Airline Kepemilikan Negara Sampai sekitar pertengahan tahun 1980-an, hampir semua dari Airline International dikelola dan dimiliki oleh pemerintah dari masing-masing negara yang bersangkutan. Walaupun ada beberapa pengecualian, salah satunya di Amerika Serikat, dimana semua airlines dimiliki oleh badan privat. Di Eropa, kebanyakan dari airline yang aktif pada tahun 1930-an akhir didirikan oleh wiraswasta, yang mayoritas dari mereka adalah mantan pilot semasa perang dunia I atau badan usaha privat. Ada dua faktor yang mendorong industri Airline menjadi hak milik negara saat itu. Faktor pertama adalah pada tahun 1920-an dan 1930-an muncul kesadaran dan realisasi bahwa transportasi udara akan menjadi faktor signifikan dalam pengembangan ekonomi dan sosial, sama halnya seperti perdagangan. Pemerintah menyadari bahwa negara mereka setidaknya membutuhkan satu airline internasional yang stabil, mereka perlu memastikan airline ini bisa berjalan efektif, baik, dan bisa membawa nama negara tersebut ke dunia Internasional. Dalam banyak kasus, airline-airline ini membutuhkan campur tangan dan dukungan pemerintah. Faktor kedua, Perang Dunia II telah memberi tekanan pada nilai dan potensi ekonomi dari transportasi udara, airline-airline negara Eropa mengalami keruntuhan setelah Perang Dunia II usai. Banyak Airline kepemilikan negara muncul pasca Perang Dunia II. Pada masa ini banyak airline milik pribadi yang status kepemilikannya berubah menjadi milik negara, sebagai contoh Pemerintah Inggris menasionalisasikan tiga Airlines di negaranya. Trend ini terus berlanjut pada tahun 1960-an dan 1970-an. Negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Asia mendirikan Airline-airline baru atau pemerintah negara tersebut mengambil alih airline-airline yang didirikan semasa periode Kolonial. Setelah fasa ini, nasionalisasi Airline terus berlanjut, terutama jika Airline kepemilikan pribadi mengalami masalah finansial atau organisasi yang serius. Sebagai contoh pada kasus Olympic Airways milik Aristotle Onassis yang menikmati monopoli transportasi udara di Yunani, pemerintah Yunani mengambil alih kepemilikan Airline ini pada tahun 1975. Pada pertengahan tahun 1980 terjadi arus balik, privatisasi dari airline kepemilikan negara menjadi agenda penting pada tahun ini. Liberalisasi dari transportasi udara internasional pada tahun tersebut mendorong airline untuk meninggalkan praktek pasar yang sudah tidak relevan lagi, sehingga airline-airline tersebut menjadi lebih kompetitif dan customer-oriented. Banyak dari airline-airline tersebut yang tidak bisa berjalan secara efektif jika mereka terus berstatus sebagai badan usaha milik negara. Pada waktu yang sama, terutama di Eropa, muncul
pandangan politik yang beranggapan bahwa privatisasi dari sektor publik, termasuk maskapai penerbangan, akan meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan sekaligus mengurangi biaya ke penyewa jasa. Pemerintahan di negara-negara Eropa dan negara-negara lain mulai mengadopsi kebijakan yang sama, yaitu mengurangi campur tangan pemerintah pada ulititas publik dan industri lain. Keruntuhan dari ekonomi state centralized pada negara Eropa Timur dan Uni Sovyet pada akhir tahun 1980-an mendorong dan memperkuat tren ini. Lebih banyak privatisasi Airline terjadi pada sekitar tahun 2000, tetapi banyak masalah terjadi karena krisis multidimensi saat itu yang mempengaruhi industri penerbangan. Di tengah tren privatisasi airline yang terus berlanjut, airline kepemilikan negara dalam jumlah besar masih bisa ditemui pada tahun 2004. Lebih dari 70 airline internasional dimiliki oleh pemerintah, dengan persentase kepemilikan sekitar 40 sampai 100 % . Pada Era millennium baru, airline-airline dalam jumlah besar sedang menjalani proses menjadi sepenuhnya atau sebagian milik privat. Pemerintah Thailand, Indonesia, Yordania, Madagaskar, dan Yunani, telah memulai privatisasi dan mulai mencari partner strategis, kedua hal ini menjadi pilar penting untuk mengatasi masalah finansial yang dialami oleh maskapai nasional mereka. Pada praktiknya, arus balik pada kondisi ekonomi mulai mempengaruhi industri airline pada tahun 2000. Hal ini diperparah dengan krisis multi dimensi yang timbul akibat peristiwa 