Prinsip Pengendalian Potensi Bahaya
Dalam upaya pengendalian potensi bahaya di tempat kerja, maka perlu adanya pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar pengendalian yang harus diikuti yaitu melalui tahapan sebagai berikut : 1.
Pengenalan potensi bahaya yang ada maupun resiko yang mungkin timbul (Hazards Identification).
2.
Penilaian tingkat resiko yang mungkin timbul (Risks Assessment).
3. Penentuan dan pemilihan tindakan pencegahan dan pengendalian yang tepat dengan menggunakan metode hirarki pengendalian (Risks Control). 4. Penunjukan atau penugasan kepada siapa yang akan diberi tugas dan tanggung jawab untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian. 5. Tinjauan ulang untuk mengukur efektifitas penerapan sarana pengendalian yang telah diterapkan (Review of Control).
Secara prinsip, potensi bahaya dapat dikendalikan melalui 2 (dua) metode yaitu sarana pengendalian permanen atau pengendalian jangka panjang (Long Term Gain) dan sarana pengendalian sementara atau pengendalian jangka pendek (Short Term Gain). Sarana pengendalian tersebut dapat menggunakan skala prioritas sebagai sebuah sistem, seperti dibawah ini :
Daftar skala prioritas pengendalian seperti tersebut diatas, harus selalu dipertimbangkan dan diterapkan secara berurutan, untuk meniadakan atau mengendalikan potensi bahaya yang telah diidentifikasi. Pada sebagian besar operasi di tempat kerja, suatu kombinasi sistem pengendalian harus diambil dan digunakan. Penerapan yang tepat mengenai skala prioritas pengendalian, mensyaratkan
bahwa pengendalian jangka pendek sebaiknya tidak dipertimbangkan terlebih dulu sampai seluruh upaya untuk mengimplementasikan pengendalian jangka panjang menemui kesulitan. Namun demikian pada kenyataanya, sarana pengendalian yang dipilih dan diterapkan dapat mengalami kegagalan. Untuk itu seorang ahli keselamatan kerja harus selalu menyadari hal tersebut dan kemungkinan kegagalan tersebut harus selalu dipertimbangkan pada saat merekomendasikan pemilihan dan pemakaian sarana pengendalian.
Aturan Dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Laboratorium Lingkungan Sebagaimana disyaratkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 06 Tahun 2009 bahwa laboratorium lingkungan harus memiliki kebijakan dan prosedur yang terdokumentasi untuk keselamatan dan kesehatan kerja personilnya (K3). Hal ini menjadi bahan pertimbangan karena laboratorium merupakan salah satu sumber penghasil limbah cair, padat dan gas yang berbahaya bila tidak ditangani secara benar. Selain itu, limbah laboratorium memiliki sifat: a)
kuantitasnya kecil namun jenisnya beragam;
b) limbah yang dihasilkan tidak kontinyu; dan c)
bersifat toksik, reaktif, korosif, mudah terbakar, mudah meledak, oksidator dan iritasi.
Ingat bahwa kecelakaan terjadi di laboratorium karena pelanggaran prosedur kerja yang aman dan kurangnya pemahaman K3 laboratorium. Secara umum, pemicu kecelakaan kerja di laboratorium antara lain: a) kesalahan tata ruang bangunan laboratorium; b) kesalahan dalam deteksi daerah potensial penyebab terjadinya kecelakaan; c) informasi yang kurang tentang a hazards analysis; d) kesalahan penanganan bahan kimia; dan e) kesalahan penyimpanan bahan kimia.
Kecelakaan di laboratorium DAPAT & HARUS dicegah dengan menciptakan lingkungan kerja yang aman dengan memenuhi aturan yang disyaratkan dan melakukan job safety analysis in laboratory sehingga mengurangi resiko terjadinya kecelakaan. Karena itu, manajemen laboratorium harus: a) menetapkan kebijakan dan prosedur K3 serta menjamin komitmen terhadap penerapannya; b) menetapkan personil yang bertanggungjawab terhadap penerapan K3; c) menetapkan perencanaan pengadaan dan pemeliharaan fasilitas K3, simulasi kecelakaan kerja pada periode tertentu; d) mengadakan pelatihan K3, pemeriksaan kesehatan terhadap tenaga kerja laboratorium secara rutin; e) melakukan evaluasi penerapan K3; dan f)
memelihara rekaman kegiatan K3, antara lain laporan kecelakaan kerja dan hasil evaluasi penerapan.