KARYA TULIS ILMIAH “PENGARUH INFLASI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI”
Disusun oleh : Inatrya Zuknia 041711333047
PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS AIRLANGGA 2017
1
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia -Nya sehingga penyusunan karya tulis ilmiah yang berjudul “Pengaruh Inflasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi” dapat selesai tepat pada waktunya.
Penyusunan karya tulis ilmiah ini diajukan sebagai syarat menyelesaikan tugas bahasa Indonesia Program Studi Akuntansi Universitas Airlangga. Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu , penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu: 1. Tubiyono (Drs., M.Si.). Dosen bahasa Indonesia yang telah banyak membantu dan memberikan masukan sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini masih belum sempurna, maka saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan karya tulis ilmiah selanjutnya. Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat.
Surabaya, 03 November 2017
Penulis
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perubahan-perubahan pada berbagai sektor ekonomi akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan ekonomi, yang ditandai dengan naiknya produksi nasional, pendapatan nasional, dan pendapatan perkapita. Situasi semacam itu akan berlangsung secara terus-menerus. Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi merupakan dua istilah yang berbeda, sekalipun ada beberapa ahli mengatakan sama. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator dari keberhasilan pembangunan ekonomi. Jadi akan ada pertumbuhan ekonomi jika ada pembangunan ekonomi dimana pembangunan ekonomi itu mengakibatkan perubahan-perubahan pada sektor ekonomi.Pendirian industri-industri baru dan meningkatnya kegiatan ekspor dan impor akan membawa perubahan dalam sektor industri dan sektor perdagangan. Sektor pertanian juga akan berubah melalui pembangunan di bidang sarana dan prasarana, seperti penambahan ruas jalan. Pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam jangka panjang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya. Pertambahan potensi memproduksi seringkali lebih besar dari pertambahan produksi yang sebenarnya. Dengan demikian perkembangan ekonomi adalah lebih lambat dari potensinya. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila jumlah balas jasa riil terhadap penggunaan faktor-faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar daripada tahun sebelumnya. Berkelanjutan pertumbuhan ekonomi harus mengarah standar hidup yang lebih tinggi nyata dan kerja meningkat. Inflasi adalah sebuah keadaan perekonomian yang menunjukan adanya kecenderungan kenaikan tingkat harga secara umum (price level) dan bersifat secara terus-menerus. Hal ini
3
disebabkan karena tidak seimbangnya arus barang dan arus uang yang disebabkan oleh berbagai faktor. Inflasi juga merupakan salah satu indikator penting dalam menganalisis perekonomian selain pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan ekspor-impor. Inflasi merupakan masalah yang sangat besar dalam perekonomian setiap negara dan merupakan suatu fenomena moneter yang selalu meresahkan negara karena kebijakan yang diambil untuk mengatasi inflasi sering menjadi pisau bermata dua yang akan berdampak pada tingkat pertumbuhan ekonomi secara agregat. Diantaranya keseimbangan eksternal dan tingkat bunga. Terjadinya guncangan dalam negeri akan menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik yang berakhir dengan peningkatan inflasi pada perekonomian.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana perkembangan inflasi dan laju inflasi di Indonesia? 2. Seberapa pesat pertumbuhan ekonomi di Indonesia? 3. Seberapa besar pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi?
1.3 Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat inflasi. 2. Untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi.
4
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Teori Inflasi Inflasi menurut A.P. Lehner inflasi adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Ahli yang lain yaitu Ackley memberi pengertian inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Sedangkan menurut Boediono, inflasi sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang-barang lain. Inflasi dapat di artikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Walaupun analisis ekonomi dan kebijakan ekonomi terhadap inflasi sejak tahun 1970-an dapat dibedakan menjadi dua kelompok aliran, yakni Keynesian dan Monetaris namun dalam beberapa sistem disebutkan versi yang berbeda, dimana aliran inflasi dibagi menjadi, Klasik, Keynesian, Moneterisme, dan Ekspektasi.
2.2 Mark-up Model Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut : Price = Cost + Profit Margin Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu presentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi : Price = Cost + ( a% x Cost ) 5
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau penaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.
2.3 Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang Banyak studi mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukkan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena sistem atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar sistem. Fenomena sistem disebabkan oleh kesenjangan atau kendala sistem dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu : 1. Supply dari sistem pertanian (pangan) Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sistem pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sector pertanian sehingga sistem tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya. 2.
Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor.
Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang barang baik bahan baku, maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sistem-sistem menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sistem-sistem seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan. 3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sistem penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money).
6
Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di negara-negara yang sedang berkembang kadangkala menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sistem moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan pada struktur sistem keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi. Menurut pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu faktor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) akan murah, maka volume investasi akan meningkat. Dengan meningkatnya volume investasi, volume produksi juga akan meningkat. Sehingga, penawaran barang meningkat, yang pada gilirannya akan menekan tingkat inflasi. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini, timbul pendapat bahwa deregulasi di sistem-sistem dan peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi seraya menekan inflasi. Kaum strukturalis berpendapat bahwa, selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barang-barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor. Menurut kesimpulan dari penelitian M.N. Dalal dan G. Schachter (1988), bila kontribusi impor terhadap pembentukan output sangat besar, yang artinya sifat barang impor tersebut sangat penting terhadap price system di negara maka kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi di dalam negeri yang cukup besar. Selain itu, semakin rendah derajat kompetisi yang dimiliki oleh barang impor (price inelastic) terhadap produk dalam negeri, akan semakin besar pula dampak perubahan harga barang impor tersebut terhadap inflasi.
2.4 Jenis Inflasi Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam pengelompokan tertentu, dan pengelompokan yang akan dipakai akan sangat bergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Jenis inflasi : 1. Menurut Derajatnya ▪Inflasi ringan
di bawah 10% (single digit) 7
▪Inflasi sedang
10% - 30%.
▪Inflasi tinggi
30% - 100%.
▪Hyperinflasion
di atas 100%.
Laju
inflasi
tersebut
bukanlah
suatu
standar
yang
secara
mutlak
dapat
mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan golongan masyarakat manakah yang terkena imbas ( yang menderita ) dari inflasi yang sedang terjadi.
2. Menurut Penyebabnya Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang. Akibatnya, akan menarik (pull) kurva permintaan agregat kanan atas, sehingga terjadi excess demand , yang merupakan inflationary gap. Dan dalam kasus inflasi jenis ini, kenaikan hargaharga barang biasanya akan selalu diikuti dengan peningkatan output (GNP riil) dengan asumsi bila perekonomian masih belum mencapai kondisi full-employment. Pengertian kenaikkan aggregate demand seringkali ditafsirkan berbeda oleh para ahli ekonomi. Golongan sistem menganggap aggregate demand mengalami kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Sedangkan, menurut golongan Keynesian kenaikkan aggregate demand dapat disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi; investasi; government expenditures; atau net export, walaupun tidak terjadi ekspansi jumlah uang beredar. Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya aggregate supply curve kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan aggregate supply curve bergeser tersebut adalah meningkatnya harga faktor-faktor produksi (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri) di pasar faktor produksi, sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi di pasar komoditi. Dalam kasus cost push inflation kenaikan harga seringkali diikuti oleh kelesuan usaha.
3. Menurut Asalnya Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan perekonomian baik disistem riil ataupun disistem moneter di dalam negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat. Imported inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara 8
yang bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi pada negara yang menganut perekonomian terbuka (open economy system). Inflasi juga ‘menular’ baik melalui harga barang-barang impor maupun harga barang-barang ekspor. Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak ada) yang disebabkan oleh satu macam / jenis inflasi, tetapi acapkali karena kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada faktor-faktor ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan yang independen dalam suatu perekonomian negara. Contoh : imported inflation seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestic inflation diikuti dengan demand pull inflation, dsb.
