Analisis Review Jurnal
Disusun Oleh : KOMANG MILA DEWI 01031181621057 AKUNTANSI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA FAKULTAS EKONOMI 2019
ANALISIS REVIEW JURNAL
Judul Jurnal 1 : Chili production and adoption of chili-based agribusiness in Indonesia Nama Jurnal : Journal of Agribusiness in Developing and Emerging Economies Nama Penulis : Joko Mariyono dan Sumarno Tahun : 2015 Hal : 57-75 Volume : 5 Issue : 1
Judul Jurnal 2 : Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia Nama Jurnal : Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues Nama Penulis : Hartoyo, Sindung Haryanto, Teuku Fahmi Tahun : 2018 Hal : 1-18 Volume : 21 Issue : khusus
1. Analisis Permasalahan Permasalahan pada jurnal pertama yang berjudul Chili production and adoption of chili-based agribusiness in Indonesia, Cabe adalah tanaman komersial penting yang memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian lokal dan nasional melalui efek berganda. Sebagian besar ekonomi pembangunan menganggap komersialisasi petani kecil sebagai fitur penting dari proses pembangunan. Ini adalah jalur utama dari masyarakat pertanian semi-subsistem ke ekonomi yang lebih beragam berdasarkan tanaman bernilai tinggi dan ekonomi yang lebih aman dengan standar hidup yang lebih tinggi. Terlepas dari pertumbuhan produksi cabai yang cepat, produksi cabai Indonesia masih rendah dalam hal pangsa global. Ada cukup ruang untuk memperluas produksi cabai di Indonesia dengan mempromosikan pertanian cabai intensif kepada petani yang belum mengadopsi tanaman. Adopsi pertanian cabai intensif adalah bagian penting dari komersialisasi pertanian di
Indonesia. Untuk itu, penelitian ini mengevaluasi pertumbuhan cepat produksi cabai selama dekade terakhir, dan memberikan jawaban apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk mengadopsi agribisnis berbasis cabai. Permasalahan jurnal kedua yang berjudul Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia, evaluasi pelaksanaan UU Desa tidak hanya penting dalam menentukan kesiapan pemerintah desa, tetapi juga dalam memahami apakah proses pelaksanaannya sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku, dan apakah undang-undang tersebut memiliki dampak positif pada masyarakat desa dalam semua aspek kehidupan. Proses evaluasi dilakukan untuk melihat sejauh mana proses perencanaan pembangunan mampu membawa keterlibatan masyarakat dalam rangka memberdayakan mereka dan karenanya meningkatkan standar hidup mereka. Permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimana implementasi UU Desa melalui aspek input, proses, output dan outcom, dan bagaimana korelasi antara aspek input, proses dan output dan perubahan dalam Indeks Pembangunan Desa setelah penerapan UU Desa ?
2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian jurnal pertama yang berjudul Chili production and adoption of chili-based agribusiness in Indonesia adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengambil keputusan untuk mengadopsi agribisnis berbasis cabai. Sedangkan tujuan dari penelitian jurnal kedua yang berjudul Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia adalah untuk mengevaluasi secara sistematis implementasi UU Desa yang mencakup aspek input, proses, output, dan hasil, berdasarkan studi empiris di provinsi Lampung. Selain itu, juga menentukan korelasi antara aspek input, proses dan output dan perubahan dalam Indeks Pembangunan Desa setelah penerapan UU Desa tahun 2014.
