An Umum Dari Penyakit Bakteri

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View An Umum Dari Penyakit Bakteri as PDF for free.

More details

  • Words: 4,144
  • Pages: 14
PERTIMBANGAN UMUM DARI PENYAKIT BAKTERI Fitzpatrick’s DERMATOLOGY IN GENERAL MEDICINE 7th ed. p. 1689-1693 BAGIAN 29 PENYAKIT BAKTERI BAB 176 Pertimbangan Umum Penyakit Bakterial Infeksi bakterial kulit dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori utama : (1) infeksi kulit primer, (2) infeksi sekunder dari penyakit kulit primer (misal : dermatitis atopik terinfeksi), (3) lesi kulit sebagai manifestasi dari infeksi primer pada beberapa sistem organ lain, biasanya darah, (4) penyakit kulit reaktif karena infeksi bakterial (misal : eritema nodusum yang disebabkan streptococcal pharyngitis). Penting diingat bahwa perubahan kulit yang berhubungan dengan infeksi tidak selalu supuratif, tetapi dapat muncul sebagai vasculitis atau respon hipersensitivitas (misal: lesi pada endokarditis bakterial subakut atau eritema nodusum). Pentingnya kulit sebagai penunjuk adanya infeksi sistemik tidak dapat dijadikan patokan utama, terutama ketika terjadi penyimpangan penemuan klinis klasik pada pasien immunocompromised. Pengenalan yang tepat waktu atas petunjuk pada kulit atas adanya bakteremia dapat memberikan peringatan awal sebagai pertimbangan terhadap adanya infeksi yang mengancam hidup yang terkait dengan organisme seperti Pseudomonas aeruginosa, Vibrio vulnificus, Salmonella typhi, Staphylococcus aureus, dan Neisseria meningiditis.

Sekilas Penyakit Kulit Karena Bakteri Bakteri dapat menyebabkan timbulnya suatu penyakit dengan menginvasi jaringan secara langsung, mensekresi toksin, dan menyebabkan respon imunologi yang berakibat suatu penyakit.



Sistem imun bawaan (innate immunesystem) penting untuk mengatasi masuknya bakteri ke dalam kulit.



Virulensi dan patogenitas bakteri tergantung pada kemampuan bakteri untuk menghindari aktivasi sistem imun bawaan (innate immunesystem) atau mampu bertahan dari penghancuran sel imun efektor.



Imunosupresi, terutama neutropenia, menyebabkan resiko tinggi pada pejamu terhadap infeksi bakteri; beberapa infeksi jarang terjadi kecuali pada pejamu yang immunocompromised. Peongobatan infeksi bakteri harus mempertimbangkan sifat alami pejamu dan jika infeksi bakteri itu menjadi berhasil.

PATOGENESIS INFEKSI BAKTERIAL PADA KULIT Perkembangan dan evolusi dari infeksi bakteri melibatkan tiga faktor utama : (1) pintu masuk (2) daya tahan pejamu dan respon inflamasi terhadap invasi mikroba (3) bahan-bahan patogen dari organisme. Pintu Masuk Efikasi dari keutuhan dan fungsi epidermis untuk melindungi invasi bakteri secara langsung, digambarkan dengan prevalensi septikemia yang tinggi pada bayi prematur dengan berat badan lahir rendah yang kehilangan efektifitas barier epidermal1. Karena kulit anak-anak dan dewasa normal yang utuh relatif resisten terhadap infeksi, kebanyakan infeksi terjadi ketika ada gangguan pada barrier kulit. Maserasi, pencukuran, luka kronis, ekskoriasi dari gigitan serangga yang gatal, dan rusaknya barier epidermal oleh patogen yang lain adalah cara primer di mana bakteri dapat melewati barier kulit. Sebagai contoh, selulitis tungkai bawah pada orang sehat tanpa kelainan vena atau ulkus pada tungkai sebagai konsekuensinya lebih sering menyebabkan maserasi interdigiti atau tinea pedis2. Karakter respon inflamasi kulit terhadap bakteri akan dipengaruhi oleh bagaimana organisme tersebut mencapai area yang terlibat. Inflamasi lokal dan supurasi biasanya disertai infeksi bakteri secara langsung pada kulit. Pada septikemia, dinding vaskuler sering merupakan bagian primer atas terjadinya penyakit kulit; perdarahan atau trombosis dengan infark merupakan suatu manifestasi awal. Bakteri tertentu dapat menyebabkan bekteremia atau lesi jauh tanpa membangkitkan respon inflamasi yang jelas pada pintu masuk (misal : Yersinia pestis, Streptobacillus moniliformis (rat-bite fever)), bahkan pada pejamu yang immunocompromised. Kadang-kadang septikemia S. pyogenes yang merusak muncul akibat suatu luka tusuk atau abrasi yang tidak berbahaya dan tidak menyebabkan lesi lokal yang signifikan.

