Aktor-aktor-kebijakan-publik.docx

  • Uploaded by: Noerfadilla Ilyas
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Aktor-aktor-kebijakan-publik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,489
  • Pages: 16
AKTOR-AKTOR KEBIJAKAN LINGKUNGAN

Disusun untuk memenuhi tugas individu matakuliah Kebijakan Lingkungan oleh dosen pengampu: Dr.Imam Hanafi S.SosM.SiM.Si

Disusun Oleh : Nama: Agus Indra Irawan NIM: 115030101111053 Kelas: E

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014

A. Elemen Kebijakan Publik Kebijakan dapat pula dipandang sebagai sistem. Bila kebijakan dipandang sebagai sebuah sistem, maka kebijakan memiliki elemen-elemen pembentuknya. Menurut Thomas R. Dye dalam Dunn (2000: 110) terdapat tiga elemen kebijakan yang membentuk sistem kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan tersebut sebagai kebijakan publik/public policy, pelaku kebijakan/policy stakeholders, dan lingkungan kebijakan/policy environment. Gambar 1 Tiga Elemen Sistem Kebijakan Pelaku

Lingkungan

Kebijakan

Sumber: Thomas R. Dye dalam Dunn (2000:110) Pejabat pembuat kebijakan: (Leo Agustino) Orang yang mempunyai wewenang yang sah untuk ikut serta dalam formulasi hingga penetapan kebijakan publik. Ketiga elemen ini saling memiliki andil, dan saling mempengaruhi. Sebagai contoh, pelaku kebijakan dapat mempunyai andil dalam kebijakan, namun mereka juga dapat pula dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Lingkungan kebijakan juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri. Dunn (2000: 111) menyatakan, “Oleh karena itu, sistem kebijakan berisi proses yang dialektis, yang berarti bahwa dimensi obyektif dan subyektif dari pembuat kebijakan tidak tepisahkan di dalam prakteknya”. B. Aktor- Aktor dalam Kebijakan: Secara normatif à legislatif, eksekutif, administrator, para hakim. Terpenting dalam kontek ini dibedakan antara : a. Pembuat kebijakan primer : Aktor-aktor /stakeholder yang mempunyai wewenang konstitusional langsung untuk bertindak. Missal : wewenang bertindak di parlemen yang tidak harus tergantung pada unit pemerintah lainnya. b. Pembuat kebijakan suplementer/sekunder/pendukung: Instansi administrasi, harus dapat wewenang untuk bertindak dari lembaga lain (pembuat kebijakan primer) à maka tergantung / dapat dikendalikan. 1. Legislatif Mengatakan bahwa mereka berhubungan dengan tugas politik sentral dalam pembuatan peraturan dan pembentukankebijakan dalam suatu sistem politik. Kesimpulan secara global adalah legislatif lebih berperan dalam pembentukan kebijakan di negara-negara dmeokratis daripada di negara-negara otoriter. 2. Eksekutif Dikatakan bahwa saat ini kita hidup dalam seluruh era yang disebut “Exsecutive – center era” dimana efektifitas pemerintah selaku lembaga eksekutif, baik dalam pembentukan kebijakan maupun dalam lembaga pelaksana kebijakan. Contoh: A.S. à Presiden membentuk serta melaksanakan kebijakan

kongres à harus mampu mengembangkan jati dirinya sebagai badan legislative akibatnya sering menghatuskan Presiden selaku pemimpin pemerintah untuk mengajukan dan menyajikan usul perundang-undangan bagi kemajuan Republik ke depan. Kebijakan luar negeri sebagian besar merupakan wewenang eksekutif. Contoh: kebijakan tentang masalah Korea 1950 – 1953, Irak (2003), Kosovo (1991), Afganistan (2001). Pada negara-negara berkembang struktur pembuatan kebijakan secara singkat, lebih mudah dipahami karena secara sederhana struktur pembuat kebijakan hanya terletak pada pundak eksekutif selaku pembuatnya sendiri. Di negara berkembang (Indonesia) pada masa ORBA kelompok kepentingantidak mempunyai pengaruh dalam pembuatannya karena kebebasannya yang dibatasi oleh lembaga politik. 3. Instansi pemerintah Sistem administrasi di seluruh dunia dibedakan berdasarkan karakteristiknya, seperti ukuran dan keragaman, hirarkistas, organisasi, hingga tingkat otonominya. Doktrin umum dalam ilmu politik bahwa instansi administrasi hanya dipengaruhi oleh kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah, namun saat ini diakui bahwa politik dan administrasi dapat berbaur dan instansi administrasi sering terlibat dalam pengembangan kebijakan public lebih-lebih pada masyarakat pasca industry, dimana pliralitas menjadi hal yang lemah, teknis dan kompleksitas masalah kebijakan bertambah luas hingga menyebagiankan penyerahan kekuasaan yang luas secara formal pada instansi administrasi terkait. Norman Thomas ; Bahwa beberapa masyarakat industry modern diragukan kemampuannya dalam mengatur operasi hariannya dalam urusan public bila tidak ada organisasi birokrasi dimana pejabat memainkan peran utama dalam tugas pembuatan kebijakan. Instansi administrasi merupakan sumber utama usulan perundangundangan dibuat dalam suatu system politik, lebih jauh tidak hanya mampu mengusulkan perundang-undangan yang dibutuhkan/diinginkan tapi lebih dari itu secara aktif mereka mendekati dan berusaha untuk mendesakkan penggunaannya. Maka benar bila sebuah doktrin mengatakan bahwa : kebijakan tergantung pada kemurahan hati administraturnya. 4. Lembaga Peradilan Tidak ada pengadilan yang memainkan perannya yang besar dalam pembentukan kebijakan selain di A.S. dan Eropa Barat. Lembaga ini yang notabene berwenang dalam proses banding seringkali dipengaruhi oleh sifat dan isi kebijakan public melalui penggunaan kekuasaan. Pengadilan untuk meninjau dan menginterpretasikan UU dalam kasus yang dibawa sebelumnya. Tidak jarang diminta untuk mengartikan dan menentukan arti dari suatu peraturan/perundang-undangan yang seringkali di interpertasikan secara berbeda oleh lembaga yang tengah bersengketa. Di negara berkembang tidak mempunyai pengaruh dalam pembuatankebijakan sering menjadi lembaga penjamin status quo rezim yang tengah berkuasa saat itu.

