REFERAT Reaksi Anafilaktik
Pembimbing : dr. Febie Chriestya, Sp.PD, M.Sc
Penyusun : Christiandi Budiman
2015-061-007
Trisha Ardine Leonardo
2015-061-148
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA RUMAH SAKIT ATMA JAYA JAKARTA PERIODE 19 SEPTEMBER – 26 NOVEMBER 2016
DAFTAR ISI Bab I Pendahuluan 1 1.1 1.2
Latar Belakang 1 Tujuan 1 1.2.1 Tujuan Umum 1.2.2 Tujuan Khusus
1 1
Bab II Pembahasan 2 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6.
Definisi 2 Epidemiologi 2 Etiologi 2 Patofisiologi 3 Manifestasi Klinis 4 Diagnosis 4 2.6.1. Penegakan Diagnosis 4 2.6.2. Pemeriksaan Penunjang 7 2.6.3. Diagnosis Banding 9 2.7. Tata Laksana 10 2.7.1. Alur Penatalaksanaan anafilaksis akut 10 2.7.2. Obat-obatan pada reaksi anafilaksis 11 2.7.3. Observasi 14 2.8. Prognosis 14 2.9. Pencegahan 15 Bab III Kesimpulan 16 Daftar Pustaka
17
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Frekuensi kejadian anafilaksis secara global semakin meningkat, akibat peningkatan jumlah zat yang berpotensi menjadi alergen yang terpapar pada manusia. 1 Reaksi anafilaktik bisa terjadi pada siapa saja, berpotensi fatal dan dengan onset yang cepat, sehingga merupakan suatu kedaruratan medis yang memerlukan identifikasi dan intervensi secepatnya.2 Kematian akibat reaksi anafilaktik tidak sering terjadi namun juga tidak langka. Angka mortalitas berkisar antara 0,65-2%, dengan penyebab tersering yaitu kolaps kardiovaskular dan gangguan respirasi.3 Kematian bisa terjadi dengan cepat, dengan interval 25-35 menit dari awal onset gejala hingga kegagalan kardiopulmoner pada kasus akibat makanan, 10-20 menit akibat obat-obatan, dan 10-15 menit akibat sengatan serangga.4 Reaksi anafilaktik memiliki tampilan klasik berupa urtikaria dan/atau angioedema, hipotensi, dan bronkospasme, dan bisa didiagnosa secara klinis serta sembuh dengan sempurna bila diberi penanganan segera. Namun kenyataannya masih banyak kasus yang tidak teridentifikasi dan terobati, akibat gejala yang kadang tidak khas dan masih belum ditetapkannya definisi anafilaksis yang bisa diterima secara universal. 5 Pemahaman terhadap penyebab, mekanisme, juga pencetus bagi penyakit ini diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. 1.2
Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Memberikan gambaran mengenai reaksi anafilaktik 1.2.2 Tujuan Khusus Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi, diagnosis, diagnosis banding, serta tatalaksana dari reaksi anafilaktik
1
BAB II PEMBAHASAN 2.1.
Definisi Reaksi anafilaktik atau anafilaksis adalah suatu reaksi alergi multisistem berat yang timbul mendadak setelah kontak dengan alergen. Secara klasik, reaksi anafilaksis melibatkan proses sensitisasi terhadap suatu alergen, dengan paparan selanjutnya mencetuskan gejala melalui mekanisme imunologis.6 Selain itu terdapat mekanisme lain yang tidak memerlukan riwayat paparan terhadap suatu alergen, namun dengan perjalanan penyakit dan penanganan yang sama dengan anafilaksis, yang disebut reaksi anafilaktoid.2
2.2.
Epidemiologi Suatu review pada tahun 2008 menyimpulkan prevalensi seumur hidup anafilaksis secara global adalah sebanyak 1-2%.7 Penelitian di Rochester, Minnesota (AS) menemukan insidensi anafilaksis sebanyak 58,9 kasus per 100.000 orang, dimana sebanyak 33% disebabkan oleh makanan, 18,5% karena sengatan serangga, 13,7% karena obat-obatan, dan 25% idiopatik.8 Kasus anafilaksis akibat serangga maupun tumbuhan lebih banyak ditemukan pada daerah tropis, sedangkan paparan dan respon terhadap obatobatan lebih umum di daerah industrial.