Resistensi Alami pada Kulit Kulit normal pada individu yang sehat memiliki resistensi yang tinggi terhadap invasi berbagai macam varietas bakteri, dimana secara konstan dapat muncul. Sulit untuk menyebabkan infeksi lokal seperti impetigo, furunkulosis, atau selulitis, jika terdapat integumen yang utuh. 3 Organisme patogen seperti S. pyogenes

(Streptococcus group A, GAS) dan S. aureus menghasilkan lesi khas yaitu selulitis dan furunkulosis pada pejamu dengan daya tahan normal, yang biasanya dikarenakan adanya gangguan pada barier kulit normal. Keberadaan benang jahit (silk suture) mengurangi jumlah organisme yang diperlukan untuk menimbulkan abses pada kulit manusia dengan faktor 10.000 pada kasus S. Aureus.4 Bakteri tidak mampu menembus lapisan keratin kulit normal dan ketika diaplikasikan pada permukaan kulit, secara cepat akan berkurang dalam hal jumlah. Maserasi dan oklusi yang menyebabkan peningkatan pH, karbondioksida yang lebih tinggi, dan kandungan air epidermal yang lebih tingi, berdampak pada peningkatan dramatis jumlah flora bakteri.5 Beberapa bakteri, yang beberapa diantaranya merupakan gram negatif, hanya dapat ditemukan di tempat-tempat tersebut, yang mana hal ini menunjukkan bahwa kondisi kulit yang normal dapat mencegah bakteri membentuk koloni di kulit. Kekeringan relatif (relative dryness) kulit normal secara spesifik berperan pada pembatasan pertumbuhan bakteri, terutama basil gram negatif. Lipid yang ditemukan pada permukaan kulit memiliki sifat antibakteri. 1 Berkurangnya lipid permukaan kulit karena pelarut topikal dapat memperpanjang waktu kehidupan S. Aureus pada kulit. Asam lemak bebas, asam linoleat dan linolenat, lebih menghambat S. Aureus dibandingkan dengan coagulase-negative staphylococci, yang merupakan komponen flora normal kulit. Sfingosin, glukosiloeramida, dan asam sis6-heksadekonat telah ditunjukkan memiliki sifat antimokroba terhadap S. Aureus. Gangguan bakterial (efek supresif dari satu spesies bakteri terhadap kolonisasi yang lain) memiliki pengaruh yang besar terhadap komposisi keseluruhan flora kulit. Organisme yang bertahan hidup dan berkembang dalam kondisi ekologi yang bervariasi pada kulit akan menggantikan “ flora normal kutaneus”. Sebagai misal, distribusi spesies yang berbeda dari coagulase-negative staphylococci dapat beragam pada area anatomis yang berbeda, dan angka relatifnya dapat bergantung pada umur. Pada orang dewasa, S. Epidermidis adalah spesies stafilokokal utama yang dapat diisolasi dari kulit kepala, wajah, dada, dan ketiak. Basil gram negatif relatif jarang ditemukan sebagai komponen yang tinggal sebagai flora normal kulit, dengan pengecualian kompleks Acinetobacter calcanetikus baumannii, yang ditemukan pada sekitar 25% dewasa normal, terutama di ketiak, daerah kemaluan, den jempol kaki.6 PEPTIDA ANTIMIKROBIAL.

