ANALISIS UJI KEKUATAN LENTUR BALOK LAMINASI (GLUED LAMINATED TIMBER) KAYU MERANTI DENGAN KAYU BITTI DI KOTA MAKASSAR
OLEH : MUHAMMAD ARDLI SANTOSA P3200216010 PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN 2018
BAB I PENDAHULUAN
1.1 . Latar Belakang Sumber daya alam Indonesia yang berupa kayu sangat potensial untuk dipakai sebagai bahan bangunan. Kayu memiliki beberapa kelebihan antara lain: ringan, tahan terhadap gempa, mudah dalam pelaksanaannya. Kayu juga memiliki kelemahan seperti mudah terbakar, mudah mengalami kembang susut, dan tidak tahan rayap. Penggunaan kayu sebagai bahan bangunan harus memperhatikan kelebihan dan kelemahan dari bahan kayu sebelum menggunakannya untuk membuat konstruksi bangunan. Pada bangunan sederhana, kayu biasanya dipakai sebagai kusen, kudakuda atap. Disamping itu, kayu dipakai pula sebagai penyekat dinding ruangan, serta dipakai pula sebagai lantai rumah panggung. Pemanfaatan kayu yang digunakan sebagai bahan baku konstruksi telah lama berkembang sebelum munculnya teknologi beton dan baja. Pengolahan kayu gergajian sangat berkembang pesat seiring dengan kebutuhan kayu yang terdapat di pasaran. Kayu yang berkualitas baik dengan ukuran yang lebih besar sudah jarang ditemukan bahkan harga yang didapatkan semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan kayu, maka perlu adanya pengembangan dalam sistem penerapan teknologi di bidang perkayuan untuk mengoptimalkankan kayu dari jenis lain yang dapat digunakan sebagai bahan struktur dan konstruksi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan penggunaan kayu sebagai bahan baku konstruksi adalah dengan sistem teknologi
perekatan (laminasi). Teknologi perekatan merupakan sistem yang diterapkan untuk menghasilkan suatu balok glulam (Glued Laminated Timber). Glulam merupakan bentuk penggabungan dari beberapa lapis kayu yang relatif tipis dengan perekat. Kebutuhan akan kayu olahan sebagai bahan bangunan selalu meningkat. Menurut Susetyowati dan Subianto (1998) dalam Sutarno (2003), di Indonesia setiap tahun rata-rata tidak kurang dari 3 juta m3 kayu gergajian untuk memenuhi kebutuhan pembangunan perumahan, gedung dan lain sebagainya. Namun untuk memperoleh kayu gergajian bermutu baik dan ukuran yang relatif besar semakin sulit ditemui di pasaran karena semakin menipisnya produksi hasil hutan. Menurut Syafi’i (1998) dalam Sutarno (2003), di masa mendatang diperkirakan potensi kayu dan luas hutan alam Indonesa semakin menyusut, sehingga banyak pasokan bahan baku kayu dari produksi hutan tanaman industri (HTI). Sistem teknologi perekatan telah lama dikembangkan terutama di negara negara maju yang telah menghasilkan glulam berupa bentangan panjang (glulam beams), berbentuk melengkung yang memiliki deformasi beban yang cukup besar dan beberapa produk-produk lain seperti Laminated Veneer Lumber (LVL) dan kayu lapis (plywood).
1.2 . Rumusan Masalah Kekuatan lentur dari suatu balok tergantung dari dimensi kayu yang akan digunakan sebagai balok struktur. Balok struktur yang memikul beban yang lebih besar dibutuhkan dimensi balok yang lebih besar agar dapat menahan beban yang lebih besar sehingga momen lentur yang terjadi semakin kecil dan kayu yang memiliki dimensi kecil akan mengakibatkan
momen lentur semakin besar tetapi hal ini sulit dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan kayu yang berukuran tersebut sudah semakin sulit bahkan sudah jarang ditemukan. Untuk mengatasi masalah dimensi kayu, maka dapat dilakukan dengan teknologi perekatan. Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, maka masalah yang dapat penyusun angkat dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perilaku lentur kayu Meranti apabila digunakan sebagai kayu 2.
glulam Seberapa besar kapasitas momen yang dapat dipikul oleh kayu Meranti glulam yang digunakan dalam komponen struktur pada sistem lantai,
sedangkan dimensi balok tergantung dari besar beban yang diterima. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui sifat-sifat fisika dan sifat-sifat mekanika kayu Meranti yang meliputi kerapatan, kadar air, kuat tarik, kuat tekan, kuat geser, kuat 2.
lentur, modulus elastisitas (MOE) dan modulus lentur (MOR). Mengetahui kepasitas momen, kekakuan lentur (EI) dan bentuk
3.
kegagalan dari kayu Meranti glulam akibat pembebanan lentur. Mengetahui pengaruh kemiringan garis perekat (glue-line) sambungan
antar lamina terhadap kekuatan dan kekakuan kayu Meranti. 1.4 . Batasan Masalah Yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini, adalah : 1. Meninjau perilaku mekanika kayu Meranti glulam terhadap kuat tarik, 2.
kuat tekan, kuat geser dan kuat lentur. Meninjau pengaruh sambungan miring terhadap kekakuan dan kekuatan
3. 4.
pada kayu Meranti glulam akibat pembebanan lentur. Kayu Meranti yang digunakan adalah bagian pangkal dan tengah batang Puntiran tidak ditinjau, karena dimensi balok yang direncanakan adalah 5/10 sehingga telah memenuhi ketentuan yang disyaratkan dimana
5.
perbandingan tinggi nominal dengan lebar nominal balok ≤ 2. Pembuatan kayu Meranti laminasi merupakan hal yang baru sehingga dalam penelitian ini sifat kimia tidak ditinjau.
