents pada pasien kanker yang melakukan kemoterapi atau pun pada pasien dengan low risk myelodisplastic syndrome (MDS) Anemia karena penyakit kronik yang tidak respon terhadap pemberian erythropoiesis-stimulating agents

Potential Indication with Insufficient Supporting Data

Defisiensi besi pada pasien dengan gagal jantung Strategi transfusion-sparing pada pasien dengan tindakan pembedahan (Camaschella, 2015).

Dosis pemberian besi parenteral dahulu menggunakan formula Ganzoni, yakni total iron deficit in mg = (berat badan dalam kilogram x (targer Hb – actual Hb dalam g/dL) x 0,24) + 500. Namun, formula ini dinilai kurang representatif, sehingga FERGICOR (FER Inject in GI Disorder to Correct Iron Deficiency) merekomendasikan dosis pemberian besi parenteral menggunakan parameter hemoglobin dan berat badan yang dapat dilihat pada Tabel 10 (Jimenez et al, 2015). Tabel 10. Estimasi Kebutuhan Total Besi Derajat Anemia Tidak anemia Sedang Berat Krisis

Kadar Hb (g/dL) Normal 10-12 (wanita) 10-13 (pria) 7-10 <7

Dosis untuk berat badan <70kg (mg) 500

Dosis untuk berat badan >70kg (mg) 1.000

1.000

1.500

1.500 2.000

2.000 2.500 (Jimenez et al, 2015).

Ketika besi yang dibutuhkan banyak maka preparat ferric carbocymaltose dan low-molecular iron dextra dapat digunakan. Preparat lain yang dapat digunakan dapat dilihat pada Tabel 11. Evaluasi kadar ferritin dilihat setelah 8-12 minggu pemberian terapi. TfS >50% merupakan indikator iron overload. Oleh karena itu, terapi kemudian dapat dimodifikasi kembali. Kadar Hb seharusnya naik 2 g/dL dalam 4-8 minggu setelah diberikan terapi suplementasi besi parenteral. Pasien yang tidak respon terhadap pemberian besi secara parenteral (Misal pada pasien anemia karena penyakit kronik) sebaiknya ditambahkan pemberian erythropoiesis stimulating agent. Ketika pemberian erythropoiesis stimulating agent digunakan, maka target Hb ≥12 g/dL (Jimenez et al, 2015).

Tabel 11. Preparat Besi Parenteral Formulasi Besi High-molecularweight iron dextran Low-molecularweight iron dextran Ferric carboxymaltose

Dosis Test 25 mg (0,5 mL) selama 5 menit, monitoring 1 jam 25 mg (0,5 mL) selama 30 detik, monitoring 1 jam Tidak

Ferumoxytol

Tidak

Iron Sucrose

Tidak

Sodium ferric gluconate complex

Tidak

Dosis Per Sesi Pemberian 100 mg besi secara IV, ≤50 mg/menit 100 mg besi secara IV, ≤50 mg/menit 750 mg besi secara IV, 100 mg/menit atau pemberian melalui infus selama 15 menit. 510 mg besi secara IV, 30 mg/detik atau melalui infus selama 15 menit 100-200 mg secara IV selama 205 menit atau melalui infus selama 15 menit 62,5-125 mg secara IV, 12,5 mg/menit melalui infus selama 1 jam (Jimenez et al, 2015).

Efek samping suplementasi besi parenteral antara lain mual, muntah, pruritus, flushing, mialgia, atralgia, nyeri dada, nyeri punggung. Reaksi hipersensitivitas jarang terjadi. Efek samping yang serius ditimbulkan saat pemberian suplementasi besi parenteral menggunakan dextran yang disebabkan oleh high-molecular-weight iron dextran (HMWID) (Jimenez et al, 2015). Faktor predisposisi terjadinya reaksi hipersensitivitas antara lain infus secara cepat, riwayat atopi, dan alergi terhadap obat. Penggunaan

premedikasi

dengan

antihistamin

tidak

dianjurkan

dikarenakan dapat memicu terjadinya hipotensi dan takikardia. Tabel 12 menggambarkan keuntungan dan kerugian suplementasi besi secara parenteral (Camaschella, 2015).

