Anak Referat.docx

  • Uploaded by: Theresia Meo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Anak Referat.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,829
  • Pages: 23
REFERAT ALERGI SUSU SAPI PADA ANAK

PEMBIMBING: dr. Christine H. Sp.A

DISUSUN OLEH: Theresia Meo 1761050366

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA PERIODE 25 FEBRUARI – 04 MEI 2019 JAKARTA 2019

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang maha Kuasa karena atas berkat dan anugerah yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “ALERGI SUSU SAPI PADA ANAK” dengan lancar dan sesuai waktu yang telah ditentukan. Untuk itulah pada saat ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Christine H. Sp.A selaku dosen penguji, dan asisten anak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan referat ini. Penulis juga ingin berterima kasih kepada kakak-kakak dan abang-abang serta teman-teman mahasiswa yang dengan caranya masing-masing memberikan konstribusinya baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Penulis sangat berterima kasih apabila ada pihak–pihak yang berkenan memberikan kritik dan saran pada referat ini. Semoga referat ini dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Maret 2019

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................................. i Daftar Isi ...................................................................................................................... ii Pendahuluan ................................................................................................................. 1 Tinjauan Pustaka .......................................................................................................... 2 Kesimpulan ................................................................................................................ 19 Daftar Pustaka ............................................................................................................ 20

BAB I PENDAHULUAN

Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi. Namun pada kondisi tertentu bayi tidak dapat memperoleh ASI sehingga diperlukan susu formula. Pada beberapa tahun terakhir ini terdapat peningkatan prevalensi alergi susu sapi pada bayi dan anak dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat Alergi protein susu sapi dapat berkembang pada anak-anak yang diberi ASI atau pada anak-anak yang diberi susu formula. Namun, anak-anak yang diberi ASI biasanya memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk menjadi alergi terhadap makanan lainnya. Biasanya, anak yang diberi ASI dapat mengalami alergi terhadap susu sapi jika bayi tersebut bereaksi terhadap kadar protein susu sapi yang sedikit yang didapat dari diet ibu saat menyusui. Pada kasus lainnya, bayi-bayi tertentu dapat tersensitisasi terhadap protein susu sapi pada ASI ibunya, namun tidak mengalami reaksi alergi sampai mereka diberikan secara langsung susu sapi. Insidens alergi susu sapi sekitar 2-7.5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih mungkin terjadi pada 0.5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan insidens 1.5%, sedangkan sisanya adalah tipe non-IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat. Riwayat keluarga atopi dapat meningkatkan risiko terjadinya alergi pada anak. Risiko akan meningkat jika orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat atopik (masing-masing 20-40 % dan 25-35 %).

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang diperantarai secara imunologis terhadap protein susu sapi. Alergi susu sapi biasanya dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai oleh IgE, walaupun demikian ASS dapat diakibatkan oleh reaksi imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan antara keduanya.

2.2 Prevalensi

Dalam survei nasional ahli alergi anak, tingkat prevalensi alergi susu sapi dilaporkan 3,4% di Amerika Serikat. Sedangkan di Denmark, pada studi kohort dari 1.749 bayi baru lahir dari pusat Kota Odense yang dimonitor secara prospektif untuk pengembangan intoleransi terhadap protein susu sapi selama tahun pertama kehidupan, dilaporkan besarnya insidensi dalam 1 tahun adalah 2,2%.2 Sebuah penelitian prospektif menunjukkan bahwa 42% bayi yang mengalami gejala akibat intoleransi protein susu sapi terjadi dalam waktu 7 hari (70% dalam waktu 4 minggu) setelah pemberian susu sapi. Intoleransi protein susu sapi telah didiagnosis pada 1,9-2,8% dari populasi umum bayi berumur 2 tahun atau lebih muda di berbagai negara di Eropa bagian utara, namun kejadian turun menjadi sekitar 0,3% pada anak-anak yang berusia lebih dari 3 tahun.3

