Rabu, 15 Agustus 2007
AMENORRHEA (GAMBARAN KLINIS, DIAGNOSIS, DAN PENATALAKSANAAN)
Oleh : Assangga Guyansyah Pembimbing: Nanang W. Astarto
SUBBAGIAN FERTILITAS & ENDOKRINOLOGI REPRODUKSI BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RS dr. HASAN SADIKIN BANDUNG 2007
0
AMENORRHEA (GAMBARAN KLINIS, DIAGNOSIS, DAN PENATALAKSANAAN)
PENDAHULUAN Beberapa permasalahan dalam endokrinologi ginekologi merupakan hal yang sangat menantang bagi para klinisi, seperti halnya amenorrhea. Klinisi harus tetap jeli terhadap sejumlah penyakit dan kelainan potensial yang terlibat didalamnya, yang dapat menyebabkan peningkatan morbiditas, atau bahkan memiliki dampak yang sifatnya lethal terhadap pasien. Tidak jarang, para klinisi yang telah berpengalaman melewatkan beberapa permasalahan karena terlalu sibuk praktek, dan kemudian merujuk pasien ke spesialis dalam bidang tersebut, dalam keadaan semacam ini, tidak tersedianya tehnik laboratorium yang canggih diambil sebagai alasan untuk merujuk pasien.1 Amenorrhea adalah tidak terjadinya haid pada seorang wanita. Secara umum dibedakan antara amenorrhea fisiologik seperti pada keadaan prapubertas, hamil, menyusui dan pascamenopause, serta amenorrhea patalogik seperti pada amenorrhea primer dan amenorrhea sekunder.1 Mekanisme sederhana untuk menegakkan diagnosis banding amenorrhea dengan segala jenis dan khronologi, amat dibutuhkan. Dengan menggunakan prosedur yang telah ada bagi seluruh klinisi, diharapkan dapat untuk mengkonfirmasi diagnosis dan jika diperlukan dapat berkonsultasi dengan spesialis yang sesuai (endokrinologis, ahli bedah syaraf, internis, psikiatri) pada akhirnya pasien mendapat diagnosis yang paling tepat dan terapi yang sesuai dengan beban biaya minimal dengan kenyamanan yang optimal. Sebagian besar pasien dengan amenorrhea memiliki dasar permasalahan yang relatip sederhana.1 DIFINISI Tidak munculnya haid pada masa pubertas sering menimbulkan rasa cemas pada seorang wanita bahkan pada kedua orang tuanya sebab menarche dianggap sebagai suatu kejadian yang menandai telah lengkapnya masa pubertas serta merupakan gambaran dimulainya kehidupan seorang wanita dan juga merupakan tanda awal
1
dimulainya suatu kesuburan bagi seorang wanita. Oleh karena masalah ini terkait dengan terjadinya menarche, maka sangat penting untuk mendefinisikan kapan seorang wanita perlu menjalani pemeriksaan akibat tidak belum mengalami menarche. Hal ini tentu sangat terkait dengan data-data epidemiologi pada usia berapa menarche dan pertumbuhan payudara muncul pada populasi umum.1,2 Amenorrhea adalah tidak terjadinya haid pada seorang wanita. Secara umum dibedakan menjadi amenorrhea yang fisiologik dan patologik. Amenorrhea patologik dibedakan menjadi amenorrhea primer dan amenorrhea sekunder. Batasan menurut kepustakaan: Amenorrhea primer yaitu:1
Tidak mengalami haid hingga usia 14 tahun tanpa adanya pertumbuhan dan perkembangan tanda kelamin sekunder
Tidak mengalami menstruasi hingga usia 16 tahun meskipun terdapat pertumbuhan dan perkembangan normal dengan adanya tanda kelamin sekunder.
Amenorrhea sekunder yaitu:1
Bila seorang wanita yang telah mengalami menstruasi, namun tidak mengalami menstruasi kembali selama 3 siklus sebelumnya atau amenorrhea selama 6 bulan.
I. AMENORRHEA PRIMER Fisiologi Siklus Haid Gambaran fungsi haid yang normal tergantung adanya genitalia yang normal dengan lapisan endometrium yang normal pula. Aliran darah haid tergantung pada keberadaan
dan perkembangan endometrium dalam kavum uteri. Lapisan ini
distimulasi dan diregulasi oleh hormon steroid. Perdarahan haid terjadi akibat rangsangan hormonal secara siklik terhadap endometrium. Hormon yang sangat berperan pada status siklus haid adalah hormon pelepas LH-RH dan PIF (Prolaktin Inhibiting Factor). Hormon-hormon ini memicu pengeluaran FSH, LH dan Prolaktin dari hipofisis anterior. Hormon FSH dan LH memicu síntesis dan pengeluaran hormon steroid oleh ovarium yaitu estradiol dan progesteron. Proses pematangan folikel dikendalikan oleh hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH yang berasal dari hipofisis
2
anterior. Pengeluaran hormon gonadotropin dipicu oleh Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus. Hormon-hormon ini bekerja pada organ target yang memiliki reseptor-reseptor yang spesifik terhadap hormon tersebut. Gangguan terhadap interaksi yang kompleks tadi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan haid. Oleh karena itu pendekatan diagnostik pada kasus amenorrhea dapat menggunakan pendekatan kompartemen untuk mencari penyebabnya.1-3 -
Kompartemen I o Kelainan pada traktus genitalis atau organ target uterus o Pada amenorrhea sekunder yang terbanyak adalah Sindrom Asherman
-
Kompartemen II o Kelainan Pada Ovarium
-
Kompartemen III o Kelainan pada hipofisis anterior o Kasus yang terbanyak adalah tumor prolaktin
-
Kompartemen IV o Kelainan pada hipotalamus atau susunan syaraf pusat o Kasus yang terbanyak anovulasi, anoreksia nervosa, supressi hipotalamus dan hipotyroidisme
Gambar 1. Pembagian Lokasi Kelainan berdasarkan Kompartemen Dikutip dari Speroff1
3
Untuk dapat menangani kasus amenorrhea primer tentu saja pemahaman mengenai fisiologi organ genitalia, proses pubertas dan interaksi poros hipotalamus, hipofisis dan ovarium akan menjadi sangat penting. Selain itu ketersediaan fasilitas juga akan menjadi faktor yang cukup menentukan dalam penanganan kasus amenorrhea primer. Kategori phenotip pada tiap individu dengan
amenorrhea primer menurut
Mashchak dibagi dalam:4 Group 1 : tidak tumbuh payudara, ditemukan uterus, kelainan sentral, perifer. Group 2 : tumbuh payu dara, tidak ditemukan uterus, kelainan RKH, TFS. Group 3 : tidak tumbuh payudara, tidak ditemukan uterus, kelainan khromosom. Group 4 : tumbuh payudara, ditemukan uterus, kelainan kompartemen I-IV. Namun perlu diingat sebelumnya bahwa fungsi keseluruhan kompartemen tersebut dipengaruhi perkermbangannya sejak masa embrio, yang tentu saja merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan pula materi genetika dari embrio tersebut. Penilaian Pasien Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti amat berguna dalam hal melakukan evaluasi pada seorang pasien dengan keluhan amenorrhea primer. Riwayat kelainan dalam keluarga perlu ditanyakan, seperti: usia menarche serta riwayat obstetri dari ibu kandung maupun saudara perempuan, serta kerabat lainnya; riwayat perinatal; riwayat tindakan pembedahan maupun pengobatan sebelumnya (terutama penyakit keganasan, otoimun atau endokrinopati); penilaian tahapan dari perkembangan pubertas; serta mencari apakah ada kelainan seperti gangguan pertumbuhan, gangguan makan, kelainan berat badan, aktivitas olahraga serta tanda-tanda hiperandrogen.1,3,5 Dalam hal pemeriksaan fisik, lakukan penilaian: tinggi badan, berat badan, yang kemudian dapat dikonversi menjadi indeks massa tubuh (Kg/m 2); tekanan darah; perabaan pada kelenjar tiroid; penilaian Sexual Maturity Rating (SMR) yang telah dibuat oleh Tanner pada pertumbuhan payudara dan rambut pubis; pemeriksaan payudara juga meliputi kemungkinan adanya galaktorea; ditemukannya defek fasial pada garis tengah dapat dicurigai kemungkinan adanya kelainan disfungsi hipotalamushipofisis; sementara kelainan pada ginjal, vertebra maupun hernia dapat menimbulkan
4
dugaan adanya kelainan pada duktus Mulleri; apabila dibutuhkan penilaian neurologis seperti kemampuan menghidu, gangguan lapang pandang dan pemeriksaan funduskopi dapat dilakukan; tanda-tanda hiperandrogenisasi seperti hirsutisme, jerawat, dan akantosis nigrikans; pemeriksaan persentase lemak tubuh dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur khusus pada daerah trisep, bisep, sub-skapula dan suprailiaka.1,3,5 Pemeriksaan ginekologis dilakukan untuk melakukan penilaian: genitalia eksterna untuk menilai adanya klitoromegali, pembukaan selaput himen, serta efek estrogenisasi pada mukosa vagina yang ditandai dengan mukosa vagina yang berwarna merah jambu dan basah, selanjutnya dapat pula dilakukan pengambilan sampel dari mukosa vagina untuk dilakukan penilaian indeks maturasi, selanjutnya lakukan penilaian patensi serta panjang vagina dapat dilakukan dengan menggunakan sonde uterus atau kateter; genitalia interna, apabila dibutuhkan penilaian serviks dapat dilakukan dengan menggunakan spekulum hidung, apabila sulit untuk melakukan penilaian genitalia interna dengan pemeriksaan per rektal, maka dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan ultra sonografi pelvik, bahkan apabila dicurigai adanya kelainan pada traktus genitalia, maka pemeriksaan MRI atau bahkan laparoskopi dapat dilakukan untuk menilai secara langsung.1,3,5 Penanganan Mencari penyebab amenorrhea dapat dilakukan secara sederhana, yaitu dengan melakukan beberapa tes atau uji. Ada 3 langkah yang dilakukan pada penenganan amenorrhea: 1,3,5 Langkah 1 : melakukan
pemeriksaan
TSH,
Prolaktin
Progestogen
test,
dan
pemeriksaan sella tursica (pada amenorrhea yang disertai Galaktorea). Langkah 2 : Bila progestogen test negatip dilakukan Uji Estrogen+Progestogen (E+P). Langkah 3 : Pemeriksaan kadar gonadotropin, untuk menentukan komponen penting manakah yang mengalami gangguan fungsi, gonadotropin atau aktivitas folikuler.