 Partisipasi non pemerintah dalam pembuat kebijakan. 1. Kelompok Kepentingan Muncul untuk memainkan tugas yang penting dalam pembuat kebijakan. Contoh: organisasi buruh, bisnis dan kepemudaan. Pengaruh kelompok kepentingan dalam kepuusan politik amat tergantung pada sjeumlah faktor: besar kecilnya anggota, keuangan dan sumber-sumber lain, kekompakkan, kemampuan pemimpin dan status sosial. Menurut Zeiglen dan Van Dalen: menitik beratkan pada 3 variabel, yaitu: 1.Kuatnya kompetisi kepartaian, 2.Kolusi legislatif (kekuatan partai) dan 3.Variabel sosial ekonomi (Pendapatan pengahasilan, populasi manusia, pekerjaan industri) Analisisnya timbul dua pola yaitu: 1) Kelompok tersebut berkolaborasi dengan parpol yang lemah dan 2) Keompok tersebut (kepentingan dan penekan moderat) lemah berkerjasama dengan parpol yang kuat dan kompetitif. 2. Partai Politik Berperan sentarl manakala kompetisi pada pemilu dalam rangka untuk mengawasi sekaligus mengisi orang-orang di pemerintah di berlangsungkan. 3. Warga Negara asebagai individu Dalam hal ini sering diabaikan daripada kelompok kepentingan. Hal ini kurang baik karena menyisakan perbedaan-perbedaan dalam mekanismenya. Meskipun tugas pembuatannya diberikan pada pejabat public namun dalam beberapa kejadian sejatinya masih mempuyai peluang untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuat keputusan. Jika disederhakan aktor-aktor yang berperan dalam pengambilan kebijakan yaitu: 1. Inside Government Actors (IGA); presiden, lembaga ekskeutif (staf khusus pemerintah), para menteri dan aparatur birorkasi. 2. Outside Government Actors ( OGA): lembaga legislatif, yudikatif, militer parpol, kelompok kepentingan dan kelompok penekan, media massa. C. Pengambilan Keputusan yang dilakukan oleh Aktor Kebijakan C.1 Aktor-aktor yang Berperan dalam Proses Kebijakan Dalam proses kebijakan , menurut Charles O. Jones sedikitnya ada 4 (empat) golongan atau tipe aktor (pelaku) yang terlibat, yakni: golongan rasionalitas, golongan teknisi, golongan inkrementalis, dan golongan reformis. Peran yang dimainkan oleh keempat golongan aktor tersebut dalam proses kebijakan, nilai-nilai, dan tujuan yang mereka kejar serta gaya kerja mereka berbeda satu sama lain. Uraian berikut akan menguraikan bagaimana perilaku masing-masing golongan aktor tersebut dalam proses kebijakan. 1. Golongan Rasionalis Ciri-ciri utama dari kebanyakan golongan aktor rasionalis ialah bahwa dalam melakukan pilihan alternatif kebijakan mereka selalu menempuh metode dan langkah-langkah berikut: 1. Mengidentifikasikan masalah 2. Merumuskan tujuan dan menyusunnya dalam jenjang tertentu 3. Mengidentifikasikan semua alternatif kebijakan 4. Meramalkan atau memprediksi akibat-akibat dari tiap alternatif 5. Membandingkan akibat-akibat tersebut dengan selalu mengacu pada tujuan

6. Memilih alternatif terbaik. Berdasarkan pada ciri-ciri tersebut, maka perilaku golongan aktor rasionalis ini identik dengan peran yang dimainkan oleh para perencana dan analisis kebijakan yang profesional yang amat terlatih dalam mernggunakan metode-metode rasional apabila menghadapi masalah-masalah publik. Oleh golongan rasionalis ini metode-metode seperti itu kerapkali merupakan nilai-nilai yang amat dipuja-puja, sehingga tidak heran apabila metode-metode itulah yang selalu mereka anjurkan untuk dipergunakan. Dengan metode rasional ini diasumsikan bahwa segala tujuan dapat ditetapkan sebelumnya dan bahwa informasi/data yang serba lengkap dapat disediakan. Oleh sebab itu gaya kerja golongan rasionalis cenderung seperti gaya kerja seorang perencana yang komprehensif, yakni seorang yang berusaha untuk menganalisis semua aspek dari setiap isu yang muncul dan menguji setiap alternatif yang mungkin berikut semua akibat dan dukungannya terhadap tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. 2. Golongan Teknisi Seorang teknisi pada dasarnya tidak lebih dari rasionalis, sebab ia adalah seorang yang karena bidang keahliannya atau spesialisasinya dilibatkan dalam beberapa tahapan proses kebijakan. Golongan teknisi dalam melaksanakan tugasnya boleh jadi memiliki kebebasan, namun kebebasan ini sebatas pada lingkup pekerjaan dan keahliannya. Biasanya mereka bekerja di proyek-proyek yang membutuhkan keahliannya, namun apa yang harus mereka kerjakan biasanya ditetapkan oleh pihak lain. Peran yang mereka mainkan dalam hubungan ini ialah sebagai seorang spesialis atau ahli yang dibutuhakan tenaganya umtuk menangani tugas-tugas tertentu. Nilai-nilai yang mereka yakini adalah nilai-nilai yang berkaitan erat dengan latar belakang keahlian profesional mereka, misalnya sebagai insinyur elektro, ahli informatika dan ilmu komputer, ahli fisika, ahli statistika dan lain sebagainya. Tujuan yang ingin dicapai biasanya ditetapkan oleh pihak lain,mungkin oleh salah satu di antara golongan aktor yang telah kita sebutkan di atas, atau boleh jadi gabungan dari golongan-golongan aktor tersebut. Gaya kerja dari golongan teknisi ini agak berlainan jika dibandingkan dengan golongan rasionalis (yang cenderung bersifat komprehensif). Golongan teknisi umumnya menunjukkan rasa antusiasme dan rasa percaya diri yang tinggi apabila mereka diminta untuk bekerja dalam batasbatas pendidikan dan keahliannya, namun cenderung enggan untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan yang amat luas melampaui batas-batas keahliannya tersebut. 3. Golongan Inkrementalis Golongan aktor inkrementalis ini dapat kita identikkan dengan para politisi. Para politisi, sebagaimana kita ketahui, cenderung memiliki sikap kritis namun acapkali tidak sabaran terhadap gaya kerja para perencana dan teknisi, walaupun mereka sebenarnya amat tergantung pada apa yang dikerjakan oleh para perencana dan para teknisi. Golongan inkrementalis pada umumnya meragukan bahwa sifat yang komprehensif dan serba rasional itu merupakan sesuatu yang mungkin dalam dunia yang amat penuh dengan ketidaksempurnaan ini. Golongan inkrementalis memandang tahap-tahap perkembangan kebijaksanaaan dan implementasinya sebagai suatu rangkaian proses penyesuaian yang terus menerus terhadap hasil akhir (yang berjangka dekat maupun yang berjangka panjang) dari suatu tindakan. Bagi golongan inkrementalis, informasi dan pengetahuan yang kita miliki tidak akan pernah mencukupi untuk menghasilkan suatu program kebijakan yang lengkap. Oleh