2.3.
Etiologi Reaksi anafilaktik secara global paling sering dicetuskan oleh makanan, sengatan Hymenoptera, dan obat-obatan. Suatu analisa terhadap 32 kematian akibat anafilaksis yang dicetuskan makanan menemukan bahwa 62% kasus tersebut kemungkinan disebabkan oleh kacang tanah.9 Makanan lain yang bisa mencetuskan respon IgE pada semua umur adalah kacang-kacangan, ikan dan kerang, sedangkan pada anak-anak bisa juga susu sapi, telur, gandum dan kedelai.1 Hal ini jarang ditemukan di Indonesia.13 Kebanyakan kasus anafilaksis akibat obat-obatan di AS disebabkan oleh penisilin dan antibiotik beta laktam lainnya, dengan rata-rata 1 dari 5000 paparan parenteral menyebabkan anafilaksis. Pasien yang memiliki riwayat reaksi terhadap penisilin ditemukan berisiko lebih tinggi untuk bereaksi terhadap obat lainnya, dengan peningkatan risiko sampai 8 kali untuk bereaksi terhadap sefalosporin juga. 10 Reaksi 2
anafilaktik pada ruang operasi paling banyak terjadi karena muscle relaxants namun juga bisa disebabkan oleh hipnotik, antibiotik, opioid, koloid, dan agen lainnya. 11 Menurut DEPKES RI, 10-20% insidensi syok anafilaktik disebabkan oleh pemberian penisilin dan sefalosporin, sedangkan 20-40% akibat kontras radiografi.13 Sengatan Hymenoptera menyebabkan reaksi sistemik pada 0,5-3% populasi di AS, dengan angka kematian yang dilaporkan sebanyak hampir 100 jiwa per tahun. 12 Namun reaksi lokal dan urtikaria tanpa manifestasi lainnya jauh lebih umum daripada reaksi anafilaktik total. Orang dewasa dengan reaksi urtikaria generalisata memiliki peningkatan risiko anafilaksis pada paparan berikutnya, sehingga pasien harus diperingatkan untuk menghindari paparan sebisa mungkin, atau dirujuk ke ahli alergi untuk desensitisasi bila risiko paparan tinggi.1 Di Indonesia, 40-60% syok anafilaktik disebabkan oleh gigitan serangga.13 Berbagai zat lain yang mampu mencetuskan reaksi anafilaktik yaitu:14
2.4.
-
Hormon (insulin, vasopressin, parathormone) dan enzim (trypsin,
-
chymotrypsin, penicillinase, streptokinase) Ekstrak serbuk bunga dan alergen lain (tungau, rambut binatang) Produk yang berkaitan dengan pekerjaan (latex) Polisakarida (dekstran, thiomersal)
Patofisiologi Bentuk klasik anafilaksis adalah yang dimediasi oleh IgE. Antigen yang mensensitisasi mencetuskan respon antibodi IgE sehingga berikatan dengan sel mast dan basofil. Paparan selanjutnya pada antigen tersensitisasi tersebut kemudian menyebabkan degranulasi sel mast dan basofil yang telah berikatan dengan IgE.1 Mekanisme anafilaksis lain juga merupakan proses imunologis namun tidak melibatkan IgE melainkan sistem komplemen. Kompleks imun yang terbentuk dalam proses ini dapat mengaktivasi kaskade komplemen dan menghasilkan komplemen C3a, C4a, dan C5a yang disebut anafilatoksin dan dapat menyebabkan degranulasi sel mast dan basofil. Degranulasi sel mast dan basofil melepaskan mediator-mediator yaitu histamin, leukotrien, prostaglandin, dan platelet activating factor (PAF).1 Zat-zat tertentu bisa juga men yebabkan pelepasan mediator langsung dari sel mast, tanpa melewati proses imunologis. Misalnya opioid, dekstran, protamine, dan vancomycin. Mekanisme reaksi tersebut masih belum bisa dipastikan namun 3
kemungkinan melibatkan reseptor spesifik (mis. opioid) atau aktivasi sel mast oleh mediator non reseptor (mis. hiperosmolaritas).1 Respon fisiologis terhadap mediator anafilaksis adalah spasme otot polos saluran napas dan gastrointestinal, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan stimulasi nerve endings. Gejala respiratorik pada anafilaksis disebakan oleh peningkatan sekresi mukus, peningkatan tonus otot polos bronkus, serta edema jalan napas. Penurunan tonus vaskular dan kebocoran kapiler menyebabkan gangguan kardiovaskular seperti hipotensi, aritmia, sinkop, dan shock. 1 2.5.