Pemeriksaan Ginekologik
5
Setiap amenorrhea yang terjadi pada seorang wanita yang pertama sekali harus dipikirkan apakah wanita tersebut hamil atau tidak. Bila tidak ditemukan kehamilan, maka selanjutnya perlu dilakukan pemeriksaan ginekologik.
Gambar 2.
Algoritma Amenorrhea Dikutip dari DeCherney6
Uji dengan Menggunakan Progestogen (Uji P) Uji P dilakukan pada wanita dengan amenorrhea primer, bila wanita tersebut diyakini tidak hamil, maka baru boleh dilakukan uji P. Uji P bukanlah merupakan suatu uji untuk mengetuhui seorang wanita hamil atau tidak. Jenis- jenis progestogen yang dapat digunakan untuk uji P adalah medroksiprogesteron asetat (MPA), noretisteron, didrogesteron, atau nomegestrol asetat (NGA). Dosis progestogen untuk uji P adalah 510 mg/hari dengan lama pemberian 7 hari. Pada umumnya perdarahan akan terjadi 3-4 hari setelah obat habis, dan dikatakan uji P pada wanita ini positif. Bila perdarahan terjadi 2 atau 3 hari setelah pasien menggunakan progestogen, maka tidak perlu dilanjutkan lagi dengan sisanya. Terjadinya perdarahan lucut setelah penggunaan
6
progestogen berbeda-beda pada setiap wanita, sehingga jangan terlalu cepat mengatakan uji P negatif. Andaikata 10 hari setelah obat habis dan belum juga terjadi perdarahan, maka baru dikatakan uji P negatif. Interpretasi Hasil Uji P Positif1,3 -
Terjadi perdarahan setelah uji P, berarti wanita tersebut memiliki uterus/ masih memiliki uterus dengan endometrium yang normal.
-
Perdarahan dapat keluar dari alat genitalia wanita tersebut, berarti wanita tersebut memiliki vagina dan himen yang normal.
-
Perdarahan dapat terjadi karena endometrium telah mendapat pengaruh estrogen yang cukup (proliferasi). Estrogen dihasilkan oleh ovarium, tepatnya di folikel. Artinya wanita tersebut memiliki ovarium dan pertumbuhan folikel yang normal. Folikel-folikel di ovarium baru dapat berkembang dan menghasilkan estrogen bila sebelumnya telah mendapat rangsangan dari FSH dan LH. Karena FSH dan LH di sintesis di hipofisis dan pengeluarannya dipicu oleh hormon pelepas GnRH, maka dapat dikatakan bahwa wanita tersebut memiliki hipofisis dan hipotalamus yang normal. Pemberian progestogen pada wanita ini menyebabkan endometrium mengalami fase sekresi, dan begitu kadar progestogen turun terjadilah perdarahan. Di sini dapat dikatakan, bahwa wanita ini kekurangan progesteron dan seperti diketahui pula, kalau progesteron tersebut dihasilkan oleh korpus luteum. Korpus luteum baru akan terbentuk bila pada seorang wanita terjadi ovulasi. Jadi pada wanita ini kemungkinan tidak terjadi ovulasi, atau ovulasi terjadi tetapi terjadi insufisiensi korpus luteum. Analisis hormonal seperti FSH, LH dan prolaktin umumnya dalam batas normal. Tidak dijumpai tumor di hipofisis. Diagnosis pada wanita ini adalah disregulasi hipotalamus hipofisis. Penyebabnya kemungkinan besar karena gangguan pada sistem umpan balik. Kadang-kadang ditemukan kadar FSH dan prolaktin normal, namun kadar LH tinggi. Sangat mungkin wanita ini menderita sindrom ovarium polikistik.
Penanganan Wanita dengan Uji P Positif1,3 Bagi wanita yang belum menginginkan anak, cukup diberikan progestogen dari hari ke-6 sampai hari ke-25 siklus haid. Hari pertama dihitung dari hari pertama terjadi perdarahan setelah uji P dilakukan. Setiap habis obat pada umumnya akan terjadi
7
perdarahan. Pengobatan diberikan untuk 3 siklus berturut turut. Setelah itu dilihat apakah siklus haid menjadi normal kembali, atau tidak. Bila masih juga belum terjadi siklus haid normal, maka pengobatan dilanjutkan lagi sampai dicapai kembali siklus haid yang normal. Selama belum diperoleh siklus haid yang normal berarti wanita tersebut berada di bawah pengaruh estrogen yang pada suatu ketika kelak dapat menyebabkan
hiperplasia
endometrium,
bahkan
dapat
menyebabkan
kanker
endometrium. Pemberian progestogen pada wanita ini selain bertujuan untuk mendapatkan haid yang teratur juga sekaligus untuk mencegah timbulnya kanker endometrium. Bila ternyata wanita tersebut telah mendapat siklus haid yang teratur, namun wanita tersebut belum menginginkan anak, maka kepada wanita tersebut perlu dianjurkan penggunaan IUD atau yang paling mudah adalah pemberian pil kontrasepsi kombinasi. Jangan memberikan kontrasepsi hormonal yang hanya mengandung gestagen saja, karena kontrasepsi jenis ini justru akan mengakibatkan amenorrhea. Penanganan Wanita dengan Uji P Negatif1,3 Bila hasil uji P negatif, maka perlu dilakukan uji berikutnya dengan menggunakan estrogen dan progestogen, yang dikenal dengan uji E + P. Cara melakukan uji E+P adalah dengan memberikan estrogen, seperti etinil estradiol 50 mg, atau estrogen valerianat 2 mg, atau estrogen equin konjugasi 0,625 mg selama 21 hari dan dari hari ke-12 sampai hari ke-21 diberikan progestogen 10 mg/hari. Paling mudah adalah dengan memberikan pil kontrasepsi kombinasi, meskipun cara ini tidak dapat dikatakan sebagai uji E+P yang murni, karena sejak awal estrogen dan progestogen diberikan bersamaan. Uji E+P dikatan positif, bila 2 atau 3 hari setelah obat habis terjadi perdarahan. Pada wanita tertentu perdarahan dapat saja terjadi 7-10 hari setelah obat habis. Bila tidak terjadi perdarahan, maka dikatakan uji E+P negatif.
8
Amenorrhea
P test (+)
(-)
E + P test (+)
(-) FSH, LH, prolactin N Normo gonadrop amenorrhea Defect endometrial (aplacia uteri, Asherman syndrome, TBC)
hMG test
E normal (+)
(-)
Production FSH, LH
Gambar 3.
Ova: Follicle (-)/ Follicle sens. syndrome ovarium resistentcy
Skema Test Uji P dan E +P Dikutip dari Sperof1 dan Mishell4
Interpretasi Hasil Uji E+P Positif1,3 Pada wanita ini perdarahan baru terjadi setelah diberikan estrogen. Estrogen dibentuk di folikel. Jadi pada wanita ini terjadi gangguan pematangan folikel, sehingga estrogen tidak dapat dihasilkan. Untuk pematangan folikel diperlukan rangsangan dari FSH dan LH, sedangkan untuk pengeluaran FSH dan LH diperlukan rangsangan dari GnRH yang dihasilkan oleh hipotalamus. Sudah dapat dipastikan bahwa pada wanita ini tidak terjadi ovulasi. Penanganan Wanita dengan Uji E+P Positif1,3 Perlu dicari penyebab kenapa folikel tidak berkembang. Harus dilakukan analisis hormonal FSH, LH, dan prolaktin. Kadar FSH dan LH rendah/normal, serta kadar prolaktin normal maka diagnosisnya adalah amenorrhea hipogonadotrop dengan penyebabnya adalah insufisiensi hipotalamus-hipofisis. Penyebab insufisiensi tersebut dapat disebabkan oleh tumor di hipofisis.
