Analisis Sosial Buku Idealisme Perempuan Indonesia

  • Uploaded by: Bayu Al-Ghazali
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Analisis Sosial Buku Idealisme Perempuan Indonesia as PDF for free.

More details

  • Words: 1,655
  • Pages: 7
ANALISIS SOSIAL KRITIS BUKU “IDEALISME PEREMPUAN INDONESIA DAN AMERIKA 1920-1940” KARYA ABBAS

Disusun oleh: A. M. Bayu Al-Ghazali. S. M F211 04 059

SASTRA INGGRIS FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2007

ANALISIS SOSIAL KRITIS BUKU “IDEALISME PEREMPUAN INDONESIA DAN AMERIKA 1920-1940” KARYA ABBAS

Dalam kehidupan sehari-hari timbul berbagai pembicaraan mengenai kaum perempuan. Para orang tua dalam keluarga mulai berpikir bahwa kedudukan anak laki- laki tidak harus selalu diutamakan. Tugas kaum perempuan dengan demikian tidak semata-mata untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan di dapur, melahirkan, dan mengasuh anak-anak. Gerakan keluarga berencana memberikan dorongan yang sangat besar terhadap fungsi dan kedudukan perempuan dalam masyarakat. Keluarga kecil, tetapi sejahtera merupakan citacita masyarakat Indonesia secara keseluruhan sehingga perempuan dapat lebih meningkatkan kualitas kehidupannya. Dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas juga mulai tampak peranan kaum perempuan. Dalam berbagai bidang kaum perempuan telah ikut serta, baik sebagai pegawai negeri maupun swasta. Bahkan, telah banyak perempuan yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan, baik sebagai menteri, direktorat jendral, bahkan sebagai presiden. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, telah diangkat Menteri Urusan Peranan Perempuan, yang ditetapkan dalam GBHN tahun 1978 (Ketetapan MPR-RI No.IV/MPR/1978) dengan perubahan redaksi dalam GBHN tahun 1983 (Ketetapan MPR-RI No.II/MPR/1983). Situasi positif terhadap kaum perempuan ini diharapkan dapat ditingkatkan mengingat bahwa 50,01% (sensus tahun 1990) penduduk Indonesia adalah perempuan. Apabila diperhatikan lebih jauh, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh kaum perempuan pada dasarnya memiliki kaitan erat dengan perjuangan kaum perempuan yang dirintis sejak awal abad ke20. Semangat ini jelas bersumber pada pikiran-pikiran R.A. Kartini. Kemajuan yang telah dicapai oleh kaum perempuan beserta kemudahan-kemudahannya seperti di atas perlu dipertahankan dan ditingkatkan.

Dunia Sosial Perempuan, Idealis me, dan Rintangannya Dalam Menuntut Kesetaraan Gende r Pada awalnya, sebelum kebangkitan perempuan di dunia secara umum dan di Indonesia khusunya, dunia sosial perempuan hanya berkutat dalam hal urusan rumah tangga (memasak, mengatur dan membersihkan rumah, serta mengurus anak-anak), masih terbatas dalam lingkungan keluarga saja. Seperti yang telah tertulis di atas, awal kebangkitan kaum perempuan kemudian terwujud dengan dicanangkannya Politik Balas Budi sejak tahun 1900 oleh kolonial Belanda. Melalui Politik Balas Budi ini, kemudian tersebar cita-cita kebebasan yang berkembang pada keinginan memperpeiki kedudukan perempuan dalam pergaulan melaui pendidikan. Beranjak dari pendidikan formal inilah, lalu dunia sosial perempuan mengalami kenaikan, bahkan telah sejajar dengan dunia sosial laki- laki, baik itu dalam bidang politik, ekonomi dan lain- lain. Keinginan kaum perempuan untuk memperluas dunia sosial tersebut tidaklah terlepas dari idealisme perempuan itu sendiri. Di Indonesia, R.A. Kartini (1879-1904) menyerap pemikiran mereka yang melahirkan suatu cita-cita agar kelak perempuan Indonesia sama seperti perempuan Eropa yang telah pendidikan tinggi dan bebas memperoleh kedudukan di luar rumah. Idealisme Kartini tumbuh dengan mengidealisasi perempuan Indinesia yang kelak tak kalah dengan perempuan Eropa dan Amerika. Namun sepanajang sejarah peradaban manusia, persoalan ketidakadilan sosial umumya meninmpa kaum perempuan, bagaimanapun usahanya untuk keluar dari masalah tersebut. Perempuan yang semata- mata diposisikan pada peran rumah tangga dan reproduksi sangat menghambat kemajuan mereka dalam meggeluti dunia publik. Hal tersebut merupakan rekayasa kultur dan tradisi yang menciptakan pelabelan tertentu pada perempuan yang telah mengakar kuat di masyarakat. Budaya dan tradisi sangat berperan kuat dalam membentuk pelabelan yang pada akhirnya menciptakan ketergantungan perempuan pada laki- laki cukup besar. Untuk mereposisi peran perempuan dalam pergaulan sosial masyarakat, maka pertamatama perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai hakikat alamiah), masculine dan feminine (sebagai aspek perbedaan psikologis dan kultural). Dikotomi pertama mengacu pada seks, sedangkan dikotomi yang kedua mengacu pada jenis kelamin sebagi perbedaan gender. Sebagai hakikat biologis, sebagai hakikat adikodrati seks tak dapat diubah, dan dengan sendirinya tidak perlu dipermasalahkan. Sebaliknya, perbedaan gender, perbedaan yang dapat dipertukarkanlah yang menimbulkan masalah sebab perbedaan tersebut dibuat oleh masyarakat, sebagai aspek cultural.

