BAB I PENDAHULUAN ALL merupakan penyakit keganasan sumsum tulang yang ditandai dengan perubahan sel hemapoietik normal menjadi neoplastic. Perubahan yang terjadi ini menyebabkan defisiensi pada produk normal sumsum tulang seperti eritrosit, leukosit (basophil, eosinophil, neutrophil, dan monosit), dan trombosit. Keganasan dapat berasal dari limfosit B maupun limfosit T. ALL terjadi akibat ssumsum tulang memproduksi terlalu banyak limfosit yang immature. ALL biasanya terjadi pada anak-anak dan onset terjadinya penyakit sangat cepat. 85% dari kasus ALL terjadi pada anak-anak berusia 2-15 tahun dan tersering 25 tahun. Insidensi terendah pada usia diatas 40 tahun. ALL lebih sering ditemukan pada pria kaukasia daripada ras lainnya. Negara maju juga memiliki insidensi lebih tinggi dibandingkan degan negara berkembang. Di Inggris, terdapat sekitar 650 kasus ALL setiap tahunnya. ALL ini bersifat herediter. Penyebab pasti dari ALL masih belum diketahui, tetapi ada beberapa hal yang diduga menjadi factor risiko terjadinya ALL. Biasanya, diagnosis akan ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang mendukung seperti pemeriksaan darah.
17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi Setiap tahun di Amerika Serikat ada sekitar 14.382 kasus kanker baru yang didiagnosis pada penduduk di bawah usia 20 tahun. Sekitar 2.970 (21%) dari kasuskasus ini merupakan ALL. Tingkat kejadian tahunan AS untuk ALL dibawah usia 20 tahun adalah 35,0 per satu juta penduduk, dengan laki-laki memiliki insiden yang lebih tinggi daripada perempuan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian ALL antara ras negroid dan kaukasian, dimana anak-anak ras kaukasian memiliki insiden hampir 2 kali lipat lebih besar dibandingkan negroid. Puncak insidens ALL paling tinggi terjadi pada usia 2-5 tahun. Secara internasional, terdapat variasi antara kejadian ALL pada masa kanak-kanak dan remaja, dengan rata-rata kejadian pertahun berkisar 9-47 per 1 juta untuk laki-laki dan 7-43 per 1 juta untuk wanita. Menurut penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo di Surabaya, leukemia akut menduduki peringkat pertama pasien keganasan pada anak dalam kurun waktu 10 tahun, yaitu 524 kasus atau 59% dari seluruh keganasan pada anak. Dari jumlah tersebut 430 anak (82%) didiagnosis sebagai leukemia limfoblastik akut, 52 (10%) kasus sebagai leukemia non-limfoblastik akut dan sisanya 42 kasus (8%) sebagai leukemia mieoloblastik kronis. Insiden dari ALL di Indonesia mencapai 85 kasus per tahunnya. 2.2. Etiologi Penyebab pasti dari ALL belum diketahui hingga saat ini, namun ada beberapa hal yang diduga dapat menjadi factor risiko terjadinya ALL, diantaranya: 2.2.1. Host Host merupakan factor risiko yang dipengaruhi individu sendiri a. Umur ALL sering menyerang anak berusia 2-5 tahun, risiko akan berkurang pada usia antara 3-9 tahun. Risiko akan sedikit meningkat pada usia 15-40 tahun dan risiko sangat rendah pada usia diatas 40 tahun. b. Jenis Kelamin Pria lebih banyak menderita ALL dibandingkan dengan wanita. c. Ras Ras kaukasian memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita ALL dibandingkan dengan ras negroid dan Mongolian. d. Genetik Saudara kembar identic memiliki kemungkinan 20% menderita ALL dibandingkan tunggal. Sementara angka kejadian pada saudara kandung
18
meningkat 4x lipat. Kelainan kromosom seperti Anemia Falcon, sindrom Down, dan sindrom Bloom juga dapat meningkatkan insidensi. Sebagian besar kasus leukemia yang terjadi tidak diturunkan secara genetic, melainkan akibat perubahan genetic secara somatic. 2.2.2. Agent a. Virus Pada manusia, virus yang diduga berkaitan dengan ALL adalah EBV (Epstein Barr Virus) b. Radiasi Radiasi merupakan factor leukemogenic yang sudah pasti meningkatkan insidensi leukemia. c. Bahan Kimia dan Obat-Obatan Bahan kimia seperti benzene dan toluene dapat meningkatkan insidensi leukemia akut dan menyebabkan pansitopenia. Penggunaan obat-obatan seperti alkylating baik tunggal maupun kombinasi dan terapi dapat meningkatkan insidensi terjadinya leukemia. 2.2.3. Lingkungan Lingkungan merupakan factor yang berhubungan langsung dengan angka kejadian ALL. Orang dengan lingkungan pekerjaan yang terpapar benzene dosis tinggi lebih besar kemungkinannya terkena ALL dibandingkan dengan mereka yang tidak terpapar. 