AMOEBIASIS Faning Fridayani Murniati Rahman, Dwiyana
BAB I PENDAHULUAN Amebiasis adalah penyakit protozoa parasit yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica. Amebiasis mempengaruhi sekitar 10% dari populasi dunia, menyebabkan penyakit invasif pada sekitar 100.000 orang setiap tahun. Organisme penyebab adalah protozoa enterik yang ada dalam bentuk trofozoit atau kista. Meskipun sering dianggap sebagai penyakit di negara berkembang, amebiasis adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia. Setidaknya 90% dari pasien yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala, dengan sisanya menunjukkan sindrom klinis mulai dari disentri hingga abses hati, paru-paru, atau otak.1 Amebiasis menempati urutan ketiga sbagai penyebab kematian terbesar akibat infeksi parasit setelah malaria dan schistosomiasis. Terdapat 50 juta kasus infeksi E. histolytica pertahun di seluruh dunia yang sebagian besarnya terjadi pada anak-anak, dan 100.000 di antaranya berakhir dengan kematian. Amebiasis oleh E. histolytica merupakan masalah kesehatan global, namun distribusi yang cukup tinggi terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik yang memiliki suhu dan kelembaban optimal bagi kelangsungan hidup parasite.
Infeksi E. histolytica pada balita dan anak-anak usia sekolah merupakan masalah kesehatan serius di Indonesia. Survey kesehatan rumah tangga mendapatkan bahwa diare menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian pada anak di Indonesia. Salah satu penyebab diare adalah infeksi parasite oleh E. histolitica. Di Indonesia amebiasis kolon banyak ditemukan dalam keadaan endemis. Prevalensi E. histolytica di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara 10-18%. Prevalensi ini diukur berdasarkan jumlah pengandung kista, yakni stadium infektif dari E. histolitica.2,3 Infeksi oleh E. histolytica dapat terjadi pada berbagai organ, namun yang paling sering adalah amebiasis intestinal. Kelainan yang ditimbulkan bervariasi tergantung lokasi dan beratnya infeksi. Manifestasi klinis yang muncul dapat berupa asimptomatik (carrier), amebiasis intestinal ringanberat, amebiasis ekstraintestinal (terutama di hati) dan amebiasis lain yang lebih jarang ditemukan misalnya amebiasis kulit, paru, otak dan organ lainnya. Penyakit ini ditularkan secara fekal oral baik secara langsung (melalui tangan) maupun tidak langsung (melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja).2,3 Untuk mendeteksi adanya E. histolytica dapat digunakan pemeriksaan mikroskopik langsung terhadap spesimen tinja. Sebagai alternatif, terdapat uji diagnostik dengan metode serologis Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), indirect hemagglutination assay (IHA), latex agglutination dan polymerase chain reaction (PCR).4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, colitis ameba) adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus Entamoeba Histolytica. Organisme penyebab adalah protozoa enterik yang ada dalam bentuk trofozoit atau kista. Meskipun sering dianggap sebagai penyakit di negara berkembang, amebiasis adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia.1,2
B. Epidemiologi Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan bahwa Entamoeba histolytica mempengaruhi sekitar 500 juta orang di seluruh dunia, mengakibatkan penyakit simtomatik pada 50 juta dan kematian pada 100.000 orang. Sekitar 80-90% infeksi tidak menunjukkan gejala dan kemungkinan disebabkan oleh spesies nonpathogenik E. dispar atau E. moshkovskii, oleh karena itu, insiden E. histolytica di seluruh dunia, lebih mungkin, diperkirakan 5 juta kasus setiap tahun, dengan kematian global masih 100.000 orang per tahun. Orang yang sangat muda, wanita hamil, penerima kortikosteroid, dan individu yang kurang gizi tampak lebih rentan terkena kolitis amebik
daripada orang lain. Spesies entamoeba adalah organisme sel tunggal dengan dua tahap siklus hidup.2,3 Amebiasis adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia, sebagian besar di negara tropis dan sub-tropis yang ditandai oleh layanan kesehatan dan infrastruktur sanitasi yang tidak memadai. Mayoritas kematian adalah konsekuensi dari komplikasi parah yang terkait dengan penyakit invasif usus atau ekstra-usus. Sekitar 4 hingga 10% pembawa infeksi amuba ini mengalami gejala klinis dalam setahun dan disentri amuba dianggap sebagai penyebab utama kematian ketiga akibat penyakit parasit di seluruh dunia setelah Malaria dan Schistosomiasis.2 Prevalensi tinggi infeksi E. moshkovski diidentifikasi di Bangladesh. Prevalensi 21,1% dengan E. moshkovski diamati di antara anak-anak antara 2 dan 5 