9
Bila ditemukan FSH dan LH tinggi dan prolaktin normal, maka penyebab amenorrhea pada pasien ini adalah gangguan di ovarium, misalnya menopause prekoks. Diagnosisnya adalah amenorrhea hipergonadotrop. Untuk memastikan secara pasti perlu dilakukan biopsi pada ovaririum. Bila FSH dan LH sangat rendah berarti tidak terjadi pematangan folikel, atau ovarium tidak memiliki folikel-folikel lagi. Untuk mengetahui apakah ovarium benar-benar masih mengandung folikel dan masih memiliki kemampuan untuk menumbuhkan folikel, dapat dilakukan uji stimulasi dengan hMG (uji hMG). Human Menopause Gonadotropin mengandung hormon FSH dan LH. Pada ovarium yang normal. pemberian hMG akan memicu pertumbuhan folikel dan memproduksi estrogen. Estrogen tersebut dapat diperiksa melalui urin atau darah. Andai kata didapatkan kadar estrogen yang normal, maka uji hMG dikatakan positif. Perlu diketahui bahwa dikemudian hari tidak diproduksi lagi hormon gonadotropin yang mengandung FSH dan LH, melainkan hanya yang mengandung FSH saja. Hasil uji hMG positif berarti amenorrhea yang terjadi disebabkan karena rendahnya produksi FSH dan LH di hipofisis, atau rendahnya FSH dan LH bisa disebabkan oleh rendahnya produksi hormon pelepas GnRH di hipotalamus. Hasil uji hMG negatif menunjukkan bahwa ovarium tidak memiliki folikel atau masih memiliki folikel, tetapi tidak sensitif terhadap gonadotropin seperti pada kasus sindrom ovarium resisten. Untuk mengetahui, apakah gangguan terdapat di hipotalamus atau di hipofisis, maka perlu dilakukan uji stimulasi dengan klomifen sitrat dan uji dengan GnRH. Klomifen sitrat diberikan 100 mg/hari selama 5-10 hari. Uji klomifen sitrat dikatakan positif, bila selama penggunaan klomifen sitrat dijumpai peningkatan FSH dan LH serum 2 kali lipat, dan 7 hari setelah penggunaan klomifen sitrat ditemukan peningkatan serum estradiol paling sedikit 200 pg/mL. Darah untuk pemeriksaan FSH, LH dan E2 diambil pada hari ke-7. Peningkatan FSH dan LH yang terjadi menunjukkan hipofisis normal, artinya masih tersedia FSH dan LH yang cukup. Bila uji klomifen sitrat negatif berarti terjadi gangguan di hipotalamus, di mana kemungkinan di hipotalamus tidak tersedia cukup GnRH, maka tindakan selanjutnya adalah melakukan uji dengan GnRH. GnRH diberikan dengan dosis 25-100 mg intravena. Tiga puluh menit setelah pemberian GnRH, dilakukan pengukuran kadar FSH dan LH serum. Uji GnRH dikatakan positif, bila dijumpai kadar FSH dan LH yang normal, ataupun tinggi. Di sini
10
dapat disimpulkan bahwa gangguan yang terjadi adalah di hipotalamus, sedangkan bila tidak dijumpai peningkatan FSH dan LH, maka gangguan yang terjadi adalah di hipofisis. Bila ditemukan FSH dan LH normal, namun kadar prolaktin tinggi, maka pasien ini perlu ditangani sesuai dengan penatalaksanaan pasien dengan hiperprolaktinemia. Pada pasien dengan uji P negatif dan uji E+P positif yang belum menginginkan anak, cukup diberikan estrogen-progestogen siklik, meskipun cara ini tidak mengobati penyebab dari amenorrhea tersebut. Bila diduga kelainan terdapat di hipofisis, maka untuk pematangan folikel diberikan hMG atau FSH, dan untuk induksi ovulasi diberikan hCG, sedangkan bila diduga kelainan tersebut di hipotalamus, maka diberikan GnRH secara pulsatif. Penanganan Amenorrhea pada Wanita dengan Uji P dan Uji E+P Negatif1,3 Dilakukan pemeriksaan FSH. LH, dan prolaktin serum, dan bila hasilnya semua normal, maka diagnosis pada pasien ini adalah normogonadotrop amenorrhea. Amenorrhea yang terjadi disebabkan oleh adanya defek di endometrium (aplasia uterus, sindrom Asherman, tuberkulosis).
Gambar 4. Algoritma pengelolaan Amenorrhea, Galactorrhea Dikutip dari Speroff1 Tabel 1. Penilaian Kadar Serum Gonadotropin
11
Kelainan-Kelainan yang dapat Menyebabkan Amenorrhea Primer a. Kelainan sentral:1,3,7,8 Istilah ini merujuk pada kelainan yang terjadi pada hipotalamus-hipofisis yang dapat mengakibatkan gangguan pelepasan GnRH atau hormon gonadotropin. Tidak adanya hormon gonadotropin menyebabkan gonad tidak dapat berfungsi untuk menghasilkan hormon steroid yang dibutuhkan untuk perkembangan seks sekunder. Terdapat beberapa kelainan sentral di antaranya adalah: Gangguan pelepasan GnRH -
Pubertas terlambat yang fisiologis Dimulainya proses pubertas pada seorang wanita sangat ditentukan oleh materi genetikanya. Oleh karena itu riwayat keluarga terutama pada ibunya maupun saudara perempuannya yang apabila mengalami hal yang sama dengan penderita, maka amat mungkin bahwa sebenarnya ini hanya keterlambatan yang bersifat fisiologis. Pasien seperti ini umumnya menunjukkan kadar FSH yang rendah atau normal dan payudaranya belum tumbuh. Mengingat kadar FSH yang bersifat fluktuatif (dengan ritme antara 10-20 menit), maka ada baiknya tidak dilakukan hanya satu kali pengambilan. Akan lebih tepat apabila dilakukan paling tidak tiga kali pengambilan.
12
-
Gangguan nutrisi Proses pubertas juga amat ditentukan dari status nutrisi seorang wanita, dan diketahui bahwa pubertas akan dimulai setelah dilewatinya ambang batas berat badan tertentu. Gangguan nutrisi dapat diakibatkan oleh karena gangguan intake, atau gangguan absorbsi. Sementara itu latihan olahraga yang berlebihan juga dapat mengakibatkan amenore primer akibat terjadinya perubahan rasio antara lemak dan otot.
-
Defisiensi GnRH GnRH akan dilepaskan oleh neuron-neuron tertentu pada hipotalamus yang nantinya akan dilepaskan ke hipofisis. Gangguan pembentukan neuron-neuron tersebut dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi GnRH, seperti halnya pada Sindroma Kallman. Selain terjadi gangguan haid pada penderita tersebut juga didapatkan gangguan penghidu yang bisa bersifat anosmia atau hiposmia akibat gangguan pada N. Olfaktorius.
-
Gangguan hipofisis Pada hipofisis anterior diketahui memiliki banyak sel-sel khusus yang akan melepaskan hormon pemicu kepada masing-masing organ endokrin yang spesifik, seperti tiroid, pankreas dan adrenal. Apabila terdapat kelainan pada selsel gonadotrop saja, maka fungsi sel-sel yang lain akan tetap normal (isolated). Namun kadang terdapat pula kelainan pada hipofisis yang dapat juga merusak tidak hanya sel-sel gonadotrop namun juga sel-sel lainnya. Kelainan-kelainan yang dapat timbul pada hipofisis dapat diakibatkan oleh karena tumor, granuloma maupun infark. Meski jarang tumor hipofisis perlu dipikirkan apabila didapatkan tanda-tanda defisiensi gonadotropin.
b. Kegagalan ovarium1,3,7,8 1. Kegagalan diferensiasi ovarium -
Turner Syndrome Adalah merupakan defek ovarium yang sering ditemukan dan ditandai dengan kariotip 45,XO. Umumnya disertai pula dengan kelainan-kelainan bawaan lainnya seperti gangguan pertumbuhan, gangguan pertumbuhan bahkan kelainan
13
jantung. Penderita ini akan menunjukkan kadar FSH yang tinggi serta gambaran Barr Body yang negatif. -
Disgenesis gonad mosaik Hal ini menunjukkan bahwa di dalam tubuh seseorang terdapat 2 jenis galur sel. Misalkan yang juga merupakan variasi dari Sindrom Turner adalah 45,XO/46,XY. Oleh karena itu gejala Sindrom Turner pada pasien ini biasanya bersifat parsial.
-
Disgenesis gonad murni Pasien-pasien ini memiliki kariotip yang normal baik 46,XX atau 46,XY. Namun pasien pasien tersebut menunjukkan tanda-tanda kegagalan ovarium yang ditandai dengan tingginya kadar FSH, serta tidak terdapat perkembangan seks sekunder.
-
Disgenesis gonad campuran Pasien ini memiliki kariotip mosaik 45,XO/46,XY. Namun gonad pasien ini selain memiliki streak gonad juga akan memiliki testis. Oleh karena testisnya tidak berfungsi maksimal, maka pasien-pasien ini akan memperlihatkan tandatanda ambiguitas genitalia eksterna yang dapat dikenali pada masa neonatus, pubertas dini atau lanjut saat pasien mengeluh tidak pernah haid dan payudaranya tidak berkembang.
2. Gangguan biosintesis estrogen -
Defek enzim 17-hidroksilase (CYP17) Defek enzim ini pada ovarium maupun adrenal akan mengakibatkan turunnya produksi estrogen maupun kortisol. Sehingga pasien ini akan menunjukkan gejala-gejala hipoestrogen maupun hipertensi akibat meningkatnya aktivitas adrenal.