Kulit manusia mengandung banyak protein dengan sifat bawaan antimikrobial. Peptida antimikrobial ini (antimicrobial peptides) (AMPs) dilepaskan pada permukaan kulit melalui keringat dan ludah eksokrin.7 Keratinosit yang teraktivasi akan memproduksi AMPs. AMPs yang diproduksi di keratinosit dikirim ke permukaan kulit menuju badan lamelar, dan penampakan mereka pada permukaan kulit berhubungan secara dekat dengan produksi lipid stratum korneum kulit normal (lihat Bab 45). Protein kecil ini memiliki ciri fisik dengan bentuk amfifatik, dengan satu bagian bersifat kation dan mampu melekat ke membran mikroba, dan bagian lain hidrofobik yang menjadikannya mampu masuk ke dalam membran lipid bakteri. Proses masuknyaprotein ini ke dalam membran menyebabkan kerusakan membran dan kematian mikroba. Prinsip kedua AMPs adalah bahwa protein ini diproses setelah pelepasan oleh enzim pada permukaan kulit, menghasilkan peptida multipel dengan aktivitas dan target yang berbeda. Prinsip AMPs yang ketiga adalah bahwa protein ini tidak hanya membunuh mikroba secara langsung, namun juga merupakan aktivasi poten dari respon imun host. Dua AMPs utama yang dipelajari sampai sekarang pada kulit adalah katelesidin (LL-37) dan defensin. Penurunan yang bermakna pada molekul ini pada kulit pasien yang radang dengan dermatitis atopik menjelaskan suseptibilitas pasien atopik terhadap infeksi S. aureus, virus herpes simpleks, dan virus vaccinia.8 Sitokin T helper 2 secara spesifik menekan produksi AMPs, yang menjelaskan kenapa kulit psoriatik memiliki AMPs yang normal atau meningkat dan kurang suseptibel terhadap infeksi bakteri dan virus.9 SIFAT SPESIFIK RESPON INFLAMASI PEJAMU TERHADAP INFEKSI KULIT. Sistem imun adaptif, yang memerlukan perkembangan sel target dan antibodi, sangat efektif melindungi manusia dari infeksi segera setelah sel efektor dan antibodi diproduksi. Namun, sistemimun ini memerlukan waktu lama, dan replikasi dan serangan bakteri terjadi dalam beberapa jam. Penemuan pada sistem imun bawaan menjelaskan kemampuan organisme untuk memasang respon imun yang efektif dan terarah terhadap mikroba sebelum sistem imun adaptif berperan (lihat Bab 10). Sistem imun bawaan terdapat pada tanaman, invertebrata, dan vertebrata. Sistem ini bergantung pada serangkaian “pola reseptor pengenalan” yang mengenali pola molekuler patogen yang berhubungan yang tidak ada pada diri sendiri.10 Perlekatan reseptor pola pengenalan pada patogen yang berhubungan menghasilkan opsonisasi

dan aktivasi sistem komplemen sebagaimana induksi jalur sinyal inflamasi. Proses ini paling tidak melibatkan tiga pola pengenalan reseptor; (1) AMPs yang dibahas di Peprida Antimikroba, (2) reseptor mirip Tol (TLRs), dan (3) sistem komplemen. Ketiga sistem ini dipicu yang oleh bakteri ketika mereka masuk kulit dan dengan interkomunikasi dan sinyal netrofil serta sel imun yang lain, merupakan hal yang penting dalam membawa sel yang diperlukan untuk menghancurkan patogen di tempat infeksi. TLRs adalah pengulangan dari pola pengenalan reseptor (lihat Bab 10).11 Terdapat pada membran sel dan mengenali ligan eksogen tertentu yang unik pada mikroorganisme yang menyerang dan tidak ditemukan pada host. Mereka memerankan peran utama sebagai sensor terhadap patogen penyerang. Sebagai misal, TLR5 mengenali flagelin, unik pada bakteri breflagel, dan TLR2 mengenali peptidoglikan pada permukaan bakteri Gram positif. Elemen struktural dari organisme penyerang ini penting terhadap patogenesitasnya dan sulit untuk dihilangkan secara evolusi. TLRs tidak hanya memicu penyerang namun juga mengorkestrasi tipe respon imun yang dihasilkan untuk patogen spesifik. TLRs melakukan ini dengan menginstruksikan antigen presenting cell yang telah memicu organisme untuk mengeluarkan sitokin yang tepat untuk memicu mileu imunologis yang diinginkan dan respon adaptif yang diperlukan (lihat Bab10). Jalur sinyal turun alternatif dapat menghasilkan respon imun yang berbeda dari pemicu TLRs yang identik. Komplemen (lihat Bab 36) diaktivasi saat mannin lektin perlekatan melekat pada pola karbohidrat pada bakteri dan mengaktivasi C2 dan C4.12 Aktivasi C3 membebaskan C3a dan C3b. C3b pada membran menimbulkan opsonisasi dan meningkatkan fagositosis. Sebagai tambahan, pembelahan C5 menimbulkan C5a, aktivator poten netrofil dan stimulator sitokin proinflamatorik, termasuk interleukin 1 (IL-1) dan IL-8. “Kompleks penyerang membran” dibentuk oleh lengkapnya susunan komplemen dan membunuh mikroba penyerang. Tidak mengejutkan, komponen komplemen juga memodulasi sistem imun, dan merubah stimulasi TLR pada beberapa jalur aktivasi. Melalui pengulangan yang luas dari opsi hasil, pejamu manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan respin spesifik organisme terhadap variasi agen infeksi yang luas di mana pejamu belum pernah terpapar. Sebagai tambahan, sistem imun bawaan melalui komplemen dan TLR mengorkestrasi sistem imun adaptif untuk merespon secara sesuai terhadap mikroba yang masuk. Respon imun adaptif yang rumit ini menjelaskan berbagai respon klinis agak berbeda untuk

berbagai infeksi bakteri yang telah dijelaskan. Agen infeksi secara anatomis terdapat pada tempat yang terinfeksi, dan terbentuk pola respon inflamasi yang menimbulkan lesi klinis. Patogenesis dari Mikroorganisme Agar mudah menginvasi host, pada mulanya kuman harus memperoleh tempat masuk. S.aureus menggunakan asam teichoic dan protein permukaan yang lain yang meningkatkan

penempelan

pada

mukosa

nasal.