tahun; 15,6% memiliki infeksi E. histolytica. Faktanya adalah bahwa infeksi dengan E. moshkovski tidak jarang dan memiliki prevalensi yang lebih tinggi daripada infeksi dengan E. histolytica. Hal yang sama ditemukan di India, pada pasien homoseksual dengan gejala gastrointestinal di Australia, pada dua orang dewasa yang sehat di Tunisia, dan dalam kohort pasien yang diduga atau dikonfirmasi HIV di Tanzania. Semua penelitian ini juga menyoroti prevalensi penting infeksi E. moshkovski mono.2 Beberapa wabah di seluruh dunia yang disebabkan oleh kehadiran E. histolytica telah dilaporkan terkait dengan kontaminasi limbah. Kehadiran E. histolytica dan jenis manifestasi amebiasis bersifat kosmopolitan dalam
distribusinya: abses hati amuba merupakan bentuk utama amebiasis di Afrika Selatan, sementara di Mesir, di Amerika tengah dan Selatan, Afrika dan Asia, manifestasi invasif usus adalah yang utama.2
C. Etiologi Entamoeba histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus hidup ameba ada 2 macam bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensial (<10 mm) dan trofozoit patogen (>10 mm).5 Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Pada pemeriksaan tinja di bawah mikroskop tampak trofozoit bergerak aktif dengan pseudopodinya dan dibatasi oleh ektoplasma yang terang seperti kaca. Di dalamnya ada endoplasma yang berbentuk butir-butir kecil dan sebuah inti di dalamnya. Sementara trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun di luar usus (ekstraintestinal), mengakibatkan gejala disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (sampai 50 mm) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya karena trofozoit ini sering menelan eritrosit (haematophagus
trophozoite). Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala penyakit namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia.4,5 Bentuk kista ada 2 macam yaitu kista muda dan kista dewasa. Kista muda berinti satu mengandung satu gelembung glikogen dan badan-badan kromatoid yang berbentuk batang berujung tumpul. Kista dewasa berinti empat. Kista hanya terbentuk dan dijumpai di dalam lumen usus, tidak dapat terbentuk di luar tubuh dan tidak dapat dijumpai di dalam dinding usus atau di jaringan tubuh di luar usus. Bentuk kista bertanggung jawab terhadap penularan penyakit, dapat hidup lama di luar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung, dan kadar klor standard di dalam sistem air minum. Diduga faktor kekeringan akibat penyerapan air sepanjang usus besar menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista. E. histolytica oleh beberapa penulis dibagi menjadi dua ras yaitu ras besar dan ras kecil, bergantung pada apakah dapat membentuk kista berdiameter lebih besar atau lebih kecil dari 10 mm. strain kecil ternyata tidak patogen terhadap manusia dan dinyatakan sebagai spesies tersendiri yaitu E. hartmanni.4,6
Gambar 1. Skematis E. histolytica
Gambar 2. Trofozoit dan kista Entamoeba histolytica
D. Patofisiologi Trofozoit mula-mula hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar, dapat berubah menjadi patogen, menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Faktor yang menyebabkan perubahan sifat trofozoit tersebut sampai
saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) ameba, maupun lingkungannya mempunyai peran. Faktor-faktor yang dapat menurunkan kerentanan tubuh misalnya
kehamilan,
kurang
gizi,
penyakit
keganasan,
obat-obat
imunosupresif, dan kortikosteroid. Sifat keganasan ameba ditentukan oleh strainnya.7 Strain ameba di daerah tropis ternyata lebih ganas dari pada strain di daerah sedang. Akan tetapi sifat keganasan tersebut tidak stabil, dapat berubah apabila keadaan lingkungan mengizinkan. Ameba yang ganas dapat memproduksi
enzim
fosfoglukomutase
dan
lisozim
yang
dapat
mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk ulkus ameba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Gambaran ini sangat berbeda dengan disentri basiler, dimana mukosa usus antara ulkus meradang. Pada pemeriksaan mikroskopik eksudat ulkus tampak sel leukosit dalam jumlah banyak, akan tetapi lebih sedikit jika dibandingkan dengan disentri basiler. Tampak pula kristal Charcot Leyden dan kadang-kadang ditemukan trofozoit. Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan dan apabila menembus lapisan muscular akan terjadi perforasi dan peritonitis. Ulkus dapat terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan tempatnya adalah