Manifestasi Klinis Reaksi anafilaktik pada individu yang telah tersensitisasi terjadi beberapa menit setelah paparan sistemik terhadap antigen spesifik, dengan manifestasi berupa respiratory distress akibat edema laring dan/atau bronkospasme, biasanya diikuti oleh kolaps vaskular, atau shock tanpa didahului kesulitan bernapas. Edema laring bisa dirasakan sebagai “benjolan” dalam tenggorokan, suara serak, atau stridor, sedangkan obstruksi bronkial dirasakan sebagai rasa sesak di dada dan/atau wheezing.14 Pruritus dan urtikaria dengan atau tanpa angioedema adalah manifestasi kulit yang khas pada anafilaksis sistemik. Erupsi kulit diawali dengan eritema difus dan rasa panas pada kulit, diikuti timbulnya lesi sirkumskrip dengan tepi eritematosa yang meninggi dan serpiginosa serta inti berwarna pucat. Lesi bisa bergabung menjadi besar, sangat gatal,
dan jarang bertahan lebih dari 48 jam.14 Manifestasi pada gastrointestinal termasuk mual, muntah, kram perut, dan diare.14 2.6. Diagnosis 2.6.1. Penegakan diagnosis Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat penggunaan obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding. Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema.15
4
Mekanisme Penegakkan Diagnosis Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat 3 kriteria: 1. Onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapajam) dengan terlibatnya
kulit,
jaringan
mukosa
atau
kedua-duanya
(misalnya
bintik-
bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, 5
lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).15 2. Dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus,
kemerahan,
pembengkakan
bibir-lidah-uvula);
Respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah). 15 3. Terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Kriteria dari Syok Anafilaksis adalah sebagai berikut: 15 1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresif yang cepat dari gejala - Pasien terlihat baik atau tidak baik - Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi lebih lambat -
dari onset Onset reaksi anfilaksis tergantung tipe pencetus. Pencetus IV akan lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan lebih cepat onsetnya dari
pencetus oral. - Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami “sense of impending” 2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya. Airway Problem: -
Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak (faring/laring
-
edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa tenggorokan tertutup. Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami obstruksi.
Breathing Problems: -
Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas, wheezing Pasien menjadi lelah, kebingungan karena hipoksia 6
-
Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign Henti napas
Circulation Problems: 3.
Tanda syok, pucat, berkeringat Peningkatan frekuensi nadi (takikardi) Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness), kolaps. Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran Iskemik myokardial dan perubahan gambaran EKG meskipun arteri kononer normal Cardiac arrest Perubahan Kulit dan/atau Mukosa
Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi anafilaksis. -
Dapat berlangsung halus atau secara dramatis. Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau keduanya Mungkin eritema sebagian atau generalisata, rash eritema. Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucat, merah
-
muda, atau merah dan mungkin tampak seperti sengatan. Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan lebih dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan tenggorokan.