Kemudian

kuman

dapat

mengkontaminasi setiap bagian dari kulit, berikatan dengan fibronektin pada luka. Kemampuan kuman menyebabkan suatu penyakit disebut virulensi. Bahan genetik uman menyandikan/mengkoding faktor virulensi dan toxin yang dibawa elemen genetik secara aktif yang disebut island pathogenecity. Bakteriofag membawa materi genetik dari satu bakteri ke bakteri yang lain (misalnya : Panton- valentine leukocidin). Panton- valentine leukocidin adalah sitotoksi yang secara langsung melawan sel imun manusia. Ini sering dihubungkan dengan deep seated dan lebih banyak pada inflamasi furunkulosis. Sebagai tambahan, banyak jenis kuman mengandung materi DNA didalam genom mereka sendiri yang didesain secara spesifik untuk melepaskan diri, menginaktifkan atau menekan respon imun bawaan dari host, terutama melawan penghancuran oleh neutrofil dan produk ekskresinya. Produk dari gen inilah yang merespon untuk melawan imunitas host yang biasanya tersusun dari dua protein interaction cascade terlibat sebagai sensor dan respon protein. Inilah yang disebut dua komponen gen yang meregulasi system. Pada kasus ini S.aureus mempunyai banyak sel target yang spesifik pada masing-masing elemen dari imun bawaan terserang oleh host. Staphylokinase (SAK) menginaktifkan defensin. Aureolysin A memecah LL-37. Gen oatA mengkoding protein membrane yang memberikan resitensi lisosim pada S.aureus yang disebut katalase positif, dan pigmen kuning dari S.aureus (karotenoid) yang melindungi penghancuran oksidatif oleh neutrofil. SAK juga mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin permukaan memecah C3b dan Ig G, memindah molekul opsonic dari permukaan bakteri. Protein penghambat kemotaksis berikatan pada C5a mencegah aktifasi neutrofil. Inhibitor komplemen staphylococcal berikatan dengan C3 convertase pada permukaan kuman mencegah pemecahan C3 dan mengaktifasi cascade komplemen. SAKS, protein penghambat kemotaksis dari S.aureus dan inhibitor staphylococcal komplemen yang dibawa oleh pulau pathogenesis yang sama.

Meskipun berguna untuk membedakan antara penyakit yang disebabkan toxin dan yang disebabkan invasi langsung dan faktor virulensi, kebanyakan infeksi bakteri berasal dari kombinasi antara kekuatan invasive dan toxixitas organism. Misalnya pada daerah toxin disekresikan penting dalam membentuk karakteristik lesi dari infeksi S.aureus (Impetigo bullous), Corynebacterium diphteriae, dan Bacillus anthraxis (lihat Bab 178). Manifestasi sistemik dari sekresi toxin terjadi pada SSSS dan tetanus. Pada kasus C.perfringen perluasan jumlah toxin extraseluler dan enzyme (α toxin, lecithinase, protease, kolagenase) timbul, dan berperan penting terhadap kecepatan perluasan lesi kulit dan manifestasi sistemik pada clostridial myonecrosis (lihat Bab 179). Staphylococus pyogenes terutama GAS, juga berisi banyak gen yang membantu menghiundari system imun bawaan. Termasuk diantaranya genom seperti protein M yang mencegah fagositosis oleh netrofil, dan yang memancarkan profag seperti exotoxin A. Produksi DNase Sdad2 melindungi GAS dari penghancuran extrasel oleh netrofil pada perangkap netrofil extrasel dan ini penting untuk infeksi kulit. Invasi jaringan dan penyebaran sistemik ditingkatkan oleh streptokinase. GAS streptokinase hanya aktif melawan plasminogen manusia, yang mungkin kritis dalam membatasi GAS infeksi pada manusia. Kecenderungan streptococcus bergabung dengan materi genetic yang berisi faktor virulensi melewati strain yang mengaburkan batasan type streptokokus pada beberapa macam penyakit. Misalnya pada beberapa daerah streptokokus grup B menjadi penyebab paling banyak faringitis dan mengandung virulensi gen yang sama yang memberi GAS kemampuan untuk menyebabkan kondisi ini. Bakteri gram negative (E.colli, S.thypi, N.meningitidis ,N. gonorhoe, B.melitensis dll) mengandung endotoxin, kompleks phospholipids polisakarida makromolekul (lipopolisakarida (LPS) sebagai bagian terpenting dari envelope sel bakteri (liat bag 180). Endotoxin, tidak seperti exotoxin yang dilepas hanya saat pemecahan sel bakteri. Toxixitasnya muncul saat berhubungan dengan fraksi lipid, dimana antigen determinan terletak pada komponen polisakarida. Sekarang banyak diketahui mekanisme oleh LPS yang menggunakan efek biologisnya pada saat infeksi sistemik saat bakteri gram negative atau infeksi local mayor yang mungkin juga dapat menyebabkab sindrom sepsis. Keduanya pengaruh dari toxin dan imunologis. Dua citokin yang paling penting dari efek toxin dan pro inflamatorik dari LPS dihasilkan oleh LPS yang diaktivasi makrofag: Tumor nekrosis faktor(TNF) dan IL-1. TNF memulai proinflamatori sitokin cascade. TNF yang teraktifasi oleh system koagulasi