sekum, kolon asenden, rectum,sigmoid, apendiks dan ileum terminalis. Infeksi kronik dapat menimbulkan reaksi terbentuknya masa jaringan granulasi yang disebut ameboma, yang sering terjadi di daerah sekum dan sigmoid. Dari ulkus di dalam dinding usus besar, ameba dapat mengadakan metastasis ke hati lewat cabang vena porta dan menimbulkan abses hati. Embolisasi lewat pembuluh darah atau pembuluh getah bening dapat pula terjadi ke paru, otak, atau limpa dan menimbulkan abses di sana, akan tetapi peristiwa ini jarang terjadi.7 Infeksi terjadi jika menelan kista matang dari parasit. Ameba ini masuk ke dalam usus dan dapat menginfeksi jaringan hospes, hidup di lumen usus besar tanpa invasi atau menjadi kista. Jika sistem kekebalan tubuh lemah maka akan terjadi invasi ameba ke jaringan. Bentuk histolitika akan memasuki mukosa usus besar yang utuh dan mengeluarkan enzim dan dapat menghancurkan jaringan. Enzim ini yaitu cystein proteinase yang disebut histolisin. Invasi pada jaringan menyebabkan sel-sel darah merah dimakan oleh trofozoit dan menyebabkan perdarahan. Trofozoit ini memasuki jaringan usus dan merusak epitel dari usus besar dengan memproduksi enzim proteolitik . Luka-luka akibat destruksi epitel dapat dangkal karena hanya mukosa atau dapat juga dalam jika mengenai submukosa. Pada submukosa trofozoit memperbanyak diri dan menimbulkan mikroabses yang akhirnya menimbulkan ulkus. Dengan peristaltik usus, bentuk ini dikeluarkan bersama isi ulkus rongga usus dan dikeluarkan bersama tinja. Tinja ini disebut disentri yaitu tinja yang bercampur lendir dan darah.7
E. Klasifikasi Berdasarkan berat ringannya gejala yang ditimbulkan maka amebiasis dapat dibagi menjadi carrier (cyst passer), amebiasis intestinal ringan (disentri ameba ringan), amebiasis intestinal sedang (disentri ameba sedang), disentri ameba berat dan disentri ameba kronik.6 1.
Carrier (Cyst Passer) Pasien tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan karen ameba yang berada di dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke dinding usus.6
2.
Amebiasis Intestinal Ringan (Disentri Ameba Ringan) Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya mengeluh perut kembung dan kadang-kadang nyeri perut ringan. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang-kadang tinja bercampur darah dan lendir. Sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid. Jarang nyeri di daerah epigastrium yang mirip ulkus peptik, keadaan tersebut bergantung kepada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau disertai demam ringan (subfebril). Kadang–kadang terdapat hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.6
3.
Amebiasis Intestinal Sedang (Disentri Ameba Sedang) Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-
hari, tinja disertai darah dan lendir. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan, disertai hepatomegali yang nyeri tekan.6 4.
Disentri Ameba Berat Keluhan dan gejala klinis lebih hebat lagi. Penderita mengalami diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (40oC-40,5oC), disertai mual dan anemia. Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan sigmoidoskopi karena dapat mengakibatkan perforasi usus.6
5.
Disentri Ameba Kronik Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, seranganserangan diare diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.
Pasien
biasanya
menunjukkan
gejala
neurasthenia. Serangan diare biasanya terjadi karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.6
F. Diagnosis Diagonosis pada disentri ameba dapat ditegakan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium. Pada disentri amoeba ringan penderita biasanya mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang juga tinja bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit nyeri
tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau sedikit demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.8 Sedangkan pada disentri amoeba sedang, keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya disertai lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan disertai hepatomegali yang nyeri ringan. Pada disentri amoeba berat keluhan dan gejala klinis lebih berat lagi. Penderita mengalami diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari, demam tinggi (400 C-40,50C) disertai mual dan anemia. Sedangkan pada disentri amoeba kronik gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya dikarenakan kelelahan, demam atau makanan yang sulit dicerna.8 Pada pasien yang mengalami diare atau disentri pada keadaan yang lebih lanjut dapat menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi dapat timbul jika diare berat dan asupan oral terbatas karena nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urine gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik.