3. Tinjauan Teori, Paradigma yang digunakan dan Penelitian Terdahulu Teori yang digunakan dalam jurnal pertama yang berjudul Chili production and adoption of chili-based agribusiness in Indonesia yaitu :
Teori komersialisasi pertanian Komersialisasi pertanian dipandang sebagai elemen kunci dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Komersialisasi pertanian dicirikan oleh spesialisasi dan pengembangan pasar dan perdagangan yang mendasar bagi pertumbuhan ekonomi (von Braun dan Kennedy, 1986, 1994). Karena perpindahan dari subsistem ke komersialisasi pertanian adalah titik utama agribisnis, pemerintah harus mendorong petani kecil untuk berpartisipasi dalam pertanian berorientasi pasar. Penelitian terdahulu dari Leavy dan Poulton (2007) mengidentifikasi pendorong komersialisasi pertanian, yaitu pertumbuhan populasi, teknologi baru, akses pasar, intensifikasi, dan akumulasi aset. Lebih komprehensif, Poole et al. (2013) menggarisbawahi bahwa komersialisasi pertanian memerlukan serangkaian sikap tertentu, yang terdiri dari komitmen untuk pertanian dan teknologi baru, ambang batas penghindaran risiko, keinginan untuk berinvestasi dalam tanah dan tanah, akses ke keuangan, keterampilan dalam mengelola hubungan bisnis, negosiasi harga, waktu yang dihabiskan di pasar, kontrol dan jaminan kualitas produk dan proses, peningkatan berkelanjutan dan peningkatan efisiensi. Teori risiko Sehubungan dengan risiko, Ikerd (2011) menunjukkan bahwa pertanian adalah bisnis yang berisiko, dan bahwa ambang rendah dari penghindaran risiko adalah faktor penting untuk agribisnis yang sukses. Perubahan dalam teknologi pertanian selalu menjadi komponen penting dalam kemajuan masyarakat manusia, dan lebih baru-baru ini dalam pengembangan pertanian modern dengan berbagai teknologi (Huang et al., 2004). Salah satu inovasi utama yang akan diperlukan untuk meningkatkan produktivitas sistem pertanian yang beragam adalah pengenalan dan adopsi teknologi yang mengurangi biaya dan membantu petani mengelola dan mengoptimalkan alokasi input dalam berbagai sistem tanaman. Namun, teknologi ini mahal, dan pengembangan strategi praktis berbiaya rendah yang inovatif yang mengurangi biaya produksi dalam sistem pertanian yang beragam di negara berkembang akan diperlukan jika ingin disebarluaskan secara luas (Bowman dan Zilberman, 2013). Sedangkan jurnal kedua yang berjudul Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia menggunakan teori Desentralisasi.
Penelitian terdahulu menurut (Fossati, 2016) tentang desentralisasi menyimpulkan bahwa reformasi memberikan keuntungan dari mempercepat yang diinginkan yaitu dampak dari suatu kebijakan, tetapi hanya terbatas pada dinamika akuntabilitas tingkat lokal. Secara empiris, sejumlah studi juga menunjukkan bahwa implementasi sistem desentralisasi tetap menghadapi masalah-masalah krusial. Menurut Surjono (2015), desentralisasi dan reformasi mengarah pada ketidakpastian dalam hal kesejahteraan masyarakat. Masalah dengan penerapan desentralisasi adalah terbatasnya aturan hukum dan kesulitan dalam memberantas korupsi (Losari, 2015). Sebuah studi oleh Jatmiko dan Lestiawan (2016) menunjukkan bahwa prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pemerintah daerah. Sejumlah penelitian mengkonfirmasi beberapa kelemahan manajemen pembangunan desa. Studi Grillos (2017), misalnya, menunjukkan bahwa ada bias dalam manajemen penganggaran. Masyarakat miskin menerima proporsi anggaran yang lebih rendah daripada kelompok masyarakat lainnya di desa. Lewis (2015) menemukan kesenjangan dalam distribusi dana desa di mana desa-desa miskin menerima alokasi dana yang lebih kecil daripada desa-desa yang lebih kaya. Di antara kelemahan lain dalam pengelolaan pemerintahan desa adalah sulitnya akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan (Bebbington, Dharmawan & Fahmi (2006). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa masih ada hambatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Penelitian yang dilakukan oleh Beard (2007), misalnya, menunjukkan bahwa rumah tangga sosioekonomi rendah.
4. Hipotesis Penelitian Dalam jurnal penelitian pertama yang berjudul Chili production and adoption of chilibased agribusiness in Indonesia menggunakan hipotesis sebagai berikut : Apakah petani memutuskan untuk memasuki agribisnis berbasis cabai di pasar tergantung pada banyak faktor ? HA
: Setiap faktor secara bersama-sama mempengaruhi petani sehingga beberapa petani
kemungkinan memasuki agribisnis berbasis cabai, dan yang lainnya tidak mungkin melakukannya.