6.
Dalam penelitian ini hanya meninjau kekuatan aktual dari kayu Meranti
sehingga tidak dilakukan pengawetan. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Memberikan alternatif pilihan pada glulam kayu Meranti agar dapat 2.
digunakan dalam komponen struktur. Memanfaatkan kayu Meranti untuk lebih ditingkatkan kekakuan dan kekuatan yang cukup agar dapat digunakan sebagai glulam pada
struktur lantai. 1.6 Metode Penelitian 1. Studi Literatur Studi literatur dilakukan sebagai acuan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh menegenai proses penelitian. Studi literatur meliputi pemahaman konsep sifat-sifat material kayu, memahami konsep glulam, langkah-langkah analisis pengujian kuat lentur. 2. Studi Eksperimental Studi eksperimental dilakukan untuk memperoleh kuat lentur kayu glulam dengan menggunakan alat Universal Testing Machine. Berikut diagram alir penelitian yang dilakukan peneliti. Gambar 1.1 Diagram Alir Penelitian Pemilihan judul / tema penelitian Perumusan masalah penelitian
Studi Pustaka Sifat Fisik dan Mekanik Kayu sebagai Material Kayu Laminasi : Glulam dan CLT
Standar Metode Uji Kekuatan Lentur Prediksi Beban Gagal Cara Analisa Daktilitas, Kekuatan Lentur dan Kekakuan
Selesai
Uji Eksperimental Persiapan dan Pemilihan Kayu untuk Benda Uji Pengujian Bahan Uji
Data Karakteristik Material : Kadar air Spesific Gravity Modulus Elastisitas
Pembuatan Benda Uji Pengujian Kekuatan Lentur dengan Machine Kesimpulan dan Saran Universal Testing Pengolahan Analisis DataData HasilHasil Uji Uji
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dibagi menjadi 5 bab yang disusun sebagai berikut : Bab 1 Pendahuluan Dalam bab ini membahas latar belakang masalah, inti permasalahan, tujuan penulisan, pembatasan masalah, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab ini membahas dasar teori sebagai konsep penulis dalam penyusunan skripsi ini. Bab ini mencakup teori dan sifat-sifat kayu serta dasar teori mengenai kayu dan Cross Laminated Timber. Bab 3 Persiapan dan Pelaksanaan Pengujian Bab ini akan membahas mengenai persiapan dimensi benda uji, pelaksanaan pembuatan benda uji, serta pelaksanaan hasil pengujian. Bab 4 Analisis Hasil Pengujian
Bab ini akan membahasn hasil pengujian yang kemudian akan dianalisis, dan kemudian dibandingkan antara uji secara eksperimental dengan teoritis. Bab 5 Kesimpulan dan Saran Bab ini akan membahas kesimpulan serta saran yang diperoleh dari hasil penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Balok Laminasi Balok laminasi atau dikenal sebagai glulam (glued laminated timber) merupakan salah satu produk kayu rekayasa tertua. Balok laminasi terbuat dari dua atau lebih kayu gergajian yang direkat dengan arah serat sejajar satu sama lain, berbentuk lurus atau lengkung tergantung peruntukannya (Moody et al. 1999). Serrano (2003) mengatakan bahwa pada dasarnya balok laminasi adalah produk yang dihasilkan dengan menyusun sejumlah papan atau lamina diatas satu dengan lainnya dan merekatkannya sehingga membentuk penampang balok yang diinginkan. Glulam (glued laminated timber) dibuat dari dua atau lebih lapisan kayu yang disebut dengan laminasi diikat dengan perekat dan laminasi disusun dengan arah sejajar serat. Ketebalan maksimum laminasi yang diijinkan adalah
50 mm (2 inchi) dan biasanya ketebalan laminasi antara 25-50 mm (1-2 inchi) (Stark et al. 2010). Bodig
da
Jayne
(1982)
menyatakan
bahwa
berdasarkan
posisi
pembebanan, balok laminasi dibedakan menjadi balok laminasi horizontal dan vertikal. Sementara itu menurut CWC (2000) bentuk-bentuk balok laminasi (glulam) terdiri atas balok laminasi lurus dan lengkung yang masing-masing memiliki beberapa variasi. Moody dan Hernandez (1997) serta Moody et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa kelebihan balok laminasi dibandingkan dengan kayu gergajian serta bahan structural lain adalah dalam hal ukuran, bentuk arsitektural, pengeringan, penampang lintang (cross section), efisiensi dan ramah lingkungan. Sementara penggunaan Serrano (2003) menyatakan dengan ringkas bahwa keuntungan penggunaan balok laminasi adalah meningkatkan sifat-sifat kekuatan dan kekakuan, memberikan pilihan bentuk geometri lebih beragam, memungkinkan untuk penyesuaian kualitas laminasi dengan tingkat tegangan yang diinginkan dan meningkatkan akurasi dimensi dan stabilitas bentuk. Sedangkan menurut CWC (2000) dinyatakan bahwa laminasi adalah cara yang efektif dalam penggunaan kayu berkekuatan tinggi dengan dimensi terbatas menjadi elemen struktur yang besar dalam berbagai bentuk dan ukuran. Balok laminasi merupakan produk structural yang digunakan untuk rangka, balok, kolom, dan kuda-kuda CWC (2000). Moody dan Hernandez (1997) menyatakan bahwa balok laminasi biasa digunakan pada system atap bangunan-bangunan komersial, balok laminasi juga semakin digunakan pada
system atap dan lantai rumah. Pada umumnya beberapa penggunaan balok laminasi yang dapat dibuat antara lain: 1. Bangunan-bangunan komersial dan rumah; sebagai balok persegi, balok bubungan dan lengkung, kuda-kuda, balok untuk konstruksi rumah, bangunan kayu bertingkat, lengkungan, kubah dan tiang konstruksi. 2. Jembatan; untuk bagian-bagian dari struktur bagian atas seperti balok penopang dan decking. 3. Penggunaan struktur lain; untuk tower transmisi listrik, tonggak listrik dan penggunaan lainnya untuk memenuhi persyaratan ukuran yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan tiang kayu konvensional. 2.1.1.