sebab itu pada umumnya mereka sudah cukup puas dengan melakukan perubahan-perubahan kecil. Nilai-nilai yang terkait dengan metode pendekatan ini ialah hal-hal yang berhubungan dengan masa lampau atau hal-hal yang berhubungan dengan terpeliharanya status quo, kestabilan dari sistem dan terpeliharanya status quo. Kebijakan apapun bagi golongan inkrementalis akan cenderung dilihat sebagai suatu perubahan yang terjadi secara sedikit demi sedikit (gradual changes). Dalam hubungan ini tujuan kebijakan dianggap sebagai konsekuensi dari adanya tuntutan-tuntutan, baik didorong kebutuhan untuk melakukan sesuatu yang baru atau karena kebutuhan untuk menyesuaikan dengan apa yang sudah dikembangkan dalam teori. Gaya kerja golongan onkrementalis ini dapat dikategorikan sebagai seseorang yang mampu melakukan tawar-menawar atau bargaining yakni dengan secara teratur mendengarkan tuntutan, mengujui sebaerapa jauh intensitas tuntutan tersebut dan menawarkan kompromi. 4. Golongan Reformis Seperti halnya golongan inkrementalis, golongan aktor reformis pada dasarnya juga mengakui akan gterbatasnya informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam proses kebijakan, sekalipun berbeda dalam cara menarik kesimpulan. Golongan inkrementalis berpendirian bahwa keterbatasan informasi dan pengetahuan itulah yang mendikte gerak dan langkah dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam kaitan ini Braybrooke dan Lindblom mengatakan, bahawa hanyalah kebijakan-kebijakan yang sebelumnya telah dikenal, dan yang akibat-akibatnya menimbulkan perubahan kecil pada pa yang sudah ada yang akan dipertimbangkan. Pendekatan seperti ini bagi golongan reformis (yang notabene menghendaki perubahan sosial), dianggap terlampau konservatif. Golongan reformis ini sepandapat dengan pandangan DavidEaston yang menyebutkan bahwa kita harus menerima sebagai kebenaran akan perlunya mengarahkan diri kita langsung pada persoalan-persoalan yang berlangsung hari ini untuk memperoleh jawaban singkat dan cepat dengan memanfaatkan perangkat analisis serta teori-teori mutakhir yang tersedia, betapapun tidak memadainya perangkat analisis dan teori-teori tersebut. Dengan demikian, tekanan perhatiannya adalah pada tindakan sekarang, karena urgensi dari persoalan yang dihadapi. Pendekatan semacam itu umumnya ditempuh oleh para lobbyist (orangorang yang berperan selaku juru kasak-kusuk/perunding di parlemen). Nilai-nilai yang mereka junjung tinggi ialah yang berkaitan dengan upaya untuk melakukan perubahan sosial, kadang kala demi perubahan sosial itu sendiri, namun lebih sering bersangkut paut dengan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Tujuan kebijakan biasanya ditetapkan dalam lingkungan kelompok-kelompok tersebut, melalui berbagai macam proses, termasuk di antaranya atas dasar keyakinan pribadi bahwa hasil akhir dari tindakan pemerintah sekarang telah melenceng arahnya atau bahkan gagal. Karena itu gaya kerja golongan aktor reformis ini umumnya sangat radikal, kerapkali disertai dengan tindakan-tindakan demonstrasi dan konfrontasi dengan pihak pemerintah. Melihat perbedaan-perbedaan perilaku keempat golongan aktor yang terlibat dalam proses kebijakan tersebut, tidak heran jika masing-masing golongan aktor itu saling mengecam. Golongan rasionalis sering dikecam/dikritik tidak memahami kodrat manusia. Braybrooke dan Lindblom, sebagai penganjur teori inkrementalis, malahan menyatakan bahwa golongan aktor rasionalis itu terlalu idealistis sehingga tidak cocok dengan keterbatasan kemampuan manusia dalam mengatasi masalah. Sementara itu golongan aktor teknisi kerapkali dituduh memiliki pandangan yang picik karena hanya peduli terhadap masalah-