2.3 Komponen Protein Pada Susu Sapi. Protein susu sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi hipersensitivitas pada anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen protein yang dapat mengganggu respon imun yang menyimpang pada seseorang. Protein susu sapi terbagi menjadi kasein and whey. Kasein yang berupa bagian susu berbentuk kental biasanya didapatkan pada 76-86% dari protein susu sapi. Kasein dapat dipresipitasi dengan zat asam pada pH 4,6. Whey terdiri dari 20 % total protein susu, yang terdiri dari B - lactoglobulin (9% total protein susu), O lactalbumin (4%), bovine immunoglobulin (2%), bovine serum albumin (l%); dan sebagian kecil beberapa proteins seperti latoferrin, transferrin, lipase (4%). Dengan pasteurisasi rutin tidak cukup untuk menghilangkan protein ini tetapi sebaliknya meningkatkan sifat alergenitas beberapa protein susu seperti b-laktoglobulin. Banyak penelitian mengenai alergenitas protein susu sapi. Terdapat lebih dari 40 jenis protein yang berbeda dalam susu sapi yang berpotensi untuk menyebabkan sensitivitas. Kandungan pada susu sapi yang

paling

sering

menimbulkan

alergi

adalah

lactoglobulin,

selanjutnya casein, lactalbumin bovine serum albumin (BSA). Analisa immunoelectrophoretic

menunjukkan

bahwa

casein

berkurang

alergenisitasnya setelah pemanasan sekitar 12°C selama l5 menit, sedangkan lactoglobulin, lactalbumin berkurang terhadap pemanasan lebih dari l00°C.

PROTEIN

MOLECULAR PERCENTAGE ALERGINISITAS ST

COMPONENT

WEIGHT (kD)

OF TOTAL

TH

PROTEIN

TE

10 β –lactoglobulin

18.3

10

+++

++

Casein

20-30

82

++

++

α –lactalbumin

14.2

4

++

+

Serum albumin 67 T Immunoglobulins 160 a

1

+

+

2

+

-

Karakteristik komponen protein pada susu sapi5 2.4 patofisologi Respon imunologis spesifik yang terbentuk pada pasien alergi dipicu oleh adanya interaksi antara epitop, yaitu suatu sekuens asam amino di permukaan antigen, dengan sistem imun dalam tubuh yang dapat diperantarai oleh IgE maupun mediator lain selain IgE, atau kombinasi dari keduanya. Namun, reaksi hipersensitivitas yang paling umum terjadi adalah hipersensitivitas tipe I dimana sistem imun melepaskan mediator-mediator spesifik setelah antigen berikatan dengan IgE. Antigen yang dapat memicu terjadinya alergi disebut alergen. Alergen umumnya adalah komponen dari protein dengan berat molekul 10-70 kDa. Alergen harus dapat melakukan penetrasi ke jaringan tubuh host untuk dapat berikatan dengan antigen presenting cells (APC). Beberapa alergen diketahui memiliki enzim protease untuk meningkatkan daya penetrasi ke dalam jaringan dan menginduksi terjadinya respon imunologis. Alergen penting yang terkandung di susu sapi adalah α-laktalbumin, β-laktoglobulin dan αs-kasein. Alergi yang diperantarai oleh IgE merupakan jenis reaksi alergi yang paling diketahui mekanismenya. Pada reaksi alergi yang

diperantarai IgE, saat pertama kali memasuki tubuh, sel dendritik sebagai salah satu APC yang terdapat di epitel akan memproses alergen pada lokasi terjadinya kontak. Selanjutnya, alergen yang telah diproses ini akan ditranspor ke kelenjar limfe dan mempresentasikan Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II ke sel T helper naif (TH0). Sel T selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi T helper 2 (TH2) dan sel T helper folikular (TFH) yang berperan dalam produksi sitokin-sitokin, khususnya IL-4 yang menginduksi diferensiasi lebih lanjut ke arah TH2. Melalui IL-4, TH2 dan TFH selanjutnya akan menginduksi limfosit B untuk menukar produksi isotipe antibodi dari IgM menjadi IgE. IgE yang dihasilkan akan menempel pada reseptor-reseptor IgE berafinitas tinggi (FϲεRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil yang menandai terjadinya proses sensitisasi. Sel mast, basofil dan eosinofil merupakan sel efektor dari reaksi hipersensitivitas tipe cepat (immediate hypersensitivity reactions) yang mengandung granula berisi mediator-mediator reaksi alergi seperti histamin, heparin dan serotonin. Pada paparan selanjutnya, sel mast yang telah tersensitisasi oleh alergen spesifik ini akan teraktivasi apabila terjadi reaksi silang antara alergen dengan minimal 2