11 September 2001, perang Irak, dan epidemi SARS yang menangguhkan rencana privatisasi airline. Privatisasi dan partner strategis terus menjadi pilar strategi penerbangan dari pemerintah yang masih memiliki airlines. Tetapi pada kenyataannya, banyak airline kepemilikan negara menderita kerugian kronis selama bertahun-tahun dan membawa hutang besar yang harus ditutupi oleh pemerintah secepatnya, dan banyak yang tidak mampu melakukannya. Ini menjadi alasan mengapa pemerintah ingin menjual airline-airline tersebut. Airline-airline ini harus atraktir secara finansial dan prospektif untuk calon pembeli. Pada kebanyakan airline kepemilikan dibutuhkan restrukturisasi mendasar dari sistem-sistem yang diterapkan airline tersebut, hal ini membutuhkan identifikasi dari masalah yang dialamin airline tersebut. Airline kepemilikan negara mempunyai masalah-masalah politis dan organisasi yang disebut ‘Distressed State Airline Syndrome’. Pengertian yang dalam tentang gejala-gejala masalah ini sangat penting untuk memastikan jika privatisasi dilakukan, privatisasi akan menggiring ke kesuksesan.
•
Distressed state airline syndrome
•
Kesulitan Finansial serius Karakteristik penting dari Airline kepemilikan negara yang sedang mengalami keadaan
sukar adalah kesulitan finansial serius yang diderita oleh airline tersebut. Sebagai contoh, Air France sebelum melakukan restrukturisasi mengalami kerugian sekitar 3 milyar dolar selama 8 tahun sampai tahun 1977. Mayoritas dari airline kepemilikan negara mengalami mengalami krisis lebih kompleks dan dalam jika dibandingkan dengan airline privat yang beroperasi pada daerah yang sama. Hal ini diakibatkan karena airline kepemilikan negara lebih lambat dalam merespon krisis. Managemen yang tidak pasti dan lambat menjadi salah satu dari karakteristik airline kepemilikan negara. Airline kepemilikan negara biasanya memiliki hutang besar dan sering mengalami ketidakstabilan ekonomi.
•
Intervensi politik
Salah satu masalah yang juga dialami oleh airline milik pemerintah adalah intervensi politik. Pemerintah dapat mempengaruhi manajemen dan kebijakan-kebijakan airline karena telah memberikan bantuan kepada airline tersebut. Pemerintah sering kali merubah manajemen airline tanpa alasan yang jelas. Sebagai contoh kita ambil Olympic Airways, antara tahun 1975 dan 2004 Olympic Airways mengganti chairmen-nya sebanyak 33 kali dengan rata-rata waktu menjabat 10 bulan, selain itu antara Februari 1995 dan april 1996 Olympic Airways mengganti Board of Director-nya sebanyak tiga kali. Setiap kali ada penggantian menteri transportasi, selalu terjadi penggantian kepengurusan airline, walaupun menteri tersebut berasal dari partai politik yang sama. Airline yang dipengaruhi oleh intervensi politik seperti ini biasanya diarahkan untuk meraih tujuan politik atau internal pemerintah untuk membayar hutang politik, daripada meraih sukses komersil dari Airline. Salah satu contoh dari kasus seperti ini adalah pada Alitalia, dimana terjadi pergantian kepengurusan beberapa kali akibat intervensi pemerintah. Intervensi dan tekanan pemerintah pada kasus Alitalia menyebabkan Alitalia mengalami tahun-tahun yang terbuang sia-sia. Sangat wajar ditemui di beberapa negara pemerintah yang menerapkan tarif kargo yang sangat rendah untuk memfasilitasi ekspor dari komoditi-komoditi tertentu, atau menolak kenaikan biaya domestik untuk periode yang lama untuk memfasilitasi penerbangan udara domestik dan kepaduan nasional. Pada kasus produk Agrikultur, tarif rendah dapat menstimulan
lalu lintas perdagangan dan menghasilkan pendapatan. Pemerintah juga sering melakukan kontrol berlebihan pada tarif penerbangan domestik yang menyebabkan kenaikan tarif yang jarang atau malah tidak sama sekali. Tarif domestik yang dijaga terlalu rendah dapat menyebabkan efek kerugian. Hal ini dapat menyebabkan beberapa rute menjadi tidak menguntungkan. Pada saat yang sama juga tarif rendah ini dapat memunculkan permintaan dan load factor yang tinggi. Campur tangan pemerintah dapat juga dilihat pada jadwal dan rute yang diatur oleh pemerintah. Pengaturan pemerintah ini bertujuan untuk meraih tujuan domestik, sosial atau ekonomis, atau untuk rute asing, untuk menunjukkan kemampuan negara tersebut.
