BAMBANG SETIARTO GURU SDLBN-1 MELAYU MUARA TEWEH BARITO UTARA KALTENG ETIKA MAKAN DAN MINUM Berupaya untuk mencari makanan yang halal. Allah Shallallaahu alaihi wa Sallam berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baikbaik yang Kami berikan kepadamu”. (Al-Baqarah: 172). Yang baik disini artinya adalah yang halal. Hendaklah makan dan minum yang kamu lakukan diniatkan agar bisa dapat beribadah kepada Allah, agar kamu mendapat pahala dari makan dan minummu itu. Hendaknya mencuci tangan sebelum makan jika tangan kamu kotor, dan begitu juga setelah makan untuk menghilangkan bekas makanan yang ada di tanganmu. Hendaklah kamu puas dan rela dengan makanan dan minuman yang ada, dan jangan sekali-kali mencelanya. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Apabila suka sesuatu ia makan dan jika tidak, maka ia tinggalkan”. (Muttafaq’alaih). Hendaknya jangan makan sambil bersandar atau dalam keadaan menyungkur. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda; “Aku tidak makan sedangkan aku menyandar”. (HR. al-Bukhari). Dan di dalam haditsnya, Ibnu Umar Radhiallaahu anhu menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah melarang dua tempat makan, yaitu duduk di meja tempat minum khamar dan makan sambil menyungkur”. (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani). Tidak makan dan minum dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak. Di dalam hadits Hudzaifah dinyatakan di antaranya bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “... dan janganlah kamu minum dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan dengan piring yang terbuat darinya, karena keduanya untuk mereka (orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat kelak”. (Muttafaq’alaih). Hendaknya memulai makanan dan minuman dengan membaca Bismillah dan diakhiri dengan Alhamdulillah. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila seorang diantara kamu makan, hendaklah menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala dan jika lupa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala pada awalnya maka hendaknya mengatakan : Bismillahi awwalihi wa akhirihi”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani). Adapun meng-akhirinya dengan Hamdalah, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat meridhai seorang hamba yang apabila telah makan suatu makanan ia memuji-Nya dan apabila minum minuman ia pun memuji-Nya”. (HR. Muslim). Hendaknya makan dengan tangan kanan dan dimulai dari yang ada di depanmu. Rasulllah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda Kepada Umar bin Salamah: “Wahai anak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang di depanmu. (Muttafaq’alaih).
Disunnatkan makan dengan tiga jari dan menjilati jari-jari itu sesudahnya. Diriwayatkan dari Ka`ab bin Malik dari ayahnya, ia menuturkan: “Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam makan dengan tiga jari dan ia menjilatinya sebelum mengelapnya”. (HR. Muslim). Disunnatkan mengambil makanan yang terjatuh dan membuang bagian yang kotor darinya lalu memakannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila suapan makan seorang kamu jatuh hendaklah ia mengambilnya dan membuang bagian yang kotor, lalu makanlah ia dan jangan membiarkannya untuk syetan”. (HR. Muslim). Tidak meniup makan yang masih panas atau bernafas di saat minum. Hadits Ibnu Abbas menuturkan “Bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang bernafas pada bejana minuman atau meniupnya”. (HR. At-Turmudzi dan dishahihkan oleh Al-Albani). Tidak berlebih-lebihan di dalam makan dan minum. Karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Tiada tempat yang yang lebih buruk yang dipenuhi oleh seseorang daripada perutnya, cukuplah bagi seseorang beberapa suap saja untuk menegakkan tulang punggungnya; jikapun terpaksa, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minu-mannya dan sepertiga lagi untuk bernafas”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani). Hendaknya pemilik makanan (tuan rumah) tidak melihat ke muka orang-orang yang sedang makan, namun seharusnya ia menundukkan pandangan matanya, karena hal tersebut dapat menyakiti perasaan mereka dan membuat mereka menjadi malu. Hendaknya kamu tidak memulai makan atau minum sedangkan di dalam majlis ada orang yang lebih berhak memulai, baik kerena ia lebih tua atau mempunyai kedudukan, karena hal tersebut bertentangan dengan etika. Jangan sekali-kali kamu melakukan perbuatan yang orang lain bisa merasa jijik, seperti mengirapkan tangan di bejana, atau kamu mendekatkan kepalamu kepada tempat makanan di saat makan, atau berbicara dengan nada-nada yang mengandung makna kotor dan menjijik-kan. Jangan minum langsung dari bibir bejana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas beliau berkata, “Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang minum dari bibir bejana wadah air.” (HR. Al Bukhari) Disunnatkan minum sambil duduk, kecuali jika udzur, karena di dalam hadits Anas disebutkan “Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang minum sambil berdiri”. (HR. Muslim). Etika Tidur dan Bangun Berintrospeksi diri (muhasabah) sesaat sebelum tidur. Sangat dianjurkan sekali bagi setiap muslim bermuhasabah (berintrospeksi diri) sesaat sebelum tidur, mengevaluasi segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Lalu jika ia dapatkan perbuatannya baik maka hendaknya memuji kepada Allah Subhanahu wata'ala dan jika sebaliknya maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya.
Tidur dini, berdasarkan hadits yang bersumber dari `Aisyah Radhiallahu'anha "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam tidur pada awal malam dan bangun pada pengujung malam, lalu beliau melakukan shalat".(Muttafaq `alaih) Disunnatkan berwudhu' sebelum tidur, dan berbaring miring sebelah kanan. Al-Bara' bin `Azib Radhiallahu'anhu menuturkan : Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Apabila kamu akan tidur, maka berwudlu'lah sebagaimana wudlu' untuk shalat, kemudian berbaringlah dengan miring ke sebelah kanan..." Dan tidak mengapa berbalik kesebelah kiri nantinya. Disunnatkan pula mengibaskan sperei tiga kali sebelum berbaring, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiallahu'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Apabila seorang dari kamu akan tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah mengirapkan kainnya pada tempat tidurnya itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya..." Di dalam satu riwayat dikatakan: "tiga kali". (Muttafaq `alaih). Makruh tidur tengkurap. Abu Dzar Radhiallahu'anhu menuturkan :"Nabi Shallallahu'alaihi wasallam pernah lewat melintasi aku, dikala itu aku sedang berbaring tengkurap. Maka Nabi Shallallahu'alaihi wasallam membangunkanku dengan kakinya sambil bersabda :"Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar), sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya penghuni neraka". (H.R. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani). Makruh tidur di atas dak terbuka, karena di dalam hadits yang bersumber dari `Ali bin Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda: "Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan darinya". (HR. Al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, dan dinilai shahih oleh Al-Albani). Menutup pintu, jendela dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur. Dari Jabir ra diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda: "Padamkanlah lampu di malam hari apa bila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman". (Muttafaq'alaih). Membaca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan AlMu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadits-hadits shahih yang menganjurkan hal tersebut. Membaca do`a-do`a dan dzikir yang keterangannya shahih dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, seperti : Allaahumma qinii yauma tab'atsu 'ibaadaka "Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali segenap hamba-hamba-Mu". Dibaca tiga kali.(HR. Abu Dawud dan di hasankan oleh Al Albani) Dan membaca: Bismika Allahumma Amuutu Wa ahya " Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup." (HR. Al Bukhari) Apabila di saat tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka disunnatkan (dianjurkan) berdo`a dengan do`a berikut ini : " A'uudzu bikalimaatillaahit taammati min ghadhabihi Wa syarri 'ibaadihi, wa min hamazaatisy syayaathiini wa an yahdhuruuna."
