Air
Air Muthlaq Allah berfirman, "Dan Kami turunkan dari langit air yang suci." (QS Al-Furqan : 48). Dari Imam Ja'far Shadiq, "Sesungguhnya semua air itu suci kecuali yang engkau ketahui bahwa ia najis." Beliau juga berkata bahwa
Amirul
Mu'minin
'Ali
bin
Abi
Thalib,
jika
melihat
air,
mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan air itu suci, dan tidak menjadikannya najis.” Setiap air yang turun dari langit, yang keluar dari perut bumi, atau yang mencair dari es/salju, baik yang tawar maupun yang asin, namun sesuai dengan aslinya, oleh para fukaha, dinamakan air muthlaq. Maksudnya, ia cukup disebut “air” saja tanpa harus menambahkan kata keterangan di belakangnya yang menjelaskan air itu. Dengan menggunakan kata “air” saja sudah menjelaskan hakikat air itu. Termasuk juga air muthlaq : 1.
Air tambang, seperti mata air belerang.
2.
Air sungai yang berubah pada waktu banjir akibat percampuran dengan rumput dan lumpur.
3.
Air kolam atau oase yang berubah karena lama tidak terpakai, adanya ikan, tumbuhan air, atau berubah karena dedaunan dan sebagainya yang sulit untuk dihindarkan.
Suci Menyucikan Allah SWT berfirman, “Dan Dia menurunkan kepada kalian air dari langit untuk menyucikan kalian dengannya.” (QS Al-Anfal : 9). Dari Imam Ja’far Shadiq bahwa Rasulullah saaw bersabda, “Air itu menyucikan dan bukannya disucikan.” Air muthlaq dapat menghilangkan najis konkret, seperti darah dan air seni, dan dapat pula mengangkat najis maknawi. Maksudnya ia dapat dipakai berwudu, mandi junub, mandi haid, dan memandikan mayat. Inilah makna ungkapan fukaha,”Air muthlaq itu suci dengan sendirinya dan menyucikan benda lainnya dari khubts maupun hadas.” Khubts adalah najis konkret, dan hadas adalah najis maknawi. Perbedaan antara khubts dan hadas adalah bahwa air yang sedikit akan hilang kesuciannya jika terkena khubts (seperti darah, air seni, dan bangkai), dan tetap suci walau disentuh orang yang berhadas kecil (misalnya mengeluarkan angin atau air seni) ataupun besar (seperti junub dan haid). Selain itu, dalam menyucikan sesuatu yang terkena khubts, seperti mencuci baju, tak perlu adanya niat taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), tetapi bersuci dari hadas, seperti mandi junub dan berwudu, harus dengan niat macam itu.
Air Mudhaf Imam Ja’far Shadiq pernah ditanya tentang wudu dengan susu. Beliau menjawab, “Tidak boleh. Sesungguhnya berwudu itu dengan air dan tanah.”
Benda-benda cair selain air muthlaq, seperti cuka, sari buah, the, air mawar, dsb, oleh para fukaha, dinamakan air mudhaf. Jadi, yang dimaksud air mudhaf adalah air yang dicampur dengan sesuatu yang membuat ait itu tidak murni lagi dan air yang diperas dari suatu benda, misalnya jeruk dan wortel.
Suci Tak Menyucikan Anda boleh meminum air mudhaf atau menggunakannya menurut kehendak anda, namun anda tidak boleh menggunakannya untuk wudu, mandi junub, atau untuk menyucikan benda yang bernajis, misalnya membersihkan cawan, pakaian, atau tubuh yang terkena najis. Inilah makna ungkapan fukaha, “Air mudhaf suci dengan sendirinya tapi tidak menyucikan benda lainnya, baik dari khubts maupun dari hadas.”
Antara Muthlaq dan Mudhaf Jika anda melihat air, sedang anda tidak tahu apakah air itu muthlaq atau mudhaf, apa yang anda lakukan? Apakah ada cara untuk menetapkan salah satunya? Dalam hal ini, anda harus berpulang pada diri anda dan memperjatikan : •
Jika sebelumnya anda mengetahui air itu muthlaq, kemudian berubah sedikit, misalnya terkena sabun, tinta, dsb, lalu anda ragu apakah air tersebut masih muthlaq atau menjadi mudhaf, maka air itu tetap dihukumkan muthlaq.