2.3. Patogenesis dan Patofisiologis Pada pasien ALL, terjadi proliferasi patologis sel-sel limfoid muda di sumsum tulang. Ia akan mendesak sistem hemopoietik normal lainnya, seperti eritropoietik, trombopoietik dan granulopoietik, sehingga sumsum tulang didominasi sel blast dan sel-sel leukemia hingga menyebar (berinfiltrasi) sampai ke darah tepi dan organ tubuh lainnya. Kelainan sitogenetik yang sering ditemukan, teruatama pada pasien dewasa adalah: t(9;22)/ translokasi kromosom 9 dan 22/ fusi gen BCR-ABL/ kromosom philadelphia (CML); atau t(4;11)/ translokasi kromosom 4 dan 11/ ALL1-AF4. Jika terjadi translokasi semacam ini maka ia akan mengaktifkan jalur proliferasi dan pertumbuhan sel secara abnormal sehingga terjadi leukemia. Kelainan yang lain bisa pada karyotipe hipdiploid dan t(10;14), atau karena hilangnya atau inaktivnya gen supresor tumor seperti p16 dan p15, Rb dan p53. 2.4. Klasifikasi ALL, sel B atau sel T, dibagi oleh WHO (2008) berdasarkan defek genetik yang mendasarinya. Pada kelompok B-ALL terdapat beberapa subtipe genetik spesifik
19
misalnya subtipe dengan translokasi t(9; 22) atau t(12;21), tata ulang gen (gene rearrangement) atau perubahan jumlah kromosom (diploidi). Subtipe merupakan petunjuk penting untuk protokol pengobatan optimal dan prognosis. Pada T-ALL, kariotipe abnormal ditemukan pada 50%-70% kasus. Pembagian klasifikasi oleh WHO ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan pembagian klasifikasi oleh FAB. Klasifikasi oleh FAB dibagi menjadi 2, yaitu berdasarkan morfologinya dan berdasarkan imunofenotipenya: a. Morfologi Morfologi L1 L2 L3 Ukuran sel Kecil Besar & heterogen Besar & heterogen Kromatin inti Hampir homogen Heterogen Heterogen dengan bintik halus Bentuk inti Regular Irreguler, dengan Reguler, bulat atau celah atau lekukan lonjong Nukleolus Tidak terlihat Biasanya terlihat Jelas Jumlah sitoplasma Sedikit Bervariasi Banyak Sitoplasma basofilik Ringan-sedang Bervariasi Banyak Vakuolisasi sitoplasma Bervariasi Bervariasi Jelas Persentase kasus 25-30% 70% 1-2% Anak-anak =85% b. Imunofenotipe Sel B Jenis ALL TdT CD19/27/79A CD10 Cig Sig Pro-B + + Common Precursor B + + + Pre-B + + + + Burkitt’s + + + Sel T Jenis ALL TdT CD3 CD2/5/7 CD4/8 CD1a Pro/immature thymocyte + + +/Common thymocyte + + + + + Mature thymocyte +/+ + +/- or -/+ 2.5. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis berkaitan dan terjadi karena hal ini: a. Kegagalan Sumsum Tulang - Anemia (pucat, letargi)
20
- Neutropenia (demam, malaise, infeksi mulut, tenggorokan, kulit) - Trombositopenia (memar spontan, purpura, gusi berdarah) b. Infiltrasi Organ Gejala infiltrasi organ antara lain nyeri tulang, limfadenopati, splenomegali moderat, hepatomegali, dan sindrom meningen (nyeri kepala, mual dan muntah, pengelihatan kabur, dan diplopia). Pemeriksaaan fundus mungkin menunjukkan papil edema dan kadang perdarahan. Banyak pasien mengalami demam yang biasanya mereda setelah pemberian kemoterapi. Manifestasi yang lebih jarang adalah pembengkakan testis atau tanda-tanda penekanan mediastinum pada ALL-T. Jika yang menonjol adalah kelenjar limfe dan massa ekstranodus dengan blast <20% di sumsum tulang, penyakitnya disebut limfoma limfoblastik, tetapi diterapi juga seperti ALL. 2.6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan hasil seperti diatas. Kemudian, untuk menghasilkan diagnosis yang lebih pasti dan akurat, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut: 2.6.1. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium untuk konfirmasi diagnosis berupa: 1. Hitung Darah Lengkap dan Hapusan Darah Tepi Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm³) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm³. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blast pada hitung leukosit bervariasi dari 0-100%. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000mm³. 2. Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi, sehingga semua pasien ALL harus menjalani prosedur ini. Apusan sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada ditemukan pada ALL dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitology. 3. Sitokimia Gambaran morfologi sel blast pada apusan darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan ALL dari AML. Pada ALL, pewarnaan Sudan black B dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang
21
negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blast AML. Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor-B dan ALL-B dari ALL-T. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblast dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry. 4. Immunophenotyping Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi ALL. Reagen yang digunakan untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah antibodi terhadap: - Untuk sel prekursor B: CD10 (common ALL antigen), CD19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT. - Untuk sel T: CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8 dan TdT. - Untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22. Pada sekitar 15%-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini sangat jarang, dan perjalanan penyakitnya sangat buruk. 5. Pemeriksaan lain Pungsi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) tidak secara umum dilakukan karena dapat mendorong penyebaran sel tumor ke SSP. Tes biokimia mungkin memperlihatkan peningkatan serum asam urat, serum laktat dehydrogenase, atau yang lebih jarang, hiperkalsemia. Tes fungsi hati dan ginjal dilakukan untuk mengetahui data dasar sebelum pengobatan dimulai. Radiografi mungkin memperlihatkan lesi-lesi litik di tulang dan massa di mediastinum yang khas untuk ALL-T. 2.7. Tata Laksana Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua,yaitu terapi spesifik dalam bentuk kemoterapi,dan terapi suportif untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang,baik karena proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi. a. Terapi Spesifik (Kemoterapi) Menurut Protokol Indonesia, terapi ALL dibagi menjadi 2 klasifikasi berdasarkan faktor risikonya, yaitu risiko tinggi (High Risk/HR) dan risiko normal (Standard Risk/SR). Pada pasien dengan risiko tinggi, terdapat 4 fase terapi, yaitu fase induksi, konsolidasi, reinduksi, dan rumatan (maintenance).
22
Sedangkan pada pasien dengan risiko standar, terdapat 3 fase terapi, yaitu fase induksi, konsolidasi, dan rumatan (maintenance). - Fase Induksi Tujuan terapi remisi-induksi adalah untuk membasmi lebih dari 99 persen dari beban awal sel-sel leukemia dan untuk mengembalikan hematopoiesis normal dan status kinerja normal. Fase pengobatan ini hampir selalu meliputi administrasi glukokortikoid (prednisone, prednisolon, atau deksametason), vincristine, dan setidaknya satu agen lainnya (biasanya asparaginase, anthracycline, atau keduanya). Anak- anak dengan risiko tinggi atau LLA dengan risiko sangat tinggi dan hampir semua dewasa muda dengan LLA menerima empat atau lebih obat selama terapi remisiinduksi. Perbaikan dalam kemoterapi dan perawatan suportif telah meningkatkan tingkat remisi lengkap sekitar 98 persen untuk anak-anak dan sekitar 85 persen untuk orang dewasa. Telah terbukti jika upaya pengobatan dilakukan lebih cepat dan terjadi pengurangan lengkap beban sel-leukemia dapat mencegah resistensi obat dan meningkatkan tingkat kesembuhan. Terapi induksi yang terlalu agresif mungkin, pada kenyataannya, menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Selain itu, siklofosfamid, sitarabin dosis tinggi, atau dosis tinggi anthracycline menunjukkan hasil yang tidak terlalu menguntungkan pada orang dewasa, sebagian karena terapi tersebut buruk toleransinya oleh pasien yang lebih tua. Hal ini mungkin disebabkan karena penetrasi yang lebih banyak ke dalam sistem saraf pusat dan waktu paruh yang lebih panjang, penggunaan deksametason di induksi dan terapi post remisi tampaknya memberikan kontrol yang lebih baik dalam sistem saraf pusat dan sistemik dibandingkan prednisone atau prednisolon. Namun, satu studi kecil menyatakan bahwa dosis prednisolon yang ditingkatkan dalam konteks perawatan intensif lainnya dapat menghasilkan hasil yang serupa dengan yang dicapai dengan deksametason. Namun, perlu diingat bahwa remisi tidak sama dengan kesembuhan. Dalam remisi, pasien mungkin masih mengandung sejumlah besar sel tumor dan tanpa kemoterapi lebih lanjut maka hampir semua pasien akan kambuh. Bagaimanapun, tercapainya remisi merupakan langkah pertama yang penting dalam pengobatan keseluruhan. Pasien yang gagal mencapai remisi perlu menjalani protokol lain yang lebih intensif. - Fase Konsolidasi Terapi ini menggunakan dosis tinggi beragam obat kemoterapi untuk mengeliminasi penyakit atau mengurangi beban tumor ke tingkat yang sangat rendah. Dosis kemoterapi mendekati batas toleransi pasien dan