berpengaruh pada endotel pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah dan perfusi jaringan dengan mengurangi kontraktilitas miokard dan merelaksasi otot polos. Tingginya kadar TNF pada sirkulasi darah terjadi pada pasien meningokoksemia dan bentuk lain sepsis yang berat. Masuknya TNF murni dengan konsentrasi tinggi dapat menyebabkan syok dan kematian. Kemampuan LPS melalui produksi TNF dengan menginduksi perlekatan leukosit pada endothelium kapiler dan merangsang deposisi/penumpukan fibrin yang telah diusulkan sebagai dasar perkembangan lesi kulit yang hemoragis dan nekrosis (dengan atau tanpa invasi bakteri langsung) yang kadang terjadi selama bakteriemi oleh bakteri gram negative dan terutama pada meningokoksemia. Purpura fulminan terjadi pada 10-20 % kasus yang menandai sepsis meningokokus dan pada kasus berat yang berkembang thrombosis pembuluh darah besar yang berhubungan dengan infark.(lihat Bab 145&180). Perubahan Pola infeksi bakteri pada Kulit Ada 3 faktor yang dapat

meningkatkan prevalensi dan virulensi infeksi

bakteri. Yang pertama kita telah menemukan bakteri pathogen baru seperti Bartonella sp, yang sebelumnya tidak diketahui menyebabkan penyakit pada manusia. (lihat Bab 182). Yang kedua, bakteri itu sendiri menjadi lebih sulit dihilangkan melalui faktor virulensi bawaan/aquisita dan resistensi antibiotik. Yang ketiga, adanya peningkatan jumlah pasien imunocompromised selama proses menua dan melemah, yang terinfeksi HIV dan imunosupresi iatrogenic. Sebagai tambahan pada pathogen yang biasa, pada berbagai macam anggota non pathogen dari mikroflora pada kulit dapat menyebabkan penyakit pada pasien yang lemah dan pada individu dengan perubahan pertahanan seluler maupun humoral. Misalnya ektima gangrenosum selama invasi pada kulit baik kerusakan lokal maupun sistemik yang hampir selalu tampak pada neutropeni (lihat Bab 180). Pada pejamu yang imunokompeten, folikulitis disebabkan oleh organisme yang sama. Dapat menyebabkan gatal, merupakan kelainan yang dapat sembuh sendiri pada pejamu yang imunokompeten. Pada sindrom imunokompeten yang didapat, pasien dengan angioma basilaris dengan kelainan sistemik fatal bila tidak diterapi. Pengaruh hipersensitivitas antigen bakteri pada reaksi inflamasi di kulit Kemampuan bakteri untuk memicu respon imun pada tubuh manusia menjelaskan beberapa peristiwa. Kemerahan pada dermatitis atopic yang di akibatkan