•
Jika keraguan anda itu ada sejak semula tanpa didahului oleh suatu keyakinan, baik bahwa air itu semula muthlaq atau mudhaf, maka dalam hal ini anda tidak dapat menghukumkan air itu muthlaq ataupun mudhaf.
Air Bersumber dan Air Tak Bersumber
Imam Ja’far Shadiq berkata, “Tidak mengapa seseorang kencing pada air mengalir, dan makruh kencing pada air yang tergenang.” Menurut para ahli fikih, air mengalir adalah air yang berasal dari sumber mata air sekalipun tidak mengalir, karena ia berpotensi mengalir terus-menerus. Sedang air tergenang adalah air yang tidak berasal dari sumber mata air sekalipun mengalir, karena tidak berpotensi mengalir terus-menerus.
Air yang Terkena Najis Dari Imam Ja’far Shadiq, “Jika air telah berubah bau atau rasanya, jangan diminum dan jangan pula berwudu dengannya. Tetapi jika tidak berubah bau dan rasanya, minumlah dan gunakanlah untuk wudu.” Jika najis jatuh ke dalam air, ada beberapa ketentuan : 1. Najis itu jatuh ke dalam air yang bersumber, tetapi tidak mengubah rasa, warna, maupun baunya. Dalam hal ini, air itu tetap suci walaupun sedikit. 2. Najis itu jatuh ke dalam air, lalu mengubah rasa, warna, atau baunya. Maka air tersebut menjadi najis, baik sedikit maupun banyak, berasal dari sumber ataupun tidak. 3. Najis itu jatuh ke dalam air yang sedikit dan tidak bersumber. Maka air itu menjadi najis walaupun tidak berubah. Namun jika air yang tak bersumber itu mencapai satu kur, maka hukumnya sama dengan air yang bersumber. Ia tidak najis kecuali berubah warna, rasa, atau baunya.
Air Sedikit antara yang Bersumber dan Tak Bersumber Jika najis bercampur dengan air yang sedikit, namun kita ragu apakah air itu bersumber atau tidak, maka apa yang harus kita lakukan? Jika kita tahu pasti bahwa sebelum adanya air itu, tidak ada sumber mata air, dan sesudah ada air itu baru kita ragu. Maka, melalui
istishhab, kita menetapkan ketiadaan sumber, yang berarti kenajisan telah terjadi.
Air Hujan Imam Ja’far Shadiq berkata, “Segala sesuatu yang terkena air hujan menjadi suci.” Karena itu para ulama sepakat bahwa air hujan, di saat ia turun, hukumnya sama dengan air yang bersumber. Tidak menjadi najis dengan terkena najis, baik ia yang mengenai ataupun yang dikenai.
Bercampurnya Najis dengan Air Mudhaf Imam Muhammad Baqir ditanya tentang seekor tikus yang jatuh ke dalam samin, lalu mati. Imam menjawab, “Jika samin itu beku, lemparkan tikus itu dan buang minyak yang berada di sekitarnya, kemudian (boleh) makan sisanya. Tetapi jika samin itu cair, jangan engkau makan, dan manfaatkanlah untuk lampu. Minyak sama dengan samin.” Para ahli fikih berkata : jika najis mengenai air mudhaf, maka air tersebut menjadi najis dengan percampuran itu, betapapun banyaknya air itu. Menurut mereka minyak dan samin mempunyai kesamaan dngan air mudhaf, yaitu penyebaran najis kepada bagian yang cair, dan penyebaran ini yang menyebabkan kenajisan.