reseptor FϲεRI. Aktivasi sel mast akan

menimbulkan tiga respon biologis yang meliputi degranulasi mediator yang telah terbentuk sebelumnya, sintesis dan sekresi mediator lipid serta sintesis dan sekresi sitokin. Pada beberapa individu dengan ASS, tidak ditemukan kenaikan kadar IgE yang spesifik terhadap protein susu sapi di sirkulasi darah dan tidak menunjukkan hasil yang positif pula pada uji tusuk kulit. Karena

tidak

melibatkan

kenaikan

kadar

IgE

seperti

pada

hipersensitivitas tipe I, reaksi ini disebut alergi yang tidak diperantarai IgE (non IgE-mediated allergy) atau sering juga disebut sebagai delayed-type allergic reaction. Mekanisme alergi ini belum diketahui

secara pasti, namun berdasarkan beberapa studi diperkirakan ada dua mekanisme yang dapat mendasari respon alergi ini. Yang pertama adalah reaksi yang diperantarai TH1, dimana kompleks imun yang terbentuk akan mengaktivasi komplemen-komplemen. Mekanisme kedua adalah reaksi yang melibatkan interaksi sel limfosit T, sel mast atau neuron, dimana interaksi ini menimbulkan perubahan fungsional pada motilitas usus dan aktivitas otot polos saluran cerna. Sel limfosit T akan menginduksi sekresi sitokin-sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13 yang akan mengaktivasi eosinofil, sel mast, basofil dan makrofag untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi kronis dan manifestasi ASS. 2.4 Klasifikasi Berdasarkan respon imunologis yang mendasarinya, ASS dapat diklasifikasikan menjadi : 1. IgE mediated a. IgE mediated, yaitu alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejala klinis timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam setelah mengonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis yang dapat timbul adalah urtikaria, angioedema, ruam kulit, dermatitis atopik,

muntah,

nyeri

perut,

diare,

rinokonjungtivitis,

bronkospasme, dan anafilaksis. Alergi susu sapi tipe ini dapat didukung dengan kadar IgE susu sapi yang positif (uji tusuk kulit atau pemeriksaan IgE spesifik/IgE RAST).1

Gastrointestinal

Skin

Respiratory

to

-Vomiting

-Acute pruritus (itching)

-acute

moderate

-Diarhoea

-Erythema (flushing)

conjungtivitis.

IgE-

-Abdominal pain/colic

-Urticaria (hives)

Mild

mediated

-Angioedema (swelling)

rhinitis

and/or

-Acute “flaring” of atopic

symptoms

eczema Severe

-Rare

-Persisten symptoms

-Significant

IgE

and/or

mediated

symptoms.

respyratori cardiovascular

symptoms

2. Non-IgE mediated b. Non-IgE mediated, yaitu alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE, tetapi diperantarai oleh IgG. Gejala klinis timbul lebih lambat (> 1 jam) setelah mengonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis yang dapat timbul antara lain adalah allergic eosinophilic gastroenteropathy, kolik, enterokolitis, proktokolitis, anemia, dan gagal tumbuh.1

Mild

to

Gastrointestinal

Skin

-Iritability or colic

-Pruritus (itching)

moderate

-Vomiting,

non-IgE-

oesophageal reflux disease

mediated

-food refusal or aversion

symptoms

-Diarhoea -Abdominal

reflux

or

discomfort,

gastro-

-Erythema (flushing) -Moderate persistent atopic dermatitis.

painful

flatulence. -Blood and /or mucus in stools in an otherwise healthy child

Severe

IgE

-Diarhoea

-Severe atopic dermatitis

mediated

-Vomiting

-(+/-) faltering growth

symptoms

-Abdominal pain -Food refusal or food aversion -Significant blood and/or mucus in stools -Irreguler or uncomfortable stools. - (+/-) faltering growth.