masalah sempit sebatas pada bidang keahliannya semata dan kurang peduli terhadap masalah-masalah publik yang luas, yang kemungkinan melampaui bidang keahlian yang dikuasainya. Golongan aktor inkrementalis di lain pihak, seringkali dianggap memiliki sikap konservatif sebab mereka tidak terlalu tanggap terhadap perubahan sosial atau bentuk inovasi yang lain. Akhirnya golongan aktor reformis seringkali dituduh mau menangnay sendiri, tidak sabaran, tidak kenal kompromi, dan karena itu tidak realistis. Skema sederhana berikut menunjukkan ciri-ciri perilaku dari masing-masing golongan aktor tersebut di atas beserta kritik-kritik yang dilontarkan orang terhadapnya. SKEMA: AKTOR-AKTOR YANG TERLIBAT DALAM PROSES KEBIJAKAN DAN PERILAKUNYA KARAKTERISTIK Golongan Peran Nilai-nilai Tujuan Gaya Kerja Kritik Aktor Rasionalis Analisis Metode Dapat Komprehensif Tidak kebijakan/ ditetapkan memahami Perencana sebelumnya keterbatasan manusia Teknisi Ahli/Spesialis Pendidikan/ Ditetapkan Eksplisit Terlampau Keahlian pihak lain picik Inkrementalis Politisi Status quo Karena Juru tawar Konservatif tuntutan baru Reformis Pelobi Perubahan Karena Aktivis Tidak sosial masalah realistis/ tidak mendesak kenal kompromi Tabel 2.1 Sedangkan dalam Imron. A (2008) dijelaskan bahwa aktor perumusan kebijakan ialah: 1. Legislatif Legislatif sering dimaksudkan sebagai pembentuk undang-undang dan perumus kebijakan dalam suatu sistem politik. Pembuatan kebijakan tingkat tinggi ini menjadi kewenangan legialatif , tetapi dalam praktek kenegaraan tidak selalu mereka buat sendiri. Banyak legislatif yang ketika membuat kebijakan bekerja sama dengan eksekutif, ada juga legislatif yang mendelegasikan perumusan kebijakan kepada eksekutif kemudian tinggal mengesahkan saja. 2. Eksekutif Eksekutif adalah pelaksana undang-undang, eksekutif juga berperan dalam merumuskan kebijakan. Selain itu eksekutif juga mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh legislatif, dan kekuasaan untuk tidak melaksanakannya dengan alasan-alasan tertentu. 3. Administrator Administrator dikenal sebagai pembantu eksekutif, membidangi masingmasing bidang yang didepartementalisasikan. Dengan sendirinya, ia mempunyai kewenagan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan departemennya. 4. Partai politik

Partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar dapat melaksanakan programprogramnya dan menempatkan anggotanya dalam jajaran pemerintah. 5. Interest Group Interest group adalah suatu kelompok yang beranggotakan orang-orang mempunyai kepentingan yang sama. Kelompok ini berusaha mempengaruhi perumusan kebijakan formal. Kelompok ini berusaha agar kepentingankepentingan kelompoknya dapat terakomodasi dalam kebijakan yang dirumuskan oleh para perumus formal. 6. Organisasi Massa Adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai cita-cita dan keinginan yang sama. Sifat organisasi ini adalah non politis. Organisasi ini dapat berdiri sendiri atau independent dan dapat juga berafiliasi dengan organisasi politik tertentu. 7. Perguruan Tinggi Perguruan tinggi adalah suatu lembaga di mana para elit akademik berada. Dalam perumusan kebijakan pendidikan, umumnya tidak pernah dikesampingkan. Ia memegang peranan penting, meskipun tidak berada dalam jajaran, peserta perumusan kebijakan formal. Sebab, aspirasi yang berasal dari masyarakat lewat berbagai macam saluran, umumnya dimintakan pendapatnya pada perguruan tinggi. 8. Tokoh Perorangan Tokoh perorangan dapat berasal dari bidang agama, politik, ekonomi, pendidikan, budaya, seni dan teknologi. Karena kapasitas pribadinya tokoh perorangan dapat saja memberikan gagasan bagi penyusunan kebijakan. D. AKTOR KEBIJAKAN DAN HUBUNGAN ANTAR AKTOR Dari tujuan yang tercantum dalam dokumen kebijakan, selain tersirat tipe atau jenis kebijakannya, juga tersurat aktor-aktor (badan/ instansi) yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikannya. Tipe kebijakan dan aktoraktor ini sama-sama mempengaruhi implementasi dalam cara yang berbeda. Jika tipe kebijakan berpengaruh terhadap tingkat kesulitan yang dapat terjadi dalam proses implementasi, maka aktor-aktor pelaksana dan hubungan antar aktor berpengaruh langsung terhadap keberhasilan implementasi. Umumnya penjelasan mengenai aktor dan pola hubungan mereka menggunakan teori-teori yang dipinjam dari disiplin ilmu organisasi, psikologi dan ilmu politik. Istilah ”Disposisi” atau ”kepatuhan” misalnya digunakan untuk menggambarkan sikap mental aktor pelaksana terhadap kebijakan yang harus ia implementasikan. ”Interest” atau ”kepentingan”, yang digunakan untuk menggambarkan bahwa adanya hubungan emosi dalam wujud kepentingan (apapun itu), akan mempengaruhi cara implementor melaksanakan tugasnya, dan lain-lain. Hubungan antar aktor ini bisa bersifat horizontal (layers), vertikal (levels), maupun antar lembaga (locus-loci). Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak aktor (layers, levels, loci) yang terlibat dalam implementasi sebuah kebijakan, maka akan semakin sulit pula kebijakan tersebut diimplementasikan dan mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini mudah dipahami karena semakin banyak aktor yang terlibat, maka akan semakin banyak pula biaya koordinasi yang dbutuhkan, semakin banyak pula kepentingan yang bersaing untuk didahulukan, belum lagi masalah kewenangan dan tanggungjawab antar aktor yang mesti diperjelas terlebih dahulu. Dinamika hubungan antar aktor/instansi/organisasi/lembaga dalam implementasi kebijakan dibahas oleh semua teori implementasi meski dengan intensitas dan sebutan berbeda, mengingat sangat jarang kebijakan yang hanya