9
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Perkembangan Inflasi di Indonesia Upaya Pemerintah Indonesia menjaga kestabilan mata uang telah menuju kearah yang lebih baik. Prof. M. Sadli, 2005, mengungkapkan “Inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Sukarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan inflasi akan tetapi tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Pada tahun 1990-an, Pemerintahan Soeharto juga sebenarnya telah mampu menjaga tingkat inflasi dengan rata-rata di bawah 10%. Hanya saja ketika memasuki masa krisis moneter Indonesia (dan Asia) 1997 Inflasi kembali meningkat menjadi 11,10% dan kemudian melompat menjadi 77,63% pada tahun 1998, di mana saat itu nilai tukar rupiah juga anjlok dari Rp 2.909,- per dolar AS (1997) menjadi Rp 10.014,- per dolar AS (1998). Pemerintah (pasca reformasi) sepertinya telah berusaha keras menjaga tingkat inflasi, namun berbagai tekanan dari dalam dan luar negeri pasca reformasi (1997) masih sangat tinggi mempengaruhi pergerakan perekonomian Indonesia. Inflasi yang terjadi di Indonesia masih cukup tinggi apabila dibandingkan dengan tingkat inflasi Malaysia dan Thailand yang berkisar 2%, bahkan Singapura yang berada di bawah 1%. Bila sektor-sektor riil dalam negeri tidak dibangkitkan maka upaya di sektor moneter menjaga kestabilan makro ekonomi dalam jangka panjang hanya akan menjadi hal yang sia-sia. Pada masa orde baru, inflasi memasuki alam baru akibat langkah-langkah positif yang diambil pemerintah untuk mengatasinya. Defisit APBN yang dulunya merupakan sumber utama kenaikan uang dalam peredaran dapat dialihkan menjadi surplus, walaupun anggaran domestik dari APBN merupakan arus inflasioner yang besar (Oppusunggu, HMT, 1985). Sejak akhir tahun 1980-an, tingkat inflasi rata-rata per tahun di Indonesia mulai tinggi lagi walaupun belum pernah mencapai sampai diatas 10,0%. Selama periode 1993 – 1995 laju inflasi sebagai berikut : 9,8% (1993), 9,2% (1994), 8,6% (1995). Angka ini tertinggi di antara negara-negara ASEAN, misalnya Malaysia: 3,6% (1993), 3,7% (1994), 3,2% (1995). Inflasi di Malaysia, Singapura dan Thailand relatif rendah dan merupakan negaranegara di ASEAN yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ini berarti bahwa
10
laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak harus dengan laju inflasi yang tinggi pula, seperti halnya yang dialami Indonesia (Tulus, T.H. Tambunan, Dr. 1996). Laju inflasi selama periode 1997 – 2002 sebagai berikut : 11,1% (1997),, 77,6% (1998), 2,0% (1999). Laju inflasi selama tahun 1998/1999 mencapai 45,9%. Meningkatnya tekanan harga terutama berasal dari sisi penawaran sebagai akibat depresiasi rupiah yang sangat tajam pada tahun 1997/1998. tiga tahun terakhir laju inflasi : 9,3% (2000), 12,5% (2001) dan turun 10,0% (2002). Kondisi moneter yang stabil menyeabkan tingkat inflasi IHK selama tahun 2002 cenderung menurun hingga 10,03%.(Laporan Tahunan BI, 1997/1998, 1999 – 2002). Berikut tinjauan inflasi dari BI dari bulan Maret 2016-Oktober 2017 Bulan Tahun
Tingkat Inflasi
Oktober 2017
3.58 %
September 2017
3.72 %
Agustus 2017
3.82 %
Juli 2017
3.88 %
Juni 2017
4.37 %
Mei 2017
4.33 %
April 2017
4.17 %
Maret 2017
3.61 %
Februari 2017
3.83 %
Januari 2017
3.49 %
Desember 2016
3.02 %
Nopember 2016
3.58 %
Oktober 2016
3.31 %
September 2016
3.07 %
Agustus 2016
2.79 %
Juli 2016
3.21 %
Juni 2016
3.45 %
Mei 2016
3.33 %
April 2016
3.60 %
Maret 2016
4.45 %
11
3.2 Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Pertumbuhan ekonomi umumnya didefinisikan sebagai kenaikan GDP riil per kapita. Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product, GDP) adalah nilai pasar keluaran total sebuah negara, yang merupakan nilai pasar semua barang jadi dan jasa akhir yang diproduksi selama periode waktu tertentu oleh faktor-faktor produksi yang berlokasi di dalam sebuah negara.
Kenaikan GDP dapat muncul melalui: 1. Kenaikan penawaran tenaga kerja Penawaran tenaga kerja yang meningkat dapat menghasilkan keluaran yang lebih banyak. Jika stok modal tetap sementara tenaga kerja naik, tenaga kerja baru cenderung akan kurang produktif dibandingkan tenaga kerja lama.
2. Kenaikan modal fisik atau sumber daya manusia Kenaikan stok modal dapat juga menaikkan keluaran, bahkan jika tidak disertai oleh kenaikan angkatan kerja. Modal fisik menaikkan baik produktivitas tenaga kerja maupun menyediakan secara langsung jasa yang bernilai. Investasi dalam modal sumber daya manusia merupakan sumber lain dari pertumbuhan ekonomi.