Tabel 12. Keuntungan dan Kerugian Suplementasi Besi secara Parenteral Keuntungan Penggantian besi secara cepat Aman jika dosis yang digunakan sesuai dan penggunaan dextran dengan berat molekul tinggi dihindarkan Pemberian masih efektif bila terdapat gangguan pada absorbsi besi di intestinal

Kerugian Memerlukan petugas kesehatan Dapat menimbulkan kadar besi yang terlalu banyak dan meningkatkan stres oksidatif Potensial menimbulkan reaksi syok anafilaktik saat menggunakan preparat dextran (Camaschella, 2015).

3. Iron Amino Acid Chelates Penelitian terbaru menemukan preparat besi dengan asama amino, seperti iron polymaltose complex (IPC) dan iron hydroxidase. IPC dan iron hydroxidase merupakan kompleks nonionic iron yang stabil. Absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan dan susu. Pemberian bisa diberikan bersamaan dengan makanan (Sharma dan Meenakshi, 2010).

4. Transfusi Darah Transfusi darah sebaiknya diminimalisir pada kasus anemia defisiensi besi karena penyakit kronik. Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan aktif, hemodinamik tidak stabil, pasien dengan anemia gravis (Hb <7 g/dL), acute myocardial ischemia, atau pun jika terapi yang diberikan gagal untuk mengkoreksi anemia. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskular cut off Hb adalah <8 g/dL. Transfusi darah merupakan solusi yang sementara dan perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut dalam memberikan tatalaksana sesuai dengan etiologi yang terjadi. Pemberian besi secara parenteral dan erythropoiesis agent dapat ditambahkan secara bersamaan untuk mengkoreksi dan menjaga kadar Hb (Jimenez et al, 2015). .

5. Pemberian Erythropoietin Stimulating Agents (Epover) Pemberian erythropoietin stimulating agents (Epover) dapat diberikan secara subkutan atau pun intravena dengan dosis pemberian 100-150 IU/kgBB. Obat-obatan seperti adrenalin, hidrokortison, dan oksigen harus disiapkan untuk mengantisipasi efek samping yang ditimbulkan (Sharma dan Meenakshi, 2010).

6. Identifikasi dan Tatalaksana berdasarkan Etiologi Algoritma tatalaksana anemia defisiensi besi dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Algoritma Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi

Beberapa tatalaksana Anemia Defisiensi Besi berdasarkan etiologi: a. Kehamilan Saat kehamilan, sekitar 1.000 mg besi dibutuhkan. 500600 mg untuk pembentukan sel darah merah, 300 mg untuk fetus dan plasenta, dan sisanya untuk perkembangan uterus (Sharma dan Meenakshi, 2010). Suplementasi besi secara adekuat pada saat kehamilan dapat mencegah komplikasi

kehamilan bagi maternal dan fetal. Komplikasi pada maternal seperti

lemah,

letih,

lesu,

takikardia,

gagal

jantung,

preekelampsia, sepsis, partus prematurus imminens, dan abortus spontan. Sedangkan komplikasi pada fetal kelahiran prematur dan kecil masa kehamilan (Jimenez et al, 2015; Sharma dan Meenakshi, 2010). Pemberian suplementasi besi pada ibu hamil semenjak trimester kedua dan diberikan selama 3 bulan. Dosis besi diberikan 60 mg per hari untuk terapi profilaksis. Namun, saat wanita hamil sudah didiagnosis anemia, maka dosis ferrous sulfat dapat diberikan 120-180 mg per hari. Jika pemberian suplementasi besi oral pada kehamilan menimbulkan efek samping seperti mual dan muntah, maka dapat diberikan suplementasi besi secara parenteral (Jimenez et al, 2015). Selain pemberian suplementasi besi pada ibu hamil, maka diperbikan juga suplementasi asam folat 500 mg per hari. Asam folat berfungsi untuk mencegah defek pada neural tube (Sharma dan Meenakshi, 2010).

b. Anak-anak Dosis pemberian suplementasi pada anak 3-6 mg/kgBB. Beberapa buku dan literatur menyebutkan dosis yang berbeda, seperti pada Nathan and Oski’s hematology textbook menyebutkan dosis 3 mg/kgBB. Lanzkowsky’s Pediatric Hematology Oncology textbook 4,56 mg/kgBB/hari, dan William’s hematology textbook 6 mg/kgBB/hari. Sediaan preparat besi yang tersedia bagi anak, yakni bentuk drop dan suspensi, misalnya Ferrosanol 1 drop=1 mg, 1 sendok mengandung 20 mg besi elemental. Selain itu, tersedia dalam bentuk pil yang mengandung 40 mg besi elemental, dan kapsul yang mengandung 100 mg besi elemental (Ozlemir, 2015).