diimplementasikan oleh organisasi tunggal. Bardach memasukkannya sebagai bagian yang harus diperhatikan dalam ”scenario writing’ proses implementasi; Van Meter dan Van Horn membahasnya dalam ”Penguatan dan Komunikasi inter organisasi”; Edwards III membahasnya dalam ”Struktur Birokrasi”, Sabatier dan Mazmanian membahasnya dalam variabel ”Kemampuan Kebijakan menstrukturkan implementasi”; Grindle membahasnya dalam ”kedudukan Pengambil Keputusan” dan dalam ”kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat”, dlsb (teori mereka akan dibahas pada bab berikutnya). Mereka memberikan perhatian terhadap pentingnya pengaruh hubungan antar aktor/organisasi dari perspektif pembuat kebijakan (top-down), yang memandang bahwa hubungan antar aktor berpotensi menimbulkan kerumitan, bukan sebagai faktor yang dapat mendukung keberhasilan implementasi. Berikut ini dibahas aktor-aktor yang umumnya terlibat dalam keseluruhan proses kebijakan. Istilah aktor merupakan isitlah yang biasa digunakan dalam buku-buku teks kebijakan publik (John W. Kingdon menggunakan isitlah “participants”untuk badan-badan atau orang-orang yang terlibat dalam proses kebijakan). Sebagimana disebutkan sebelumnya, kegagalan paradigma textbook pada analisis proses kebijakan publik karena dianggap terlalu ‘top down’ sehingga melupakan peran aktor-aktor lainnya. Tapi siapakah aktor-aktor lainnya, selain pembuat kebijakan, yang dianggap mampu mempengaruhi proses implementasinya? Secara umum aktor-aktor atau yang terlibat dalam proses kebijakan publik dibagi dalam dua katagori besar yakni: 1. Aktor inside government dan 2. Aktor outside government D.1 Aktor Inside Government Aktor inside government dalam konteks negara kita (yang bisa jadi berbeda dengan negara-negara lain) meliputi : 1. Eksekutif (Presiden: staf penasihat Presiden: para Menteri, para Kepala Daerah) yang umumnya merupakan jabatan politis 2. Anggota-anggota dari badan perwakilan rakyat (Legislatif/ DPR & MPR) 3. Badan dan orang-orang Yudikatif secara parsial 4. Birokrasi dari Sekwilda, kepala Kanwil sampai level terbawah (misalnya: petugas Trantip sebagai street level bureaucrat) yang mengamankan Perda Ketertiban di daerah-daerah) D.2. Aktor Outside Government: 1. Kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang bisa berwujud LSM (NGO): Kelompok/ ikatan professional, kelompok bisnis, perserikatan buruh, bahkan organisasi atau lembaga keagamaan (NU: Muhammadiyah: FPI, dll) 2. Akademisi, Peneliti dan Konsultan, pihak swasta (perush yg memberikan layanan sesuai permintaan pemerintah) 3. Politisi 4. Media massa 5. Opini public 6. Kelompok Sasaran Kebijakan (beneficiaries) 7. Lembaga-lembaga Donor (diantaranya adalah Bank Dunia; IMF; yang di Indonesia cukup berpengaruh dalam menentukan kebijakan dan implementasinya).

D.3 Lokus Peran Aktor dalam Proses Kebijakan Pada tahap mana atau pada fungsi apa dan bagaimana mereka berperan? Merujuk pada siklus kebijakan, maka peran-peran mereka kurang lebih dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1. Tahap Identifikasi masalah menjadi Agenda kebijakan: Untuk kebijakan-kebijakan pembangunan yang rutin dan sudah terprogramkan melalui GBHN atau repelita, maka peran inside government, khususnya birokrat dalam tahap atau fungsi identifikasi masalah biasanya lebih besar. Hal ini disebabkan sebagai pejabat karier mereka jauh lebih menguasai teknis-teknis permasalahan dibanding pejabat-pejabat politis. Meski pada saat penyusunan GBHN tentu saja peran aktor legislative lebih menonjol, juga aktor outside government terutama kelompok kepentingan dan kalangan akademisi. Tingkat konflik dalam memperebutkan jakan menjadi agenda kebijakan biasanya rendah. Untuk kebijakan – kebijakan situasional yang harus diambil untuk mersepon kondisi-kondisi sosial yang terjadi atau isu-isu sosial yang hangat maka peran outside government sangat besar. Contoh isu-isu sosial yang berhasil menjadi agenda (bahkan kebijakan publik) misalnya beberapa paket kebijakan di bidang perekonomian saat negara kita mengalami krisis ekonomi tahun 1997, Undang-undang anti teroris, kebijakan otonomi daerah, Undangundang anti kekerasan dalam rumah tangga, bahkan kebijakan khusus pembangunan kembali Aceh Darussalam paska badai Tsunami, sampai rencana undang-undang pornografi dan pornoaksi. Aktor-aktor dari berbagai kelompok kepentingan yang terkait pada permasalahan kebijakan politisi non legislatif, media massa, opini publik, akademisi, dll saling bersaing untuk memasukkan kepentingannya menjadi agenda pemerintah. Pada proses agenda setting kebijakan yang dihasilkan seringkali jauh dari sempurna baik karena tekanan waktu maupun karena informasi yang tidak lengkap. Akibatnya pada proses implementasinya resiko kegagalan bisa lebih besar dibanding pengimplementasian kebijakan-kebijakan rutin dan terprogram. 2. Tahap Formulasi Kebijakan Pada tahap inisiasi formulasi kebijakan actor-aktor yang banyak berperan adalah eksekutif dan birokrat. Permasalahan yang berhasil menjadi agenda kebijakan pemerintah, biasanya diolah dulu oleh eksekutif (Presiden beserta staf penasehat dan menteri-menteri) serta jajaran birokrat level atas menjadi rancangan UU, Perpu, Program dan sebagainya. Untuk kebijakan yang menjadi wewenang daerah otonom yang berperan tentu saja Kepala Daerah beserta Stafnya). Pada tahap legislasi kebijakan maka yang paling berperan adalah aktoraktor dari badan legislatif, karena rancangan atau proposal program (berikut rencana anggarannya) harus mendapatkan persetujuan aktor-aktor legislatif sebelum dapat dijalankan. Revisi, reinterpretasi atas proposal yang diajukan pemerintah sangat mungkin terjadi pada tahap ini. Partai-partai politik (melalui wakil-wakilnya) saling berebut pengaruh. Kompromi, koalisi, negosiasi dan advokasi juga terjadi dalam proses ini. Advokasi pada proses hearing (dengar pendapat) juga melibatkan peran aktor dari badan eksekutif dan birokrat, serta aktor Outside Government yang terkait dengan permasalahan. Tingkat konflkik yang terajdi dalam tahap ini cenderung lebih tinggi dibandingkan pada tahap-tahap lainnya. Contoh kebijakan