23
selama intensifikasi pasien mungkin memerlukan bantuan yang cukup banyak. Pada protokol tipikal berisi vinkristin, siklofosfamid, sitosin arabinosid, etoposid, atau merkaptopurin yang diberikan sebagai blok dalam berbagai kombinasi. Biasanya diberikan tiga blok intensifikasi untuk anak, dengan jumlah yang lebih banyak kadang digunakan untuk dewasa - Fase Reinduksi Fase reinduksi, pada dasarnya merupakan pengulangan terapi induksi awal yang diberikan selama beberapa bulan pertama remisi –merupakan salah satu komponen dari suksesnya protokol ALL. Penting untuk dicatat bahwa vincristine tambahan dan prednisone setelah satu pengobatan reinduksi tidak menguntungkan, diperkirakan bahwa perbaikan yang terjadi adalah karena peningkatan intensitas dosis agen lain, seperti asparaginase. Karena sering terjadinya osteonekrosis setelah pengobatan reinduksi, terapi glukokortikoid sedang diselidiki sebagai strategi untuk mengurangi komplikasi. - Fase Rumatan Obat yang pada umumnya dipakai adalah 6 mercaptopurin (6 MP) per oral dan metrotreksat tiap minggu. Diberikan selama 2-3 tahun dengan diselingi terapi konsolidasi atau intensifikasi. b. Terapi Suportif Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi spesifik karena akan menentukan angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, jika tidak maka penderita dapat meninggal karena efek samping obat. Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penyakit leukemia dan efek samping obat. Terapi suportif yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: - Terapi untuk mengatasi anemia dengan transfusi PRC (Packed Red Cells) untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10 g/dL. Untuk calon transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari. - Terapi untuk infeksi dengan pemberian antibiotic yang adekuat atau dilakukan isolasi pada pasien. - Terapi untuk perdarahan dilakukan dengan transfusi konsentrat trombosit untuk mempertahankan jumlah trombosit normal. 2.8. Prognosis Pasien dimasukkan kategori risiko tinggi (HR) bila jumlah leukosit darah tepi >50.000/ml, ditemukan sel blast pada susunan saraf pusat, jumlah total blast setelah 1 minggu diterapi lebih dari 1.000/mm, ada masa di mediastinum, dan usia pasien <1
24
tahun atau >10 tahun. Pasien yang berusia antara 1 dan 9 dengan awal WBC (White Blood Count) <50.000 / mm³ (Risiko Standar), yang mencakup dua pertiga dari pasien pre-B ALL, memiliki angka ketahanan hidup 4 tahun sebanyak 80%. Para pasien yang tersisa (risiko tinggi) memiliki angka ketahanan hidup 4 tahun sebanyak 65%. Faktor yang mempengaruhi prognosis: a. Usia Pasien di bawah usia 1 tahun dan lebih dari 10 tahun memiliki prognosis yang lebih buruk dari anak-anak dengan usia > 1 tahun dan <10 tahun. Bayi di bawah usia 1 tahun memiliki prognosis terburuk. b. WBC Pasien dengan WBC tinggi memiliki prognosis yang lebih buruk, terutama pasien anak-anak. c. Indeks DNA Indeks DNA > 1,16 hyperdiploid ALL dengan jumlah kromosom lebih dari 50 dikaitkan dengan hasil yang baik karena peningkatan apoptosis dan meningkatnya kepekaan terhadap agen kemoterapi. d. SSP Kehadiran penyakit SSP pada saat diagnosis merupakan faktor prognostik yang merugikan meskipun dilakukan intensifikasi terapi dengan iradasi SSP dan tambahan terapi intratekal. Adanya blast pada cytospin tanpa peningkatan WBC (status CNS2) juga dikaitkan dengan hasil yang buruk. e. Respon awal terapi induksi Pasien yang tidak mengalami remisi pada akhir terapi induksi memiliki prognosis yang sangat buruk. Hasil sumsum tulang pada hari ke 7 dan hari ke 14 terapi induksi juga telah digunakan untuk memperkirakan respon terhadap terapi.
25
BAB III KESIMPULAN ALL merupakan penyakit keganasan sumsum tulang yang ditandai dengan perubahan sel hemapoietik normal menjadi neoplastic. ALL dapat berasal dari limfosit B maupun limfosit T. Banyak mutase yang dikaitkan dengan pathogenesis ALL, seperti kromosom Philadelphia dan kelainan jumlah kromosom. Gejala yang biasanya ditimbulkan berupa gejala pada sumsum tulang dan pembesaran organ. Kunci diagnosis ALL adalah pemeriksan penunjang atau pemeriksaan laboratorium. Tata laksana ALL adalah kemoterapi dengan gold standard berupa transplantasi sumsum tulang.
26