-
Defek enzim 17 hidroksisteroid dehidrogenase (17 -HSD) Defek enzim tersebut mengakibatkan kegagalan mengubah androstenedlone menjadi testosterone, dan estrone menjadi estradiol. Kasus ini biasanya menimpa seseorang yang memiliki genotip pria (46,XY), namun memiliki fenotip wanita namun tidak memiliki uterus, amenorrhea dan hirsutisme.
-
Defek pada tahapan awal steroidogenesis
14
Defisiensi dari enzim kolesterol desmolase biasanya bersifat letal pada awal masa infansi, kecuali dapat dilakukan diagnosis dan pengobatan dini a. Aplasia Uterus dan Vagina (Sindrom Mayer-Kustner-V Rokitansky)1,3,7,8 Kelainan ini terjadi akibat tidak terjadi kanalisasi alat genitalia. Introitus vagina kelihatan normal, tetapi tidak terbentuk vagina. Pada pemeriksaan colok rektal hanya teraba uterus yang berbentuk garis. Perlu juga dilakukan pemeriksaan USG atau laparoskopi diagnostik. Pada pandang laparoskopi tampak uterus yang rudimenter dengan ovarium yang normal serta permukaan ovarium yang licin tanpa stigma ovulasi. Gambaran Klinis dan Diagnosis Pada umumnya wanita tidak mengeluh apa-apa. Wanita baru datang berobat bila tidak muncul haid, atau mengeluh nyeri saat sanggama. Pertumbuhan payudara, vulva, rambut ketiak/pubis dan pertumbuhan alat-alat tubuh lainnya berada dalam batas normal. Analisis kromosom adalah 46 XX. Pemeriksaan suhu basal badan (SBB) bifasik, yang berarti fungsi ovarium baik. Hampir setiap wanita dengan kelainan ini ditemukan kelainan pada organ lain seperti ginjal dan ureter, sehingga perlu dilakukan pielogram (IVP) Diagnosis Banding Sindrom feminisasi testikuler (androgen insensitivity) Pengobatan Pengobatan yang lazim dilakukan adalah dengan melakukan vaginoplasti pada saat akan menikah. Perlu dijelaskan kepada wanita tersebut bahwa kelainan ini mengakibatkan pasien tidak dapat mendapatkan anak. b. Sindrom Feminisasi Testikuler (Androgen Insensitivity)1,3,7,8 Kelainan
kongenital
ini
disebut
juga
sebagai
pseudohermaphroditismus
masculinus dengan genotip wanita, yang disebabkan berkurangnya jumlah reseptor androgen di dalam sitoplasma. Akibatnya testosteron tidak dapat masuk ke dalam sel,
15
sehingga testosteron tidak dapat diaktifkan menjadi dihidrotestosteron. Padahal jenis testosteron yang hanya dapat bekerja pada organ sasaran adalah dihidrotestosteron ini. Kelenjar kelamin adalah testis yang relatif normal dengan sel- sel Sertoli dan sel-sel Leydig, tetapi tanpa spermatogenesis (azoospermia). Testis juga memiliki kemampuan memproduksi estrogen, sehingga wanita dengan kelainan ini seperti kelihatan normal, bahkan tampak lebih cantik dan cocok untuk menjadi pramugari atau peragawati. Gambaran Klinis dan Diagnosis1,3,7,8 Wanita pada umumnya datang dengan keluhan tidak pernah haid, berpenampilan normal dan cantik. Payudara normal, namun pada 1/3 wanita, rambut ketiak dan rambut pubis tidak ada, atau kalaupun ada sangat sedikit (hairless women). Vagina tidak ada, atau jika ada terlihat pendek, tetapi alat kelamin luar dan introitus vagina normal. Uterus kecil, kadang-kadang ditemukan testis pada daerah inguinal, di vagina, labia atau intraabdominal. Pada pemeriksaan kromosom ditemukan kariotip XY dan Barr body negatif. Pemeriksaan hormon ditemukan kadar testosteron tinggi. Karena wanita ini sudah merasakan dirinya sebagai wanita, maka tidak perlu dilakukan tindakan apapun. Laparoskopi harus dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya testis di dalam rongga perut, dan bila ditemukan harus diangkat, karena sebanyak 10 % testis yang berada di dalam rongga perut dapat berubah menjadi ganas. Demikian juga halnya bila ditemukan testis ditempat lain, di mana testis tersebut harus diangkat. Pengangkatan testis sebaiknya dilakukan bila pertumbuhan prepubertas telah selesai. Setelah pengangkatan testis dilakukan, maka perlu segera diberikan pengobatan substitusi dengan estrogen, atau dengan pil kontrasepsi kombinasi. c. Sindrom Adrenogenital (Adrogenital Syndrome = AGS)1,3,7,8 Kelainan ini adalah bentuk yang paling sering dari hermafroditismus feminismus, yang diakibatkan oleh kerusakan pada sistem enzim kelenjar suprarenal, sehingga terjadi kekurangan produksi kortisol. Akibat kekurangan kortisol terjadi pengeluaran hormon ACTH berlebihan, dan selanjutnya ACTH akan merangsang suprarenal secara berlebihan pula. Kelenjar suprarenal menjadi besar dan terjadi pembentukan bahanbahan prekursor dalam jumlah besar. Prekursor-prekursor ini akan diubah menjadi
16
androgen, pregnandiol dan pregnantiol. Gambaran Klinis dan Diagnosis Gambaran klinis dari AGS ditandai oleh pengaruh androgen yang berlebihan berupa virilisasi, atau hirsutismus pada tubuh dan tidak adanya pengaruh hormon glukokortikoid/mineralokortikoid terhadap tubuh wanita tersebut. Beratnya virilisasi sangat tergantung pada usia berapa kelainan tersebut muncul. Akibat pengaruh anabolik dari androgen terjadi penutupan yang lebih cepat terhadap tulang epifisis, sehingga si wanita terlihat lebih kecil dari teman-temannya. Pada bayi ditemukan pembesaran klitoris. Pada wanita yang lebih dewasa terjadi amenorrhea, pembesaran klitoris, atrofi payudara dan perubahan suara. Pemeriksaan ginekologik diperlukan untuk membedakan jenis-jenis AGS, yaitu: 1. Uretra berada di vagina dan keluar melalui ujung klitoris, labia minora menyatu 2. Ditemukan pembesaran klitoris, muara vagina berada di sinus urogenitalis, muara uretra berada di pangkal klitoris yang membesar, penyatuan labia tidak sempurna 3. Pembesaran klitoris, genitalia interna/eksterna normal. Pada pemeriksaan kromosom didapatkan kariotip XX, Barr Body +. Sedangkan pada pemeriksaan urin didapatkan kadar 17- ketosteroid yang meningkat. Pengobatan Pengobatan harus dimulai sedini mungkin. Diberikan kortikosteroid jangka panjang, yang bertujuan untuk menghambat pengeluaran ACTH, sehingga terjadi penekanan sintesis androgen di suprarenal. Oleh karena penyebabnya adalah kerusakan pada sistem enzim yang tidak mungkin diperbaiki, maka kortikosteroid harus diberikan terus-menerus untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Bila produksi gonadotropin telah normal, bisa saja wanita ini mendapat siklus haid normal, bahkan dapat menjadi hamil (terutama tipe 3). Andaikata pengobatan tidak berhasil, harus dipikirkan adanya tumor di suprarenal dan di ovarium yang menghasilkan androgen. Penanganan amenorrhea primer sebaiknya ditujukan kepada penyebabnya serta menangani konsekuensi yang diakibatkan oleh karena terjadinya amenorrhea primer,
17