Menyucikan Air yang Najis Berkata Imam, “Segala sesuatu yang terkena air hujan menjadi suci.” Beliau juga berkata, “Air sungai itu sebahagiannya menyucikan sebahagian yang lain.” Untuk menyucikan air yang najis, adan beberapa ketentuan : 1. Air itu bersumber, dan telah berubah rasa, warna, atau baunya karena najis. Untuk sucinya, cukup dengan menghilangkan
perubahan tersebut, baik airnya sedikit maupun banyak, baik hilang sendiri atau dengan perantara. 2. Air itu sedikit dan tak bersumber. Jika ia tak berubah karena najis, cara menyucikannya cukup dengan turunnya hujan atasnya, atau dengan menghubungkannya dengan air yang jumlahnya satu kur atau dengan air yang bersumber, di mana kedua air itu menjadi satu. Tetapi jika air itu berubah, pertama-tama harus dihilangkan perubahan itu, baru kemudian disucikan dengan cara yang telah disebutkan, atau denga mencampurkannya dengan air yang banyak sehingga tidak tampak lagi dan tak terlihat lagi bekasnya. 3. Air itu banyak tapi tak bersumber. Tidak ada keraguan bahwa ia tidak najis, kecuali jika berubah warna, rasa, atau baunya. Bila demikian ia tidak menjadi suci kecuali dengan hilangnya perubahan itu, turunnya hujan, bersambungan dengan air satu kur atau air yang bersumber dengan syarat kedua air itu menjadi satu.
Ragu dan Bimbang Imam Ja’far Shadiq berkata, “Air itu semuanya suci sampai engkau tahu bahwa ia najis.” Jika anda melihat air dan anda tidak tahu apakah ia suci atau najis, maka hukumnya suci, lebih-lebih lagi jika sebelumnya anda tahu air itu suci, kemudian ragu akan terjadinya kenajisan. Namun jika sejak semula anda tahu air itu najis, kemudian ragu tentang terjadinya kesucian, maka air itu tetap najis.
Kesamaran antara yang Suci dengan yang Najis Imam pernah ditanya tentang seorang yang memiliki dua bejana. Salah satunya kejatuhan najis, tetapi ia tidak tahu yang mana, sedang ia tidak mendapatkan air selain kedua bejana itu. Beliau menjawab, “Ia harus membuang kedua air itu dan bertayamum.”
Memperbanyak Air
Jika air sedikit yang najis, kemudian ditambah dengan air lain sehingga satu kur, apakah air itu jadi suci? Air tersebut najis, karena ucapan Imam, “Jika air telah mencapai satu kur, tidak ada sesuatu yang menajiskannya.” Maksudnya adalah satu kur itu harus ada lebih dulu, baru kemudian kena najis.
Wudu dan Mandi denga Air Musta’mal Imam Ja’far Shadiq berkata, “Jika Nabi saaw sedang berwudu, air yang berjatuhan dari wudu beliau diambil oleh para sahabat, dan mereka berwudu dengannya.” Beliau juga berkata, “Adapun air yang digunakan untuk berwudu oleh seseorang, mencuci muka dan tangannya, tidak apa-apa diambil oleh orang lain dan digunakan untuk berwudu.” Beliau juga ditanya tentang orang junub yang mandi dengan air pemandian : apakah orang lain boleh mandi dengan air tersebut? Beliau menjawab, “Tidak mengapa mandi dengan air dari orang junub. Akupun pernah mandi dengannya.” Para ahli fikih sepakat bahwa air bekas wudu atau mandi sunah, boleh digunakan untuk menyucikan khubts, yaitu barang najis, dan hadas, yaitu berwudu atau mandi dengan air itu. Adapun air yang digunakan untuk mandi wajib, maka ia menyucikan khubts menurut kesepakatan ulama, dan menyucikan hadas menurut pendapat yang masyhur.
Kur Yang dimaksud dengan tidak najisnya air satu kur dengan terkena najis adalah jika ia tidak berubah karena najis itu. Sedangkan air yang kurang dari atu kur menjadi najis jika terkena najis walaupun tidak berubah warna, rasa, atau baunya. Batasan kur adalah : 1. Berdasarkan ukuran : panjang, lebar, dan dalamnya mencapai 3,5 jengkal.
2.
Berdasarkan berat : mencapai 1.200 kati.
Ragu dan Bimbang Jika anda melihat air dan tidak tahu air itu satu kur atau kurang, anda perlu memperhatikan : •
Jika sebelumnya anda tahu air itu satu kur, kemudian ragu apakah telah berkurang. Maka anda tetapkan melalui istishhab bahwa jumlahnya tetap satu kur.
•
Jika sebelumnya anda tahu air itu kurang dari satu kur, kemudian ragu apakah telah bertambah. Maka anda tetapkan melalui istishhab bahwa jumlahnya tetap kurang dari satu kur.
•
Jika anda ragu dari semula, tidak tahu jumlah sebelumnya. Maka air itu tidak dapat dihukumkan satu kur ataupun kurang dari satu kur.