oleh S. aureus mungkin dihubungkan dengan munculnya sitokin pada lesi tersebut. Dapat diibaratkan dengan infeksi streptokokus pada faring yang dapat menimbulkan reaksi imunologi yang memicu terjadinya psoriasis melalui aktivasi system imun. Netrofilia sebagai respon kulit pada infeksi sistemik Respon inflamasi pada pembuluh kapiler kulit dapat terjadi pada bakteremia, walau tidak didapatkan adanya bakteri pada daerah lesi tersebut. Papul dan peteki yang terdapat pada meningococus kronis, infeksi gonokokus diseminata, dan perubahan leukositosis pada terapai endokarditis sebagai contoh netrofilia. Sweeet sindrom dan early eritema nodusum merupakan salah satu contoh netrofilia pada jaringan yang prominen meskipun tempat infeksinya jauh dari tempat lesi. Bakteremia pada bacterial endokarditis subakut yang menyertai vaskulitis pada pembuluh darah kecil yang disebabkan oleh bakteri S. viridian menyebabkan timbulnya osler node dan peteki. Secara histologis lesinya disebut sebagai vaskulitis, daripada disebut sebagai emboli. Dimana pada perkembangannya lebih bayak terjadi pada ekstremitas bawah, yang menunjukan bahwa ini merupakan inflamasi kulit yang melibatkan pembuluh darah dan bukan emboli. KLASIFIKASI INFEKSI BAKTERI PADA KULIT Penemuan bakteri spesifik sebagai penyebab infeksi kulit lebih dikelompokan pada patogenesis bakteri yang menginfeksi tersebut, dan bukan berdasarkan morfologinya. Pada banyak kasus agen infeksius akan teridentifikasi dengan kultur dan hasilnya tidak bisa didapat dalam 1 hari. Seperti contohnya impetigo, selulitis dan faslitis nekrotik merupakan penyakit kulit yang dapat disebabkan oleh beberapa bakteri yang dapat menghasilkan gejala klinis yang mirip, dan dibutuhkan pilihan terapi yang sesuai. Namun, klasifikasi secara morfologis pada kulit masih dibutuhkan dan dapat sebagai petunjuk untuk diagnosis dan pemilihan terapi empiric antibiotik. Adapun klasifikasi penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri adalah sebagai berikut: 1. infeksi primer, contohnya pioderma 2. infeksi sekunder 3. penyakit sistemik yang menyebabkan manifestasi pada kulit. 4. reaksi pada kulit yang ditimbulkan dari tempat infeksi yang jauh

Infeksi bakteri primer dihasilkan dari adanya invasi bakteri pada kulit yang normal oleh satu bakteri pathogen, sehingga dapet dipastikan etiologi primer pada penyakit kulit tersebut. Terapi yang ditujukan pada bakteri penyebab memberikan hasil yang baik pada kesembuhan penyakit kulit. Impetigo, erysipelas, dan furunkulosis adalah contoh infeksi primer pada kulit . pada infeksi sekunder perubahan terjadi pada kulit yang sebelumnya sudah rusak. Meskipun bakteri ada pada lesi tersebut bukan merupakan penyebab primeer llesi kulit tersebut, namun pertumbuhan bakteri dan invasinya dapat menyebabkan keparahan dan lamanya penyakit. Infeksi sekunder disini terjadi karena integritas kulit sudah rusak atau milleu local immune sudah diubah oleh kondisi primer kulit yang mneyebabkan mudahnya bakteri masuk. Berbeda dengan infeksi bakteri primer, pada infeksi bakteri sekunder bakteri enyebab lebih dari satu, sehingga terkadang sulit untuk menentukn bakteri penyebab yang utama. Penting untuk mengetahui apakah reaksi kulit tersebut terjadi akibat bakteri atau akibat antibiotik yang membunuh bakteri tersebut. Kemerahan pada dermatitis atopic dimana banyak ditemukan S.aureus

pada permukaan kulit biasanya

berhubungan dengan perkembangan dermatitis yang diobati dengan antibiotik. Di lain pihak, para peneliti tidak setuju untuk melakukan kultur bakteri kronik pada ulkus kaki yang kronis. Pada infeksi sekunder, morfologi pada penyakit primernya hanya mengalami sedikit perubahan, dan adanya eksaserbasi bakteri pathogen dapat diduga akibat respon yang buruk terhadap pengobatan atau adanya reaksi kemerahan yang masih belum dapat dijelaskan. LANGKAH DIAGNOSTIK Pemeriksaan langsung dengan aspirasi dan biopsi Identifikasi bakteri dari lesi kulit mungkin memberikan petunjuk penyebab dari infeksinya. Pemeriksaan dengan pengecatan gram dari lesi kulit akan membantu untuk memilih antibiotik yang dapat dipakai di awal pengobatan sebelum hasil kultur keluar. Maka dari itu mencari bakteri penyebab merupakan hal yang penting, diantaranya untuk evaluasi pasien diantaranya dengan cara pengambilan sample yang sesuai, pengecatan gram, dan juga menggunakan media kultur yang sesuai. Pengecatan gram merupakan cara yang paling cepat untuk memeriksa sample yang banyak dan untuk memeriksa bakteri dalam jumlah yang banyak dan tipe yang bermacam-macam, termasuk karakteristik dari eksudasi sel inflamasi. Biopsy jarum pada selulitis dan erysipelas belum memberikan hasil yang memuaskan. Aspirasi dari