Sejarah Balok Laminasi Balok laminasi pertama kali digunakan di Eropa sebagai konstruksi
auditorium di basel, Switzerland pada tahun 1893 dan dikelanl dengan sebutan Hetzer System. Aplikasi pada saat itu masih terbatas karena perekat yang digunakan tidak tahan air (Moody et al, 1999) dalam (Rima Jentika Permata Sari,2011). Pada tahun 1934, Forest Product Laboratory di Madison, Wisconsin mendirikan sebuah bangunan yang menggunakan balok laminasi untuk konstrusinya. Balok laminasi untuk bangunan tersebut diproduksi oleh sebuah perusahaan di Peshtigo, Wisconsin yang didirikan oleh imigran Jerman membawa teknologi ke Amerika Serikat (Moody et al, 1999) dalam (Rima Jentika Permata Sari,2011). Selama perang dunia II, kebutuhan akan elemen struktural yang besar untuk mendirikan bangunan militer seperti gudang dan hangar
pesawat
terbang, menambah ketertarikan pada balok laminasi. Perkembangan resin tahan air memungkinkan penggunaan balok laminasi untuk jembatan dan aplikasi eksterior lainnya (Moody et al, 1999) dalam (Rima Jentika Permata Sari,2011). Pemakaian balok laminasi di Indonesia belum banyak berkembang karena memerlukan biaya investasi yang tinggi sehingga menyebabkan harga produk laminasi lebih mahal dari kayu gergaian konvensional (Abdurrachman dan Hadjib,2005) dalam (Rima Jentika Permata Sari,2011). 2.1.2
Penggunaan Balok Laminasi Hermawan
(1996)
dalam
(Rima
Jentika
Permata
Sari,2011)
menyatakan bahwa kayu laminasi dipakai pada konstruksi-konstruksi bangunan (gedung olahraga, gedung pertunjukan, hangar pesawat terbang) furniture, alat olahraga dan penggunaan lain yang dalam penerapannya kadang-kadang dikombinasikan dengan kayu lapis atau papan partikel. Selain itu (Moody et al, 1999) dalam (Rima Jentika Permata Sari,2011) menyebutkan berbagai macam penggunaan balok laminasi adalah pada bangunan komersial, rumah, jembatan dan penggunaan struktur lain seperti tower transmisi listrik, tonggak listrik dan penggunaan lain untuk memenuhi persyaratan ukuran dan bentuk yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan tiang kayu konvesional. 2.1.3
Kelebihan dan Kekurangan Balok Laminasi Menurut Departemen Kehutanan (2006) dalam Astri Novita Sitompul
(2009) beberapa keunggulan yang diperoleh dari kayu laminasi antara lain : a)
Dapat dibuat dari kayu berkualitas rendah
b)
Dapat dibuat dari kayu berukuran kecil yang dapat menghasilkan balok berukuran besar sehingga suplai akan bertambah
c)
Dapat menghasilkan bahan yang lebih panjang, lebar dan lebih tebal atau lebih besar.
d)
Dapat dibuat melengkung dengan penampang yang bermacam-macam sesuai dengan perumusan beban, dimana pada kayu utuh hal itu sulit dilakukan. Menurut (Moody et al. 1999; Stark et al. 2010) dalam (Rima Jentika
Permata Sari. 2011), balok laminasi dibandingkan dengan kayu gergajian ataupun produk strukturan lainnya, memiliki kelebihan berupa: a)
Ukuran, balok laminasi dapat dibuat dengan ukuran yang besar dari pohon berdiameter kecil.
b)
Nilai arsitektur. Dengan melengkungkan bahan baku gergajian selama proses pembuatan balok laminasi, berbagai nilai arsitektur dapat diperoleh.
c)
Pengeringan. Kayu gergajian yang digunakan dalam pembuatan balok laminasi harus dikeringkan terlebih dahulu sehingga cacat pada balok laminasi dapat diminimalkan.
d)
Keragaman kualitas lamina. Dapat menggunakan lamina berkualitas rendah dan lamina berkualitas baik. Lamina berkualitas baik diletakkan pada bagian atas dan bawah balok sedangkan lamina berkualitas rendah diletakkan pada bagian tengah balok.
e)
Ramah lingkungan. Bahan bakunya dapat diperbaharui. Wirjomartono (1958) dalam Asti Novita Sitompul (2009) menyatakan
balok laminasi mempunyai beberapa kekurangan: a)
Persiapan pembuatan kayu berlapis mejemuk memerlukan biaya yang lebih besar dari konstruksi biasa.
b)
Karena baik buruknya bergantung kepada kekuatan sambungannya, maka pembuatannya memerlukan alat-alat khusus dan orang-orang ahli.
c)
Kesukaran-kesukaran
pengangkutan
untuk
yang
besar
seperti
perlengkungan dan sebagainya,
2.2.