G. Diagnosis Banding Adapun diagnose banding disentri amoeba adalah sebagai berikut6,7 : 1. Disentri amuba Timbulnya
penyakit
biasanya
perlahan-lahan,
diare
awal
tidak
ada/jarang. Toksemia ringan dapat terjadi, tenesmus jarang dan sakit berbatas. Tinja biasanya besar, terus menerus, asam, berdarah, bila berbentuk biasanya tercampur lendir. Lokasi tersering daerah sekum dan kolon asendens, jarang mengenai ileum. Ulkus yang ditimbulkan dengan gaung yang khas seperti botol. 2. Disentri basiler Penyakit ini biasanya timbul secara akut, sering disertai adanya toksemia, tenesmus akan tetapi sakit biasanya sifatnya umum. Tinja biasanya kecilkecil, banyak, tak berbau, alkalis, berlendir, nanah dan berdarah, bila tinja berbentuk dilapisi lendir. Daerah yang terserang biasanya sigmoid dan dapat juga menyerang ileum. Biasanya daerah yang terserang akan mengalami hiperemia superfisial ulseratif dan selaput lendir akan menebal. 3. Eschericiae coli a. Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC) Patogenesisnya seperti Shigelosis yaitu melekat dan menginvasi epitel usus sehingga menyebabkan kematian sel dan respon radang cepat (secara klinis dikenal sebagai kolitis). Serogroup ini menyebabkan lesi seperti disentri basiller, ulserasi atau perdarahan
dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dengan khas edem mukosa dan submukosa. Manifestasi klinis berupa demam, toksisitas sistemik, nyeri kejang abdomen, tenesmus, dan diare cair atau darah. b. Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC) Manifestasi klinis dari EHEC dapat menyebabkan penyakit diare sendiri atau dengan nyeri abdomen. Diare pada mulanya cair tapi beberapa hari menjadi berdarah (kolitis hemoragik). Meskipun gambarannya sama dengan Shigelosis yang membedakan adalah terjadinya demam yang merupakan manifestasi yang tidak lazim. Beberapa infeksi disertai dengan sindrom hemolitik uremik.
H. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan tinja Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat penting. Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar. Kadang diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan.2 Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan. Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau
seperti mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk batang dengan ujung tumpul, sedangkan inti tidak tampak. Untuk dapat melihat intinya, dapat digunakan larutan lugol. Akan tetapi dengan larutan lugol ini badan-badan kromatoid tidak tampak. Bila jumlah kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metode konsentrasi dengan larutan seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan seng sulfat kista akan terapung di permukaan sedangkan dengan larutan eterformalin kista akan mengendap. Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu diperlukan tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat trofozoit yang masih bergerak aktif seperti keong dengan menggunakan pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan tampak amoeba dengan eritrosit di dalamnya. Bentik inti akan nampak jelas bila dibuat sediaan dengan larutan eosin.2 2. Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan amoeba. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Pada pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus yang khas dengan tepi menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkusulkus tampak normal.2
3. Foto rontgen kolon Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena seringkali ulkus tidak tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto rontgen kolon dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme otot. Pada ameboma nampak filling defect yang mirip karsinoma.2 4. Pemeriksaan uji serologi Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati amebik dan epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba menembus jaringan (invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien abses hati dan disentri amoeba dan negatif pada carrier. Hasil uji serologis positif belum tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti bukan amebiasis.2 Pemeriksaan tinja sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Tinja penderita amebiasis tidak banyak mengandung leukosit, tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti dari pemeriksaan tinja makroskopis dan mikroskopis dapat ditegakkan bila ditemukan trofozoid motil yang mengandung eritrosit dari sampel tinja segar. Akan tetapi dengan diketemukan ameba tersebut tidak berarti menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain, karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain pada seorang pasien. Sering amebiasis terdapat bersamaan dengan karsinoma usus besar. Oleh karena itu bila pasien amebiasis yang telah mendapat pengobatan spesifik masih tetap mengeluh perutnya sakit, perlu dilakukan
pemeriksaan lain misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan tinja.