Aku berlindung dengan Kalimatullah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dari gangguan syetan dan kehadiran mereka kepadaku". (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani) Hendaknya apabila bangun tidur membaca : "Alhamdu Lillahilladzii Ahyaanaa ba'da maa Amaatanaa wa ilaihinnusyuuru" "Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami dimatikan-Nya, dan kepada-Nya lah kami dikembalikan." (HR. Al-Bukhari) ETIKA (ADAB) BUANG HAJAT Segera membuang hajat. Apabila seseorang merasa akan buang air maka hendaknya bersegera melakukannya, karena hal tersebut berguna bagi agamanya dan bagi kesehatan jasmani. Menjauh dari pandangan manusia di saat buang air (hajat). berdasarkan hadits yang bersumber dari al-Mughirah bin Syu`bah Radhiallaahu 'anhu disebutkan " Bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila pergi untuk buang air (hajat) maka beliau menjauh". (Diriwayatkan oleh empat Imam dan dinilai shahih oleh AlAlbani). Menghindari tiga tempat terlarang, yaitu aliran air, jalan-jalan manusia dan tempat berteduh mereka. Sebab ada hadits dari Mu`adz bin Jabal Radhiallaahu 'anhu yang menyatakan demikian. Tidak mengangkat pakaian sehingga sudah dekat ke tanah, yang demikian itu supaya aurat tidak kelihatan. Di dalam hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu ia menuturkan: "Biasanya apabila Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam hendak membuang hajatnya tidak mengangkat (meninggikan) kainnya sehingga sudah dekat ke tanah. (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dinilai shahih oleh Albani). Tidak membawa sesuatu yang mengandung penyebutan Allah kecuali karena terpaksa. Karena tempat buang air (WC dan yang serupa) merupakan tempat kotoran dan hal-hal yang najis, dan di situ setan berkumpul dan demi untuk memelihara nama Allah dari penghinaan dan tindakan meremehkannya. Dilarang menghadap atau membelakangi kiblat, berdasar-kan hadits yang bersumber dari Abi Ayyub Al-Anshari Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila kamu telah tiba di tempat buang air, maka janganlah kamu menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, apakah itu untuk buang air kecil ataupun air besar. Akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat". (Muttafaq'alaih). Ketentuan di atas berlaku apabila di ruang terbuka saja. Adapun jika di dalam ruang (WC) atau adanya pelindung / penghalang yang membatasi antara si pembuang hajat dengan kiblat, maka boleh menghadap ke arah kiblat. Dilarang kencing di air yang tergenang (tidak mengalir), karena hadits yang bersumber dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang diantara kamu buang air kecil di air yang menggenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di situ". (Muttafaq'alaih).
Makruh mencuci kotoran dengan tangan kanan, karena hadits yang bersumber dari Abi Qatadah Radhiallaahu 'anhu menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang diantara kamu memegang dzakar (kemaluan)nya dengan tangan kanannya di saat ia kencing, dan jangan pula bersuci dari buang air dengan tangan kanannya." (Muttafaq'alaih). Dianjurkan kencing dalam keadaan duduk, tetapi boleh jika sambil berdiri. Pada dasarnya buang air kecil itu di lakukan sambil duduk, berdasarkan hadits `Aisyah Radhiallaahu 'anha yang berkata: Siapa yang telah memberitakan kepada kamu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri, maka jangan kamu percaya, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah kencing kecuali sambil duduk. (HR. An-Nasa`i dan dinilai shahih oleh Al-Albani). Sekalipun demikian seseorang dibolehkan kencing sambil berdiri dengan syarat badan dan pakaiannya aman dari percikan air kencingnya dan aman dari pandangan orang lain kepadanya. Hal itu karena ada hadits yang bersumber dari Hudzaifah, ia berkata: "Aku pernah bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam (di suatu perjalanan) dan ketika sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau buang air kecil sambil berdiri, maka akupun menjauh daripadanya. Maka beliau bersabda: "Mendekatlah kemari". Maka aku mendekati beliau hingga aku berdiri di sisi kedua mata kakinya. Lalu beliau berwudhu dan mengusap kedua khuf-nya." (Muttafaq alaih). Makruh berbicara di saat buang hajat kecuali darurat. berdasarkan hadits yang bersumber dari Ibnu Umar Shallallaahu 'alaihi wa sallam diriwayatkan: "Bahwa sesungguhnya ada seorang lelaki lewat, sedangkan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam. sedang buang air kecil. Lalu orang itu memberi salam (kepada Nabi), namun beliau tidak menjawabnya. (HR. Muslim). Makruh bersuci (istijmar) dengan mengunakan tulang dan kotoran hewan, dan disunnatkan bersuci dengan jumlah ganjil. Di dalam hadits yang bersumber dari Salman Al-Farisi Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ia berkata: "Kami dilarang oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam beristinja (bersuci) dengan menggunakan kurang dari tiga biji batu, atau beristinja dengan menggunakan kotoran hewan atau tulang. (HR. Muslim). Dan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: " Barangsiapa yang bersuci menggunakan batu (istijmar), maka hendaklah diganjilkan." Disunnatkan masuk ke WC dengan mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan berbarengan dengan dzikirnya masing-masing. Dari Anas bin Malik Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwa ia berkata: "Adalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila masuk ke WC mengucapkan : "Allaahumma inni a'udzubika minal khubusi wal khabaaits" "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari pada syetan jantan dan setan betina". Dan apabila keluar, mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan : "Ghufraanaka" (ampunan-Mu ya Allah). Mencuci kedua tangan sesudah menunaikan hajat. Di dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah ra. diriwayatkan bahwasanya "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam menunaikan hajatnya (buang air) kemudian bersuci dari air yang berada pada sebejana kecil, lalu menggosokkan tangannya ke tanah. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah). ETIKA BERPAKAIAN DAN BERHIAS Disunnatkan memakai pakaian baru, bagus dan bersih.