2.5 Manifestasi Klinis Gejala ASS pada umumnya dimulai pada usia 6 bulan pertama kehidupan. Dua puluh delapan persen timbul setelah 3 hari minum susu sapi, 41% setelah

7 hari dan 68% setelah

1 bulan. Berbagai

manifestasi klinis dapat timbul. Pada bayi terdapat 3 sistem organ tubuh yang paling sering terkena yaitu kulit, sistem saluran napas, dan saluran cerna. Penyakit ASS akan menghilang (toleran) sebelum usia 3 tahun pada 85% kasus. Hill, dkk.7 membagi alergi susu sapi menjadi 3 kelompok yaitu:  Kelompok I: Awitan timbul beberapa menit setelah memakan makanan yang

jumlahnya sedikit. Gejala biasanya berupa

urtikaria, angioedema, eksaserbasi eksema dan gejala saluran napas. Uji kulit positip, kadar IgE spesifik tinggi.  Kelompok II: Awitan timbul beberapa jam setelah memakan makanan yang jumlahnya cukup banyak. Gejala pada saluran cerna berupa muntah dan diare. Uji kulit negatif dan kadar IgE spesifik negatif. Kelompok ini disebut intoleran protein susu sapi atau enteropati susu sapi.  Kelompok III: Awitan timbul lebih lama sampai setelah 20 jam kemudian dan jumlah yang diminum sangat banyak. Gejala

muntah, diare, gejala saluran napas dan eksaserbasi eksema. Uji kulit kadang dapat positif pada pasien dengan eksema kulit. Kelompok di atas pada perjalanan penyakitnya dapat berubah, misalnya dari kelompok I menjadi kelompok II atau sebaliknya. Gejala alergi susu sapi di Sub-Bagian Alergi Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak terbanyak memberikan gejala batuk kronik berulang, diare, dermatitis atopik, rinitis alergi dan urtikaria.5 Sebagian besar ASS pada bayi adalah tipe cepat yang diperan oleh IgE dan gejala utama adalah ras kulit, eritema perioral, angioedema, urtikaria dan anafilaksis, sedangkan bila gejala lambat dan mengenai saluran cerna berupa kolik, muntah dan diare biasanya bukan diperantarai

oleh

IgE.

Tabel Tanda dan gejala alergi susu sapi

Alergi susu sapi ditandai oleh berbagai variasi manifestasi klinis yang terjadi setelah meminum susu.Gejala klinis akan muncul dalam satu jam (reaksi cepat) atau setelah satu jam (reaksi lambat) setelah

mengkomsumsi protein susu sapi. Manifestasi paling berbahaya dari reaksi mediasi IgE akibat alergi susu ialah anafilaksis. Setelah degranulasi sel mast, pelepasan mediator inflamasi mempengaruhi berbagai sistem organ.Gejala yang dapat timbul ialah pruritus, urtikaria, angio-edema, muntah, diare, nyeri perut, sulit bernapas, sesak, hipotensi, pingsan, dan syok. Pasien dengan alergi susu non IgE mediated dapat muncul dengan berbagai macam gejala, berdasarkan lokalisasi dari inflamasi.

Tabel

Manifestasi

klinis

alergi

susu

sapi

berdasarkan

mekanisme imun. 1. Reaksi cepat ASS a. Anafilaksis ( reaksi alergi sistemik atau generalisasi ) •

Kriteria diagnosis melibatkan kulit, mukosa dengan setidaknya 1 gejala pernafasan seperti : dyspnue, bronkospasme, stridor, hipoksemia.