yang alot dalam proses legislasi ini (yang bahkan sampai tulisan ini dibuat belum juga lolos) adalah Undang-undang anti Pornoaksi dan Pornografi. 3. Tahap Implementasi Program/ Kebijakan Pada tahap ini aktor yang paling berperan tentu saja para birokrat dari semua level. Namun demikian juga terdapat peran aktor-aktor inside government lainnya (misalnya dari kepolisian dan badan Yudikatif) serta aktor-aktor outside government (misalnya LSM, peneliti dan bahkan para konsultan) pada implementasi-implementasi kebijakan yang sesuai. 1. Pada kebijakan yang bersifat top-down, program – program yang harus diimplementasikan biasanya bersifat multi dan lintas sektoral, sehingga makin banyak pula aktor yang terlibat. Semakin banyak lapisan secara vertical maupun secara horizontal dalam struktur birokrasi yang terlibat maka akan semakin rentan pula timbul konflik kepentingan, sementara revisi program tidak mudah dilakukan. 2. Pada kebijakan tingkat daerah (otonom), tujuan kebijakan bisa jadi gagal tercapai bukan hanya disebabkan kegagalan pada tahap implementasi, tapi juga karena kebijakan itu sendiri yang jauh dari sempurna dan seringkali hanya bersifat reaktif pada permasalahan yang timbul di daerah. Contoh menarik yang bisa dikaji kasus ini misalnya Perda anti Prostitusi di Kabupaten Tangerang yang baru – baru ini diberlakukan. Pada saat mulai diimplementasikan, petugas Trantip (sebagai street level actors) tanpa pandang bulu menangkap perempuan-perempuan yang masih berada di jalanan setelah pukul 22.00 WIB. Akibatnya terjadi banyak salah tangkap. Perempuan baik-baik yang baru pulang kerja sebagai buruh pabrik shift sore, bahkan ibu rumah tangga, dirtangkap dan digiring ke kantor Polisi bersama-sama dengan wanita Tuna Susila. Kebijakan ini menuai kritik dan protes keras khususnya dari kaum perempuan yang merasa haknya dilanggar. Kendati Kepala Daerah yang menelurkan kebijakan ini bertekad memperbaiki prosedur pengimplementasiannya, kemungkinan besar tetap tidak akan menuai hasil (output) yang diharapkan, yakni terbebasnya Kabupaten Tangerang dari prostitusi. Apalagi bisa mencapai dampak (outcomes) yang disecara tersirat diinginkan, yakni makin membaiknya moral masyarakat. Akan semakin buruk jika ternyata kebijakan ini adalah kebijakan artificial yang dibuat hanya untuk emenangkan simpati golongan tertentu sebab yang di ‘garuk’ hanya yang tampak di pinggir jalan yang notabene dari ekonomi lemah, sedang prostitusi yang tersembunyi di hotel-hotel tidak tersentuh maka dampak yang tak diharapkan justru akan lebih besar dari dampak yang diharapkan terjadi. Dalam kerangka sistem, implementasi adalah proses konversi (throughput) yang mengubah input (kebijakan, tujuan dan sarananya) menjadi output dan outcomes. Persepsi, disposisi dan kapabilitas para implementers akan sangat mempengaruhi bagaimana suatu program dijalankan. Sangat mungkin terjadi kebijakan yang sama diinterpretasikan dan diimplementasikan secara berbeda oleh aktor-aktor pelaksana pada daerah yang berbeda sehingga hasilnya pun tidak akan sama. 1. Pada Kebijakan yang berasal dari pusat namun pelaksanaan di daerah diserahkan pada kebijakan masing-masing kepala Daerah, hasil implementasinya juga akan sangat beragam. Kemampuan/kapabilitas, kepentingan, dan persepsi actor daerah sangat mempengaruhi hasil implementasi. Sebagai contoh kebijakan otonomi daerah dan kebijakan sumber keuangan daerah yang ditafsirkan sangat beragam oleh masingmasing daerah sehingga hasilnya pun sangat beragam. Ada daerah yang

menjadi sangat kaya raya namun kemampuan mengelola pembangunan daerahnya minim (Kutai Kertanegara, yang sebelum otonomi tak pernah bajir, setelah otonomi tiap musim penghujan dilanda banjir, sementara Kepala Daerahnya tersengkut kasus korupsi), dan ada pula daerah yang minus PAD namun menjadi lebih berkembang setelah otonomi (Kab. Jembrana di Bali). 4.