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda kepada salah seorang shahabatnya di saat beliau melihatnya mengenakan pakaian jelek : "Apabila Allah Tabaroka wata'ala mengaruniakan kepadamu harta, maka tampakkanlah bekas ni`mat dan kemurahan-Nya itu pada dirimu. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh AlAlbani). Pakaian harus menutup aurat, yaitu longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak memperlihatkan apa yang ada di baliknya. Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya. Karena hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas Radhiallaahu 'anhu ia menuturkan: "Rasulullah melaknat (mengutuk) kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria." (HR. Al-Bukhari). Tasyabbuh atau penyerupaan itu bisa dalam bentuk pakaian ataupun lainnya. Pakaian tidak merupakan pakaian show (untuk ketenaran), karena Rasulullah Radhiallaahu 'anhu telah bersabda: "Barang siapa yang mengenakan pakaian ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari Kiamat." ( HR. Ahmad, dan dinilai hasan oleh Al-Albani). Pakaian tidak boleh ada gambar makhluk yang bernyawa atau gambar salib, karena hadits yang bersumber dari Aisyah Radhiallaahu 'anha menyatakan bahwasanya beliau berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan pakaian yang ada gambar salibnya melainkan Nabi menghapusnya". (HR. Al-Bukhari dan Ahmad). Laki-laki tidak boleh memakai emas dan kain sutera kecuali dalam keadaan terpaksa. Karena hadits yang bersumber dari Ali Radhiallaahu 'anhu mengatakan: "Sesungguhnya Nabi Allah Subhaanahu wa Ta'ala pernah membawa kain sutera di tangan kanannya dan emas di tangan kirinya, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya dua jenis benda ini haram bagi kaum lelaki dari umatku". (HR. Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani). Pakaian laki-laki tidak boleh panjang melebihi kedua mata kaki. Karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : "Apa yang berada di bawah kedua mata kaki dari kain itu di dalam neraka" (HR. Al-Bukhari). –penting- Adapun perempuan, maka seharusnya pakaiannya menutup seluruh badannya, termasuk kedua kakinya. Adalah haram hukumnya orang yang menyeret (menggusur) pakaiannya karena sombong dan bangga diri. Sebab ada hadits yang menyatakan : "Allah tidak akan memperhatikan di hari Kiamat kelak kepada orang yang menyeret kainnya karena sombong". (Muttafaq'alaih). Disunnatkan mendahulukan bagian yang kanan di dalam berpakaian atau lainnya. Aisyah Radhiallaahu 'anha di dalam haditsnya berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam suka bertayammun (memulai dengan yang kanan) di dalam segala perihalnya, ketika memakai sandal, menyisir rambut dan bersuci'. (Muttafaq'-alaih). Disunnatkan kepada orang yang mengenakan pakaian baru membaca : "Segala puji bagi Allah yang telah menutupi aku dengan pakaian ini dan mengaruniakannya kepada-ku tanpa daya dan kekuatan dariku". (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Disunnatkan memakai pakaian berwarna putih, karena hadits mengatakan: "Pakailah yang berwarna putih dari pakaianmu, karena yang putih itu adalah yang terbaik dari pakaian kamu ..." (HR. Ahmad dan dinilah shahih oleh Albani). Disunnatkan menggunakan farfum bagi laki-laki dan perempuan, kecuali bila keduanya dalam keadaan berihram untuk haji ataupun umrah, atau jika perempuan itu sedang berihdad (berkabung) atas kematian suaminya, atau jika ia berada di suatu tempat yang ada laki-laki asing (bukan mahramnya), karena larangannya shahih. Haram bagi perempuan memasang tato, menipiskan bulu alis, memotong gigi supaya cantik dan menyambung rambut (bersanggul). Karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam di dalam haditsnya mengatakan: "Allah melaknat (mengutuk) wanita pemasang tato dan yang minta ditatoi, wanita yang menipiskan bulu alisnya dan yang meminta ditipiskan dan wanita yang meruncingkan giginya supaya kelihatan cantik, (mereka) mengubah ciptaan Allah". Dan di dalam riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan: "Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya". (Muttafaq'alaih). ETIKA DI JALANAN Berjalan dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan atau mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain karena takabbur. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri". (Luqman: 18) Memelihara pandangan mata, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Katakanlah kepada orang laki-laki beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya...." (An-Nur: 30-31). Tidak mengganggu, yaitu tidak membuang kotoran, sisa makanan di jalan-jalan manusia, dan tidak buang air besar atau kecil di situ atau di tempat yang dijadikan tempat mereka bernaung. Menyingkirkan gangguan dari jalan. Ini merupakan sedekah yang karenanya seseorang bisa masuk surga. Dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketika ada seseorang sedang berjalan di suatu jalan, ia menemukan dahan berduri di jalan tersebut, lalu orang itu menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosanya..." Di dalam suatu riwayat disebutkan: maka Allah memasukkannya ke surga". (Muttafaq'alaih). Menjawab salam orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Ini hukumnya wajib, karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:"Ada lima perkara wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya- diantaranya: menjawab salam". (Muttafaq alaih). Beramar ma`ruf dan nahi munkar. Ini juga wajib dilakukan oleh setiap muslim, masing-masing sesuai kemampuannya.
