AKSIOLOGI A. PENGERTIAN AKSIOLOGI Aksiologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai bentuk. Dalam kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian : 1. Moral Conduct yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. 2. Estetic expression yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan 3. Socio-politcal life yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik. Menurut pandangan Kattsoff aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.. Dan Barneld juga aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang nilai-nilai, menjelaskan berdasarkan kriteria atau prinsip tertentu yang dianggap baik di dalam tingkah laku manusia B. KEGUNAAN AKSIOLOGI TERHADAP TUJUAN ILMU PENGETAHUAN Menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya dan ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya. . Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu: 1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. 2. Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan. 3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. C. BEBERAPA PENJELASAN AKSIOLOGI 1.
Ilmu dan Moral Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin
benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi oleh anlisis yang hakiki, atau sebaliknya makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta?. Masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari objek yang di telaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sokrates minum racun, John Huss dibakar sebagai contoh betapa ilmuan memiliki landasan moral, jika tidak ilmuan sangat mudah tergelincir dalam prostitusi intelektual. 2.
Tanggung Jawab Sosial Ilmuan Seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial di bahunya. Bukan saja karena ia
adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung dengan di masyarakat yang yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam keberlangsungan hidup manusia. Sampai ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu itu bebas dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netraldan para ilmuanlah yang memberikannya nilai. 3.
Nuklir dan Pilihan Moral Seorang ilmuan secara moral tidak akam membiarkan hasil penemuannya dipergunakan
untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu adalah bangsanya sendiri. Seorang ilmuan tidak boleh berpangku tangan, dia harus memilih sikap, berpihak pada kemanusiaan. Pilihan moral memang terkadang getir sebab tidak bersifat hitam di atas putih. Seperti halnya yang terjadi pada Albert Einstein diperintahkan untuk membuat bom atom oleh pemerintah negaranya. Seorang ilmuan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuannya, apapun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang akan terjadi dari
penemuannya itu. Seorang ilmuan tidak boleh memutar balikkan temuannya jika hipotesis yang dijunjung tinggi tersusun atas kerangkan pemikiran yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena bertentangan dengan fakta-fakta pengujian 4.
Revolusi Genetik Revolusi Genetik merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuwan manusia sebab
sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaah itu sendiri. Hal ini buka berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan itu dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi. Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi objek penelaah yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Pembahasan ini berdasarkan kepada asumsi bahwa penemuan dalam riset genetika akan dipergunakan dengan itikad baik untuk keluhuruan manusia. D. Kaitan Aksiologi dengan Filsafat Ilmu Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitian. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.
E. TEORI – TEORI TENTANG NILAI Permula adanya teori umum dari terjadinya perdebatan antara Alexius Meinong dengan Christian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Alexius Meinong berpendapat sumber nilai adalah perasaan (feeling) atau perkiraan adanya kesenangan terhadap suatu objek. Christian von Ehrenfels berpendapat sumber nilai adalah hasrat atau keinginan (desire). Menurut pendapat keduanya nilai adalah milik objek itu sendiri . 1. Objektivisme atau Realisme Aksiologi Penetapan nilai merupakan suatu yang dianggap objektif. Alexander mengatakan nilai, norma, ideal, dan sebagainya merupakan unsure atau berada dalam objek atau berada pada realitas objek . Penetapan suatu nilai memiliki arti benar atau salah, meskipun penilaian itu tidak dapat diverifikasi, yaitu yang tidak dapat dijelaskan melalui suatu istilah tertentu. Pendukung dari objektivisme aksiologi mencangkup Plato, Aristoteles , St. Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Alexander , dan lain- lainnya. Beberapa bentuk Ekspresi Objektivisme Aksiologi: a) Bosanquet ( idealisme ); Nilai adalah kualitas tertentu dari suatu objek, kejujujuran apa adanya,
tetapi manifestasinya diilhamkan kedalam sikap pikiran manusia.