Dalam jurnal penelitian kedua yang berjudul Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia menggunakan hipotesis sebagai berikut : H0
: Tidak ada hubungan yang signifikan antara implementasi UU Desa yang mencakup
aspek input, proses, output, dan hasil secara bersama-sama dengan perubahan menuju paradigma pembangunan desa baru di Indonesia. HA
: Ada hubungan yang signifikan antara implementasi UU Desa yang mencakup aspek
input, proses, output, dan hasil secara bersama-sama dengan perubahan menuju paradigma pembangunan desa baru di Indonesia.
5. Desain Penelitian 5.1 Populasi Dalam jurnal pertama yang berjudul Chili production and adoption of chili-based agribusiness in Indonesia, populasi terdiri atas Tiga (3) daerah penghasil cabai utama di pulau Jawa, Indonesia. Sedangkan jurnal kedua yang berjudul Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia populasi terdiri atas 4 kabupaten yaitu: Lampung Selatan, Pesawaran, Tanggamus dan Lampung Tengah
5.2 Sampel Dalam jurnal pertama yang berjudul Chili production and adoption of chili-based agribusiness in Indonesia data dikumpulkan dari survei yang dilakukan selama 2009-2011. Sampel yang digunakan dalam penelitian yaitu rumah tangga petani di tiga daerah penghasil cabai utama di Jawa, Indonesia. Sedangkan dalam jurnal kedua yang berjudul Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia total sampel adalah 40 desa.
5.3 Besarnya Sampel Jurnal pertama yang berjudul Chili production and adoption of chili-based agribusiness in Indonesia memiliki sampel sebesar 300 rumah tangga petani di tiga daerah penghasil cabai utama di Jawa, Indonesia.
Sedangkan jurnal kedua yang berjudul Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia didasarkan pada kategori pinggiran kota (Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran) dan pedesaan (Kabupaten Tanggamus dan Lampung Tengah). Dari masing-masing kabupaten, 10 desa dipilih sehingga total 40 desa akan diteliti, termasuk 2 (5%) desa swasembada, 33 desa berkembang (82,5%) dan 5 (12,5%) desa tertinggal.
5.4 Variabel Penelitian, Definisi operasional dan Pengukuran Variabel jurnal pertama yang berjudul Chili production and adoption of chili-based agribusiness in Indonesia diuraikan sebagai berikut : Variabel
Definisi
Pengukuran
Adopsi agribisnis berbasis
Petani yang mengoperasikan
1 = ya, 0 = jika tidak
cabai
pertanian cabai
Umur/usia kepala rumah
Usia kepala rumah tangga
Tahun
Panjang pendidikan formal
Tahun
tangga Tingkat pendidikan
kepala rumah tangga Pengalaman dalam sayur-
Waktu yang dihabiskan dalam
sayuran.