Gejala disfungsi organ : hipotonia



Gejala gastrointestinal : kolik, muntah



Syok

Terjadi dalam beberapa menit hingga 2 jam setelah konsumsi susu sapi.

b. Reaksi gastrointestinal •

Sindrom alergi oral : pembengkakan bibir

c. Reaksi pada sistem pernafasan yang di perantarai IgE Asma dan rhinitis •

Asma: prognosis buruk pada anak yang menderita anafilaksis



Rhinitis terjadi sekitar 70% dan asma 8%

d. Reaksi pada kulit yang diperantarai IgE •

Urtikaria akut atau angioderma



Miscellanea

2. Reaksi lambat ASS a. Dermatitis atopik •

Penyakit

radang pruritus kronis pada kulit dan biasanya

berhubungan dengan sensitisasi alergi. b.

Sindrom gastrointestinal

 GERD •

Sekitar 40% bayi yang dirujuk untuk manajemen spesialis GERD memiliki alergi terhadap protein susu sapi.



Atrofi vili parsial ( Biopsi usus )



Menyebabkan disritmia lambung yang hebat



Menyebakan reflex muntah

 Spasme pada Crico-Pharyngeal



Penyempitan asynchronous dari otot-otot faring dan / atau dari sfingter esofagus

 Sindrom Enterocolitis yang Diinduksi Protein Makanan (FPIES) •

Bersifat akut, disertai muntah proyektil berulang, pucat dan diare 1-3 jam ( 50% susu sapi atau berbasis kedelai )

 Konstipasi



70% kontipasi kronik ( pada masa bayi )



Menyebabkan defekasi , eritema perianal, eksim dan fisura ani dengan retensi feses

c. Penyakit

paru-paru

kronis

yang diinduksi

susu

(Heiner’s

Syndrome) •

Roentgenograms dada menunjukkan infiltrat merata, sering dikaitkan dengan atelektasis, konpolasi, kepadatan retikuler, penebalan pleura, atau limfadenopati hilus.

2.6 Diagnosis Tidak ada gejala yang patognomonik untuk alergi susu sapi. Alergi susu sapi lebih mudah didiagnosis ketika ada hubungan antara konsumsi susu sapi dan onset dari gejala. Gejala alergi susu sapi biasanya timbul sebelum usia satu bulan dan muncul dalam satu minggu setelah mengkonsumsi protein susu sapi. Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi tipe IgE mediated adalah dengan melihat gejala klinis dan dilakukan uji IgE spesifik (uji tusuk kulit atau uji RAST). 

Jika hasil positif maka dilakukan eliminasi (penghindaran) makanan yang mengandung protein susu sapi



Jika hasil negatif maka dapat diberikan kembali makan yang mengandung protein susu sapi.



Untuk diagnosis pasti dapat dilakukan uji eliminasi dan provokasi. Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi yang diperantarai

non IgE mediated adalah dengan adanya riwayat alergi terhadap protein susu sapi, diet eliminasi, uji provokasi makanan, dan kadang-kadang dibutuhkan pemerikasaan tambahan seperti endoskopi dan biopsi.

2.7 Pemeriksaan Penunjang 2.7.1 IgE spesifik 

Uji tusuk kulit (Skin prick test) -

Uji tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian punggung.

-

Usia minimal untuk uji tusuk kulit adalah 4 bulan. Hasil uji tusuk kulit biasanya lebih kecil pada anak < 2 tahun sehingga perlu interpretasi yang hati-hati.

-

Bila uji kulit positif, kemungkinan alergi susu sapi sebesar < 50% (nilai duga positif < 50%), sedangkan bila uji kulit negatif berarti alergi susu yang diperantarai IgE dapat disingkirkan.



IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test) -

Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji kulit, tidak didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan spesifitas antara uji tusuk kulit dengan uji IgE RAST

-

Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan karena adanya lesi kulit yang luas di daerah pemeriksaan dan bila penderita tidak bisa lepas minum obat antihistamin.