Sifat Fisik Mekanik Kayu Kayu memiliki perbedaan kekuatan dan kekakuan bukan pada antar spesies
saja melainkan juga dalam spesies yang sama (Blass dkk, 1995) dalam (Sutarno, 2003). Perbedaan ini disebabkan antara lain oleh sifat pertumbuhan kayu, iklim, kepadatan hutan, jenis tanah, lokasi. Pengolahan kayu, kadar air, cacat-cacat kayu, sehingga berpengaruh pula pada sifat fisik dan sifat mekanik kayu (Somayaji,1995) dalam (Sutarno, 2003). Secara umum kayu-kayu yang terberat merupakan kayu yang terkuat dan kekuatan, kekerasan, serta sifat-sifat teknis lainnya berbanding lurus dengan berat jenis. 2.2.1. Sifat Fisik Kayu Menurut Dumanauw (1984: 15), menyatakan beberapa hal yang tergolong dalam sifat fisik kayu adalah: (1) berat jenis; (2) keawetan alami kayu; (3) warna kayu; (4) higroskospik; (5) tekstur; (6) serat; (7) berat kayu; (8) kekerasan; (9) kesan raba; (10) bau dan rasa; (11) nilai dekoratif; dan (12) sifat kayu terhadap suara. Lebih lanjut Awaludin dan Inggar (2005: 6), menyatakan sifat – sifat fisis kayu terdiri dari: (1) kandungan air; (2) kepadatan dan berat jenis; dan (3) cacat kayu. a) Kandungan air Kayu merupakan material higroskopis, artinya kayu memiliki kaitan yang sangat erat dengan air baik berupa cairan ataupun uap. Dumanauw (1984: 30) menyatakan, kayu bersifat higroskopis artinya kayu memiliki daya tarik terhadap
air, baik dalam bentuk uap maupun cairan. Kemampuan kayu untuk menghisap atau mengeluarkan air tergantung suhu dan kelembaban udara disekelilingnya. Perhitungan kandungan air kayu dapat dihitung berdasarkan rumus (Rochadi dkk, 1996: 3):
dimana: M = kadar air kayu (%) B0 = berat awal (gram) B1 = berat akhir atau berat kering oven (gram) b) Kepadatan dan berat jenis Kepadatan kayu adalah massa kayu dibagi volume kayu baik pada keadaan kadar air tertentu ataupun kering, kepadatan berhubungan erat dengan berat jenis (BJ) kayu dan kekuatan kayu, kayu semakin ringan semakin kurang kekuatannya atau sebaliknya. Kepadatan kayu dinyatakan sebagai berat per unit volume (Awaludin, 2005: 8). Pengukuran ditunjukan untuk mengetahui porositas atau persentase rongga (void) pada kayu. Berat jenis (BJ) kayu adalah perbandingan antara kepadatan kayu dengan kepadatan air pada volume yang sama (Awaludin, 2005: 8). Dumanauw (1984: 15) menyatakan, berat jenis diperoleh dari perbandingan berat suatu volume kayu tertentu dengan dengan volume air yang sama pada suhu standart.
dimana:
BJ = berat jenis (gram/cm3) B1 = berat akhir atau berat kering oven (gram) m = kadar air kayu (%) V = volume kayu (cm3) c) Cacat Kayu Cacat atau kerusakan kayu dapat mengurangi kekuatan dan bahkan kayu yang cacat tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai bahan konstruksi. Cacat kayu yang sering terjadi adalah retak (cracks), mata kayu (knots), dan kemiringan serat (slope of grain). Retak pada kayu terjadi karena proses penyusutan akibat penurunan kandungan air (pengeringan). Pada batang kayu yang tipis, retak dapat terjadi lebih besar dan disebut dengan belah (split). Mata kayu sering terdapat pada batang kayu yang merupakan bekas cabang kayu yang patah. Pada mata kayu ini terjadi pembengkokan arah serat, sehingga kekuatan kayu menjadi berkurang. Untuk keperluan konstriksi hindari batang kayu yang memiliki mata kayu karena pada mata kayu terjadi pembelokan arah serat sehingga kekuatan kayu menjadi berkurang. 2.2.2. Sifat Mekanik Kayu Wahono dkk (2005: 71), menyatakan sifat mekanik terkait dengan kekuatan kayu yaitu kemampuan kayu untuk menahan muatan dari luar, gaya dari luar yang dimaksud adalah gaya yang mempunyai kecenderungan untuk mengubah bentuk dan volume benda. Sifat mekanik kayu diperhitungkan untuk penggunaan kayu sebagai bahan bangunan, perkakas seperti furniture atau mebel dan lain–lain. Secara umum hampir semua penggunaan kayu dituntut syarat kekuatan dalam penggunaannya. Beberapa macam kekuatan dari sifat mekanik kayu adalah: (a) kekuatan tarik; (b) kekuatan tekan; (c) kekuatan geser; (d) keteguhan lengkung.