b) Scheler (fenomenologi); Nilai adalah esensi yaitu entitas yang ada dengan sendirinya yang diintuisikan secara emosional. c) C.I. Lewis (Pragmatisme konseptual); Penetapan nilai tunduk pada standar yang sama pada pengetahuan dan validitas seperti halnya penilaian empiris kognitif lainnya. d) G. E. moore ( Intuisime); Nilai adalah suatu yang tidak dapat diterangkan , yakni tidak dapat dianalisis, tidak dapat direduksi dari terma itu sendiri,meskipun nilai adalah suatu tindakan. 2. Subjektivisme Aksiologi Penentuan nilai mereduksi penentuan nilai ke dalam statemen yang berkaitan dengan sikap mental terhadap suatu objek atau situasi dan penentuan sejalan dengan pernyataan benar atau salah. Subjektivisme aksiologi cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut hedonism, sebuah teori yang mengatakan kebahagian sebagai criteria nilai dan naturalism yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam psikologis. Pendukung subjektivisme aksiologi adalah Hume , Perry, Prall, Parker, Santayana, dan lainnya. Beberapa bentuk Ekspresi Subjektivisme Aksiologi : 1. Hume ( skeptisime ); A memiliki nilai berarti orang menyukai A
2. Sarte (eksistensialisme); Nilai adalah kualitas empiris yang tidak dapat dijelaskan menyatu dengan kebahagian perasaan daripada berpikir bagaimana kita ingin merasakannya. 3. D. H. Parker (humanisme); Nilai merupakan pengalaman , tidak berwujud objek. 4. Perry (naturalisme); Semua objek dari kepentingan sebagai suatu hubungan yang saling terkait antara kepentingan dengan objek. 3. Nominalisme Aksiologis atau Skeptisime (Emotivisme) Aksiologi. Pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk yang semua itu tidak faktual. Emotivisme : Nilai adalah suatu nilai yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif walaupun memiliki makna secara faktual. Asal mula emotivisme yaitu dengan adanya G. E. Moore mengajarkan tentang kebahagian yang tidak dapat dijelaskan tetapi kebaikan secara factual dletakkan pada suatu tindakan atau objek, dengan I.A.Richard membedakan antara makna factual dan makna emotif. Pendukung emotivisme aksiologi adalah Nietzsche,Ayer, Stevenson, Carnap, dan lainnya. Beberapa bentuk Ekspresi Subjektivisme Aksiologi : 1. Nietzsche ( relativisme aksiologi); Nilai adalah sebuah ekspresi perasaan dan kebiasaan daripada sebuah pernyataan terhadap suatu fakta. 2. Ayer ( logika positivism); Nilai adalah fungis ekspresif , member cela bagi perasaan , dan statemen yang bersifat emotif atau nonkognitif. 3. Stevenson (logika empirisme) Nilai adalah fungsi persuasive dan tidak memiliki objek kesalahan seperti benar dan salah, maka persuasi diperlukan dapat diterima. D. TEORI ETIKA 1. Perbedaan Normatif dengan Metaetik Dalam teori etika yang normative dan metaetik harus dibedakan dan dapat dilakukan : a) Etika normative yaitu mengidentifikasikan satu atau lebih dari prinsip moral secara luas yang setiap orang menggunakannya sebagai petunjuk, kode moralitas yang bersifat ideal atau benar. b) Etika Metaetik yaitu menganalisis satu atau lebih cara untuk penentuan moral yang diterapkan secara actual.
Etika normatif dibedakan menjadi teleological atau deontologikal atau varian dari kombinasi keduannya (masalah yang berkaitan dengan nilai). Sedangkan metaetika dibagi menjadi kognitifis atau nonkognitifis. 2. Perbedaan Teleologis dengan Deontologis Fakta – fakta yang harus dipertimbangkan dalam pembedaan teori etika yang bersifat teleologis dengan deontologis yaitu: a) Memperhatikan tingkat penegasan daripada dasar pengeluaran timbal balik. b) Unsur – unsur dari teleologis dan deontologis ddapat ditemukan dalam teori etika tertentu. c) Terdapat perbedaan interprestasi yang dilakukan filosof terhadap setiap teori etika yang lain. d) Interprestasi sangat luas sebagian besar etika formalisme dan etika intuisime ke dalam deontologis dan semua etika naturalistic yaitu hedonism, utilitarisme kedalam kelompok teleologis. Menurut Bentham teleologis adalah kebaikan konsekuensi dan nilai moral adalah hasilnya. Deontologis adalah member jawaban yang berbeda berdasarkan cabang keduanya yaitu formal atau intuisionistik. 3. Teori Etika Teleologis Teori etika berkaitan dengan hasil akhir atau kebaikan ketimbang sebagai kewajiban moral. Teori teleologis lebih cenderung mengembangkan satu kebaikan intrinsic a priorir sebagai sebuah moral standar seperti kebahagian. Pada saat teori teleologis bersifat naturalistik maka : a) Penentuan etis dapat direduksi atau dianalisis ke dalam nonetis atau istilah deskriptif. b) Penentuan etis dalam arti hasil akhir yang bersifat duniawi sebagai kebalikan dari spiritual atau kebaikan yang lain. Beberapa contoh teori etika teleologis : 1) Plato dan Aristoteles (eudnemonisme Yunani); Baik adalah kesenangan sebagai sesuatu yang baik atau pemenuhan tujuan seseorang. 2) Epicurus ( hendonisme egoistic); Baik adalah kesenangan atau tidak ada yang sakit (kesenangan dalam pikiran). 3) Bentham dan Mill (Ultilarianisme hedonistik atau hedonisme universalistic); Baik adalah kebahagian tertinggi dalam jumlah besar.
4) Perry (naturalisme); Baik adalah objek dari semua kepentingan sebagai sebuah sikap rasional. 5) Paley ( utilitarianisme ); Baik adalah apa yang dikehendaki oleh Tuhan untuk kebahagian manusia. 4. Teori Etika Deontologis Etika deontologis menekankan sifat pembuktian dari yang benar menjadi sesuatu yang lahir sari penalaran, intuisi, dan rasa moral. Tindakan deontologis merupakan salah satu bentuk dari etika kontekstual.