Aliran udara pada paru tidak hanya bergantung pada gradien tekanan, namun juga resistensi jalur pernapasan yang ditimbulkan, sesuai dengan rumus F = P/R. (F adalah laju aliran udara, delta P adalah perbedaan antara tekanan atmosfer dan udara alveolus, dan R adalah resistensi saluran pernapasan yang ditentukan oleh jari-jari). Penentu utama resistensi terhadap aliran udara adalah jari-jari saluran pernapasan. Pada sistem pernapasan yang sehat, jari-jari saluran pernapasan cukup besar, sehingga resistensinya rendah. Dengan demikian, normalnya, gradien tekanan merupakan faktor utama yang menentukan kecepatan aliran udara. Gradien tekanan yang sangat kecil (1-2 mmHg) saja dapat menghasilkan laju aliran udara masuk-keluar paru. Simulasi parasimpatis akan menyebabkan kebutuhan aliran udara tidak tinggi, sehingga menyebabkan kontraksi otot polos bronkiolus. Sebaliknya, simpatis akan menyebabkan bronkodilatasi. Sehingga terjadi penurunan resistensi otot polos Resistensi ini menjadi penting jika muncul berbagai penyakit. PPOM merupakan penyakit yang memiliki resistensi saluran napas bawah yang tinggi, sehingga pasiennya membutuhkan usaha ekstra untuk bernapas. Sementara, pada asma, obstruksi yang terjadi pada jalan napas dapat disebabkan oleh kontraksi berlebihan saluran pernapasan halus (spasme otot polos pada saluran juga dapat diinduksi alergi), atau penyumbatan saluran napas oleh mukus dan peradangan akibat histamin. Tonus Bronkus Secara umum, otot polos pada dinding bronkus berfungsi membantu pernapasan. Bronkus mengalami dilatasi selama inspirasi dan konstriksi selama ekspirasi. Dilatasi disebabkan oleh pelepasan impuls simpatis, dan konstriksi oleh pelepasan impuls parasimpatis. Rangsangan pada reseptor sensorik di saluran napas oleh iritan dan zat kimia seperti sulfur dioksida menimbulkan refleks bronkokonstriksi yang dihantarkan melalui jaras kolinergik. Bronkokonstriksi juga dapat ditimbulkan oleh udara dingin dan juga aktivitas jasmani, mungkin karena peningkatan respirasi saat berolahraga akan mendinginkan saluran napas. Selain itu, otot bronkus juga melindungi bronkius sewaktu batuk. Tonus bronkus memiliki irama sirkadian, yaitu konstriksi maksimal terjadi sekitar pukul 6.00 pagi dan dilatasi maksimal terjadi sekitar pukul 6.00 sore.
Sifat Elastik Paru Sifat elastik paru disebabkan oleh adanya serat-serat jaringan ikat elastik dan tegangan permukaan alveolus. Elastisitas ini melibatkan dua konsep yang saling berkaitan: recoil elastik dan compliance. Recoil elastik mengacu pada seberapa mudah paru kembali ke bentuknya setelah diregangkan. Sifat ini menentukan kembalinya paru ke volume prainspirasinya sewaktu otot-otot inspirasi melemas di akhir respirasi.