Sifat–sifat mekanik atau kekuatan kayu ialah kemampuan kayu untuk menahan muatan dari luar. Yang dimaksud dengan muatan dari luar ialah gaya– gaya di luar benda yang mempunyai kecenderungan untuk mengubah benda dan besarnya benda. Hakekatnya hampir pada semua penggunaan kayu, dibutuhkan syarat kekuatan. Dalam hubungan ini dibedakan beberapa macam kekuatan sebagai berikut: (a) keteguhan tarik; (b) keteguhan tekan atau kompresi; (c) keteguhan geser; (d) keteguhan lengkung (lentur); (e) kekakuan; (f) keuletan; (g) kekerasan; (h) keteguhan belah; (Dumanauw, 1984: 21). Menurut Iensufrie (2009: 13-15), kayu yang digunakan sebagai bahan konstruksi artinya kayu tersebut dibutuhkan fungsi kekuatannya, karena kayu tersebut akan menjadi barang yang memiliki kegunaan bagi manusia. Misalnya untuk konstruksi jembatan, konstruksi rumah, furniture, lantai kayu, dan lain–lain. a) Keteguhan Tekan Menurut Dumanauw (1984: 21), keteguhan tekan suatu jenis kayu ialah kekuatanya untuk menahan kekuatan jika kayu itu dipergunakan untuk penggunaan tertentu. Dalam hal ini dibedakan dua macam kompresi yaitu kompresi tegak lurus arah serat dan kompresi sejajar arah serat. Iensufrie (2009: 14) menyatakan, keteguhan tekan atau kompresi adalah kekuatan kayu untuk menahan beban atau tekanan pada suatu titik. Pada semua kayu, keteguhan kompresi yang tegak lurus dengan arah serat lebih kecil dari pada keteguhan kompresi sejajar arah serat. Keteguhan tekan sejajar arah serat kayu metode pengujian sesuai dengan ASTM D 143 – 52 ukuran benda uji 5 x 5 x 20 cm, Perhitungan keteguhan tekan sejajar arah serat kayu dapat dihitung berdasarkan rumus (Rochadi, dkk, 1996: 22):
Keteguhan tekan tegak lurus arah serat kayu Metode pengujian sesuai dengan ASTM D 143 – 52 ukuran benda uji 5 x 5 x 15 cm, Perhitungan keteguhan tekan sejajar arah serat kayu dapat dihitung berdasarkan rumus (Rochadi, dkk, 1996: 22):
dimana: σ tk // = keteguhan tekan sejajar serat (kg/cm2) σ tk ┴ = keteguhan tekan tegak lurus (kg/cm2) P = beban tekan maksimum (kg) l = lebar benda uji (cm) t = tinggi atau tebal benda uji (cm) b) Keteguhan Tarik Dumanauw (1984: 21) menyebutkan, kekuatan atau keteguhan tarik suatu jenis kayu ialah kekuatan kayu untuk menahan gaya – gaya yang berusaha menarik kayu itu. Kekuatan tarik terbesar pada kayu ialah sejajar arah serat. Kekuatan tarik tegak lurus arah serat lebih kecil dari pada kekuatan tarik sejajar arah serat dan keteguhan tarik ini mempunyai hubungan dengan ketahanan kayu terhadap pembelahan. Menurut Iensufrie (2009: 13), yang dimaksud dengan keteguhan tarik adalah kemampuan kayu untuk menahan gaya yang menarik
kayu. Kekuatan tarik terbesar pada kayu ialah keteguhan tarik sejajar dengan arah serat kayu. Perhitungan keteguhan tarik kayu dapat dihitung berdasarkan rumus (Rochadi, dkk, 1996: 42):
dimana: σ tr // = keteguhan tarik sejajar arah serat (kg/cm2) P = beban tarik maksimum (kg) l = lebar belahan dalam (cm) t = tinggi belahan dalam (cm) c) Keteguhan Lentur Iensufrie (2009: 14) menyatakan, keteguhan lengkung atau kelenturan kayu adalah kemampuaan kayu untuk melengkungkan diri ketika menahan tekanan diatasnya. Menurut Dumanauw (1984: 24) menyebutkan, keteguhan lengkung atau lentur ialah kekuatan untuk menahan gaya – gaya yang berusaha melengkungkan kayu atau untuk menahan beban – beban mati maupun hidup selain beban pukulan yang harus dipikul oleh kayu tersebut, misalnya blandar. Metode pengujian ada 2 cara yaitu menggunakan model dan ukuran sebenarnya. dengan model Metode pengujian sesuai dengan ASTM D 143 – 52 ukuran benda uji 5 x 5 x 76 cm, dengan jarak antar tumpuan 70 cm, pembebanan diberikan
ditengah-tengah
bentang
secara
statis.
Sedangkan
ukuran
sebenarnyasesuai dengan SNI 03-3975-1995 dengan panjang total 6h +1m + 2h, dengan jarak antar tumpuan 6h + 1m, pembebanan diberikan ditengah-tengah
bentang secara statis.
Perhitungan keteguhan lentur kayu dapat dihitung
berdasarkan rumus (Rochadidkk, 1996: 8):
dimana: �lt = keteguhan lentur maksimum ((kg/cm2) M = momen W = tahanan momen
P = beban maksimum (kg) L = jarak tumpu (cm) b = lebar benda uji (cm) h = tinggi benda uji (cm) d) Modulus Elastisitas Modulus elastisitas adalah merupakan ukuran terhadap perpanjangan bila balok kayu mengalami tarikan, pemendekan apabila balok kayu mengalami tekakan selama pembebanan berlangsung dengan kecepatan pembebanan konstan. Besarnya modulus elastisutas kayu sejajar serat untuk masing-masing kelas kuat kayu (PKKI,NI-5,1991:6) terlihat pada tabel 2.1 sebagai berikut.
Tabel 2.1. Modulus Elastisitas Kayu Kelas Kuat Kayu
Modulus Kenyal Sejajar (kg/cm2)
I
125.000
II
100.000
III
80.000
IV
60.000
Modulus elastisitas kayu sejajar serat dapat diperoleh dari pengujian kekuatan lengkung statik dengan mengukur lendutan (Defleksi) pada daerah pelengkungan selama pembebanan berlangsung.
2.3.
Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia Pada awal tahun 1959 oleh Pengurus Harian Dana Normalisasi dibentuk
“Panitia Kayu Indonesia”. Oleh Panitia Kayu Indonesia dipandang sangat perlu adanya Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia. Setelah panitia bersidang berkali-kali akhirnya dapat diterbitkan PKKI 1961. PKKI berisi semua peraturan dan cara penggunaan kayu. Dalam PKKI kayu untuk struktur dibedakan menjadi 5 (lima) kelas kekuatan dan 5 (lima) kelas awet kayu yakni sebagai berikut: Tabel 2.2. Kelas Kuat Kayu Kelas Kuat
Berat
Kekuatan lengkung
Kekuatan tekan absolut
I
Jenis ≥ 0,90
absolut (kg/cm2) ≥ 1100
(km/cm2) ≥ 650
II
0,90-0,60
1100-725
650-425
III
0,60-0,40
725-500
425-300
IV
0,40-0,30
500-300
300-215
V
< 0,30
< 300
< 215
Tabel 2.3. Kelas Awet Kayu Indonesia berdasarkan umur Kelas Awet Selalu berhubungan dengan tanah lembab Hanya terbuka terhadap angin dan iklim tetapi dilindungi
I
II
III
IV
V
8 Tahun
5 Tahun
3 Tahun
Sangat
Sangat
20
15
10
pendek Beberapa
pendek Sangat
Tahun
Tahun
Tahun
tahun
pendek
Tak
Tak
Tak
Tak
Tak
terbatas
terbatas
20 Tahun
20
terhadap pemasukan air dan kelemasan. Di bawah atap tidak berhubungan dengan tanah
terbatas terbatas terbatas
lembab dan dilindungi terhadap kelemasan Di bawah atap tidak
Tak
berhubungan dengan tanah
Tak
Tak
terbatas terbatas terbatas
Tahun
lembab dan dilindungi terhadap kelemasan tetapi dipelihara dengan baik, selalu dicat, dan sebagainya. Serangan oleh rayap
Tidak
Jarang
Agak
Sangat
Sangat
Serangan oleh bubuk kayu
Tidak
Tidak
cepat Hampir
cepat Tak
cepat Sangat
tidak
seberapa
cepat
kering
Pada tahun 2002 PKKI disempurnakan sejalan dengan perkembangan pembangunan gedung serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini. Sebagai pengganti PKKI akhirnya ditetapkan, yaitu Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu yang merupakan standar bagi peraturan penggunaan kayu Indonesia. Dalam Penelitian ini digunakan acuan Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu (SNI kayu) untuk mengetahui kekuatan mekanik. Berikut tabel kuat acuan berdasarkan atas pemilahan secara mekanik. Tabel 2.4. Nilai kuat acuan (Mpa) berdasarkan atas pemilahan secara mekanik Kode
Modulus
Kuat
Kuat tarik
Kuat tekan
Kuat
Kuat tekan
mutu
elastisitas
lentur
sejajar
sejajar
geser
tegak lurus
lentur Ew
Fb
arah serat
arah serat
Fv
serat Fc┴
E26
25000
66
Ft 60
Fc 46
6,6
24
E25
24000
62
58
45
6,5
23
E24
23000
59
56
45
6,4
22
E23
22000
56
53
43
6,2
21
E22
21000
54
50
41
6,1
20
E21
20000
56
47
40
5,9
19
E20
19000
47
44
39
5,8
18
E19
18000
44
42
37
5,6
17
E18
17000
42
39
35
5,4
16
E17
16000
38
36
34
5,4
15
E16
15000
35
33
33
5,2
14
E15
14000
32
31
31
5,1
13
E14
13000
30
28
30
4,9
12
E13
14000
27
25
28
4,8
11
E12
13000
23
22
27
4,6
11
E11
12000
20
19
25
4,5
10
E10
11000
18
17
24
4,3
9
2.4.
Bahan Perekat atau Lem Bahan perekat atau lem kayu ialah alat yang digunakan untuk menyambung
antara benda satu dengan benda yang lain secara efektif dan mudah. Handayani (2009) mengatakan bahan perekat atau lem mempunyai kelebihan antara lain: lem mampu menyambung berbagai jenis bahan yang berbeda, lem mudah dikerjakan, hasil akhir yang memuaskan sebab permukaan dan kontur tampak halus, tidak berongga, tidak ada bagian yang menonjol, mudah digunakan dan cepat dalam pengerjaannya, biayanya lebih ekonomis dibandingkan dengan cara-cara lain, meringankan berat bendanya, dapat digunakan untuk bahan-bahan yang tidak tahan panas. Bahan perekat atau lem juga memiliki kekurangan antara lain: proses pengeleman menjadi agak rumit sebab perlu persiapan yang optimal terhadap
permukaan yang hendak disambung, memerlukan berbagai alat, kuat ikatan optimalnya tidak seketika tercapai, ada bahaya racun atau mudah terbakar, juga rendah kelupasannya, ketahanan jangka panjang pada kondisi ekstrim sering tidak diketahui secara pasti. Pembagian bahan perekat dibagi menjadi beberapa bagian secara utama terdiri dari bahan perekat alami dan bahan perekat sintetis. Bahan perekat alami berasal dari hewani, tumbuhan, dan mineral. Beberapa bahan perekat yang berasal dari hewani adalah Albumen, Casein, Shellac, Lilin lebah dan Kak (Animal Glue). Beberapa bahan perekat yang berasal dari tumbuhan adalah Damar Alam, Arabic Gum, Protein, Starch, Dextrin, dan Karet Alam. Beberapa bahan perekat yang berasal dari mineral adalah Silicate, Magnesia, Litharge, Bitemen, dan Asphalt. Bahan
pereket sintetis berasal
dari
Elastomer, Thermoplastic,
dan
Thermosetting. Beberapa bahan perekat yang berasal dari Elastomer adalah Poly Chloropene, Poly Urethane, Silicon Rubber, Polisoprene, Poly Sulphide, dan Butyl Rubber. Beberapa bahan perekat yang berasal dari Thermoplastic adalah Ethyl Cellulose, Poly Vinyl Acetate, Poly Vinyl Aalcohol, Poly Vinyl Chloride, Poly Acrylate, dan Hotmelt. Beberapa bahan perekat yang berasal dari Thermosetting adalah Urea Formaldehyde, Epoxy Polyamide, dan Phenol Formaldehyde. Handayani (2009) lem epoksi merupakan produk sinetik termoset dari resin poloepoksi dengan zat curing/pengeras (asam/basa). Lem epoksi dapat diperoleh dalam bentuk sistem satu atau dua komponen. Sistem satu komponen meliputi resin cair bebas pelarut, larutan, pasta resin, cair, bubuk, pallet dan pasta. Sistem dua komponen terdiri atas resin dan zat curing yang dicampur pada saat akan digunakan, setelah dicampur sebaiknya segera digunakan untuk mengelem. Handayani (2009) mengatakan lem epoksi juga memiliki kelebihan dan kelemahan, kelebihannya antara lain tidak berubah walaupun telah bertahun-tahun disimpan, tahan terhadap minyak, gemuk, bahan bakar minyak, alkali, pelarut aromat, asam, alkohol, juga panas dan cuaca dingin. Sedangkan kekurangannya adalah lemah terhadap keton dan ester, ada juga yang formulasinya tidak tahan terhadap minyak, apabila campuran lem eposksi tercelup air dalam jangka waktu yang lama maka lem epoksi akan rusak, pada sistem polomina dan anhidrida tidak tahan pada suhu dingin/beku. 2.5.