Terapi pemberian besi intravena pada anak diberikan saat pemberian terapi besi oral tidak respon, membutuhkan penggantian besi secara cepat, dan terdapat gangguan pada penyerapan besi di dalam tubuh. Pemberian yang sering digunakan adalah iron sucrose. Dosis minimal yang diberikan 0,15 mL/kgBB = 3 mg/kgBB, dosis maksimal yang diberikan 0,35 mL/kg BB = 7 mg/kgBB (Ozlemir, 2015).

c. Perdarahan Gastrointestinal Perdarahan

gastrointestinal

merupakan

penyebab

terbanyak terjadinya anemia defisiensi besi pada pria dan wanita

post-menopausal,

sedangkan

pada

wanita

premenopausal merupakan penyebab kedua setelah penyebab menstrual blood loss. Pada pasien yang memenuhi kriteria high risk terhadap terjadinya perdarahan gastrointestinal (>50 tahun, riwayat keluarga mengalami keganasan gastrointestinal, gejala gastrointestinal, Hb <10 g/dL), maka dapat diberikan suplementasi besi secara oral. Jika perdarahan lebih berat, maka dapat diberikan terapi besi secara parenteral dan dilakukan pemeriksaan penunjang non invasif (Misal skrining untuk penyakit celiac disease, infeksi Helicobacter pylori, autoimmune penunjang

atrophic seperti

gastritis)

atau

pun

pemeriksaan

esophagogastroduodenoscopy

(EGD),

endoskopi, atau pun kolonoskopi. Jika tidak ada kriteria yang memenuhi

perdarahan

gastrointestinal

maka

diperlukan

evaluasi ulang 4-8 minggu setelah pemberian terapi. Pemberian suplementasi besi secara parenteral dapat diberikan jika terapi inisasi tidak menunjukan respon yang baik (Jimenez et al, 2015).

d. Perdarahan Menorrhagia (Heavy Menstrual Bleeding) Menorrhagia menyerang sekitar 30% wanita usia reproduksi. Anamnesis terkait permasalahan ginekologi harus digali, seperti lama waktu haid, banyaknya darah haid, frekuensi haid dalam tiap bulan, adakah perdarahan di luar masa haid, serta faktor predisposisi yang mendukung (Jimenez et al, 2015).

e. Infestasi Parasit Infestasi

cacing

parasit

dapat

diobati

dengan

memberikan albendazol 400 mg atau pun mebendazol 100 mg (Sharma dan Meenakshi, 2010).

f. Karsinogenesis Homeostasis

besi

diregulasi

secara

ketat

untuk

mencegah terjadinya kerusakan redox oleh free ion. Fe2+ yang bebas dapat berikatan dengan hydrogen peroxide (H2O2) untuk membentuk reactive hydroxyl radicals (Reaksi Fenton). Hydroxyl radicals dapat bereaksi dengan berbagai molekul dan merusakan nukleotida dan rantai DNA. Menurut penelitian, tingginya kadar TfS dan intake iron dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker.penelitian lain juga menunjukkam terhadap hubungan tingginya konsumsi daging merah dengan kejadian kanker colorectal. Pemakaian suplementasi besi secara oral (terutama ferrous sulfate) dan suplementasi besi secara parenteral (terutama iron sucrose dan irone gluconate) dapat meningkatkan stres oksidatif. Namun, beberapa penelitian lain juga menunjukan bahwa pemakaian suplementasi besi jangka panjang dengan peningkatan risiko kejadian karsinogenesis masih belum jelas. Walau bagaimana pun, pemakaian suplementasi besi sebaiknya dibatasi untuk mencegah iron oversupply (Jimenez et al, 2015)..