pertanian sayur
Anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga dalam
Tahun
Numerik
rumah tangga area yang ditanami untuk
Total area yang ditanami untuk
tanaman
tanaman
Jumlah plot
Jumlah plot
Peringkat kekayaan
Status sosial di desa 1 = miskin,
m2
Numerik
Urutan peringkat
2 = sedang, 3 = kaya Akses ke kredit
Apakah petani mengakses kredit
1 = ya, 0 = tidak
untuk bertani Pelatihan pertanian
Partisipasi dalam program
1 = ya, 0 = tidak
pelatihan pertanian Penggunaan ponsel
Apakah petani menggunakan
1 = ya, 0 = tidak
ponsel dalam bisnis pertanian Kegiatan (untuk pemasaran) Teknologi pertanian
Jumlah teknologi terkait sayuran
Numerik
secara lokal Jarak ke pasar
Jarak ke pasar lokal terdekat
Km
untuk menjual cabai Informasi pasar
Ketersediaan informasi pasar
1 = ya, 0 = tidak
Umur kepala rumah tangga mewakili kematangan emosi dan kemampuan fisik. Variabel ini digunakan sebagai variabel penjelas dalam studi tentang adopsi teknologi pertanian cabai (Kuntariningsih dan Mariyono, 2013) dan beras (Kariyasa dan Dewi, 2013) di Indonesia, dan peternakan sapi perah di AS (El-Osta dan Morehart, 1999) ). Secara umum, pengaruh usia terhadap adopsi teknologi adalah dalam bentuk parabola, artinya dampak positif terjadi pada usia tertentu, dan menjadi negatif setelah titik kritis ketika petani semakin tua. Pendidikan kepala rumah tangga mencerminkan modal manusia. Diharapkan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi mengarah pada pengambilan keputusan yang lebih rasional. Banyak penelitian menggunakan variabel ini untuk menjelaskan adopsi teknologi pertanian (misalnya Caswell et al., 2001; Fernandez-Cornejo et al., 2001; Nzomoi et al., 2007; Wang et al., 2006). Pengalaman dalam produksi sayuran merupakan keakraban petani dengan produksi sayuran, yang dianggap lebih kompleks daripada tanaman sereal lainnya. Petani dengan pengalaman dalam produksi sayuran diharapkan lebih cenderung mengadopsi pertanian cabai intensif. Karena ini adalah studi khusus tentang adopsi cabai, studi serupa tentang sayuran termasuk pengalaman di pertanian sayuran, masih terbatas. Sebuah studi oleh Kuntariningsih dan Mariyono (2013) menggunakan variabel ini dalam menjelaskan keputusan petani untuk memilih teknologi pertanian spesifik dalam produksi cabai. Jumlah anggota keluarga menentukan ketersediaan tenaga kerja keluarga yang dapat dikhususkan untuk pertanian cabai intensif. Karena pertanian cabai bersifat padat karya (Mariyono dan Bhattarai, 2011), jumlah anggota keluarga diharapkan lebih besar
kemungkinannya bagi petani untuk mengadopsi sistem pertanian intensif. Kontribusi signifikan dari variabel ini terhadap adopsi teknologi pertanian ditunjukkan oleh FernandezCornejo et al. (1994). Ukuran pertanian mewakili skala pertanian, yang pada akhirnya menentukan profitabilitas. Diharapkan bahwa skala pertanian yang lebih besar mengarah pada kemungkinan adopsi yang lebih besar. Studi oleh El-Osta dan Morehart (1999), FernandezCornejo et al. (1994, 2001), Nzomoi et al. (2007) dan Roberts et al. (2002) menunjukkan bahwa ukuran tambak secara signifikan mempengaruhi adopsi teknologi pertanian. Jumlah plot mewakili fragmentasi tanah. Ketika tanah terfragmentasi dalam petakpetak terpisah, itu akan menjadi kurang efisien untuk operasi pertanian intensif, dan petani akan menjadi putus asa. Di India, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kepemilikan tanah yang terfragmentasi merupakan hambatan utama dalam proses adopsi (Firdaus dan Ahmad, 2010). Pemeringkatan kekayaan mengungkapkan status sosial dan kekayaan relatif dalam masyarakat. Karena pertanian cabai intensif sangat mahal, seorang petani dengan peringkat kekayaan yang lebih tinggi diharapkan lebih mungkin untuk terlibat dalam agribisnis berbasis cabai. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa petani kaya cenderung mengadopsi teknologi baru (Jayasinghe-Mudalige dan Weersink, 2004), tetapi Ghadim dan Pannell (1999) menduga bahwa petani kaya cenderung tidak mengadopsi rekomendasi teknologi yang ditingkatkan. Akses ke kredit memungkinkan petani, terlepas dari apakah mereka kaya atau miskin, memiliki uang tunai untuk membiayai pertanian intensif, termasuk pertanian cabai. Variabel ini memiliki dampak khusus dalam komersialisasi pertanian di dunia. Antara lain, Kafle (2010), Kumar (2009), Kuntariningsih dan Mariyono (2013), Nzomoi et al. (2007), Raut et al. (2011) dan Zeller et al. (1997) mengungkapkan bahwa akses mudah ke kredit adalah penentu utama yang memiliki pengaruh positif yang kuat untuk adopsi teknologi. Pelatihan pertanian membekali petani dengan keterampilan teknis dan pengetahuan praktis. Partisipasi pelatihan pertanian meningkatkan modal manusia. Variabel ini dianggap sebagai faktor penting dalam adopsi teknologi pertanian secara umum. Penggunaan telepon seluler memungkinkan petani mengakses informasi terkait agribisnis berbasis cabai. Dengan informasi pasar yang lebih lengkap, petani lebih kondusif untuk menjalankan bisnis mereka sendiri. Efek penggunaan ponsel pada pertanian
komersialisasi telah dipelajari oleh Bresnyan (2008) dan Kuntariningsih dan Mariyono (2013), menunjukkan bahwa penggunaan ponsel mengarah ke adopsi teknologi yang lebih prospektif. Teknologi pertanian yang terkait dengan pertanian sayuran memungkinkan petani untuk mengoperasikan pertanian yang efisien. Semakin besar jumlah teknologi pertanian yang diterapkan dalam pertanian, semakin efisien pertanian tersebut. Dengan ketersediaan teknologi pertanian, petani lebih mungkin terlibat dalam agribisnis (Kafle, 2010; Kariyasa dan Dewi, 2013; Raut et al., 2011). Jarak ke pasar merupakan pemasaran produk yang hemat biaya. Karena cabai adalah produk yang mudah rusak, jarak ke pasar sayur menjadi penting. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa jarak ke pasar adalah kekuatan pendorong yang signifikan di balik adopsi teknologi pertanian (Kariyasa dan Dewi, 2013; Raut et al., 2011; Wang et al., 2006). Semakin dekat petani ke pasar sayuran, semakin besar kemungkinan bagi petani untuk mengadopsi agribisnis. Informasi pasar yang tersedia bagi petani mengurangi informasi asimetris antara petani dan pedagang. Jurnal kedua yang berjudul Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia menggunakan empat variabel, yaitu input, proses, output dan hasil sebagaimana dijelaskan dengan 13 indikator. Variabel
Indikator Jumlah aparatur desa
Input
Definisi jumlah total aparat desa, termasuk staf selama penelitian
Persentase personil yang dilatih
persentase aparat yang mengikuti pelatihan
terhadap
jumlah
keseluruhan aparat desa. Rasio kantor desa
rasio area kantor kepala desa saat ini
Kondisi infrastruktur hingga kebutuhan
dengan kebutuhan minimum (ideal) area
kantor
per
aparatur
(10
m2/aparatur). Rasio kantor desa
fasilitas kantor kepala desa saat ini
Konisi fasilitas terhadap kebutuhan
dengan fasilitas kantor minimum per
peralatan
(1
meja,
2
kursi,
1
lemari/rak, dan 1 unit komputer). Persentase masyarakat yang terlibat persentase Kepala Keluarga (KK ) Proses
dalam
yang terlibat dalam kegiatan Rapat
Perencanaan pembangunan
Perencanaan, Pembangunan Desa.
Persentase masyarakat yang terlibat Persentase dalam implementasi pembangunan
terlibat
Rumah
Tangga
gotong-royong
yang dalam
aktivitas infrastruktur publik, seperti jembatan dan saluran irigasi Persentase masyarakat yang terlibat Persentase kepala Rumah Tangga dalam
yang
ditargetkan untuk program
pemberdayaan
pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah desa
Sistem untuk menyalurkan aspirasi Persentase masyarakat, laporan dan pengaduan
yang
digunakan
oleh
pemerintah desa menangkap aspirasi masyarakat, laporan, dan keluhan masyarakat (lisan, tertulis, online).
Output
Jumlah desa yang peraturan dihasilkan
Jumlah
peraturan
desa
yang
dalam 3 tahun terakhir
dikeluarkan oleh desa sesuai dengan kewenangan dalam tiga tahun terakhir (2015-2017).