specimen selulitis pada objek glas memberikan hasil kultur positif hanya pada sepuluh persen pasien, dan kultur yang dilakukan pada biopsy specimen kulit yang diambil dari beberapa irisan di tempat lesi hanya positif pada 15 sampai 20 persen pasien, hasil yang tinggi ini mungkin didapat pada pasien diabetes mellitus dan neoplasma. Pada anak-anak hasil kultur positif yang lebih banyak(sekitar 50 persen) didapatkan pada daerah inflamasi daripada daerah irisan pada selulitits(hanya 5 persen). Bila aspirasi jarum positif dapat digunakan untuk menentukan terapi yang digunakan. Bila cairan steril di injeksikan pada lesi tanpa aspirasi, cairan bakteriostatik mungkin dibutuhkan. Pada kondisi dimana tidak bisa dilakukan aspirasi jarum halus, pembedahan biopsy sangat diperlukan. Pada kasus bioterorisme yang berhubungan dengan antrak di amerika serikat, diagnose cepat pada penyakit kulit didukung oleh punch biopsy eritematous, plakyang indurasi, pengecatan gram suatu jaringan menunjukkan batang grampositif,yang konfirmasi sebagai B. Antracis dengan analisisimunohistokimia (lihat BAB 178). Lesi lokal padakulit dan jaringan subkutan pada

pasien

imunokompromise

selalu

harus

dibiopsijikaaspirasi

gagaluntukmengenalipatogen. Yang membesarkan hati, hasil ini didapatkan pada pasien dengan dugaan necrotizing facilities (lihat BAB 179) yang menjalani biopsi untuk mengonfirmasi diagnosis awal pada perjalanan infeksi yang menghancurkan ini.

Prosedur-Prosedur Diagnostic Yang Lain Antibody Fluorescent Kegunaan praktis dari prosedur ini dalam penyakit bacterial dari kulit adalah dari Spirochetes yandg dapat diaplikasikan secara terbatas

yang dapat

didemonstrasikan (dengan tehnik-tehnik langsung dan tidak langsung) dalam chancres, N Geromese,Acrimonyces,Isoneli, Leginella ,Francicella, dan Ypesnis telah diidentifikasikan dengan metode scaning antibody Furescent langsung yang cepat ini. Hal ini digunakan dalam diagnose spesifik untuk infeksi yang serius ini. Metode immunologi yang lain Sebuah variasi dari tes-tes serologi mungkin dapat membantu dalam diagnosa infeksi bakteri dari kulit tersebut, terutama dalam penyakit-penyakit dimana manifestasi kutaneus adalah yang sekundar untuk penyakit sistemik (seperti halnya “ rose spot” dari demam typhoid). Infeksi Bartonella sering didiagnosa dengan cara ini.

Seperti dalam beberapa tes serologi, sebuah peningkatan yang lebih besar dalam titer selama perjalanan penyakit tersebut dianggap berarti. Reaksi Rantai Polimer Teknologi reaksi rantai polimer dapat diterapkan pada diagnosa dari material yang diperoleh dari biopsi kulit pada jaringan lesi atau aspirasi dari lesi vesikulobulosa seperti yang digunakan dalam diagnosa infeksi cairan tubuh (cairan cerebrospinal, cairan pleural, darah). Perlindungan aman yang memadai untuk kontaminasi luar selama akuisisi dari spesimen yang harus diambil. Prosedur ini paling berguna ketika sebuah bakteri dipertimbangkan dan hal utama yang layak tersedia. Seperti halnya dalam kasus seorang pasien dengan lesi kutaneus selama bioterrorisme menstimulasikan keluarnya Anthrax.

TERAPI ANTIBIOTIK Pemilihan dari antibiotik yang tersedia harus dilakukan secara awal pada awal munculnya lesi kulit, karakteristik-karakteristik dari penyakit sistemik, dan sebuah Gram-stained dari sebuah lesi, jika memungkinkan. Hasil budaya dan pengujian yang beresiko dari isolasi patogen biasanya tersedia dalam 48 jam. Faktor-faktor epidemiologi tambahan (rumah sakit atau perawatan di rumah, penggunaan antibiotik, neutropenia, dan immunocompromise) harus dipertimbangkan dalam pemilihan terapi antimikrobial awal. Juga hal ini penting untuk membuat pilihan berdasarkan data terakhir dari lokal area dan sumber-sumber terakhir dari pola perubahan resistensi antimikrobial dari spesies bakteri yang bermacam-macam . Dosis : Metode Pemberian –Ekskresi Infeksi kutaneus utama dari yang ringan hingga berat dapat diterapi dengan dosis lokal, obat-obatan topikal, antibiotik oral, atau dengan kombinasi obat-obat tersebut. Perluasan infeksi kulit dengan atau tanpa manifestasi sistemik, harus diobati dengan

antibiotik

parenteral

dalam

dosis

yang

tepat.