•
Serikat Pekerja Airline kepemilikan negara yang sedang mengalami masa sukar juga dicirikan oleh
serikat pekerja yang sangat kuat dan mampu mempengaruhi kebijakan dari airline tersebut. Pemimpin serikat pekerja ini menggunakan kekuatan dan ancaman mereka untuk mempengaruhi keputusan manajerial pada setiap tingkat. Kekuatan negosiasi mereka dapat bertambah kuat jika serikat pekerja ini mempunyai jaringan dengan salah satu partai pemerintah, atau jika pemerintahan negara tersebut memang lemah dan tidak siap untuk menghadapi gangguangangguan internal maupun eksternal yang dapat menyebabkan ketidakstabilan airline tersebut. Serikat pekerja yang kuat, jika mereka tidak mendapatkan keinginan mereka dari negosiasi dengan manajemen, mereka akan langsung mengadukan keluhan mereka ke menteri transportasi. Biasanya, kekuatan dari serikat pekerja ini digunakan untuk menunda perubahan dan inovasi sampai para pekerja mendapatkan kompensasi finansial. Pada beberapa airline milik negara, kebijakan untuk menurunkan biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan sering kali ditunda akibat intervensi dari serikat pekerja. Pemimpin dari serikat pekerja biasanya mempunyai peran penting pada keputusan manajerial yang seharusnya tidak menyangkut serikat pekerja, seperti perencanaan terbang dan promosi internal. Pemimpin Serikat Pekerja akan melakukan tindakan-tindakan subversif ketika seseorang yang tidak mereka inginkan dipromosikan menjadi manager junior atau menengah, mereka bisa melakukan cara seperti negosiasi atau aksi-aksi seperti mogok kerja dan lain-lain.Jabatan pemimpin serikat pekerja lebih jarang berganti jika dibandingkan dengan manajemen senior, dan cenderung lebih memiliki informasi dan wawasan yang lebih luas dibandingkan eksekutif baru. Hal ini memberikan suatu pandangan tersendiri ketika mereka melakukan negosiasi dengan manajemen atau dengan pemerintah. Pada beberapa negara berkembang dimana Serikat Pekerja-nya tidak terlalu kuat,
bisa terjadi ketidakleluasaan kultural pada manajemen airline yang ditimbulkan oleh etika sosial negara tersebut.
•
Jumlah Staf yang berlebihan Salah satu akibat yang disebabkan oleh intervensi politik yang berlebihan dan Serikat
pekerja yang terlalu kuat dalam urusan kebijakan airlines adalah masalah jumlah staf yang berlebihan. Serikat pekerja menggunakan kekuatan mereka untuk memperjuangkan produktivitas pekerja yang menurun dengan mendorong airline menambah staff untuk meningkatkan produktivitas. Contoh dari intervensi politik yang menyebabkan masalah over-staffing bisa kita lihat pada kasus Olympic Airways, pada tahun 1980-an dan 1990-an ketika partai politik baru naik ke kursi pemerintahan. Partai baru ini mengisi 30 hingga 40 posisi managerial atas dari airline dengan orang-orang airline tersebut yang berasal dari partainya. Terjadi pergeseran posisi dari orang-orang yang sebelumnya menduduki posisi manajerial tersebut. Bahkan penggantian posisi menteri transportasi dari partai politik yang sama dapat menyebabkan perubahan pada posisi manajerial tingkat atas dari airline tersebut. Ini bukanlah cara yang tepat untuk manajemen yang sukses.