khususnya pada pasien-pasien amenorrhea primer dengan kadar estrogen endogen yang rendah. Pada kasus-kasus di mana terdapat kadar estrogen yang rendah (payudara tidak tumbuh) akibat kegagalan ovarium atau disgenesis gonad, maka pasien amenorrhea primer perlu diberikan substitusi hormon estrogen. Tujuan pemberian estrogen pada kasus ini ditujukan untuk: (a). Memicu pertumbuhan seks sekunder terutama payudara, (b). Mempertahankan siklus haid dan mineralisasi tulang sehingga akan mencegah terjadinya ostoporosis, (c). Mempertahankan keadaan estrogen normal dalam jangka waktu yang lama.1,3,4 Dosis estrogen dapat dimulai dari dosis rendah 0,3 mg estrogen konyugasi, yang dapat diberikan selama 6-12 bulan. Pil KB tidak direkomendasikan sebagai obat untuk menumbuhkan payudara karena mengandung komponen progestin. Dosis estrogen selanjutnya dapat ditingkatkan sesuai dengan keinginan pasien untuk menumbuhkan payudara, serta kondisi dari tinggi badannya. Estrogen akan memicu penutupan lempeng epifisis. Oleh karena itu bagi pasien yang sudah mencapai tinggi badan ideal serta menginginkan pertumbuhan payudara yang lebih cepat maka dosis dapat dinaikkan menjadi 0,625 mg dalam waktu 3-6 bulan. Saat ini pemberian progestin dianjurkan untuk diberikan setelah pasien menerima estrogen konyugasi 0,625 mg selama 2-3 bulan untuk mencegah terjadinya perdarahan disfungsional. Sediaan progestin berupa 510 mg Medroksi Progesteron Asetat (MPA) dapat diberikan paling tidak liar setiap siklusnya (pada awal bulan) untuk mendampingi pemberian estrogen secara kontinyu. Pemberian hormon kombinasi tersebut dapat dilanjutkan hingga tercapai pertumbuhan payudara atau paling tidak hingga 6 bulan, dan selanjutnya lama pemberian progestin dapat ditingkatkan hingga 10 hari per siklus untuk melindungi endometrium. Selanjutnya untuk substansi jangka panjang dapat diberikan preparat kombinasi estrogen setiap hari dan progestin paling tidak 12 hari per siklus atau dapat pula menggunakan pil KB kombinasi. 1,3,8,9 Yang tidak boleh dilupakan pula pada wanita yang mengalami kekurangan estrogen adalah mengkonsumsi kalsium 1300 mg melalui makanan atau melalui suplemen serta mengkonsumsi 400 IU vitamin D per hari. Sementara itu gonad yang memiliki unsur kromosom Y seperti pada kasus AIS atau Sindroma Turner yang mosaik, selayaknya dapat diangkat untuk menghindari terjadinya diferensiasi ke arah ganas. Selanjutnya pasien dapat diberikan substitusi
18
hormon. Amenore sentral dapat diakibatkan oleh karena kelainan pada hipotalamus atau hipofisis. Namun di manapun lokasi kelainannya akibat yang ditimbulkan adalah sama, yaitu ovarium tidak dapat berfungsi karena tidak ada sinyal yang dikeluarkan oleh hipotalamus ataupun hipofisis. Bila hal ini terjadi pra-pubertas, maka dapat memberikan gejala seperti orang yang kekurangan estrogen. Oleh karena itu maka pasien ini juga layak untuk mendapatkan substitusi estrogen. Namun berbeda dengan pasien yang memiliki kelainan pada tingkat gonad, maka pasien-pasien dengan kelainan hipotalamus dapat dipicu ovulasinya dengan cara memberikan GnRH secara pulsatil dengan menggunakan suatu alat khusus atau dengan cara memberikan hormon gonadotropin. Pada kasus-kasus dengan hiperprolaktinemia maka perlu disingkirkan kemungkinan adanya tumor ataupun kelainan kelenjar tiroid. Obat yang cukup efektif untuk menurunkan kadar prolaktin adalah dengan menggunakan Bromokriptin atau Kabergolin. Sementara itu kasus kasus dengan gejala hiperandrogen perlu ditelusuri dari mana asalnya dengan melakukan pemeriksaan hormon-hormon androgen baik yang berasal dari ovarium mapun kelenjar adrenal. Adanya defek anatomi seperti agenesis duktus Muller dapat diikuti pula oleh kelainan-kelainan bawaan lainnya pada sistem straktus urinarius. Namun ada pula kelainan-kelainan anatomi lain yang dapat disertai dengan nyeri siklik akibat adanya sumbatan pada jalan keluar darah haid seperti himen imperforata, septum vagina maupun tidak terbentuknya serviks atau vagina yang terisolasi. Beberapa kelainan tersebut dapat dikoreksi dengan cara pembedahan. Terdapat tiga gambaran penting pada kasus amenorrhea primer yang dapat menentukan langkah langkah diagnostik selanjutnya dan dampaknya pada prognosis, yaitu:1,3,8,9 1. Mayoritas kasus amenorrhea primer disebabkan karena kelainan organik yang akan mempengaruhi kesuburan atau kesehatan pasien pada umumnya. 2. Banyak kumpulan gejala (sindrom) dari amenorrhea primer yang tidak termasuk pada sindrom amenorrhea sekunder. 3. Terdapat 3 gambaran klinis, yaitu : (a). Payudara tidak tumbuh, (b). Tidak terabanya uterus, (c). Gagal tumbuh. Pemeriksaan untuk menentukan adanya uterus dan vagina penting dilakukan sesuai clinical recomendation, evidence based dibawah ini:13
19
dengan evidence rating C, seperti
Pada awalnya pasien amenorrhea primer perlu ditentukan apakah memiliki kariotip yang normal. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan kariotipe terutama yang pada kromosom seks. Perlu ditentukan apakah kromosom seksnya normal (XX) atau abnormal dapat berupa kromosom seks pria (XY), monosomi (XO) atau mosaik. Penentuan jenis kromosom seks ini penting untuk melihat apakah terdapat keselarasan antara genotip dengan fenotip, sehingga kelainan seperti Androgen Insensitivity Syndrome dapat diketahui dari awal. Kelainan kromosom seks seperti mosaik juga dapat memberikan informasi bahwa telah terjadi suatu disgenesis gonad yang mengakibatkan terjadinya defek pada produksi hormon dari ovarium. Apabila pasien tersebut memiliki kromosom XX, maka perlu dipastikan bagaimana fungsi dari gonadnya. Untuk memastikan bahwa pasien tersebut memiliki fungsi gonad yang normal, maka penilaian pertumbuhan payudara cukup berguna. Berdasarkan pertumbuhan payudaranya, maka pasien amenorrhea primer dapat dibagi menjadi dua, yaitu:1,3,8,9 a. Pasien amenorrhea primer dengan payudara yang tidak tumbuh, dan (b). Pasien amenorrhea primer dengan payudara yang tumbuh spontan. Pertumbuhan payudara menunjukkan ada tidaknya estrogen endogen. Selanjutnya untuk menentukan apakah penyebab kegagalan estrogen endogen tersebut disebabkan oleh karena kelainan pada ovarium atau tidak, maka dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan kadar Follicle Stimulating Hormone (FSH). Kadar FSH yang tinggi lebih dari 20 IU/L menunjukkan telah terjadinya suatu keadaan hipergonadotropik, yang berarti bahwa fungsi ovarium sudah tidak ada. Sebaliknya apabila didapatkan kadar FSH yang rendah, yaitu kurang dari 5 IU/L, maka penyebabnya dapat berasal dari kelainan pada hipotalamus maupun hipofisis. Selanjutnya pada pasien dengan pertumbuhan payudara yang spontan dapat dibagi menjadi (a). Pasien-pasien yang uterusnya tidak teraba
20
b. Pasien-pasien dengan uterus yang normal atau uterus yang mengecil (hipoplasia) Pasien-pasien yang uterusnya tidak teraba dapat disebabkan karena kelainan pada perkembangan organ genitalia interna seperti pada kasus Sindrom Agenesis Duktus Muller. Selain itu pada kasus-kasus dengan agenesis duktus Mulleri dengan kromosom seks XY disebabkan oleh karena Androgen Insensitivity Syndrome yang komplit. Sementara pasien-pasien yang uterusnya normal atau hipoplasia dapat diakibatkan karena kelainan pada hipofisis seperti meningkatnya kadar prolaktin. Apabila didapatkan tanda-tanda hirsutisme seperti tumbulnya jerawat atau tumbuhnya
rambut-rambut
halus
maka
dapat
diakibatkan
oleh
kelainan
hiperandrogen seperti Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) atau Hiperplasia Adrenal Kongenital awitan lambat.
Gambar 5.