Menunjukkan orang yang tersesat (salah jalan), memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan dan menegur orang yang berbuat keliru serta membela orang yang teraniaya. Di dalam hadits disebutkan: "Setiap persendian manusia mempunyai kewajiban sedekah...dan disebutkan diantaranya: berbuat adil di antara manusia adalah sedekah, menolong dan membawanya di atas kendaraannya adalah sedekah atau mengangkatkan barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah dan menunjukkan jalan adalah sedekah...." (Muttafaq alaih). Perempuan hendaknya berjalan di pinggir jalan. Pada suatu ketika Nabi pernah melihat campur baurnya laki-laki dengan wanita di jalanan, maka ia bersabda kepada wanita: "Meminggirlah kalian, kalain tidak layak memenuhi jalan, hendaklah kalian menelusuri pinggir jalan. (HR. Abu Daud, dan dinilai shahih oleh Al-Albani). Tidak ngebut bila mengendarai mobil khususnya di jalan-jalan yang ramai dengan pejalan kaki, melapangkan jalan untuk orang lain dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk lewat. Semua itu tergolong di dalam tolong-menolong di dalam kebajikan. ETIKA MEMBERI SALAM Makruh memberi salam dengan ucapan: "Alaikumus salam" karena di dalam hadits Jabir Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya ia menuturkan : Aku pernah menjumpai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka aku berkata: "Alaikas salam ya Rasulallah". Nabi menjawab: "Jangan kamu mengatakan: Alaikas salam". Di dalam riwayat Abu Daud disebutkan: "karena sesungguhnya ucapan "alaikas salam" itu adalah salam untuk orang-orang yang telah mati". (HR. Abu Daud dan AtTurmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani). Dianjurkan mengucapkan salam tiga kali jika khalayak banyak jumlahnya. Di dalam hadits Anas disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia mengucapkan suatu kalimat, ia mengulanginya tiga kali. Dan apabila ia datang kepada suatu kaum, ia memberi salam kepada mereka tiga kali" (HR. Al-Bukhari). Termasuk sunnah adalah orang mengendarai kendaraan memberikan salam kepada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada yang banyak, dan orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Demikianlah disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah yang muttafaq'alaih. Disunnatkan keras ketika memberi salam dan demikian pula menjawabnya, kecuali jika di sekitarnya ada orang-orang yang sedang tidur. Di dalam hadits Miqdad bin AlAswad disebutkan di antaranya: "dan kami pun memerah susu (binatang ternak) hingga setiap orang dapat bagian minum dari kami, dan kami sediakan bagian untuk Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam Miqdad berkata: Maka Nabi pun datang di malam hari dan memberikan salam yang tidak membangunkan orang yang sedang tidur, namun dapat didengar oleh orang yang bangun".(HR. Muslim). Disunatkan memberikan salam di waktu masuk ke suatu majlis dan ketika akan meninggalkannya. Karena hadits menyebutkan: "Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak keluar, hendaklah memberikan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak daripada yang kedua. (HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani). Disunnatkan memberi salam di saat masuk ke suatu rumah sekalipun rumah itu kosong, karena Allah telah berfirman yang artinya:
" Dan apabila kamu akan masuk ke suatu rumah, maka ucapkanlah salam atas diri kalian" (An-Nur: 61) Dan karena ucapan Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma : "Apabila seseorang akan masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan : Assalamu `alaina wa `ala `ibadillahis shalihin" (HR. Bukhari di dalam Al-Adab AlMufrad, dan disahihkan oleh Al-Albani). Dimakruhkan memberi salam kepada orang yang sedang di WC (buang hajat), karena hadits Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma yang menyebutkan "Bahwasanya ada seseorang yang lewat sedangkan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sedang buang air kecil, dan orang itu memberi salam. Maka Nabi tidak menjawabnya". (HR. Muslim) Disunnatkan memberi salam kepada anak-anak, karena hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: Bahwasanya ketika ia lewat di sekitar anakanak ia memberi salam, dan ia mengatakan: "Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam". (Muttafaq'alaih). Tidak memulai memberikan salam kepada Ahlu Kitab, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :" Janganlah kalian terlebih dahulu memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani....." (HR. Muslim). Dan apabila mereka yang memberi salam maka kita jawab dengan mengucapkan "wa `alaikum" saja, karena sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Apabila Ahlu Kitab memberi salam kepada kamu, maka jawablah: wa `alaikum".(Muttafaq'alaih). Disunnatkan memberi saam kepada orang yang kamu kenal ataupun yang tidak kamu kenal. Di dalam hadits Abdullah bin Umar Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi: Engkau memberikan makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum kamu kenal". (Muttafaq'alaih). Disunnatkan menjawab salam orang yang menyampaikan salam lewat orang lain dan kepada yang dititipinya. Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Sesungguhnya ayahku menyampaikan salam untukmu. Maka Nabi menjawab : "`alaika wa`ala abikas salam" Dilarang memberi salam dengan isyarat kecuali ada uzur, seperti karena sedang shalat atau bisu atau karena orang yang akan diberi salam itu jauh jaraknya. Di dalam hadits Jabir bin Abdillah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian memberi salam seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena sesungguhnya pemberian salam mereka memakai isyarat dengan tangan". (HR. Al-Baihaqi dan dinilai hasan oleh AlAlbani). Disunnatkan kepada seseorang berjabat tangan dengan saudaranya. Hadits Rasulullah mengatakan: "Tiada dua orang muslim yang saling berjumpa lalu berjabat tangan, melainkan diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah" (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani). Dianjurkan tidak menarik (melepas) tangan kita terlebih dahulu di saat berjabat tangan sebelum orang yang dijabat tangani itu melepasnya. Hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia diterima oleh seseorang lalu berjabat tangan, maka Nabi tidak melepas
tangannya sebelum orang itu yang melepasnya...." (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani). Haram hukumnya membungkukkan tubuh atau sujud ketika memberi penghormatan, karena hadits yang bersumber dari Anas menyebutkan: Ada seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah, kalau salah seorang di antara kami berjumpa dengan temannya, apakah ia harus membungkukkan tubuhnya kepadanya? Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Tidak". Orang itu bertanya: Apakah ia merangkul dan menciumnya? Jawab nabi: Tidak. Orang itu bertanya: Apakah ia berjabat tangan dengannya? Jawab Nabi: Ya, jika ia mau. (HR. At-Turmudzi dan dinilai shahih oleh AlAlbani). Haram berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika akan dijabat tangani oleh kaum wanita di saat baiat, beliau bersabda: "Sesung-guhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita". (HR.Turmudzi dan Nasai, dan dishahihkan oleh Albani).