Sirkulasi Paru Pembuluh Darah Paru Jalinan pembuluh darah paru menyerupai pembuluh sistemik, tetapi tebal dinding pembuluh arteri pulmonalis dan cabangnya hanya sekitar 30% tebal dinding aorta. Selain itu, pembuluh darah kecil, berbeda dengan sistemik, merupakan tabung endotel yang relatif sedikit mengandung otot polos di dalam dindingnya. Dinding pembuluh pascakapiler juga memiliki sejumlah otot polos. Pembuluh kapiler paru berukuran besar serta memiliki banyak anastomosis, sehingga setiap alveolus diliputi oleh jala-jala kapiler. Tekanan, Volume, Aliran Sirkulasi pulmonal memiliki aliran darah yang hampir sama banyaknya dengan jumlah darah di seluruh organ tubuh lainnya. Salah satu pengecualian adalah aliran darah bronkus. Di paru, terdapat anastomosis antara kapiler bronkus dan kapiler serta vena pulmonal, dan walaupun sejumlah darah bronkus mengalir ke vena bronkus, sebagian darah akan mengalir ke dalam kapiler dan vena pulmonal tanpa melalui ventrikel kanan. Aliran sirkulasi menyimpang yang lain terdapat pada arteri koronaria yang mengalirkan darah ke dalam bilik jantung kiri. Adanya pirau fisiologis kecil yang dibentuk oleh dua pengecualian tersebut menyebabkan nilai PO2 darah arteri sistemik 2 mmHg lebih rendah dibandingkan PO2 darah yang telah mencapai keseimbangan dengan udara alveolus, dan saturasi hemoglobin juga berkurang sekitar 0,5%. Gradien tekanan di sistem pembuluh pulmonal hanya sekitar 7 mmHg jika dibandingkan dengan selisih tekanan di sirkulasi sistemik yang besarnya sekitar 90 mmHg. Sementara, volume darah pada sirkulasi pulmonal adalah sekitar 1L (sebagai perbandingan, jumlah darah di sirkulasi kapiler adalah 100 mL). Kecepatan rata-rata aliran darah pada pangkal arteri pulmonalis sama dengan
kecepatan aliran darah di aorta, yaitu sekitar 40 cm/detik. Kecepatan aliran ini menurun tajam dan akan meningkat kembali saat memasuki vena pulmonalis yang besar. Satu sel darah merah memerlukan waktu sekitar 0,75 detik untuk melintasi kapiler paru pada keadaan istirahat, dan sekitar 0,3 detik atau kurang selama beraktivitas fisik. Tekanan Kapiler Tekanan di kapiler paru adalah sekitar 10 mmHg, sedangkan tekanan onkotiknya adalah 25 mmHg sehingga terdapat selisih tekanan ke arah dalam sebanyak 15 mmHg. Tekanan ini berfungsi untuk menjaga agar alveolus tetap hanya mengandung selapis tipis cairan. Bila tekanan di kapiler paru melampaui 25 mmHg, misalnya pada backward failure dari ventrikel kiri, timbul kongesti dan edema paru. Penderita stenosis katup mitral juga akan mengalami peningkatan tekanan progresif kronik di kapiler paru disertai perubahan fibrotik yang luas di pembuluh paru. Pengaruh Gravitasi Gravitasi memberikan dampak yang cukup jelas pada sirkulasi pulmonal. Pada posisi tegak, apeks paru berada jauh di atas jantung, dan bagian basis berada setinggi atau sedikit di bawah jantung. Akibatnya, di bagian atas paru, aliran darah berkurang, alveolus lebih besar, dan ventilasi lebih sedikit daripada di bagian basal. Tekanan di kapiler pada bagian puncak paru mendekati tekanan atmosfer di alveolus. Pada keadaan normal, tekanan di arteri pulmonalis cukup besar untuk mempertahankan pefusi, namun jika tekanan ini menurun atau tekanan di alveolus meningkat, sejumlah kapiler akan kolaps. Pada keadaan ini, tidak terjadi pertukaran gas pada alveolus yang kolaps dan alveolus tersebut menjadi bagian dari ruang rugi fisiologis. Di bagian tengah paru, tekanan di arteri dan kapiler paru lebih besar dibanding tekanan tekanan alveolus, namun tekanan di venula dapat lebih rendah dibandingkan tekanan alveolus selama ekspirasi normal. Akibatnya, venula menjadi kolaps. Pada keadaan ini, aliran darah lebih ditentukan oleh perbedaan tekanan antara arteri pulmonalis-alveolus dan bukan oleh selisih tekanan arterivena pulmonalis. Vena-vena paru bersifat compliant, sehingga dapat menampung banyak darah meskipun luas permukaannya sempit. Peristiwa ini disebut efek air terjun. Akibat lebih lanjut dari efek ini adalah aliran darah melanjut ke dasar paru. Di bagian bawah paru, tekanan alveolus lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di