-

Kadar serum IgE spesifik antibodi untuk susu sapi dinyatakan positif jika > 5 kIU/L pada anak usia ≤ 2 tahun dan >15 kIU/L pada anak usia > 2 tahun.

2.7.2 Uji eliminasi dan provokasi Double blind placebo

controlled food

challenge

(DBPFC) merupakan uji baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Untuk itu dapat dilakukan uji eliminasi dan provokasi terbuka. Jika eliminasi dan provokasi masih merupakan baku standar untuk diagnosis alergi susu sapi. Selama eliminasi, bayi dengan gejala alergi ringan sampai sedang diberikan susu formula terhidrolisat ekstensif, sedangkan bayi dengan gejala alergi berat diberikan susu formula berbasis asam amino. Diet eliminasi selama 2-4 minggu tergantung berat ringannya gejala. Diet eliminasi sampai 4 minggu bila terdapat gejala dermatitis atopik berat disertai gejala saluran cerna kolitis alergi. Pada pasien dengan riwayat alergi berat, uji provokasi dilakukan di bawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit atau klinik. Anak dengan uji tusuk kulit dan uji RAST negatif mempunyai risiko rendah mengalami reaksi akut berat pada saat uji provokasi. Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul kembali, maka diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi dinyatakan negatif bila tidak timbul gejala alergi susu sapi pada saat uji provokasi sampai 3 hari pasca provokasi (untuk menyingkirkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat). Apabila uji provokasi negatif, maka bayi tersebut diperbolehkan minum formula susu sapi.

2.8 Tatalaksana 2.8.1 Eliminasi diet Menghindari segala bentuk produk sapi adalah prinsip utama terapi untuk alergi susu sapi. Mengganti susu sapi dengan susu mamalia lain seperti susu kambing, susu domba dan sebaginya tidak dianjurkan karena berisiko terjadinya reaksi silang. Untuk bayi dengan ASI eksklusif, ibu harus menghindari konsumsi semua produk susu sapi dan mengkonsumsi suplemen kalsium. Eliminasi diet dilakukan setidaknya 2 minggu tetpai dapat diperpanjang untuk mencegah reaksi lambat. 2.8.2 Penggantian makanan Untuk bayi dengan susu formula, bisa diberikan susu formula hipoalergenik. Jenis susu ini diberikan pada anak yan memiliki gejala klinis alergi susu ringan atau sedang. Apabila susu hipoalergenik tidak tersedia atau terkendala biaya, maka dapat diberikan susu yang mengandung isolat protein kedelai sebagai alternatifnya. Namun tetap berikan kepada orang tua jika ada kemungkinan reaksi silang alergi terhadap protein kedelai pada bayi.  Untuk bayi dengan ASI eksklusif: Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada diet ibu selama 2-4 minggu. Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis alergi susu sapi. Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain. Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian ASI dapat diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya pada makanan sehari-harinya

sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.  Untuk bayi yang mengkonsumsi susu formula standar: Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi yaitu dengan mengganti susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula hidrolisat ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Eliminasi dilakukan selama 2-4 minggu. Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis alergi susu sapi. Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain. Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrolisat ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus ini dilakukan sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.

 Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat, maka perlu penghindaran protein susu sapi dalam makanan pendamping ASI (MP-ASI).  Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala biaya maka formula kedelai dapat diberikan pada bayi berusia di atas 6 bulan dengan penjelasan kepada orangtua mengenai kemungkinan reaksi alergi terhadap kedelai. Pemberian susu kedelai tidak dianjurkan untuk bayi di bawah usia 6 bulan. 2.8.3 Medikamentosa -

Gejala yang ditimbulkan alergi susu sapi diobati sesuai gejala yang terjadi.

-

Antagonis reseptor H1 (antihistamin) generasi satu dan generasi kedua dapat diggunakan dalam penanganan alergi.

-

Jika didapatkan riwayat reaksi alergi cepat, anafilaksis, asma, atau dengan alergi makanan yang berhubungan dengan reaksi alergi yang berat, epinefrin harus dipersiapkan.