Tahap evaluasi Kebijakan Pada tahap evaluasi ini aktor yang secara formal memiliki otoritas adalah lembaga legislatif. Namun secara emprik di Indonesia proses evaluasi seringkali dimulai (dan biasanya lebih efektif) dan disuarakan terlebih dahulu oleh aktoraktor outside government seperti LSM, Media massa, opini publik. Hal ini disebabkan belum berfungsinya lembaga Yudikatif di Indonesia secara optimal sebagai lembaga kontrol. Bagi negara berkembang seperti Indoensai, banyak program-program kebijakan yang dananya berupa pinjaman lunak atau bantuan dari Luar Negeri atau lembaga-lembaga keuangan internasional (negara-negara G7, IMF, World Bank), dalam kondisi seperti ini maka penilaian dan evaluasi dari lembagalembaga donor tersebut juga mempengaruhi ‘nasib’ selanjutnya dari program/ kebijakan tersebut. Evaluasi berarti menilai seberapa jauh program-program yang dilaksanakan dapat menghasilkan dampak perusahaan (outcomes) yang diinginkan oleh kebijakan termaksud. Hasil evaluasi biasanya berwujud justifikasi, rekomendasi atau bahkan terminasi atau penghentian program/ kebijakan jika dampak yang tak diharapkan justru yang terjadi. Contoh kasus: Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah salah satu kebijakan pemerintah tahun 2005 yang dananya diperoleh dari Program Kompenasai Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM. Outcomes yang diharapkan adalah membantu meringankan beban biaya pendidikan yang dikeliarkan orang tua karena nilai penghasilan menjadi berkurang akibat kekurangan biaya operasional sekolah yang selama ini menyebabkan terjadinya pungutan/ iuran di luar SPP. Namun karean instrumen yang dipilih tidak tepat dan petunjuk pelaksanaan yang tidak jelas, maka yang terjadi adalah output yang tercapai: Sekolah-sekolah mendapatkan bantuan operasional, sedang outcomes – pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan tidak tercapai. Sekolahsekolah cenderung menggelembungkan RAPBSnya sehingga iuran tetap ada dan beban orang tua dalam pembiayaan pendidikan tetap tidak berkurang, bahkan pada beberapa kasus malah cenderung bertambah akibat kegiatan yang diajukan oleh sekolah-sekolah pada RAPBS makin bertambah. D.4 Hubungan Horizontal, Vertikal dan Antar Lembaga dalam Proses Kebijakan Dalam konteks implementasi, memberikan perhatian yang cukup besar pada pola hubungan antar aktor ini sangatlah penting, sebab pada hakekatnya merekalah yang menentukan bagaimana sebuah kebijakan dilaksanakan. Hubungan horizontal antar aktor secara organisasional dimaknai sebagai hubungan kerja yang memiliki status kewenangan sederajad. Hubungan ini bisa menjadi masalah manakala struktur implementasi memiliki hubungan interdependensi dan pola sekuensial pada pelaksanaan program. Keterlambatan penyelesaian tugas oleh satu bagian akan berakibat terhambatnya pula kelanjutan pelaksanaan tugas yang lain. Hubungan horizontal ini jelas membutuhkan koordinasi yang kuat serta komunikasi yang jelas dan lancar.

Hubungan Vertikal secara organisasional dimaknai sebagai hubungan kewenangan dan tanggung-jawab antar actor yang berbeda tingkatannya. Semakin jauh jarak antara pengambil keputusan dengan pelaksana paling bawah, maka akan semakin besar pula kemungkinan keterlambatan pengambilan keputusan yang sesuai, semakin besar pula kemungkinan terjadinya miskomunikasi dan penyimpangan dari tujuan. Pada kasus-kasus implementasi kebijakan demikian (biasanya yang bersifat sentralistis) biasanya diperlukan Petunjuk Pelaksanaan dan SOP yang jelas dan rinci, selain juga pengawasan yang ketat agar implementasi berjalan sesuai dengan struktur yang telah ditentukan. Hubungan antar lembaga/instansi secara organisasional dimaknai sebagai hubungan kerjasama yang biasanya sederajad yang masing-masing memiliki tugas dan kewenangan berbeda atas penyelesaian suatu program. Hubungan actor antar lembaga ini seringkali terdapat pada kebijakan yang besar dan luas cakupannya, misalnya kebijakan pengentasan kemiskinan, kebijakan peningkatan ekonomi dan kebijakan-kebijakan sejenisnya. Hubungan ini tentu saja lebih rumit dan lebih membutuhkan kerjasama, koordinasi dan komunikasi yang lebih intens, dan yang merupakan masalah besar di negeri kita, mengingat adanya arogansi instansi yang menganggap dirinya lebih berwenang dan lebih penting; terlebih lagi manakala tidak ada rumusan yang tegas yang mengatur bentuk kerjasama tersebut. Sering terjadi suatu instansi menahan data yang diperolehnya kendati diperlukan oleh instansi lainnya dengan alasan bukan wewenang dan kewajibannya memberikan data tersebut. Akibatnya pekerjaan yang sama dapat dilakukan oleh beberapa instansi, yang ironisnya kadang memberikan hasil yang berbeda. Beberapa studi bahkan mengatakan bahwa keberhasilan implementasi mencapai tujuan kebijakan akan lebih tinggi manakala peran utama diserahkan pada satu lembaga tunggal yang bersifat otonom. Desentralisasi implementasi juga menjadi pilihan untuk meminimalkan kerumitan hubungan yang bersifat horizontal, selain juga agar implementor dapat menyesuaikannya dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan dimana kebijakan tersebut diterapkan. Studistudi implementasi pada decade belakangan juga mengkaji dan mengambil model dari pendekatan teori komunikasi untuk menstrukturkan pola komunikasi yang efektif dalam pengimplementasian program. D.5 LINGKUNGAN Tak pelak bahwa kondisi lingkungan akan dapat mempengaruhi hasil akhir sebuah implementasi kebijakan, meski tidak secara langsung. Bahwa sebuah kebijakan telah diperhitungkan secara masak dan rasional, struktur implementasi telah dipersiapkan sebaik mungkin, actor-aktor pelaksana dan pola komunikasi juga telah persiapkan secara matang, namun hasil akhir bisa berbeda tergantung pada kondisi lingkungan dimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Perbedaan factor kondisi lingkungan inilah yang kemudian melahirkan istilah diskresi dalam implementasi kebijakan public (walau tidak pernah dinyatakan secara implicit dalam model-model implementasi). Secara umum factor-faktor kondisi lingkungan yang dipandang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan adalah factor-faktor sistem politik, sistem ekonomi, dan nilai-nilai sosial budaya yang berlaku. Faktor-faktor sistem politik/tata pemerintahan misalnya berpengaruh terhadap bagaimana seharusnya penstrukturan proses implementasi. Ada yang distrukturkan secara legal formal dan ada yang cenderung lebih pragmatis. Manakala kontrol publik sangat besar terhadap kinerja pemerintahan, maka struktur yang legal formal lebih disukai implementor untuk menghindari klaim public atau sebagai tameng dalam