Analisis Kariotipe Normal dan Abnormal Dikutip dari Speroff1 dan Emans2
II. AMENORRHEA SEKUNDER Dikatakan amenorrhea sekunder bila seorang wanita usia reproduksi yang pernah mengalami haid, namun haidnya berhenti untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut.1-3 Penyebab tidak datangnya haid dapat disebabkan oleh organ-organ yang bertanggung jawab terhadap proses terjadinya siklus haid dan terhadap proses pengeluaran darah haid itu sendiri. Organ-organ tersebut adalah hipotalamus-hipofisis (amenorrhea sentral), ovarium (amenorrhea ovarium), dan uterus (amenorrhea uteriner).1-3
21
Amenorrhea akibat Kelainan di Hipotalamus dan Hipofisis (Amenorrhea Sentral) Penyebab amenorrhea karena gangguan di hipotalamus bisa berupa tumor di hipotalamus, infeksi, atau kelainan bawaan berupa sindrom olfatogenital. Penyebab fungsional yang paling sering ditemukan berupa gangguan psikis. Terjadi gangguan pengeluaran GnRH, sehingga pengeluaran hormon gonadotropin berkurang. Gangguan fungsional seperti ini paling banyak dijumpai pada pengungsi, wanita dalam penjara, atau wanita yang sering stres, atau hidup dalam ketakutan maupun gelisah. Wanita yang mengalami gangguan pola makan seperti diet yang salah yaitu anoreksia nervosa dan bulimia dapat menyebabkan gangguan psikis, dan neurotis, sehingga dapat terjadi kerusakan organ (atrofi). Bila kerusakan tersebut mengenai hipotalamus, maka dengan sendirinya hipotalamus tidak dapat lagi memproduksi GnRH. Pengeluaran FSH dan LH dari hipofisis pun berhenti. Akibatnya pematangan folikel dan ovulasi di ovarium tidak terjadi.1,2,9,10 Obat-obat psikofarmaka tertentu seperti fenotiazin dapat meningkatkan kadar prolaktin dan prolaktin yang tinggi ini menekan produksi GnRH di hipotalamus. Oleh karena itu, pada pasien-pasien dengan gangguan psikis, pemberian obat-obat psikofarmaka akan memperberat penyakitnya. Bila hendak juga memberikan obat-obat psikofarmaka, maka pilihlah obat-obat yang tidak menyebabkan peningkatan prolaktin.1,2,9,10 Penyebab amenorrhea karena gangguan di hipofisis terbanyak adalah gangguan organik seperti sindrom. Sheehan, dan penyakit Simmond. Sindrom Sheehan terjadi akibat adanya tronibosis vena hipofisis, sehingga timbul iskemik atau nekrosis adenohipofisis. Kelainan ini sering dijumpai postpartum dengan perdarahan banyak. Perlu diketahui, bahwa adenohipofisis sangat sensitif dalam kehamilan. Gejala baru muncul, bila 3/4 dari adenohipofisis mengalami kerusakan, dan bila hal ini terjadi, maka semua hormon yang dihasilkan oleh adenohipofisis akan mengalami gangguan. Penyakit Simmond terjadi akibat adanya sumbatan vena hipofisis yang disebabkan oleh sepsis atau emboli.1,2,9,10 Amenorrhea Galaktorea Hampir pada 20% wanita dengan amenorrhea sekunder dijumpai hiperprolaktinemia, dan hiperprolaktinemia ini pada hampir 90% wanita menyebabkan galaktorea.1,2,9,10
22
Prolaktin merupakan hormon jenis polipeptida yang terdiri atas 200 asam amino dengan berat molekul antara 19.000-22.000 dalton. Prolaktin diproduksi oleh sel-sel laktotrof yang terletak di bagian distal lobus anterior hipofisis. Pengeluaran prolaktin dihambat oleh prolactin inhibiting .factor (PIF) yang identik dengan dopamin. Bila PIF ini tidak berfungsi, atau produksinya ditekan, maka akan terjadi hiperprolaktinemia. Hal-hal yang dapat menyebabkan tidak berfungsinya PIF adalah: 1,2,9,10 -
Adanya gangguan di hipotalamus
-
Obat-obat, seperti psikofarmaka, estrogen, domperidon, simetidin
-
Kerusakan pada sistem vena portal di hipofisis
-
Tumor hipofisis yang menghasilkan prolaktin (prolaktinoma), hipertiroid, dan akromegali. Hiperprolaktinemia mengakibatkan reaksi umpan balik terhadap hipotalamus,
sehingga terbentuk dopamin dalam jumlah besar. Dopamin ini akan menghambat pengeluaran GnRH dan dengan sendirinya pula terjadi penurunan sekresi FSH dan LH. Selain itu hiperprolaktinemia menyebabkan sensitivitas ovarium terhadap FSH dan LH berkurang, memicu produksi air susu, memicu sintesis androgen di suprarenal. Hiperprolaktinemia dan hiperandrogenemia dapat menyebabkan osteoporosis. Gejala Hiperprolaktinemia Pada umumnya terjadi gangguan haid, mulai dari oligomenorea sampai amenorrhea. Gangguan haid yang terjadi sangat tergantung dari kadar prolaktin serum. Kadar prolaktin di atas 100 ng/ml selalu menyebabkan amenorrhea. Hiperprolaktinemia mengakibatkan timbulnya gangguan pada pertumbuhan folikel. sehingga ovulasi tidak terjadi. Produksi estrogen berkurang. Kadang-kadang pasien mengeluh sakit kepala yang disertai dengan amenorrhea, serta gangguan penglihatan. Bila hal ini ditemukan, maka harus dipikirkan adanya prolaktinoma. 1,2,9-11 Diagnosis Dijumpai kadar prolaktin yang tinggi di dalam darah (normal 5-25 ng/mL). Untuk pemeriksaan prolaktin, darah sebaiknya diambil antara jam 8-10 pagi. Setiap kadar prolaktin di atas 50 ng/ml harus selalu dipikirkan adanya prolaktinoma, dan untuk mengetahuinya perlu dilakukan pemeriksaan dengan CT scan atau MRI. Dengan cara
23
ini dapat diketahui tumor dengan diameter yang kecil sekalipun (mikroadenoma), sedangkan pemeriksaan dengan Rontgen sela tursika hanya dapat mendeteksi tumor yang sudah terlanjur besar. 1,2,9-11 Kadang-kadang hasil pemeriksaan CT scan atau MRI meragukan ada tidaknya prolaktinoma. Untuk mengetahui apakah hiperprolaktinemia tersebut benar disebabkan oleh prolaktinoma, atau mungkin juga disebabkan oleh faktor yang lain, maka perlu dilakukan uji provokasi, seperti uji dengan Tyroid Stimulating Horinon (TSH), atau uji dengan simetidin, ataupun uji dengan domperidon.1,2,9-11 Pengobatan Obat yang paling banyak digunakan untuk menurunkan kadar prolaktin adalah bromokriptin. Dosis yang diberikan sangat tergantung dari kadar yang ditemukan saat itu. Pada kadar prolaktin 25-40 ng/mL, dosis bromokriptin cukup 1 x 2,5 mg/hari, sedangkan kadar prolaktin serum > 50 ng/mL diperlukan dosis 2 x 2,5 mg/hari. Efek samping yang tersering adalah mual, pusing serta hipotensi. sehingga bromokriptin sebaiknya jangan diberikan dalam keadaan perut kosong. Efektivitas dosis yang telah diberikan, sangat tergantung dari kadar prolaktin dalam serum. Setiap selesai satu bulan pengobatan, kadar prolaktin harus diperikaa. Jangan sampai kadar prolaktin berada di bawah nilai normal < 2 ng/dL). Kadar prolaktin yang rendah dapat mengganggu fungsi korpus luteum dan diameter folikel menjadi kecil. Bromokriptin tidak boleh diberikan pada wanita hamil karena diduga memiliki efek teratogenik.1,2,9-11 Pada pasien dengan prolaktinoma perlu kiranya diputuskan, apakah tumor tersebut diangkat atau diobati dulu dengan pemberian bromokriptin. Bila ditemukan prolaktinoma tanpa menimbulkan keluhan seperti gangguan penglihatan, nyeri kepala hebat,
maka
dapat
diberikan
pengobatan
dengan
bromokriptin.
Pengobatan
prolaktinoma dengan bromokriptin memerlukan pemberian jangka panjang. Telah dicoba pemberian kombinasi analog GnRH dengan bromokriptin pada pasien dengan mikro/makroadenoma, didapatkan pengecilan massa tumor yang bermakna. Pada prolaktinoma yang besar dan telah sampai menimbulkan keluhan (gangguan penglihatan), maka tindakan operasi merupakan satu-satunya pilihan. Yang menjadi masalah adalah menghadapi pasien-pasien dengan prolaktinoma yang belum memiliki anak. Kadar estrogen yang tinggi di dalam kehamilan akan memicu prolaktinoma yang
24
sudah ada dan tumor tersebut akan bertambah besar lagi. Sebaiknya wanita dengan prolaktinoma jangan sampai hamil dulu. karena sebelum merencanakan kehamilan perlu dipertimbangkan untuk pengangkatan prolaktinoma. Pasien-pasien dengan prolaktinoma jangan diberikan kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen. Estrogen hanya memicu pertumbuhan prolaktinoma, tidak berperan terhadap patogenesis terbentuknya prolaktinoma. 1,2,9-11 Tidak semua wanita dengan hiperprolaktinemia ditemukan galaktorea. Pemberian bromokriptin pada pasien dengan galaktorea tanpa hiperprolaktinemia tidak memberikan efek apapun. Jenis Tumor Hipofisis Lain Beberapa tumor hipofisis menyebabkan tekanan/desakan terhadap hipofisis atau menyebabkan gangguan dalam produksi hormon di hipofisis sehingga menyebabkan terjadinya amenorrhea. Tumor-tumor hipofisis tersebut ada yang dapat menghasilkan hormon seperti adenoma eosinofil yang memproduksi honnon somatotropin, atau adenoma basofil yang memproduksi hormon ACTH. Kraniofaringeoma merupakan tumor hipofisis yang tidak memproduksi hormon. Pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah amenorrhea adalah dengan mengangkat tumor tersebut. 1,2,9-11 Amenorrhea Akibat Kelainan pada Tingkat Ovarium Tumor Ovarium Amenorrhea yang terjadi dapat disebabkan oleh tumor ovarium yang tidak memproduksi hormon maupun oleh tumor ovarium yang memproduksi hormon. Tumor ovarium yang tidak menghasilkan hormon akan merusak seluruh jaringan ovarium. Hormon yang diproduksi oleh tumor ovarium adalah androgen dan estrogen. Androgen yang tinggi menekan sekresi gonadotropin, sehingga menyebabkan amenorrhea, hirsutismus, hipertrofi klitoris, perubahan suara, akne dan seborea. Tumor yang memproduksi estrogen jarang menyebabkan amenorrhea. Paling sering terjadi perdarahan yang memanjang akibat terjadinya hiperplasia erdometrium.1,9,12,13