Jumlah pembangunan yang dokumen dokumen perencanaan pembangunan perencanaan dihasilkan dalam 3 tahun
yang ditetapkan oleh pemerintah desa dalam bentuk RPJMDES , APBDES dan RKPDES dalam tiga
tahun
terakhir (2015-2017). Persentase orang yang dapat mengakses persentase Kepala Rumah Tangga ruang publik yang tidak dibayar
yang dapat dengan mudah mengakses tempat-tempat ibadah di desa.
Persentase infrastruktur
anggaran
desa
untuk Persentase
anggaran
dialokasikan
untuk
desa
yang
pembangunan
infrastruktur dasar, seperti jembatan, saluran irigasi.
Hasil
Persentase pengurangan rumah tangga Persentase kepala Rumah Tangga miskin
yang
menerima
program
“Beras
Sejahtera”.
5.5 Model Hubungan Antar Variabel Dalam penelitian pertama yang berjudul Chili production and adoption of chili-based agribusiness in Indonesia menggunakan model hubungan antar variabel yaitu hubungan sebab-akibat (causal). Sedangkan dalam penelitian yang berjudul Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia menggunakan model hubungan antar variabel relasional yaitu menghubungkan sepasang variabel.
5.6 Alat Analisis Dalam penelitian pertama yang berjudul Chili production and adoption of chili-based agribusiness in Indonesia menggunakan pendekatan logit untuk memperkirakan keputusan petani. Model Logit menunjukkan bahwa lebih atau kurang mungkin untuk Y1 tergantung pada faktor X. Jika β positif, peningkatan X mengarah ke kemungkinan lebih besar untuk Y1, dan sebaliknya (Verbeek, 2003). Sedangkan dalam penelitian kedua yang berjudul Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia menggunakan metode penelitian kuantitatif, Data dikumpulkan menggunakan kuesioner dan diproses melalui SPSS Versi 22. Alat analisis yang digunakan yaitu Korelasi product-moment.
5.7 Hasil Dalam jurnal pertama yang berjudul Chili production and adoption of chili-based agribusiness in Indonesia, hasil menunjukkan bahwa petani yang lebih muda, dan juga petani yang memiliki lebih banyak pengalaman, lebih cenderung mengadopsi pertanian cabai. Ketersediaan teknologi produksi cabai dan penggunaan ponsel mendorong petani untuk mengadopsi pertanian cabai. Akses ke pasar sayur, kredit, dan informasi pasar faktor lain mendorong petani mengambil keputusan untuk produksi cabai. Sebagian besar petani
termotivasi menanam cabai untuk meningkatkan pendapatan mereka. Faktor ekologis juga menjadi alasannya. Sedangkan hasil jurnal kedua yang berjudul Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia menunjukkan bahwa, secara umum, UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum, baik dalam aspek input, proses, output dan hasil. Selain itu, hasil juga menunjukkan bahwa hanya variabel proses partisipatif yang secara signifikan terkait dengan output pembangunan.
5.8 Kekuatan/ Kelemahan Keterbatasan pada jurnal pertama yang berjudul Chili production and adoption of chilibased agribusiness in Indonesia yaitu sampel untuk penelitian ini cukup rendah. Namun, sampel diambil dari daerah potensial cabe representatif yang representatif di Indonesia. Sedangkan keterbatasan dalam jurnal kedua yang berjudul Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia adalah sebagai berikut : -
Hasil penelitian tidak menunjukkan saling hubungan yang bersifat kausal
-
Sampel yang digunakan sedikit yaitu hanya mengambil 40 desa dari jumlah keseluruha desa yang ada di provinsi lampung yaitu 15 kabupaten dan 2435 desa yang terdiri dari 77 desa mandiri (3,16%), 2.010 desa berkembang (82,55%) dan 348 desa kurang berkembang ( 14,29%)
Daftar Pustaka
Hartoyo, Haryanto, S., & Fahmi, T. (2018). Towards a New Village Development Paradigm in Lampung Province, Indonesia. Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues , 22 (khusus), 1-18. Mariyono, J., & Sumarno. (2015). Chili production and adoption of chili-based agribusiness in Indonesia. journal of Agribusiness in Developing and Emerging Economics , 5 (1), 57-75.