Dalam

kumpulan

immunocompromise, pengobatan parenteral untuk infeksi kutaneus hampir selalu direkomendasikan. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemberian antibiotik yaitu pengobatan oral dapat dibatasi oleh gangguan penyerapan dan gastrointestinal, hipotensi dan penyakit kulit luas yang dapat menghambat jalur intra muskular, dan

obat-obat pilihan yang mungkin cocok untuk pemberian hanya pada jalur tertentu. Pola ekskresi dari antibiotik yang diberikan harus selalu dipertimbangkan untuk menghindari akumulasi racun dalam kerusakan organ tertentu (sebagai contoh : kerusakan hepatik atau renal). Keracunan Keracunan antibiotik harus dipertimbangkan pada setiap individu tetapi biasanya dapat diterapkan untuk semua antibiotik. Umumnya adalah reaksi hipersensitivitas dan dapat meliputi ruam pada kulit, demam, atau beberapa manifestasi yang berat seperti anafilaksis akut atau eritroderma eksfoliasi. Penisilin dan sulfonamid sangat memungkinkan untuk terjadinya masalah-masalah tersebut. Pertanyaan yang berkaitan dengan alergi obat harus ditanyakan kapanpun obat diberikan. Semua antibiotik dapat merubah flora lokal, khususnya spectrum luas seperti sefalosporin. Ada sejumlah reaksi yang tidak menguntungkan (renal, hematologi, hepatik, sistem saraf) dengan terapi antibiotik yang mungkin menggambarkan resiko yang dapat diterima jika alasannya penggunaan obat-obat ini memaksa. Dokter umum wajib mengetahui manifestasi toksisitas dari antibiotik yang digunakan dan waspada terhadap setiap kemungkinan yang terjadi dalam individu pasien. Resistensi Antibiotik karena Factor “R” Transferable resistance dengan beberapa antiobiotik telah muncul menjadi sebuah masalah. Elemen ekstra kromosomal genetic (Plasmid R) dalam bakteri adalah dasar untuk resistensi semacam itu. Terapi antibiotik jangka panjang dapat memilih factor R yang membawa flora lokal (sebagai contoh dalam traktus gastrointestinal) dan setelah itu memindahkannya menjadi patogen yang potensial. Resistensi antibiotik chloramphenicol, tetracycline, dan kanamycin yang dikumpulkan dengan sebuah plasmid dalam E. Coli dapat ditransfer selama membantu ketegangan Klebsiella atau Salmonella. Antibakterial Topikal Antibakterial topikal sering digunakan untuk mencegah atau menekan pertumbuhan bakteri pada lesi terbuka dan lesi pasca operasi. Untuk lesi kulit yang dijahit, antibiotik topikal dapat membatasi dan mengurangi luka infeksi. Neomycin

dan bacitracin topikal jarang menyebabkan dermatitis kontak. Dermatitis kontak biasa terjadi ketika antibiotik-antibiotik tersebut digunakan pada insufisiensi vena ulkus kaki. Diantara agen-agen antibakterial topikal adalah asam asetat (1 persen sampai 5 persen untuk pseudomoneous nail dan infeksi jaringan dan bacitracin (500unit per mili liter atau gram) untuk superficial pilihan S. aureus dan lesi streptococcal. Neumycin (0,5 persen krim atau gel) dan gentamicin (0,17persen krim) mungkin berguna untuk pasien dengan kumpulan bakteri Gram negatif yang memerlukan local suppression. Mupizocin (2 persen gel) mengandung antibakterial yang melawan berbagai macam streptococci dan S aureus. Sejumlah antiseptik spektrum luas juga tersedia untuk penggunaan topikal. Povidone iodine (Betadine) efektif terhadap kebanyakan bakteri gram positif dan gram negatif, tetapi tidak berlaku pada kulit yang terdapat aksi residual. Chlorhexidine gluconate (solution 4 %) berkombinasi dengan antibakteri luas menyebabkan aksi yang memanjang. Preparat alkohol efektif, tidak diserap ke dalam darah, dan secara umum tidak mengiritasi kulit. Antiseptik spektrum luas ini dapat digunakan sebagai profilaksis atau untuk merawat luka lokal dan dermatoses terinfeksi superfisial.

Related Documents