2.9 Pencegahan Alergi Susu Sapi. 1. Pencegahan primer : •

Dilakukan sejak prenatal pada janin dengan keluarga yang memiliki bakat dermatitis atopi



Memberikan susu sapi yang hipoalergi, seperti susu sapi partially hydrolyzed

2. Pencegahan sekunder : •

Dilakukan setelah sensitisasi tetapi manifestasi penyakit alergi tidak muncul



ASI eksklusif tampaknya juga dapat mengurangi risiko alergi.



Tindakan yang optimal adalah usia 0-3 tahun.



Memberikan susu sapi yang hipoalergi, seperti susu sapi dihidrolisis sempurna

3. Pencegahan Tersier : •

Dilakukan pada anak-anak dengan manifestasi sensitisasi dan menunjukkan penyakit alergi awal seperti dermatitis atopik atau rinitis



Optimal adalah pada usia 6 bulan sampai 4 tahun.



Memberikan susu sapi hidrolisat sempurna atau pengganti susu sapi

2.10 Prognosis Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka remisi 45-55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua dan 90% pada tahun ketiga. Namun, terjadinya alergi terhadap makanan lain juga meningkat hingga 50% terutama pada jenis: telur, kedelai, kacang, sitrus, ikan dan sereal dan alergi inhalan meningkat 50-80% sebelum pubertas.

BAB III Kesimpulan Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan keterlibatan mekanisme sistem imun, yang disebabkan oleh kandungan protein di dalam susu sapi. Alergi susu sapi (ASS)/Cow’s milk protein allergy (CMPA) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang diperantarai secara imunologis terhadap protein susu sapi.Alergen susu sapi paling sering adalah fraksi casein (αs1-, αs2-, β-, dan κ-casein) dan protein whey (αlactalbumin dan β-lactoglobulin). Terdapat dua klasifikasi alergi susu sapi yaitu: IgE mediated dan non IgEmediated. Penatalaksanaan alergi dapat dilakukan kepada bayi maupun juga kepada ibu yang memberikan ASI-nya. Dan pencegahan saat ini sudah dapat dilakukan semenjak masih dalam kandungan.

Daftar Pustaka

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Susu Sapi. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014. 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Diagnosis Dan Tatalaksana Alergi Susu Sapi. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015 3. Buku Ajar Alergi-lmunologi Anak, edisi kedua. Reaksi hipersensitivitas , Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati
 Jakarta: lkatan Dokter Anak Indonesia, 2008 : 115-125 4. Sjawitri P. Pentingnya Pencegahan Dini Dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi. Sari Pediatri Vol 7 no.4. 2006 5. Sjawitri P. Alergi Makanan Pada Bayi Dan Anak. Sari Pediatri. 2001 6. Carlos L, Hania S. Cow’s Milk Allergy: Evidenced Based Diagnosis And Management For The Practitioner. Europan Journal Of pediatrics. 2014 7. Alessandro F, Lamia D, Christophe D, Cristina C, Vincenzo F, Antonio N. Cows Milk Allergy: Toward An Update Of DRACMA Guidelines. World Allergy Organization Journal. 2016 8. Joanne W, David M, Adam F. Cow’s Milk Protein Allergy in children: identification and treatment. The Pharmaceutical Journal. 2018 9. Giovanna V, Carla C, et al. The Immunopathogenesis of Cow’s Milk Protein Allergy. Italian Journal of Pediatric. 2013. 10. Luyt D, Ball H,

Makwana N, et al. BSACI Guideline for The Diagnosis and

Management of Cow’s Milk Allergy. Clinical and Experimental Alergy. 2014. 11. Nayak S. Understanding Cow’s Milk Protein Allergy. Pediatric Oncall Journal. 2015.

Related Documents

Anak-anak
May 2020 56
Anak Anak
May 2020 46
Anak
October 2019 50
Anak
June 2020 42
Anak
November 2019 56
Anak
June 2020 32

More Documents from ""