ETIKA MEMINTA IZIN Hendaknya orang yang akan meminta izin memilih waktu yang tepat untuk minta izin. Hendaknya orang yang akan minta izin mengetuk pintu rumah orang yang akan dikunjunginya secara pelan. Anas Radhiallaahu 'anhu meriwayatkan bahwasanya ia telah berkata: Sesung-guhnya pintu-pintu kediaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam diketuk (oleh para tamunya) dengan ujung kuku". (HR. Al-Bukhari di dalam AlAdab Al-Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani). Hendaknya orang yang mengetuk pintu tidak menghadap ke pintu yang diketuk, tetapi sebaiknya menolehkan pandangannya ke kanan atau ke kiri agar pandangan tidak terjatuh kepada sesuatu di dalam rumah tersebut yang dimana penghuni rumah tidak ingin ada orang lain yang melihatnya. Karena minta izin itu sebenarnya dianjurkan untuk menjaga pandangan. Sebelum minta izin hendaknya memberi salam terlebih dahulu. Rib`iy berkata: Telah bercerita kepada saya seorang lelaki dari Bani `Amir, bahwasanya ia pernah minta izin kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam di saat beliau ada di suatu rumah. Orang itu berkata: Bolehkah saya masuk? Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepada pembantunya: "Jumpailah orang itu dan ajari dia cara minta izin, dan katakan kepadanya: Ucapkan Assalamu `alaikum, bolehkah saya masuk?". (HR. Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani). Minta izin itu sampai tiga kali, jika sesudah tiga kali tidak ada jawaban maka hendaknya pulang. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila salah seorang di antara kamu minta izin sudah tiga kali, lalu tidak diberi izin, maka hendaklah ia pulang". (Muttafaq'alaih). Apabila orang yang minta izin itu ditanya tentang namanya, maka hendaklah ia menyebutkan nama dan panggilannya, dan jangan mengatakan: "Saya". Jabir Radhiallaahu 'anhu menuturkan: "Aku pernah datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk menanyakan hutang yang ada pada ayah saya. Maka aku ketuk pintu (rumah Nabi). Lalu Nabi berkata: "Siapa itu?". Maka aku jawab: Saya. Maka Nabi berkata: "Saya! Saya!" dengan nada tidak suka." (Muttafaq'alaih).
Hendaknya peminta izin pulang apabila permintaan izinnya ditolak, karena Allah telah berfirman yang artinya: "Dan jika dikatakan kepada kamu "pulang", maka pulanglah kamu, karena yang demikian itu lebih suci bagi kamu". (An-Nur: 28). Hendaknya peminta izin tidak memasuki rumah apabila tidak ada orangnya, karena hal tersebut merupakan perbuatan melampaui hak orang lain.
ETIKA MASUK RUMAH ORANG 27. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. 30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." 31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orangorang yang beriman supaya kamu beruntung.
Akhlak yang Mulia
Akhlak secara bahasa (lughah/etimologi) adalah tabiat, pembawaan atau karakter (Kitab An Nihayah 2/70). Sedangkan secara istilah atau terminologinya akhlak memiliki beberapa definisi sebagai berikut :
· Imam Ibnul Mubarak mendefinisikan, "Akhlak yang mulia adalah berwajah ceria, memberikan kebaikan dan menahan diri dari gangguan" (Kitab Jami'ul Ulum wal Hikam 1/457) ·
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, "Akhlak mulia itu dengan bersabar atas
gangguan manusia, tidak marah dan tidak berlaku kasar kepada mereka" (Kitab Adab Syar'iyah 2/191) · Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Asas akhlak mulia terhadap sesama manusia adalah engkau menyambung persahabatan terhadap orang yang memutusmu dengan memberi salam, memuliakan, mendoakan kebaikannya, memuji dan mengunjunginya" (Kitab Majmu' Fatawa 10/658) · Syaikh Abdurrahman As Sa'di berkata, "Akhlak yang mulia asasnya adalah sabar dan lembut, sehingga menghasilkan sifat pemaaf, berlapang dada, bermanfaat bagi manusia, sabar atas gangguan serta membalas kejelekan dengan kebaikan" (Kitab Ar Riyadhun Nadhirah hal. 68)
Rasulullah SAW merupakan manusia yang paling mulia akhlaknya sebagaimana Allah SWT berfirman,
"Dan sesungguhnya kamu benar - benar berbudi pekerti yang agung" (QS Al Qalam 4)
Suatu ketika dikisahkan seorang sahabat mulia Hakim bin Aflah ra. bertanya kepada Aisyah ra. tentang akhlak Rasulullah SAW, lalu Aisyah ra. menuturkan,
"Tidakkah engkau membaca Al Qur'an ? Ketahuilah akhlak beliau adalah Al Qur'an" (HR. Muslim no. 746, Abu Dawud no. 1342 dan Ahmad 6/54)
Dan salah satu agenda dakwah Rasulullah SAW di muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia sebagaimana sabdanya,
"Innamaa bu'itstu liutammimal shaalihal akhlaaq" yang artinya "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang shalih" (HR. Ahmad 2/381 dan Hakim 2/613, hadits ini dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Kitab Ash Shahihah)
Sehingga dengan demikian akhlak yang mulia menempati kedudukan yang tinggi di
dalam Islam dan sangat berkorelasi dengan keimanan. Rasulullah SAW bersabda,
"Akmalul mu'mini imaanan ahsanuHum akhlaaqan" yang artinya "Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya" (HR. Abu Dawud no. 4682, At Tirmidzi no. 1162 dan Ahmad 2/472, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Kitab Ash Shahihah)
Berkaitan dengan masalah ini, Imam Ibnul Qayyim juga berkata, "Agama ini seluruhnya akhlak, barangsiapa memperbaiki akhlaknya maka baik pula agamanya" (Kitab Madarijus Salikin 2/320)
Pada akhirnya, akhlak mulia yang dimiliki seorang muslim akan membawanya menuju surga yang penuh dengan kebaikan dan kenikmatan. Rasulullah SAW pernah ditanya tentang amalan apa yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga maka Rasullah SAW menjawab,
"TaqwallaHi wa husnul khuluq" yang artinya "Takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia" (HR. At Tirmidzi no. 2004, Ibnu Majah no. 4246, Ahmad 2/291, Ibnu Hibban no. 476, dan Al Hakim 4/324, dari Abu Hurairah ra., hadits ini dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Kitab Ash Shahihah)
a. Akhlak Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan). Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama). Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan
isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macammacam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima cirri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.[3] b. Etika Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia. Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya. Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia. c. Moral Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adapt kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama
membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat. Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada. Kesadaran moral erta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilainilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar. d. Karakteristik dalam ajaran Islam Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat. Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun
dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral. Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilainilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesame manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral. Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa). 3. Penutup Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah. Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadis. Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat local dan individual. Etika menjelaskan ukuran baikburuk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan. Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
DEFINISI AKHLAK 1.Menurut Imam Abu Hamid Al-Gazali Kata al-khalq ‘Fisik’ dan al-khuluq ‘akhlak’ adalah dua kata yang sering dipakai bersaman. Seperti redaksi bahasa arab ini, fulaan husnu al-khalq wa al-khuluq yang artinya “si fulan baik lahirnya juga batinnya”. Sehingga yang dimaksud dengan kata “alkhalaq” adalah bentuk lahirnya. Sedangkan al-khuluq adalah bentuk batinnya. Hal ini karena manusia tersusun dari fisik yang dapat dilihat dengan mata kepala, dan dari ruh yang dapat ditangkap dengan batin. Masing-masing dari keduanya memiliki bentuk dan gambaran, ada yang buruk ada pula yang baik. Dan ruh yang ditangkap oleh mata batin itu lebih tinggi nilainya dari fisik yang ditangkap dengan penglihatan mata. Yang dimaksud dengan ruh dan jiwa di sini adalah sama. Kata al-khuluq merupakan suatu sifat yang terpatri dalam jiwa, yang darinya terlahir perubahan-perubahan dengan mudah tanbpa memikirkan dan merenung terlebih dahulu. Jika sifat yang tertanam itu darinya terlahir perbuatan-perbuatan baik dan terpuji menurut rasio dan syariat, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang baik. Sedangkan jika yang terlahir adalah perbuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang buruk. Al-khuluq adalah suatu sifat jiwa dan gambaran batinnya. Dan sebagaimana halnya keindahan bentuk lahir manusia secara mutlak tak dapat terwujud hanya dengan keindahan dua mata, dengan tanpa hidung, mulut dan pipi. Sebaliknya, semua unsur tadi harus indah sehingga terwujudlah keindahan lahir manusia itu. Demikian juga, dalam batin manusia ada empat rukun yang harus terpenuhi seluruhnya sehingga terwujudlah keindahan khuluq “akhlak”. Jika keempat rukun itu terpenuhi, indah dan saling bersesuaian, maka terwujudlah keindahan akhlak itu. Keempat rukun itu antara lain: 1)Kekuatan ilmu 2)Kekuatan marah 3)Kekuatan syahwat 4)Kekuatan mewujudkan keadilan di antara tiga kekuatan tadi 1)Kekuatan Ilmu Keindahan dan kebaikannya adalah dengan membentuknya hingga menjadi mudah mengetahui perbedaan antara juur dan dusta dalam ucapan, antara kebenaran dan kebatilan dalam beraqidah, dan antara keindahan dan keburukan dalam perbuatan. Jika kekuatan ini telah baik, maka lahirlah buak hikmah, dan hikmah itu sendiri adalah puncak akhlak yang baik. Seperti difirmankan Allah SWT., “…..Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak ….” (Al-Baqarah: 269). 2)Kekuatan marah Keindahannya adalah jika mengeluarkan marah itu dan penahannya sesuai tuntutan hikmah. 3)Kekuatan syahwat Keindahan dan kebaikannya adalah jika ia berada di bawah perintah hikmah. Maksudnya perintah akal dan syariat.
4)Kekuatan mewujudkan keadilan di antara tiga kekuatan tadi Adalah kekuatan dalam mengendalikan syahwat dan kemarahan di bawah perintah akal dan syariat. Perumpamaan akal adalah seperti seorang pemberi nasihat dan pemberi petunjuk Kekuatan keadilan adalah kemampuan, dan perumpamaannya adalah seperti pihak yang menjadi pelaksana dan pelaku bagi perintah akal. Dan kemarahan adalah tempat yang padanya dilaksanakan perintah tadi itu. Perumpamaannya adalah seperti anjing pemburu, yang perlu dilatih, sehingga gerakgeriknya sesuai dengan perintah, bukan sesuai dengan dorongan syahwat dirinya. Sementara perumpamaan syahwat adalah seperti kuda yang ditunggangi untuk mencari hewan buruan, yang terkadang jinak dan menuruti perintah, dan terkadang pula binal. Siapa yang dapat mewujudkan kesimbangan unsur-unsur tadi, ia pun menjadi sosok yang berakhlak baiks secara mutlak. Sementara orang yang hanya dapat mewujudkan keseimbangan sebagian unsur itu saja, maka ia menjadi orang yang berakhlak baik jika dilihat pada segi yang baik itu saja, seperti orang yang sebagian wajahnya indah, sementara sebagian lainnya buruk. Keindahan kekuatan kemarahan dan keseimbangannya digambarkan dengan keberanian Keindahan kekuatan syahwat dan keseimbangannya digambarkan dengan sifat iffah menjaga kesucian diri Jika kekuatan marah seseorang cenderung ke arah bertambah maka ia dinamakan dengan tahwwur ‘sembrono’. Sedangkan, jika cenderung melemah dan berkurang maka dinamakan pengecut. Jika kekuatan syahwat cenderung bertambah maka ia dinamakan serakah, sedangkan jika cenderung melemah dan berkurang dinamakan statis. Yang terpuji adalah sikap seimbang yang merupakan keutamaan, sedangkan dua sikap yang cenderung bertambah dan melemah adalah dua hal yang tercela. Sedangkan keadilan, jika ia terluput maka ia tak mempunyai dua sisi ekstrem, berlebihan atau kurang, tapi ia mempunyai satu lawan dan antonimnya, yaitu kezaliman. Sementara hikmah, tindakan menguranginya ketika menggunakannya dalam perkaraperkara yang tidak baik dinamakan kebusukan dan kerendahan. Sementara tindakan berlebihan padanya dinamakan kedunguan. Maka sikap pertengahannyalah yang dinamakan dengan hikmah. Dengan demikian, pokok-pokok utama akhlak ada empat, yaitu: Hikmah, keberanian, iffah, menjaga kesucian diri, dan keadilan. Hikmah adalah kondisi kekuatan kemarahan yang tunduk kepada akal, dalam maju dan mundurnya. Kesucian diri adalah melatih kekuatan syahwat dengan kendali akal dan syariat. Keadilan adalah kondisi jiwa dan kekuatannya memimpin kemarahan dan syahwat, dan membimbingnya untuk berjalan sesuai dengan tuntutan hikmah, juga memegang kendalinya dalam melepas dan menahannya, sesuai dengan tuntutan kebaikan. Dari keseimbangan pokok-pokok tersebut, terwujudlah seluruh akhlak yang mulia. 2.Menurut Muhammad bin Ali Asy-Syariif al-Jurjani Al-Jurjani mendefinisikan akhlak dalam bukunya, at-Ta’rifat sebagai berikut: “Khlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berfikir dan merennung. Jika sifat tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syariat, dengan mudah, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak baik. Sedangkan