3. Kenaikan produktivitas Kenaikan produktivitas masukan menunjukkan setiap unit masukan tertentu memproduksi lebih banyak keluaran. Produktivitas masukan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor termasuk perubahan teknologi, kemajuan pengetahuan lain, dan ekonomisnya skala produksi. (Case dan Fair, 1999;326)
3.3 Pengaruh Inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi Pada prinsipnya tidak semua inflasi berdampak negatif bagi suatu perekonomian, terutama jika inflasi yang terjadi adalah inflasi ringan yakni dikisaran sepuluh persen ke bawah. Inflasi ringan justru dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan inflasi mampu memberikan semangat kepada para pengusaha untuk lebih meningkatkan produksinya. Pengusaha bersemangat untuk meningkatkan produksinya, karena adanya kenaikan harga, sehingga ketika memproduksi lebih banyak maka pengusaha akan memperoleh keuntungan yang lebih banyak pula. Dengan catatan ceteris paribus. Selain itu 12
peningkatan produksi juga membawa dampak positif yakni menciptakan lapangan kerja baru. Inflasi baru berdampak negatif apabila nilainya lebih dari sepuluh persen. Apabila inflasi yang terjadi diatas sepuluh persen dan tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan masayarakat, maka akan menyebabkan daya beli masayarakat menurun. Pada akhirnya akan menurunkan petumbuhan ekonomi karena sesuai dengan rumus pertumbuhan ekonomi yakni Y = C + I + G + (X-M) jika C (konsumsi masayarakat) turunmaka akan menyebabkan penurunan Y yang akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
13
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Masalah inflasi di Indonesia ternyata bukan saja merupakan fenomena jangka pendek, tetapi juga merupakan fenomena jangka panjang. Dalam arti, bahwa inflasi di Indonesia bukan semata-mata hanya disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan kebijaksanaan di sektor moneter oleh pemerintah, yang seringkali dilakukan untuk tujuan menstabilkan fluktuasi tingkat harga umum dalam jangka pendek, tetapi juga mengindikasikan masih adanya hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya dapat diatasi. Apabila mengacu pada usaha pengeliminasian hambatan-hambatan struktural tersebut, maka mau tidak mau harus memperhatikan dengan seksama pembangunan ekonomi di sector riil. Dengan melakukan pembenahan di sektor riil secara tepat, bahkan mungkin sampai pada tahap messo dan micro ekonomi, maka kemantapan fundamental ekonomi Indonesia dapat diperkokoh. Defisit APBN; peningkatan cadangan devisa, pembenahan sektor pertanian khususnya pada sub sektor pangan; pembenahan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi posisi penawaran agregat merupakan hal-hal yang perlu mendapatkan penanganan yang serius untuk dapat menekan inflasi ke tingkat yang serendah mungkin di Indonesia, disamping tentunya pengelolaan tepat dan pembenahan di sektor moneter.
14
DAFTAR PUSTAKA Boediono.1997. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No: 2 ; Ekonomi Makro, edisi keempat. Yogyakarta: BPFE. Cavanese, A. J. (n.d.). The Structuralist Explanation in the Theory of Inflation. Word Development , No. 10 halaman 523-529. Dalal, M. S.1988. Transmission of International Inflation to India : A Structural Analisis . The Journal of Developing Areas , No. 23, halaman 85-104. Fry, M.1971. Money and Capital or Financial Deepening in Economic Development ? Journal of Money, Credit and Banking , No. 1, halaman 22-45. Gunawan, A. H.1991. Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia,PAU-Ekonomi-UI. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Lim, J.1987. The New Structuralist Critique of The Monetarist Theory of Inflation. Journal of Development Economic , No. 25. Lipsey, R. G.1996. Pengantar Makroekonomi Jilid 1. Edisi ke-10. Wasana, Kirbrandoko, dan Budijanto [penerjemah]. Jakarta: Binarupa Aksara. Mankiw, N. G.2000. Teori Makroekonomi. Imam Nurmawan [penerjemah]. Jakarta: Erlangga. Tambunan, T. T.1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Galia Indonesia. Van Wijnbergen, S.1982. Credit Policy, Inflation and Growth in a Financially Repressed Economy. Journal of Development Economics , No. 13,halaman 45-65.
15