•
Tidak ada strategi yang tepat Mayoritas dari airline yang mengalami masa sukarnya tidak mempunyai strategi
pengembangan yang jelas dan eksplisit. Hal ini tidak mengejutkan, mengingat pergantian eksekutif senior yang terlalu sering menyebabkan kebijakan dan manajemen airline menjadi tidak efektif dan jelas. Intervensi dari pemerintah juga menyebabkan hal tersebut, dimana hal-hal yang bersifat politis dan batasan-batasan lain membuat manajemen menjadi rumit. Tanpa strategi jangka panjang yang koheren, airline dapat melakukan suatu kesalahan strategi dan kemudian pindah ke kesalahan lain yang berkepanjangan. Salah satu akibat yang disebabkan oleh performa finansial yang rendah adalah pergantian perlengkapan yang seringkali tertunda. Hal ini berarti bahwa airline tersebut mengoperasikan pesawat tua yang sudah tidak layak untuk dioperasikan pada suatu rute. Sebagai akibatnya, airline dengan armada dalam jumlah sedikit dapat memiliki tipe pesawat yang terlalu banyak. Biaya perawatan dan crew yang tinggi adalah konsekuensi dari permasalahan tersebut.
Pesawat tua yang masih dioperasikan cenderung kita temui pada airline milik negara. Airline milik negara membutuhkan modernisasi dan rasionalisasi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
•
Birokrasi Salah satu karakter yang lain dari Airline milik negara adalah birokrasi dan manajemen
yang terlalu sentral. Jumlah staf yang berlebihan, pergantian manajemen yang terlalu sering, dan intervensi politik yang konstan dapat menumbuhkan budaya dimana manager menjadi takut untuk mengambil suatu keputusan dan birokrasi cenderung menekan munculnya inisiatif. Proses pengambilan keputusan akan berbentuk struktur manajemen piramid, dengan kata lain terkonsentrasi pada bagian atas piramid. Pengambil keputusan yang berada di atas terlalu berurusan dengan kertas kerja yang bertumpuk dan sejumlah banyak keputusan yang harus mereka buat. Sebagai akibatnya, banyak keputusan yang harus ditunda. Adalah tidak relevan untuk lingkungan airline yang sangat kompetitif dan penuh deregulasi, dinama keputusan harus diambil secepatnya oleh orang yang sepenuhnya terlibat dalam hal tersebut.
•
Kualitas pelayanan yang rendah. Akhirnya, banyak airline milik negara yang mengalami masa sulit menawarkan kualitas
pelayanan yang rendah baik di udara maupun di darat. Ini bisa disebabkan oleh dua faktor, yaitu secara kultural dan institusional, seperti ketidakmampuan untuk mengganti staff yang kurang cakap, kualitas manajemen rendah, dan serikat pekerja yang kuat. Kultur pelayanan yang rendah atau bahkan tidak ada sama sekali pada suatu airline dapat menyebabkan hal-hal yang menurunkan produktivitas orang-orang yang bekerja pada airline tersebut, lebih lanjutnya gangguan ini akan berpengaruh pada kualitas pelayanan airline. Kultur pelayanan yang rendah tidak hanya muncul di darat dan udara, tetapi juga pada penjualan dan distribusi. Sebagai akibat dari semua ini, airline milik negara dalam masa-masa sulit cenderung untuk gagal dalam pasar, terutama pada pasar liberal.
Sebagai catatan, tidak semua airline milik negara atau yang dikontrol oleh pemerintah mengalami sindrom-sindrom tersebut. Semua tergantung pada sikap dari pemerintah dan batasan-batasan dari mereka terhadap airline untuk airline tersebut beroperasi bisnis secara
normal. Ketika hal ini diterapkan, airline milik negara dapat menjadi sangat sukses. Singapore Airlines dan Aer lingus menjadi contoh yang sangat baik untuk ini.