I. Tatalaksana 1. Amebiasis asimptomatik (carrier atau cyst passer) Carrier atau cyst passer walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis sebaiknya diobati. Hal ini disebabkan karena ameba yang hidup sebagai komensial di dalam lumen usus besar, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi patogen. Trofozoit banyak dijumpai di lumen usus besar tanpa atau sedikit sekali menimbulkan kelainan mukosa usus. Ulkus yang ditimbulkan hanya superficial, tidak mencapai lapisan submukosa. Kelainan tersebut tidak menyebabkan gangguan peristaltik usus sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala klinis. Obat yang diberikan adalah amebisid luminal, misalnya10 : Diloksanit furoat (diloxanite furoate). Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10 hari. Saat ini obat ini merupakan amebisid luminal pilihan, karena efektivitasnya cukup tinggi (80-85%), sedangkan efek sampingnya sangat minimal hanya berupa mual dan kembung. Diyodohidroksikin (diiodohydroxykuin). Dosis 3 x 600 mg sehari, selama 10 hari Yodoklorohidroksikin (iodochlorohydroxykuin) atau kliokinol (cliokuinol). Dosis 3 x 250 mg sehari, selama 10 hari. Kedua obat tersebut termasuk halogenated hydroxykuinolin yang cukup efektif
sebagai amebisid luminal. Efektivitasnya 60-70%. Efek samping yang terjadi biasanya ringan berupa mual dan muntah.10 Bisthmuth glycoarsanilate. Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari. Kedua obat tersebut merupakan obat golongan arsen, yang saat ini sudah jarang dipakai lagi. Sering timbul efek samping diare. Paromomycin. Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari. Oleh karena ada kemungkinan invasi amuba ke mukosa usus besar, maka walaupun tidak mengakibatkan gangguan peristaltic usus, dianjurkan untuk menambah amebisid jaringan sebagai profilaksis. Obat amebisid jaringan yang dapat dipakai adalah : Klorokuin difosfat. Dosis 2 x 500 mg sehari, selama 1-2 hari, kemudian dilanjutkan dengan 2 x 250 mg sehari, selama 7-12 hari. Konsentrasi obat di dalam jaringan terutama jaringan hati sangat tinggi sehingga dipakai untuk profilaksis timbulnya abses hati ameba. Efek samping obat berupa mual, pusing dan nyeri kepala. Pemberian jangka lama dapat mengakibatkan retinopati. Tidak dianjurkan untuk diberikan kepada wanita hamil karena dapat menyebabkan anak lahir tuli. Metronidazol. Dosis 50 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis selama 57 hari. Tinidazol. Dosis 50 mg/kg berat badan atau 2 g sehari, selama 2-3 hari. Ornidazol. Dosis 50-60 mg/kg berat badan atau 2 g sehari, selama 3 hari. Ketiga obat tersebut termasuk golongan nitroimidazol yang dapat bekerja baik di dalam lumen usus, di dalam dinding usus
maupun di luar usus. Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, pusing dan nyeri kepala.10 2. Disentri ameba ringan-sedang Pada pasien ditemukan ulkus di mukosa usus besar yang dapat mencapai lapisan submukosa dan dapat mengakibatkan gangguan peristaltik usus. Pasien akan mengalami diare atau disentri, tetapi tidak berat, sehingga tidak memerlukan infuse cairan elektrolit atau transfuse darah. Oleh karena didapatkan trofozoit di dalam lumen dan di dalam dinding usus besar, maka sebagai obat pilihan adalah metronidazole dengan dosis 3 x 750 mg sehari selama 5-10 hari. Dapat pula dipakai tinidazole atau ornidazole dengan dosis seperti tersebut di atas. Oleh karena pada pasien yang sudah sembuh dengan pengobatan metronidazole dapat timbul abses hati ameba dalam jangka waktu 3-4 bulan kemudian, maka dianjurkan untuk menambah dengan obat amebisid luminal. Obat ini akan memberantas sumber trofozoit di dalam lumen usus. Dapat dipakai diyodohidroksikin, kliokinol atau diloksanid furoat dengan dosis seperti tersebut di atas. Dapat pula diberi tetrasiklin dengan dosis 4 x 500 mg sehari selama 5 hari. 3. Disentri ameba berat Pasien ini tidak hanya memerlukan obat amebisid saja, tetapi juga memerlukan infuse cairan elektrolit atau transfusi darah. Selain pengobatan seperti pada disenti ameba ringan dan sedang perlu ditambah emetin atau dehidroemetin. Obat ini diberikan secara suntikan