jika darinya terlahir pebuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang buruk” kemudian Al-Jurjani kembali berkata “Kami katakan akhlak itu sebagai suatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, karena orang yang mengeluarkan derma jarang-jarang dan kadang-kadang saja, maka akhlaknya tidak dinamakan sebagai seorang dermawan, selama sifat tersebut tak tertanam kuat dalam dirinya. Demikian juga orang yang berusaha diam ketika marah, dengan sulit orang yang akhlaknya dermawan, tapi ia tidak mengeluarkan derma. Dan hal itu terjadi kemungkinan karena ia tidak punya uang atau karena ada halangan. Sementara bisa saja ada orang yang akhlaknya bakhil, tapi ia mengeluarkan derma, karena ada suatu motif tertentu yang mendorongnya atau karena ingin pamer Dari pemaparan tadi tampak bahwa ketika mendefinisikan akhlak, al-Jurjani tidak berbeda dengan definisi Al-Ghazali. Hal itu menunjukan bahwa kedua orang ini mengambil ilmu dari sumber yang sama, dan keduanya juga tidak melupakan Hadits yang menyifati akhlak yang baik atau indah bahwa akhlak adalah apa yang dinilai oleh akal dan syariat. 3.Menurut Ahmad bin Musthafa (Thasy Kubra Zaadah) Ia seorang ulama ensiklopedia – mendefinisikan akhlah sebgai berikut; “Akhlak adalah ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan. Dan keutamaan itu adalah terwujudnya keseimbangan antara tiga kekuatan, yaitu; kekuatan berfikir, kekuatan marah, kekuatan syahwat. Dan masing-masing kekuatan itu mempunyai posisi pertengahan di antara dua keburukan, yakni sebagai berikut: Hikmah, merupakan kesempurnaan kekuatan berfikir, dan posisi pertengahan antara dua keburukan, yaitu: kebodohan dan berlaku salah. Yang pertama adalah kurangnya Hikmah, dan yang kedua adalah berlebihan. Keberanian. Adalah kesempurnaan kekuatan amarah dan posisi pertengahan antara dua keburukan, yaitu kebodohan dan berlaku salah. Yang pertama adalah kurangnya keberanian dan yang kedua adalah berlebihan keberanian. Iffah adalah kesempurnaan kekuatan sahwat dan posisi pertengahan antara dua keburukan, yaitu kestatisan dan berbuat hina. Yang pertama, adalah kurangnya sifat tersebut, sedangkan yang kedua adalah berlebihnya sifat tersebut. Ketiga sifat ini, yaitu Hikmah, keberanian dan iffah, masing-masing mempunyai cabang, dan masing-masing cabang tersebut merupakan tersebut merupakan posisi pertengahan anatara dua keburukan. Sedangkan sebaik perkara adalah pertengahnnya. Dan dalam ilmu akhlak disebutkan penjelasan detail tentang hal-hal ini. Kemudian cara pengobatannya adalah dengan menjaga diri untuk tidak keluar posisi dari posisi pertengahan, dan terus berada di posisi pertengahan itu Topik ilmu ini adalah insting – insting diri, yang membuatnya berada di posisi petengahan antara sikap mengurangi dan berlebihan Para ahli Hikmah berkata kepada Iskandar, “Tuan raja, hendaknya anda bersikap pertengahan dalam segala perkara. Karena berlebihan adalah keburukan sedangkan mengurangi adalah kelemahan” Manfaat ilmu ini adalah agar manusia sedapat mungkin menjadi sosok yang sempurna
dalam perbuatan-perbuatannya, sehingga di dunia ia berbahagia dan di akherat menjadi sosok yang terpuji 4.Menurut Muhammad bin Ali al-Faaruqi at-Tahanawi Ia berkata, “Akhlak adalah keseluruhannya kebiasaan, sifat alami, agama, dan harga diri Menurut definisi para ulama, akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri dengan kuat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa diawalai berfikir panjang, merenung dan memaksakan diri. Sedangkan sifat-sifat yang tak tertanam kuat dalam diri, seperti kemarahan seorang yang asalnya pemaaf, maka ia bukan akhlak. Demikian juga, sifat kuat yang justru melahirkan perbuatan-perbuatan kejiwaan dengan sulit dan berfikir panjang, seperti orang bakhil. Ia berusaha menjadi dermawan ketika ingin di pandang orang. Jika demikian maka tidaklah dapat dinamakan akhlak. Segala tindakan mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu seperti Qudrat ‘kemampuan’ berbeda dengan dudrat, yaitu ia tidak wajib ada bersama makhluk ketika ia mengerjakan sesuatu seperti wajibnya hal itu menurut para ulama Asy’ari dalam masalah Qudrat Kemudian at-Tahanawi berkata, “Akhlah terbagi atas hal sebagai berikut Keutamaan, yang merupakan dasar bagi apa yang sempurna Kehinaan, yang merupakan dasar bagi apa yang kurang Dan selain keduanya yang menjadi dasar bagi selain kedua hal itu” Penjelasannya adalah bahwa jiwa yang mampu berbicara, ketika berkaitan enggan fisik dan Pengendalian atas fisik, serta memerlukan tiga kekuatan Pertama, kekuatan yang mampu memikirkan apa yang dibutuhkan dalam membuat perencanaan dan aturan. Yang dinamakan dengan kekuatan akal, kekuatan berbicara, insting, dan jiwa yang tenang dan dikatakan pula sebagai kekuatan yang menjadi dasar untuk memahami hakikat-hakikat, keinginan untuk memperhatikan akibat-akibat setiap perbuatan, dan membedakan antara yang mendatangkan manfaat dan mengasilkan kerusakan. Kedua, kekuatan yang mendorong seseorang untuk mendapatkan apa yang memberi manfaat bagi fisiknya dan cocok dengannya, seprti makanan, minuman dan lainnya, dan hal itu dinamakan dengan kekuatan syahwat, unsur hewani dan nafsu amarah Ketiga, kekuatan yang dapat menghindari seseorang dari sesuatu yang dapat merusak dan membuat pedih tubuhnya, dan hal itu dikatakan pula sebagai dasar untuk maju dalam keadaan sulit, dan pendorong untuk berkuasa dan meningkatkan derajat diri. Kekuatan ini dinamakan dengan kekuatan amarah dan ganas, serta nafsu lawwanah. Kemudian ia berkata bahwa dari keseimbangan kondisi kekuatan instingtif lahirlah Hikmah, Hikmah itu adalah suatu keadaan kekuatan akal praktis yang berada pada posisi pertengahan antara berfikir terlalu mengkhayal kondisi berlebih dari kekuatan ini, yaitu ketika seseorang menggunakan kekuatan pemikiran untuk memikirkan apa yang tak seharusnya dipikirkan, seperti perkara-perkara yang mustasyaabihat ‘samat’ dan bentuk yang tak seharusnya sperti menyalahi syariat. Dan antara kebodohan dan kedunguan yang merupakan kondisi kekurangan Hikmah, yaitu ketika seseorang mematikan kekuatan berfikirnya secara sengaja. Dan berhenti dari mendapatkan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Keseimbangan kekuatan syahwat melahirkan sifat iffah menjaga kesucian diri iffah itu sendiri adalah kekuatan syahwat yang moderat antara bertindak berlebihan dan