Karakteristik Kayu Meranti
Meranti
termasuk
keluarga
Dipterocarpaceae.
Secara
harfiah,
Dipterocarpaceae berasal dari kata latin, yaitu di = dua, carpa=carpus=sayap, yang berarti buah bersayap dua. Jenis Dipterocarpus (jenis-jenis Kruing), Cotylelobium dan Anisoptera (jenis-jenis mersawa) umumnya bersayap dua, sedangkan Hopea (jenis-jenis merawan), Parashorea dan Shorea (jenis-jenis meranti, bangkirai dan balau) memiliki sayap bervariasi antara 2-5, namun Vatica (jenis-jenis resak) memiliki sayap yang sangat pendek bahkan tanpa sayap. Pohon meranti memiliki bentuk batang bulat silindris, dengan tinggi total mencapai 40-50 m. Kulit kayu rata atau beralur dalam atau dangkal, berwarna keabu-abuan sampai coklat. Pada umumnya berbanir tinggi sampai 6-7 m. Nama kayu perdagangan meranti ditentukan dari warna kayu gubalnya, seperti meranti Putih, meranti Kuning dan meranti merah. Meranti pada umumnya berbunga dan berbuah 4-7 tahun sekali yang disebut dengan musim berbuah masal. Di Arboretum Bogor ada jenis Dipterokarpa lain
yang
berbuah
tiap
tahun
yaitu
Hopea
odorata
(merawan)
dan
Anisopteramarginata Musim buah masak meranti bervarisi tergantung jenis dan lokasinya. Di Hutan Penelitian Haur Bentes, Jasinga, jenis S. leprosula, S. pinanga, S. stenoptera, S. mecistopteryx buah masak pada bulan Desember-Maret, sementara Hopea mengerawan, Hopea sangal, H. odorata buah masak pada bulan Juli-September. Di Sumatra, S. parvifolia dijumpai berbuah pada bulan Desember Januari, Shorea acuminata berbuah pada bulan Oktober-Desember. Meranti tergolong kayu keras berbobot ringan sampai berat-sedang. Berat jenisnya berkisar antara 0,3 – 0,86 pada kandungan air 15%. Kayu terasnya berwarna merah muda pucat, merah muda kecoklatan, hingga merah tua atau bahkan merah tua kecoklatan. Berdasarkan bijinya, kayu ini dibedakan lebih lanjut atas meranti merah muda yang lebih ringan dan meranti merah tua yang lebih berat. Namun terdapat tumpang tindih di antara kedua kelompok ini, sementara jenis-jenis Shorea tertentu kadang-kadang menghasilkan kedua macam kayu itu. Jenis Meranti yang dapat di temukan di daerah Sulawesi adalah Meranti Putih. Ada 6 spesies yang termasuk meranti putih yaitu : Shorea assamica, S. bracteolata, S. javanica, S. lamellata, S. ochracea, S. retionades dan S. virescens. Daerah penyebarannya meliputi seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Bentuk batang lurus, silindris dan berbanir setinggi 3.5 m dari permukaan tanah. Tinggi pohon dapat mencapai 12-55 m dengan diameter 180 cm dan batang
bebas cabang 8-37 m. Meranti putih tumbuh pada ketinggian 0-700 m dpl dengan tipe curah hujan A dan B. Tumbuh pada tanah kering, tanah yang kadang-kadang atau selalu tergenang, tanah liat, tanah berbatu-batu, dan tanah berpasir dengan topografi datar sampai miring. Musim berbunga dan berbuah sangat dipengaruhi iklim. Pembungaan biasanya terjadi setelah melewati dekade iklim yang kering dan panas. Buah masak pada bulan Oktober-April. Ditinjau dari kuat lenturnya, mempunyai indikasi masuk pada kayu kelas V berdasarkan PKKI 1961, lampiran 2 halaman 64 yaitu kayu termasuk kelas V mempunyai kuat lentur ≤ 360. Untuk kuat tarik kayu, kayu meranti putih dalam kelas I yaitu lebih dari 150 kg/cm² dalam PKKI 1961 pasal 5, daftar II halaman 6. Untuk kuat tekannya berada dalam kelas IV berdasarkan PKKI 1961, lampiran 2, halaman 64 yaitu kayu termasuk kelas IV mempunyai kuat tekan 300-215 sedangkan dari kuat gesernya meranti putih masuk dalam kelas I dalam PKKI 1961 pasal 5, daftar II halaman 6. Klasifikasi Meranti Putih (Shorea bracteolata Deyr) Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Sub Kingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisio
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisio
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Clasis
: Magnoliopsida (Dikotil)
Ordo
: Malvales
Familia
: Dipterocarpaceae
Genus
: Shorea
Spesies
: Shorea bracteolata Deyr
2.5.1. Sifat Fisik Meranti Putih -
Kayu teras berwarna hampir putih jika masih segar, lambat laun menjadicoklat-kuning atau kuning-muda, permukaan kayu menjadi berwarnalebih gelap semu-semu coklat jika lama berhubungan dengan udara ataucahaya. Kayu gubal berwarna putih, lambat laun menjadi coklat-kuning muda.