seluruh sirkulasi pulmonal dan aliran darah ditentukan oleh perbedaan tekanan arteri vena. Peran Surfaktan Paru Suatu bahan senyawa kimia yang memiliki sifat permukaan aktif. Merupakan campuran beberapa fosfolipid, protein dan ion. Dihasilkan oleh sel epitel alveolar tipe II. Fungsi surfaktan ini melawan tegangan permukaan sehingga alveoli tidak mengempis/kollaps. Senyawa ini terdiri dari fosfolipid (hampir 90% bagian), berupa Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) yang juga disebut lesitin, dan protein surfaktan sebagai SPA, SPB, SPC dan SPD (10% bagian). DPPC murni tidak dapat bekerja dengan baik sebagai surfaktan pada suhu normal badan 37°C, diperlukan fosfolipid lain (mis. fosfatidil-gliserol) dan juga memerlukan protein surfaktan untuk mencapai air liquid-interface dan untuk penyebarannya keseluruh permukaan. Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi 22-24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-26 minggu,yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu. Produksi surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang terdapat pada sel alveolus type II. Produksi surfaktan dapat dipercepat lebih dini dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh stres, atau oleh pengobatan deksamethason yang diberikan pada ibu yang diduga akan melahirkan bayi dengan defisiensi surfaktan. Karena paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin/sfingomielin dari cairan amnion. Sfingomielin adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan tubuh lainnya kecuali paru-paru. Jumlah lesitin meningkat dengan bertambahnya gestasi, sedangkan sfingomielin jumlahnya menetap. Rasio L/S biasanya 1:1 pada gestasi 31-32 minggu, dan menjadi 2:1 pada gestasi 35 minggu. Rasio L/S 2:1 atau lebih dianggap fungsi paru telah matang sempurna, rasio 1,5-1,9 sejumlah 50% akan menjadi RDS, dan rasio kurang dari 1,5 sejumlah 73% akan menjadi RDS. Bila radius alveolus mengecil, surfaktan yang memiliki sifat permukaan alveolus, dengan demikian mencegah kolapsnya alveolus pada waktu ekspirasi. Kurangnya surfaktan adalah penyebab terjadinya atelektasis secara progresif dan menyebabkan meningkatnya distres pernafasan pada 24-48 jam pasca lahir. Surfaktan merupakan suatu komplek material yang menutupi permukaan alveoli paru, yang mengandung lapisan fosfolipid heterogen dan menghasilkan selaput fosfolipid cair, yang dapat menurunkan tegangan permukaan antara air-udara dengan harga mendekati nol, memastikan bahwa ruang alveoli tetap terbuka selama siklus respirasi dan mempertahankan volume residual paru pada saat akhir
ekspirasi. Rendahnya tegangan permukaan juga memastikan bahwa jaringan aliran cairan adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial. Kebocoran surfaktan menyebabkan akumulasi cairan ke dalam ruang alveoli. Surfaktan juga berperan dalam meningkatkan klirens mukosiliar dan mengeluarkan bahan particulate dari paru.
Terdapat 2 jenis surfaktan , yaitu : 1. Surfaktan natural atau asli, yang berasal dari manusia, didapatkan dari cairan amnion sewaktu seksio sesar dari ibu dengan kehamilan cukup bulan 2. Surfaktan eksogen barasal dari sintetik dan biologic: a. Surfaktan eksogen sintetik terdiri dari campuran Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol, dan tyloxapol yaitu Exosurf dan Pulmactant ( ALEC) dibuat dari DPPC 70% dan Phosphatidylglycerol 30%, kedua surfaktan tersebut tidak lama di pasarkan di amerika dan eropa.2,5 Ada 2 jenis surfaktan sintetis yang sedang dikembangkan yaitu KL4 (sinapultide) dan rSPC ( Venticute), belum pernah ada penelitian tentang keduanya untuk digunakan pada bayi prematur b. Surfaktan eksogen semi sintetik, berasal dari campuran surfaktan paru anak sapi dengan dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), tripalmitin, dan palmitic misalnya Surfactant TA, Survanta. c. Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil dari paru anak sapi atau babi, misalnya Infasurf, Alveofact, BLES, sedangkan yang diambil dari paru babi adalah Curosurf Saat ini ada 2 jenis surfaktan di indonesia yaitu : Exosurf neonatal yang dibuat secara sintetik dari DPPC , hexadecanol, dan tyloxapol. Surfanta dibuat dari paru anak sapi, dan mengandung protein, kelebihan surfanta biologi dibanding sintetik terletak di protein.