25
Tabel 2. Tumor ovarium yang menghasilkan androgen, atau estrogen Jenis tumor
Jenis Usia Keganasan Bilateral hormon maksimum Arhenoblastoma androgen 20- 40 100% jarang Granulosa sel tumor androgen 30-70 100% 10-15 Lipoid sel tumor androgen 25-35 jarang jarang Tumor sel hilus androgen 40 jarang jarang Tumor sisa sel adrenal androgen 11-40 jarang jarang Disgerminoma androgen 3-40 100% ± 15 Gonadoblastoma androgen 10-30 100% 35-40% Granulosa sel tumor estrogen 25%. -
Amenorrhea karena Gangguan pada Uterus (Amenorrhea Uteriner)1,3 Bila uterus dan endometrium tidak terbentuk maka amenorrhea ini disebut sebagai amenorrhea uteriner primer. Bisa juga uterus dan endometrium terbentuk, namun terjadi kerusakan pada endometrium, seperti perlekatan (sindrom Asherman), atau terjadinya infeksi berat pada endometrium (tuberkulosis), atau bisa juga endometrium normal namun tidak bereaksi sama sekali terhadap hormon steroid seks. Amenorrhea yang terakhir ini disebut sebagai amenorrhea uteriner sekunder. 13
26
1. Sindrom Asherman Amenorrhea sekunder akan terjadi akibat adanya destruksi endometrium. Kondisi ini sering dikarenakan tindakan kuretase yang terlalu dalam sehingga menyebabkan terjadinya pembentukan jaringan sikatrikintrauterin. Gambaran yang khas adalah sinekia yang multipel pada histerogram. Penegakan diagnosis dengan menggunakan histeroskopi jauh lebih akurat, karena dapat mendeteksi adanya lesi minimal yang tidak tampak dengan histerogram. Adhesi yang terjadi dapat menyebabkan sumbatan kavum uteri, ostium uteri internum, kanalis servikalis, ataupun gabungan semuanya baik sebagian atau seluruhnya. Meskipun terjadi stenosis ataupun atresia ostium uteri internum, namun dapat terjadi hematometra (terkumpulnya darah haid di uterus). Lapisan endometrium menjadi refrakter, hal ini mungkin terjadi sebagai respon terhadap peningkatan tekanan. Penanganannya cukup dilakukan dilatasi servik.1,3 Sindrom Asherman juga dapat terjadi akibat tindakan operasi uterus seperti: seksio sesaria, miomektomi ataupun metroplasty. Adhesi yang sangat berat dijumpai setelah kuretase pospartum dan hipogonadisme postpartum misalnya pada sindrom Sheehan. 1,3 Gangguan pada endometrium yang mengakibatkan terjadinya amenorrhea dapat pula disebabkan oleh tuberkulosis. Penegakan diagnosis dilakukan dengan kultur discharge ataupun jaringan yang diambil dengan biopsi endometrium. Schistosomiasis uterus merupakan penyebab jarang lainnya yang menyebabkan terjadinya kegagalan end-organ. Telur parasit inidapat dijumpai di urine, feses, swab rektal, darah menstruasi, ataupun endometrium.1,3 Pasien dengan sindrom ini dapat disertai dengan permasalahan lain meliputi abortus, dismenorea, ataupun hipomenorea. Infertilitas dapat terjadi dengan adanya adhesi minimal, hal ini belum dapat dijelaskan. Pasien dengan riwayat abortus berulang, dan infertilitas sebaiknya menjalani pemeriksaan kavum endometrial dengan menggunakan histeroskopi.1,3 Penanganan sindrom Asherman pada masa lalu cukup dilakukan dilatasi dan kuretase untuk melepaskan perlengketan. Tindakan histeroskopi dengan lisis adhesi secara langsung dilakukan pemotongan, kauterisasi, ataupun laser memberikan hasil yang jauh lebih bagus dibandingkan dilatasi dan kuretase yang dilakukan secara buta. Setelah operasi digunakan cara untuk mencegah terjadinya perlengketan kembali. Pada
27
mulanya menggunakan IUD untuk tujuan ini, namun pemakaian kateter Foley pediatrik merupakan pilihan lebih baik. Bola kateter diisi dengan 3 ml cairan dan kateter diambil setelah 7 hari. Pemberian antibiotika spektrum luas diberikan untuk selama 10 hari. Dilanjutkan dengan pemberian estrogen dosis tinggi (estrogen konjugasi 2,5 mg perhari selama 4 minggu dengan MPA 10 mg pada minggu ke-3). Jika usaha awal gagal mengembalikan menstruasi maka dapat diulang. Menopause Prekoks (Menopause Prematur) Menurut definisi adalah menopause yang terjadi sebelum wanita mencapai usia 40 tahun. Kelainan ini dapat disebabkan baik karena bawaan maupun karena didapat seperti akibat penyamaran ataupun pemberian sitostatika yang dapat menimbulkan kerusakan folikel primordial di kedua ovarium. Kelainan yang didapat bisa disebabkan oleh pengaruh infeksi, radiasi, obat-obatan, tindak pembedahan, gangguan perdarahan ovarium dan reaksi imunologis. 1,3,9,10 Menurunnya
produksi
estrogen
dari
ovarium
menyebabkan
hilangnya
mekanisme umpan balik ke hipotalamus, sehingga terjadi peningkatan sekresi LH dan FSH. Kadar FSH meningkat 10-20 kali lipat, sedangkan LH naik 5-10 kali lipat.1,3,9,10 Hasil biopsi ovarium menunjukkan gambaran yang serupa dengan gambaran yaang dijumpai pada hasil pemeriksaan biopsi terhadap wanita dengan menopause fisiologis, seperti jumlah folikel primordial yang minimal/atau tidak ada sama sekali dan dijumpai banyak jaringan ikat.1,3,9,10 Pemeriksaan histopatologi jaringan ovarium ini penting untuk membedakannya dengan keadaan yang dikenal dengan sindrom ovarium resisten. Pada keadaan ini didapatkan struktur jaringan ovarium yang normal dengan folikel primordial yang masih utuh.1,3,9,10 Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian sediaan estrogen dan progesteron. Sindrom Ovarium Resisten Gonadotropin Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium yang dapat menimbulkan gangguan haid ialah sindrom ovarium resisten gonadotropin, yang dikenal pula dengan istilah sindrom ovarium insensitif atau ovarium hiposensitif gonadotropin.1,3,9,10
28
Penyebab yang pasti dari kelainan ini belum seluruhnya terungkap. Kini yang banyak diperbincangkan adalah adanya gangguan pembentukan reseptor-reseptor gonadotropin di ovarium akibat proses autoimun. Angka kejadian sindrom ovarium resisten di RSCM selama 5 tahun ternyata tidak seberapa besar, yaitu 0,05% di antara kasus ginekologik, 20% di antara kasus endokrinologi reproduksi, dan 0,22% di antara kasus infertilitas.9 Dugaan ke arah diagnosis dari sindrom ovarium resisten gonadotropin ditegakkan baik secara klinis maupun secara laboratoris dan histopatologis. Secara klinis kelainan ini ditandai dengan sindrom yang terdiri dari gangguan haid berupa oligomenorea
sampai
amenorrhea,
sedangkan
secara
laboratoris
dijumpai
hipergonadotropin dan hipoestrogen. Secara histologis pada kelainan ini masih dijumpai struktur jaringan ovarium yang normal dengan folikel primordial yang masih utuh. Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, maka pengobatannya lebih bersifat simptomatis. Banyak peneliti menganjurkan pemberian substitusi siklik estrogen dan progesteron. Pemberian gonadotropin juga telah banyak dicoba, tetapi hasilnya masih belum memuaskan. Kasus dengan kadar gonadotropin yang tinggi (FSH> 40 mUI/mL) sebaiknya tidak diberikan pemicu ovulasi. Pada penelitian telah dilaporkan, pemberian pemicu ovulasi dan deksametason didapatkan 2 pasien menjadi hamil. Di sini tampak bahwa kehamilan yang terjadi sangat mungkin disebabkan oleh kemampuan deksametason menekan proses autoimun terhadap gonadotropin.9 Gangguan pada Ovarium dengan Penyebab Ektragonad1,3 -
Gangguan pada kelenjar tiroid Gannguan fungsi ovarium lebih sering dijumpai pada keadaan hipertiroid dari pada hipotiroid. Pada 5-15% wanita dengan hipotiroid dijumpai gangguan haid berupa oligomenorea/amenorrhea. Pada sindrom prahaid, galaktorea dan hiperprolaktin harus selalu dipikirka adanya hipotiroid.