Secara biologis jelas kaum perempuan lebih lemah, sebaliknya, kaum laki- laki legih kuat. Meskipun demikian, perbedaan-perbedaan biologis tidak dengan sendirinya, tidak secara alamiah membedakan posisi dan kondisinya dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa kaum perempuan pada dasarnya dibedakan oleh kebudayaan, bukan oleh hakikat. Seseorang tidak dilahirkan „sebagai‟ perempuan, melainkan „menjadi‟ perempuan. Perbedaan sebagai akibat system kebudayaan ini tampak dengan jelas dalam penggunaan bahasa, seperti he (laki- laki sebagai sentral), she (perempuan sebagai marginal). Laki- laki selalu dilukiskan sebagai sesuatu yang berpusat pada dirinya sendiri, sedangkan perempuan berfungsi untuk orang lain. Perbedaan ini mengakibatkan pembagian kerja sosial dalam masyarakat. Perempuan sering kali ditempatkan pada peran domestik, reproduktif, parsial, dan sensitif, sedangkan laki- laki ditempatkan pada peran publik, produktif, dominan, dan kompetitif. Pembagian kerja seperti ini diharapkan akan bergeser dan berubah sejalan dengan munculnya masyarakat modern yang tidak lagi terikat pada batasan-batasan peran, tetapi lebih kepada penghargaan hidup, kebebasan, bakat, dan prestasi. Setiap individu berhak memasuki berbagai bidang kehidupan menurut keahliannya masing- masing. Hal tersebut merupakan salah satu idealisasi gender yang dicita-citakan kaum perempuan dan tokoh-tokoh pergerakan feminisme. Feminisme sendiri dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa- masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki- laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih- lebih politik hak- hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki- laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki- laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-

praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´ Bagaimanapun usaha

perempuan dalam memajukan kaumnya, akan selalu

mengalami banyak permasalahan. Sebuah relitas yang harus diterima, bahwa dikebudayan manapun, laki- laki selalu diposisikan di atas perempuan.

Aspek-Aspek Sosial Lainnya  Aspek Pendidikan Kenyataan dalam masyarakat pada umumnya adalah lebih mengutamakan anak laki- laki dalam mengakses pendidikan daripada anak perempuan. Hal ini disebabkan masih kuatnya nilai-nilai yang dianut masyarakat bahwa buat apa perempuan sekolah kalau pada akhirnya hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang tiap harinya berada di dapur, sedangkan anak laki- laki harus dibekali pengetahuan luas agar mampu menghidupi keluarga dan bertahan dalam persaingan di luar rumah.  Aspek Sosial Budaya Masalah utama dalam aspek ini adalah ketidakadilan dalam hal perkawianan dan kehidupan rumah tangga sebagai sesuatu yang menghambat perbaikan nasib dan kedudukan perempuan dalam masayarakat. Dalam hal perkawinan, banyak hal yang tidak diatur secara tertulis mengenai hak dan kewajiban suami- istri dalam hal penafkahan, poligami, yang sering menimbulkan masalah tersendiri yang pada akhirnya pihak perempuanlah yang dirugikan.  Aspek Ekonomi Adanya ketidak adilan akses pekerjaan kepada kaum perempuan dikarenakan adanya diskriminasi gender, mengakibatkan tingkat ketergantungan ekonomi istri kepada suami sangat tinggi.