-
Tekstur kayu agak kasar merata, lebih halus dari kebanyakan meranti merah
-
Arah serat kayunya terpilin, jarang lurus, kadang-kadang bergelombang
-
Permukaan kayu sedikit licin, agak mengkilap sampai mengkilap
-
Kayu agak keras dan sukar dikerjakan serta cepat menumpulkan alat,karena mengandung silica.
Gambar 2.1 Bagian-bagian kayu (sumber : Makalah “Meranti Putih dan Upaya Konservasinya oleh DHARMA PUTRA , JURUSAN TEKNIK SIPIL, POLITEKNIK NEGERI BALIKPAPAN, 2014)
-
Kayu agak keras dan sukar dikerjakan serta cepat menumpulkan alat,karena mengandung silica
-
Penyusutan ke arah radial 1,7 – 2,5% dan penyusutan ke arah tangensial berkisar 2,2 – 5,7%
-
Pengeringan alami untuk papan tebal 2,5 cm sampai kadar air 16% memerlukan waktu sekitar 90 hari, sedangkan papan tebal 4 cm sekitar 130 hari. Sedangkan dalam dapur pengering memerlukan waktu sekitar 5 hari. Bagian pengeringan yang disarankan 57oC - 77oC dengan kelembaban nisbi 70% - 30%.
Gambar 2.2 Permukaan Kayu Meranti Putih (sumber : Makalah “Meranti Putih dan Upaya Konservasinya oleh DHARMA PUTRA , JURUSAN TEKNIK SIPIL, POLITEKNIK NEGERI BALIKPAPAN, 2014)
2.6.
Karakteristik Kayu Bitti Pohon gofasa atau bitti termasuk dalam famili Verbenaceae, genus Vitex
dan spesies: Vitex cofassus Reinw. ex Blume. Pohon ini berukuran sedang hingga
besar dan dapat mencapai tinggi hingga 40 meter. Batangnya biasanya tanpa banir dan diameternya dapat mencapai 130 cm, beralur dalam dan jelas, kayunya padat dan berwarna kepucatan. Kayunya tergolong sedang hingga berat, kuat, tahan lama dan tidak mengandung silika dan kayu basah beraroma seperti kulit (Widiyanto A. dan Mohamad Siarudin, 2014:2). Jenis pohon ini termasuk mudah tumbuh, tidak memerlukan persyaratan tumbuhyang
tinggi
dan
termasuk
tanaman
yang
mempunyai
kecepatan
pertumbuhan sedang. Jenis ini tahan terhadap kebakaran, bila terbakar akan segera bertunas kembali. Oleh karena itu jenis ini mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai salah satu jenis andalan yang unggul (Prasetyawati, 2013) . Menurut Burley et al (2011), karena sifatnya yang mudah tumbuh, pohon ini dikenal sebagai pohon suksesi awal, selain angsana (Pterocarpus indicus) dan kenari (Canarium indicum).
Gambar 2.3 Batang kayu bitti (Vitex cofassus) (sumber : foto oleh M. Siarudin)
2.6.1. Struktur anatomi dan sifat fisik-mekanik kayu bitti Struktur anatomi dan sifat fisik-mekanik kayu bitti dirangkum dalam Tabel 2.5. Tabel 2.5. Struktur Anatomi dan Sifat Fisik-Mekanik Kayu Bitti SIFAT A. Anatomi
NILAI
Proporsi pembuluh
11,17 – 17,88%
Proporsi serabut
57,49 – 70,32%
Proporsi jari-jari
10,74 – 19.30%
Proporsi parenkim
5,40 – 8,98%
Panjang serat
0,86 – 1,44 mm
Diameter serat
17,81,– 20,59 µm
Diameter lumen
11,93 – 13,86 µm
Tebal dinding serat B. Sifat fisik
Kadar air segar Kering udara Berat jenis segar/ kering udara/ kering tanur Penyusutan radial/tangensial/longitudinal/ rasio T/R (Segar-Kering tanur) Pengembangan radial/tangensial/longitudinal/ rasio T/R (Kering tanur- Segar)
C. Sifat mekanik
Keteguhan lengkung static/ MOE /MOR (kg/cm2)
Keteguhan tekan sejajar serat/ tegak lurus serat (kg/cm2) Sumber: Hapid (2014)
2,61 – 4,02 µm 59,32 – 110,22% 9,66 – 20,82% 0,44 – 0,70/ 0,48 – 0,75/ 3,64 – 7,44%/ 1,79 – 4,32%/ 0,18 – 0,49%/1,42 – 2,03 3,673 – 4,374%, 1,155 – 3,179%, 0,238 – 0,493% dan 1,32 – 3,26% 460,37 – 803,17/ 67,75 –97,22/ 634,13–1046,39 331,59–529,95/ 62,51 – 136,84