-
Diabetes melitus Dalam keadaan normal insulin memicu produksi gonadotropin dan sintesis hormon seks steroid di ovarium. Pada wanita dengan kadar insulin rendah terjadi gangguan pada fungsi ovarium. Pengaturan gula darah telah dapat menyembuhkan kembali
29
fungsi ovarium. Tidak ada manfaatnya pemberian obat-obat pemicu ovulasi pada keadaan gula darah belum normal. Fungsi Ovarium dan Trauma Psikogenik1,3 Pengaruh lingkungan dapat mengubah pola haid seorang wanita. Perubahan kecil saja pada ukuran tempat dan kegiatan dapat menimbulkan anovulasi sampai amenorrhea. Akibat adanya trauma psikogen yang berat, pengeluaran LH-RHnya akan terganggu. Hal ini misalnya ditemukan pada wanita-wanita yang memiliki sifat fobia seperti terhadap ujian dan terhadap perlakuan seksual atau pada para tawanan di kemahkemah konsentrasi. Fungsi Ovarium dan Kekurusan (Underweight) Wanita yang melakukan diet terlalu ketat sering dijumpai amenorrhea. Gangguan nutrisi merupakan faktor yang sangat berperan terhadap terjadinya kelainan ini. Perubahan hormonal pada penderita ini disebabkan oleh adanya perubahan metabolik yang menyertai penyusutan berat badan yang sangat mencolok. Pola hormonalnya memperlihatkan rendahnya kadar FSH dan estrogen, serta berubahnya nisbah FSH terhadap LH. Kadangkala dapat dijumpai kadar PRL yang tinggi dan keadaan inilah yang merupakan penyebab timbulnya amenorrhea. Pengobatan yang terbaik adalah memperbaiki gangguan metabolik bersama dengan ahli jiwa (pendekatan psikoterapi). Pemberian pemicu ovulasi seperti LH-RH dan klomifen sitrat dapat pula mengatasi amenorrhea jenis ini. 1,3 Fungsi Ovarium dan Kegemukan (overweight) Wanita dengan berat badan yang berlebihan, 4-5 kali lebih sering terjadi gangguan fungsi ovarium. Wanita yang gemuk menunjukkan aktivitas kelenjar suprarenal yang berlebihan, peningkatan produksi testosteron, androstendion serta peningkatan rasio estron/estradiol 2,5. Selain itu ditemukan pula penurunan kadar SHBG serum.1,3 Androgen merupakan hormon yang diperlukan oleh tubuh (suprarenal, ovarium) untuk menghasilkan estrogen. Enzim yang diperlukan untuk mengubah androgen menjadi estrogen adalah aromatase. Jaringan yang memiliki kemampuan untuk
30
mengaromatisasi androgen menjadi estrogen adalah sel-sel granulosa dan jaringan lemak. Makin banyak jaringan lemak, makin banyak pula estrogen yang terbentuk.1,3 Androgen adalah prekursor untuk pembentukan estrogen. Di sini jelaslah, bahwa kekurangan/kelebihan jaringan lemak akan mempermudah terjadinya gangguan metabolisme hormon seks. Wanita yang terlalu gemuk tidak hanya kelebihan androgen tetapi juga kelebihan estrogen terutama estron. Keadaan hormonal wanita gemuk: 1,3 1. Produksi androgen suprarenal meningkat 2. Peningkatan pengeluaran 17-ketosteroid dan 17-hidroksisteroid 3. Kortisol plasma tidak meningkat Wanita yang terlalu gemuk: 1,3 1. Kadar plasma androstendion meningkat 2. Rasio estron/estradiol 2,5 (n = 1,0) 3. Kadar SHBG rendah Androgen menyebabkan atresia folikel. yaitu dengan mengurangi jumlah reseptor E2, FSH dan LH. Proses atresia ini dapat dihindarkan dengan pemberian estradiol. Selain itu gangguan fungsi ovarium dapat disebabkan oleh kadar estrogen yang terus menurun tinggi.1,3 Pengobatan Pada Adipositas Pemberian pemicu ovulasi tidak banyak berguna selama berat badan belum normal. Pengobatan yang terbaik adalah menurunkan berat badan. Amenorrhea akibat kelainan perangkat hipotalamus-hipofisis.
31
Gambar 6. Mekanisme gangguan fungsi ovarium pada wanita gemuk (adipositas) Dikutip dari DeCherney6
Mencari penyebab amenorrhea dapat dilakukan secara sederhana, yaitu dengan melakukan beberapa tes atau uji. Berikut adalah algoritma dari penanganan amenorrhea sekunder:
Gambar 7. Skema Penanganan Amenorrhea Sekunder Dikutip dari Speroff1, DeCherney6 dan Samsulhadi10
32
Amenorrhea Pasca Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Pada prinsipnya perlu dibedakan antara amenorrhea yang terjadi pasca penggunaan pil kontrasepsi (pil KB), dan amenorrhea pasca penggunaan kontrasepsi suntikan/susuk (depo medroksiprogesteron asetat, noristerat, norplant).1,3,5 Amenorrhea pasca suntik maupun susuk terjadi bukan karena adanya hambatan gestagen (progesteron/progestin) terhadap sistem umpan balik di hipotalamus melainkan terjadi karena masih dijumpai kadar gestagen di dalam serum. Kadar gestagen yang masih tetap tinggi tersebut berasal dari depo lemak yang relatif sulit diresorbsi. Meskipun suntikan telah dihentikan, namun depo gestagen tersebut masih terus saja mengeluarkan gestagen. Selama susuk masih berada pada tempatnya, maka susuk tersebut terus saja mengeluarkan gestagen ke dalam darah. Bila suatu saat nanti persediaan gestagen di dalam depo habis semuanya, maka kadarnya dalam serum akan segera menghilang dan siklus haid pun menjadi normal kembali. Diperlukan waktu 6 bulan sampai satu tahun agar gestagen hilang dari deponya. Tindakan pengobatan baru dilakukan bila setelah 6 bulan pascasuntik tidak timbul haid. Selama gestagen di dalam depo masih tersedia, tidak ada manfaatnya memberikan pengobatan. Berbeda dengan susuk, dimana begitu susuk tersebut diangkat, wanita akan segera mendapatkan haid kembali.1,3,5 Amenorrhea pasca penggunaan pil kontrasepsi terjadi akibat adanya efek penekanan estrogen dan gestagen terhadap hipotalamus-hipofisis. Sebenarnya angka kejadian amenorrhea pasca penggunaan pil kontrasepsi sangat kecil, yaitu sekitar 0,8% saja, sedangkan kejadian amenorrhea pada wanita yang tidak menggunakan pil hanya sebesar 0,7% saja, sehingga muncul pertanyaan apakah amenorrhea jenis ini benarbenar ada, atau sebelum penggunaan pil kontrasepsi wanita tersebut memang telah mengalami gangguan haid, dimana pemberian pil kontrasepsi hanya merupakan faktor pencetus terjadi amenorrhea. Amenorrhea pasca penggunaan pil kontrasepsi yang terjadi tersebut tidak berhubungan dengan lamanya penggunaan, melainkan berhubungan erat dengan dosis dan jenis pil kontrasepsi yang digunakan. 1,3,5 Setiap amenorrhea yang terjadi pasca penggunaan kontrasepsi hormonal harus dicari penyebabnya dan ditangani seperti penanganan kasus-kasus amenorrhea sekunder lainnya. Setiap amenorrhea yang terjadi pascapenggunaan pil kontrasepsi terutama pil kontrasepsi kombinasi perlu dicurigai adanya prolaktinoma. Pada hampir 25% wanita
33
dengan amenorrhea pasca penggunaan pil kontrasepsi kombinasi ditemukan galaktorea yang disebabkan oleh hiperprolaktinemia. Pada hampir 1/3 wanita tersebut ditemukan prolaktinoma. Bila ditemukan prolaktinoma, maka penggunaan pil kontrasepsi kombinasi harus dihentikan dan wanita tersebut tidak boleh diberikan kontrasepsi hormonal yang mengandung komponen estrogen. Estrogen memicu pertumbuhan prolaktinoma, sehingga prolaktinoma tersebut akan terus membesar.1,3,5
34
E + P test
DAFTAR PUSTAKA 1. Speroff L, Glass, RH., Kase, NG. Amenorrhea. In: Clinical gynecologic endocrinology and infertility. 7th edn. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2004: 421-85. 2. Emans JS. Amenorrhea in the adolescent. In: Pediatric and adolescent gynecology Emans SJH LM, Goldstein DP, ed, 5 edn. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005: 214-69 3. Speroff L, Gordon JD. Handbook for clinical gynecologic endocrinology and infertility. 7th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins 2005; p. 211-39 4. Mishell Daniel R. Jr, Atlas of clinical gynecology. Appleton& Lange Singapore 1999, 181-93 5. Batrinos M.L. P-FC. Clinical syndromes of primary amenorrhea. An NYAcad Sci 1992: 235-40. 6. DeCherney, Polan, Lee, Boyers. Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Infertilitas. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997: 18-24 7. Johnson MH, Everitt, BJ. Sex. In: Essential reproduction, 5 edn. Oxford: Blackwell Science, 2000: 1-16 8. Cowan B. Reproductive peptide hormones. In: Clinical reproductive medicine Cowan B, Seifer, DB., ed. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1997: 21-8. 9. Badziad A. Endokrinologi ginekologi. Jakarta: Media Aesulapius, 2003: 35-57 10. Samsulhadi. Summary practical management of amenorrhea. Seksi
Fertilitas
Endokrinologi Reproduksi, Bag / SMF Obstetri & Ginekologi RSU Dr. Soetomo / FK Unair Surabaya. Disampaikan pada PIT POGI XVI Lombok, Juli 2007. 11. Skull J. Amenorrhea. Curr. Obstet. Gynecol. 2001; 11: 225-32. 12. Master-Hunter T, Heiman DL. Amenorrhea: Evaluation and Treatment. Cited on July 20th, 2007. Available from www.aafp.org/afp. 13. Petak S, Cobin RH. Reproductive Disorders. In : Camacho PM, Gharib H, Sizemore GW, editors. Evidence-Based Endocrinology. 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007: 126-52
35