 Aspek Politik Sama halnya dengan ketiga aspek sebelumnya, dalam aspek politik, akses kaum perempuan dalam bidang ini sangatlah terbatas. Namun masalah- masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan tersebut tetap diperjuangkan. Yang akhirnya mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahwa kaum perempuan mempunyai hak menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki- laki untuk pekerjaan yang sama, dan kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.

Permasalahan Perempuan Indonesia Kaum perempuan Indonesia, bagaimanapun usahanya dalam memperjuangkan kesetaraan gender, tetap akan mendapatkan rintangan. Rintangan-rintangan tersebut timbul dari dunia sosial budaya masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh budaya patrialkal, dimana kaum laki- laki menjadi sosok pemimpin, pengambil keputusan, sosok yang mendominasi aspek-aspek sosial masyarakat. Hal inilah yamg kemudian yang mejadikan perempuan sebagai masyarakat “kelas dua”, sebgai pelengkap. Beberapa permasalahan sosial yang dianggap masih menjadi persoalan besar dan menjadikan kaum perempuan sebagai korban, antara lain: 1. Pengeksploitasian seksual perempuan, baik dalam bentuk pornografi ataupun pornoaksi. Di banyak masyarakat, kaum perempuan dianggap sebagai komoditi yang dapat memberikan pemasukan keuangan. Itulah kenapa di tiap-tiap tempat pelacuran di kota-kota besar di Indonesia, dominasi perempuan sangat besar. Di media-media massa, baik itu media cetak atau elektronik, gambar perempuan sangat sering kita dapati, perempuan dianggap sebagai “sesuatu” yang mempunyai “nilai jual” lebih. Perempuan, dengan segala keindahan yang diberikan Tuhan, memiliki daya tarik yang sangat besar kepada hal- hal di sekelilingnya. 2. Poligami. Praktek poligami sering menimbulkan konflik dalam rumah tangga yang berakhir pada perceraian. Seorang suami bisa menceraikan istrinya atau menikah lagi dengan alasan-alasan yang tak jelas. Fenomena sosial yang seperti ini pun merupakan tindak kekerasan terhadap kaum perempuan, namun dalam bentuk psikologis atau kejiwaan.

3. Tindak kekerasan dalam rumah tangga. Realitas bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang sensitif dan lebih mengedepankan perasaan, menempatkannya di bawah bayang-bayang laki- laki. Dalam masyarakat priyayi, perempuan diharuskan selalu tunduk kepada suami dalam keadaan apapun, hal inilah yang menyebabkan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sangat rentan terjadi. Tindak kekerasan ini tidak jarang menimbulkan luka fisik, bahkan sampai menyebabkan kematian.

Abstraksi Buku Idealis me Perempuan Indonesia dan Ame rika 1920-1940

Buku Idealisme Perempuan Indonesia dan Amerika 1920-1940 karya Abbas, yang kemudian direfleksikan pada novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisyahbana untuk perempuan Indonesia dan My Mortal Enemy karya Willa Cather untuk perempuan Amerika. Dalam penggambarannya, pendidikan, ekonomi, dan politik dijadikan sebagai latar belakang sosial masyarakat. Dari hasil pembacaan buku tersebut, dan sebagaimana terefleksi dalam novel Layar Terkembang dan My Motal Enemy, mengindikasikan bahwa Idealisme Perempuan Indonesia dan Amerika memiliki ide- ide pokok yang sama berkaitan dengan kebebasan, keadilan, dan moralitas. Meskipun demikian orientasi mereka berbeda dimana idealisme gerakan perempuan Indonesia merupakan usaha perempuan terpelajar dalam mendorog perbaikan kedudukan perempuan dalam masyarakat sekaligus membangun semangat nasionalisme dengan laki- laki guna mewujudkan Indonesia Merdeka, sedangkan idealisme gerakan perempuan Amerika merupakan kesadaran permpuan untuk mendorong kesetaraan dan kedilan pada kehidupan domestik dan publik dalam rangka pencapaian pembebasan dan kesetaraan hak-hak kaum perempuan.

Related Documents


More Documents from ""