akuntabilitas publik. Oleh karenanya implementasi diterapkan sesuai “textbook” dan diskresi dihindari. Faktor lingkungan ekonomi misalnya apakah yang dianut adalah sistem ekonomi pasar, terpimpin, atau campuran, karena masing-masing sistem akan melahirkan kebijakan dan cara pengimplementasian yang berbeda pula. Diskresi merupakan keleluasaan implementor kebijakan, utamanya yang berhadapan langsung dengan kelompok sasaran, untuk menafsirkan dan memilih cara yang mungkin berbeda dengan yang disepakati sebelumnya, sepanjang tidak keluar dari tujuan utamanya. Namun kewenangan untuk melakukan diskresi juga harus dilakukan dengan hati-hati, sebab bisa memerangkap pelakunya dengan “pelanggaran prosedur’ walau dengan tujuan yang mulia, atau bisa juga kewenangan tersebut disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi. Sementara itu manakala tingkat kepercayaan public relative tinggi, maka struktur implementasi bisa bersifat lebih pragmatis sesuai kebutuhan yang ada, sehingga diskresi bagi para implementor menjadi dimungkinkan. Studi yang dilakukan oleh F. van Waarden (dalam Hill & Hupe, 165-167) membahas tentang hal tersebut secara lebih rinci, dan akan sangat bermanfaat dibaca guna pemahaman lebih lanjut. D.6 Aktor-Aktor dalam Formulasi Kebijakan Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik yang berasal dari aktor negara maupun aktor non negara atau yang disebut oleh Anderson (2006: 46-67) sebagai pembuat kebijakan resmi (official policymakers) dan peserta non pemerintahan (nongovernmental participants). Pembuat kebijakan resmi atau disebut pula aktor resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Yang termasuk dalam aktor resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini yang disebut oleh Anderson sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental participants) atau aktor tidak resmi, karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi (Anderson, 2006: 57-67). Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka siapkan. Untuk memahaminya perlu memahami pula sifat-sifat semua pemeran serta (participants), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi. D.7 Konflik dan Resolusi Konflik Sebagaimana yang diutarakan oleh Hakim (2004) bahwa terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat. Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbins dan Judge (2008), ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan

bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi suatu kenyataan. Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan Freeman (1989:393) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu: Konflik dalam diri individu (conflict within the individual), Konflik antar-individu (conflict among individuals), Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups), Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization), Konflik antar organisasi (conflict among organizations), Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in different organizations). Apabila dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi, Winardi (1992:174) seperti yang dikutip oleh Hakim (2004) membagi konflik menjadi 4 (empat) macam, yaitu : Konflik vertikal; Konflik horizontal; Konflik garis-staf; Konflik peran. Sedangkan Kreitner dan Kinicki (1995) mengemukakan Lima Gaya Penanganan Konflik (Five Conflict-Handling Styles) yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising. Menggunakan dua dimensi yaitu sifat kooperatif dan sifat tegas, Robbins dan Judge (2008:181) mengidentifikasi penanganan konflik menjadi 5 (lima) cara, yaitu: Bersaing (competing); Bekerja sama (collaborating); Menghindar (avoiding); Akomodatif (accomodating); Kompromis (compromising). D.8 Nilai-nilai Yang Berpengaruh Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Samodra Wibawa, dkk (1994:21) dan James Anderson dalam Winarno (2005:93-94), Wahab (2002) menekankan perlunya memperhatikan kriteria-kriteria pokok dalam merumuskan kebijakan yang merupakan bagian penting dalam analisis kebijakan yaitu (1) nilai-nilai politik; (2) nilai-nilai organisasi; (3) nilai-nilai pribadi; (4) nilai-nilai kebijakan dan (5) nilai-nilai ideologis. D.9 Model Formulasi Kebijakan Dalam perkembangannya terdapat tigabelas model perumusan kebijakan (Nugroho, 2009:396-422) yaitu : Model Kelembagaan (institutional); Model proses (process); Model teori kelompok (group); Model teori elit (elite); Model teori rasionalisme (rational); Model inkremental (incremental); Model pengamatan terpadu (mixed scanning); Model demokratis; Model strategis; Model teori permainan (game theory); Model pilihan publik (public choice); Model sistem (system); Model deliberatif atau musyawarah. Berbagai model formulasi kebijakan di atas adalah berorientasi pada masalah atau problem oriented. Tidak kalah penting pula adalah model formulasi kebijakan yang berorientasi pada tujuan atau goal oriented. Model perumusan ke masa depan ini biasanya ditopang oleh model-model perumusan kebijakan yang bersifat peramalan (forecasting) yang tidak bersifat ekstrapolatif atau menggunakan masa lalu sebagai acuan masa depan (Nugroho, 2009:430-433).

Daftar Pustaka http://rochyati-w-t-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-69583-UmumFAKTORFAKTOR%20YANG%20MEMPENGARUHI%20IMPLEMENTASI.html http://map.pasca.uns.ac.id/?p=42 http://prezi.com/snbek9-3sp_w/analisis-peran-aktor-implementasi-dalamkebijakan-pengelolaa/ http://www.academia.edu/5011211/Dinamika_Aktor_Kebijakan_Dalam_Pembuat an_Kebijakan_Pengendalian_Tembakau_Studi_Kasus_Rancangan_UndangUndang_Pertembakauan_ http://srilestari13.wordpress.com/2011/04/29/pengambilan-keputusan-yangdilakukan-oleh-aktor-kebijakan/ http://ramalanhariini.blogspot.com/2013/10/aktor-dan-pelaku-pembuatkebijakan.html

More Documents from "Noerfadilla Ilyas"