B. Non Farmakologis 1. Diet yang mengandung komponen besi. Sumber besi heme dapat didapatkan pada daging merah, ikan, telur. Sedangkan sumber besi non heme dapat didapatkan pada sayuran, seperti bayam, daun mustard, tauge, dan lobak. Saat memasak, hindari memasak yang terlalu lama (Sharma dan Meenakshi, 2010; Ozlemir, 2015). 2. Diet yang mengandung asam askorbat (Ascorbic acid) Asam ascorbat dapat meningkatkan absorbsi besi lama (Sharma dan Meenakshi, 2010; Ozlemir, 2015). 3. Mengoptimalkan ASI Mengoptimalkan ASI untuk bayi pada usia 6 bulan pertama. Menurut penelitian, pemberian makanan pendamping ASI pada bayi di usia 6 bulan pertama dapat menurunkan proses absorbsi besi. Menurut WHO, makanan pendamping ASI (MPASI) sebaiknya diberikan pada saat usia di atas 6 bulan, dengan memberikan makanan yang mengandung besi, zink, fosfor, magnesium, kalsium, vitamin B6, vitamin C, seperti daging, ikan, telur. Selain itu, pemberian susu sapi pada bayi pada awal kelahiran berhubungan dengan heat-sensitive terhadap susu sapi dan dapat menurunkan kadar besi. Penyerapan besi pada susu sapi lebih lambat dibandingkan dengan ASI (Ozlemir, 2015).. 4. Iron Biofortification Iron biofortification yang dilakukan antara lain high-iron rice menggunakan pendekatan transgenik. High iron rice dengan menambahkan gen soybean ferritin di bawah kontrol endosperm-spesific glutelin untuk meningkatkan kandungan besi (Sharma dan Meenakshi, 2010). 5. Kurangi diet yang mengandung plant-derived phytates dan tannin.

Sereal

yang

mengandung

phytates

dan

teh

yang

mengandung tannin dapat menurunkan absorbsi besi (Sharma dan Meenakshi, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

Abramowski, S.W., Gerard, W., Christoph, G., Andreas, B., Beat, M,F., Bernand, F., et al. 2014. Physiology of Iron Metabolism. Transfusion Medicine and Hemotheraphy. Volume: 213-221. Bhandari, P., Hamal, R., Shrestha, A., Shrivastav, S. 2016. Sideroblastic Anemia. Journal of Pathology of Nepal. Volume 6: 959-961. Bhattacjarya, P.T., Satya, R.M. 2017. Effects of Iron Deficiency on the Oropharyngeal Rehion: Signs, Symptomps, and Biological Changes. Research Gate. Adewoyin, A.S. Nwogoh. 2014. Peripheral Blood Film – a Review. Annals of Ibadan Postgraduate Medicine. Volume 12(2). Camashella, C. 2015. Iron Deficiency Anemia. The New England Journal of Medicine. Volume 372: 1832-1843. Jimenez, K., Stefanie, K.D., Christoph, G. 2015. Management of Iron Deficiency Anemia. Gastroenterology and Hepatology. Volume 11(4). Kassebaum.N.J, Jasrasaria, R., Naghavi M., Wulf, S.K., Johns, N., Lozano, R., et al. 2014. A Sytematic Analysis of Global Anemia Burden from 1990-2010. Pubmed. Volume 123(5): 615-624. Ozdemir, N. 2015. Iron Deficiency Anemia from Diagnosis to Treatment in Children. Turk Pediatri Arsivi. Volume 50: 11-19. Pasricha, S.R., Drakesmith, H., Black, J., Hipgrave, D., Biggs, B.A. 2013. Control of Iron Deficiency Anemia in Low and Middle Income Countries. Pubmed. Volume 121(14): 2607-2617. Sharma, J.B., Meenakshi, S. 2010. Anemia in Pregnancy. Journal of India Institute of Medical Science. Volume 23(4). Thomas, D.W., Rod, F.H., Carol, B., Iain, C.M., Tim, L., Ivor, C. 2013. Guideline for the Laboratory Diagnosis of Functional Iron Deficiency. British Journal of Haematology. Volume 161(5): 639-648. Vranken, M.V. 2010. Evaluation of Microcytosis. American Family Physician. 82(9).

PRESENTASI KASUS BESAR ANEMIA DEFISIENSI BESI

Diajukan kepada: dr. Wahyu Djatmiko, Sp.Pd (K) HOM

Disusun oleh: Rahmatika Gita Pratiwi G4A017057

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2018

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS BESAR ANEMIA DEFISIENSI BESI

Disusun oleh: Rahmatika Gita Pratiwi G4A017057

Telah dipresentasikan pada tanggal 20 Oktober 2018

Pembimbing,

dr. Wahyu Djatmiko, Sp.Pd (K) HOM NIP. 19700419 200801 1 006

Related Documents


More Documents from "the day"