2.6.2. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk membantu menentukan diagnosis pada reaksi anafilaktik karena umumnya didiagnosis secara klinis, namun jika diperlukan penegasan diagnosis terutama pada sindrom yang berulang atau untuk mengeliminasi kelainan lainnya, maka pemeriksaan penunjang ini menjadi salah satu indikasi. Hitung eosinofil darah tepi untuk membedakan anafilaktik alergi dengan nonalergi dapat normal atau meningkat, apabila konsentrasinya >10 mg/ml menunjukkan adanya aktivasi dari sel mast. Demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay test ), namun memerlukan biaya yang mahal.16 Pemeriksaan secara in vivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/ SET). Pemeriksaan lainnya antara lain AGD, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, fungsi ginjal, feses lengkap, EKG, rontgen thorak, dll. 16
7
Uji tusuk kulit (Skin prick test). Pasien tidak boleh mengkonsumsi antihistamin minimal 3 hari untuk antihistamin generasi 1 dan minimal 1 minggu untuk antihistamin generasi 2. Uji tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian punggung (jika didapatkan lesi kulit luas di lengan bawah atau lengan terlalu kecil). Batasan usia terendah untuk uji tusuk kulit adalah 4 bulan. Bila uji kulit positif, kemungkinan alergi sebesar < 50% (nilai duga positif < 50%), sedangkan bila uji kulit negatif berarti alergi yang diperantarai IgE dapat disingkirkan karena nilai duga negatif sebesar > 95%.16 IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test). Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji kulit, tidak didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan spesifitas antara uji tusuk kulit dengan uji IgE RAST. Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan antara lain karena adanya lesi adanya lesi kulit yang luas di daerah pemeriksaan dan bila penderita tidak bisa lepas minum obat antihistamin. Bila hasil pemeriksaan kadar serum IgE spesifik >5 kIU/L pada anak usia ≤2 tahun atau >15 kIU/L pada anak usia >2 tahun maka hasil ini mempunyai nilai duga positif 53%, nilai duga negatif 95%, sensitivitas 57%, dan spesifisitas 94%.16 Uji eliminasi dan provokasi. Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC) merupakan uji baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan berdasarkan riwayat alergi makanan, dan hasil positif uji tusuk kulit atau uji RAST. Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Jika gejala alergi menghilang setelah dilakukan diet eliminasi selama 2-4 minggu, maka dilanjutkan dengan uji provokasi yang dilakukan di bawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas resusitasi yang lengkap. Uji tusuk kulit dan uji RAST negatif akan mengurangi reaksi akut berat pada saat uji provokasi. 16 2.6.3. Diagnosis Banding Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator 8
tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema, yaitu sengatan serangga multipel dan angioedema herediter. Pada sengatan serangga, terlihat titik ditengah bentol. Pada angioedema herediter, terdapat edema subkutan atau submukosa periodik disertai rasa sakit dan terkadang disertai edema laring, disertai keluhan sama pada keluarga. 16 Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carcinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika. Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada. 16 Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadangkadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadangkadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis. 16 Carcinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1 g, bila penggunaan lebih dari 5 g bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda dengan mereka yang makan tanpa MSG. 16 Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, 9
aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin. 16 2.7. Tata Laksana 2.7.1. Alur Penatalaksanaan anafilaksis akut Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah masuk alergen baik peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. Tindakan selanjutnya adalah penilaian ABC dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.1,16 a. Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. 1 b. Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tandatanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit melalui masker. Oksigen harus diberikan pada penderita yang mengalami sianosis, dispnu yang jelas, atau penderita dengan mengi. 1 c. Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
10
Algoritma penatalaksanaan anafilaksis akut Apabila anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstrimitas atau sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit. 1
11
Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis atau Ringer Laktat sebanyak 20 mlL/kgBB secepatnya sampai syok teratasi, lalu dilanjutkan dengan cairan maintenance. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. 1 2.7.2. Obat-obatan pada reaksi anafilaksis a. Adrenalin Pemberian adrenalin secara IM pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian IM. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi IM lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Larutan adrenalin (epinefrin) sebanyak 0,01 mg/kgBB, maksium 0,3 mg diberikan secara IM atau subkutan pada lengan atas atau paha. Bila anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 5 menit bila diperlukan. Jika terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespon dengan medikasi IM, dapat diberikan adrenalin 0,01-0,05 mg/kgBB secara IV dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit. Hal ini sebaiknya tidak diberikan kecuali pada keadaan tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi IM yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi IV lambat. 1
b. Difenhidramin Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan pengganti adrenalin. 12
Difenhidramin dapat diberikan IV (kecepatan lambat 5-10 menit), IM atau oral (12 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal, tergantung beratnya reaksi. Obat ini dapat diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria dan angioedema. Jika penderita tidak berspon dengan tindakan tersebut, maka perlu dilakukan perawatan intensif. 1 c. Aminofilin Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin IV 4-7 mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan IV (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama. Campuran ini diberikan IV secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB IV selama 20-30 menit setiap 6 jam.1 Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.1 d. Vasopresor Bila cairan IV saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol bitartrat (Aramine) 0,01 mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi jika diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg (1 mL) dalam 250 ml cairan IV dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.1 e. Kortikosteroid Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Kortikosteroid juga berguna untuk mencegah gejala lama yang rekuren. Mula-mula diberikan Hidrokortison IV 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB. Pengobatan dihentikan sesudah 2-3 hari.1 2.7.3. Observasi 13
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Jika terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Jika syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama 24 jam, setiap 2 jam sampai fungsi tubuh membaik.1 Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine), AGD, EKG, dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.1 2.8.