intramuscular atau subkutan yang dalam. Dosis emetin 1 mg/kg berat badan sehari (maksimum 60 mg sehari) selama 3-5 hari; dehidroemetin 11,5 mg/kg berat badan sehari (maksimum 90 mg sehari) selama 3-5 hari. Penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit dan tirah baring selama pengobatan. Hal ini disebabkan karena bahaya efek samping emetin terhadap jantung. Pemberian dosis tinggi dapat mengakibatkan nekrosis otot jantung dan penderita meninggal mendadak. Oleh karena itu, penderita perlu diobservasi dengan teliti, terutama tekanan darah, denyut nadi dan elektrokardiografi. Penatalaksanaan pada pasien diare dan disentri yang mengalami dehidrasi dapat dilakukan dengan pengganti cairan/rehidrasi. Bila keadaan umum baik tidak dehidrasi, asupan cairan yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari buah, sup, dll. Bila pasien kehilangan cairan yang banyak dan dehidrasi, penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan cairan isotonik mengandung elektrolit dan gula harus diberikan. Terapi rehidrasi oral murah, efektif dan lebih praktis dari pada cairan intravena. Cairan oral antara lain pedialit, oralit, dll. Cairan infus antara lain ringer laktat, dll. Cairan diberikan 50-200 ml/kgBB/24 jam tergantung kebutuhan dan status hidrasi.8,9 Untuk memberikan rehidrasi pada pasien perlu dinilai dulu derajat dehidrasi. Dehidrasi terdiri dari dehidrasi ringan, sedang dan berat. Ringan bila pasien mengalami kekurangan cairan 2-5% dari berat
badan. Sedang bila pasien kehilangan cairan 5-8% dari berat badan. Berat bila pasien kehilangan cairan 8-10% dari berat badan.8,9 Cairan rehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui selang nasogastrik atau intravena. Bila dehidrasi sedang/berat sebaiknya pasien diberikan cairan melalui infuse pembuluh darah. Sedangkan dehidrasi ringan/sedang pada pasien masih dapat diberikan cairan per oral atau selang nasogastrik, kecuali bila ada kontraindikasi atau oral/saluran cerna atas tak dapat dipakai. Pemberian per oral diberikan larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g Natrium Bikarbonat dan 1,5 g KCl setiap liter.
J. Komplikasi Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri ameba, baik berat maupun ringan. Sering sumber penyakit di usus sudah tidak menunjukkan gejala lagi atau hanya menunjukkan gejala ringan, sehingga yang menonjol adalah gejala penyulitnya (komplikasi). Berdasarkan lokasinya, penyulit tersebut dapat dibagi menjadi sebagia berikut7 : 1. Komplikasi intestinal a. Perdarahan usus Terjadi apabila ameba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan merusak pembuluh darah. Bila perdarahan hebat dapat berakibat fatal.
b. Perforasi usus Terjadi apabila abses menembus lapisan muscular dinding usus besar. Sering mengakibatkan peritonitis yang mortilitasnya tinggi. c. Ameboma Terjadi akibat infeksi kronik yang mengakibatkan reaksi terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasa terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid. Sering mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus. 2. Komplikasi ekstra intestinal a. Amebiasis hati Abses hati ameba merupakan penyulit ekstra intestinal yang paling sering terjadi. Abses dapat timbul beberapa minggu, bulan atau tahun sesudah infeksi ameba, kadang-kadang terjadi tanpa diketahui menderita disentri ameba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat vena porta. Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang merupakan stadium dini abses hati, kemudian timbul nekrosis fokal kecilkecil (mikro abses), yang akan bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar. Dapat pula terjadi abses majemuk. Abses berisi nanah kental yang steril tidak berbau, berwarna kecoklatan (cho-colate paste) terdiri atas jaringan sel hati yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang berwarna kuning kehijauan karena bercampur dengan cairan empedu7.
Pasien sering mengeluh nyeri spontan di perut kanan atas, kalau berjalan posisinya membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan diatasnya. Hati teraba di bawah lengkung iga, nyeri tekan disertai demam tinggi yang bersifat intermitten atau remiten. Kadang-kadang terasa nyeri tekan local di daerah antara iga ke-8, ke-9, dan ke-10. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis moderate (15.000-25.000/mm3) yang terdiri atas 70% leukosit polimorfonuklear7. b. Amebiasis pleuropulmonal Abses paru dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar. Penderita batuk-batuk dengan sputum berwarna kecoklatan. c. Abses otak, limpa dan organ lain Abses otak, limpa dan organ lain dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar maupun dari abses hati walaupun sangat jarang terjadi. d. Amebiasis kulit Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar. Sering terjadi di daerah perianal atau di dinding perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang berasal dari anus.
K. Prognosis Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan ameba terhadap obat yang diberikan. Pada umumnya prognosis amebiasis adalah baik terutama yang tanpa komplikasi.2