Prognosis Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.16 Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.1,16
2.9.
Pencegahan Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat 14
alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.16 Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif. 16 Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, IM, ataupun IV dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. 1,16
15
BAB III KESIMPULAN Reaksi anafilaktik adalah suatu reaksi alergi multisistem berat yang timbul mendadak setelah kontak dengan alergen. Di Indonesia, reaksi anafilaktik paling banyak disebabkan oleh serangga, obat-obatan dan zat kontras, dan jarang akibat makanan. Reaksi ini disebabkan oleh faktor yang menyebabkan degranulasi sel mast dan basofil, baik dengan melibatkan IgE, proses imunologis lain, maupun secara langsung tanpa proses imunologis. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam organ. Manifestasi yang paling sering timbul adalah pada kulit berupa pruritus, urtikaria, dan angioedema, diikuti oleh respiratory distress akibat edema laring dan bronkospasme, dan gejala kardiovaskular seperti sinkop, palpitasi dan shock. Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat penggunaan obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding. Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah urtikaria dan angioedema. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carcinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergi. Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan. Pemeriksaan yang cukup bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST atau pemeriksaan secara in vivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji tusuk (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/ SET). Jika terjadi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Tindakan selanjutnya adalah penilaian ABC dan pemberian kebutuhan bantuan hidup dasar. Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis atau Ringer Laktat dan larutan adrenalin (epinefrin) secara IM atau subkutan pada lengan atas atau paha. Selanjutnya diberikan obat-obatan sesuai dengan gejala yang ada.
16
DAFTAR PUSTAKA 1. Mustafa,
SS.
Anaphylaxis:
Emedicine.medscape.com.
Practice
Essentials,
2016.
Background,
Pathophysiology.
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/135065 2. Tupper J, Visser S. Anaphylaxis: A review and update. Canadian Family Physician. 2010;56(10):1009-1011. 3. Greenberger PA, Rotskoff BD, Lifschultz B. Fatal anaphylaxis: postmortem findings and associated comorbid diseases. Ann Allergy Asthma Immunol. 2007;98(3):252-257. 4. Bock SA, Muñoz-Furlong A, Sampson HA. Fatalities due to anaphylactic reactions to foods. J Allergy Clin Immunol. 2001;107(1):191-193. 5. Golden D. What is anaphylaxis?. Current Opinion in Allergy and Clinical Immunology. 2007;7(4):331-336. 6. Kemp SF, Lockey RF. Anaphylaxis: a review of causes and mechanisms. J Allergy Clin Immunol. 2002;110(3):341-348. 7. Lieberman P. Epidemiology of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2008;8(4):316-320 8. Decker WW, Campbell RL, Manivannan V, et al. The etiology and incidence of anaphylaxis in Rochester, Minnesota: a report from the Rochester Epidemiology Project. J Allergy Clin Immunol. 2008;122(6):1161-1165 9. Hourihane J, Kilburn SA, Nordlee JA, Hefle SL, Taylor SL, Warner JO. An evaluation of the sensitivity of subjects with peanut allergy to very low doses of peanut protein: a randomized, double-blind, placebo-controlled food challenge study. J Allergy Clin Immunol. 1997; 100(5):598-600. 10. Lin RY. A perspective on penicillin allergy. Arch Intern Med. 1992; 152(5):930-937 11. Mertes PM, Malinovsky JM, Jouffroy L, et al. Reducing the risk of anaphylaxis during anesthesia: 2011 updated guidelines for clinical practice. J Investig Allergol Clin Immunol. 2011; 21(6):442-453. 12. Golden D. Insect sting anaphylaxis. Immunol Allergy Clin North Am. 2007; 27(2):261-272. 13. Departemen Kesehatan RI. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan. Jakarta; 2014. 14. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison's principles of internal medicine 19th ed. 1st ed. New York, N.Y.: McGraw-Hill Medical; 2014. 15. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. p371-376.
17
16. Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis: Diagnosis and Management. 2006. Available
at:
https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-anaphylaxis-diagnosis-and-
management.
18