melanggar etika sifat kurangnya berarti jatuh dalam terus mengikuti dorongan merasakan kelezatan apa yang ia senangi, dengan kesatisan sifat lebihnya iffah yang merupakan kondisi vakum dari usaha mendapatkan kelezatan sesuai dengan kadara yang diperbolehkan akal dan syariat. Dalam sifat iffah tersebut nafsu syahwat tunduk terhadap kekuatan Pikiran Kesimbangan kekuatan marah melahirkan keberanian. Keberanian itu adalah suatu kondisi kekuatan marah, yang bersifat moderat antara tindakan sembrono yang merupakan kondisi berani yang berlebihan yaitu maju untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dengan sifat pengecut, sikap khawatir atas apa yang tak seharusnya dikhawatirkan, dan ia adalah kondisi kurang berani. Dalam kekuatan keberanian ini, sifat buas menjadi tunduk kepada kekuatan berfikir, sehingga maju dan mundurnya kekuatan ini sesuai dengan pertimbangan pemikiran, tanpa mengalami kebingungan ketika menghadapi masalah-masalah besar, dan karena itu perbuatannya menjadi indah dan kesabarannya menjadi terpuji. Jika keutamaan yang tiga itu bercampur, maka terjadilah dari percampuran itu kondisi yang sama, yaitu keadilan. Karena hal ini, maka keadilan digambarakan sebagai sikap tengah atau moderat, dan itulah yang dimaksud dengan Sabda Rasulullah sawa ini “Paling baik perkara adalah yang pertengahan” Kemudian at-Tahanawi meneruskan perkataannya, dan ia pun berbicara tentang akhlah yang agung, ia berkata bahwa akhlak agung bagi para shalihin adalah berpaling daru dua semesta, dan menghadap hanya kepada Allah semata secara total. Al-Wasithi berkata bahwa akhlak yang agung adalah tidak memusuhi dan tidak dimusuhi Athaa berkata bahwa akhlak yang agung adalah melepaskan pilihan dan penolakannya atas segala kesulitan dan cobaan yang diturunkan Allah SWT. Akhlak yang agung bagi Nabi SAW adalah yang disinyalir dalam firman Allah SWT “Dan sesungguhnya kamu benar-benar-benar berbudi pekerti yang agung” (al-Qalam:4) dans sesuai yang dikatakan oleh Aisyah r.a bahwa akhlak Rasulullah SAW adalah AlQur’an, yang bertindak sesuai dengan Al-Qur’an dan telah tertanam kuat dalam diri, sehingga beliau menjalaninya tanpa kesulitan. 5.Kesimpulan Para ulama Islam yang menulis tentang akhlak itu menjelaskan bahkan menkankan pa yang diperhatikan oleh para penulis barat, yaitu bahwa akhlak yang baik adalah apa yang dinilai baik oleh akal dan syariat. Sedangkan akal saja tak cukup untuk menilai baik dan buruknya suatu perbuatan. Oleh karena itu, Allah mengutus para Rasul dan menurunkan pertimbangan (Kitab Suci) bersama mereka yang memperlakukan manusia dengan penuh keadilan Demikianlah, ukuran akhlak yang baik jika sesuai dengan syariat Allah. Berhak mendapatkan ridha-Nya dan dalam memegang akhlak yang baik ini sambil memperhatikan pribadi, keluarga, dan masyarakat, sehingga di dalamnya terdapat kebaikan dunia dan akherat Sub judul ini berbicara tentang segi etimologi pendidikan akhlak, maka kami masih perlu penjelasan dimensi-dimensi maknawi bagi pendidikan bagi pendidikan akhlak ini. BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini teknologi sudah semakin maju. Dimana orang dalam memerlukan berita atau informasi sudah sangat mudah memperolehnya. Dari sekian banyak kemajuan teknologi salah satu diantaranya adalah pesawat televisi. Berbicara mengenai televisi, tentu ada tiga pihak yang terlibat di dalamnya, yakni yang menyajikan, yang disajikan dan yang menikmati. Televisi yang selama ini berperan sebagai media massa elektronik, walaupun dalam bentuk yang paling sederhana, ternyata mampu menggelitik, mempengaruhi dan menggiring seluruh umat manusia untuk membeli dan memilikinya di berbagai belahan bumi ini sehingga boleh jadi, sampai hari ini, sudah sekian milyar pesawat televisi diproduksi banyak pabrik di seluruh dunia. Sementara merk, harga, mutu dan modelnya pun sudah sangat beragam dan banyak pilihan. Televisi dengan berbagai program acara siarannya selama ini dengan berbagai jenis tayangan informasi dan hiburannya memang selalu menawarkan suatu kenikmatan tersendiri bagi para pemirsanya. Manfaat dan kegunaan pesawat televisi memang bukan tidak ada. Hanya, dibandingkan dengan kerugiannya, manfaat menonton acara televisi sampai saat ini, jauh lebih kecil ketimbang kemudaratan atau kerugian yang akan ditimbulkannya. Untuk itulah pemerintah telah mengatur Undang-Undang Republik Indonesia nomor: 24 tahun 1997 tentang Penyiaran. Sebagai dasar pengaturan dan pembinaan penyelenggaraan penyiaran dimana penyiaran merupakan bagian integral dari pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dalam upaya mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini tercantum dalam BAB Ii Undang-Undang Penyiaran Nomor 24 tahun 1997. Pasal 2: Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 3: Penyiaran berdasarkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kemanfaatan, pemerataan, keseimbangan, keserasian dan keselarasan, kemandirian, kejuangan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi Pasal 4: Penyiaran bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membangun masyarakat adil dan makmur. Pasal 5: Penyiaran mempunyai fungsi sebagai media informasi dan penerangan, pendidikan dan hiburan, yang memperkuat ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Pasal 6: penyiaran diarahkan untuk a. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia b. Menyalurkan pendapat umum yang konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pembangunan. c. Meningkatkan ketahanan budaya bangsa d. Meningkatkan kesadaran hukum dan disiplin nasional yang mantap dan dinamis Berdasarkan pada uraian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa segala macam
penyiaran termasuk penyiaran atau tayangan di televisi harus berdasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Memang tayangan televisi ada manfaat dan mudarat atau kerugiannya. Lebih-lebih apabila pengaruh tayangan yang merugikan atau negatif dicerna oleh anak-anak yang pada gilirannya akan mewarnai pola pikir anak-anak. Apabila pola pikir anak-anak sudah terkontaminasi oleh pikiran yang tidak sehat maka akan terbawa pada usia remaja. Dan kita sadari bahwa remaja adalah bentuk miniatur dari pada kehidupan suatu bangsa. Akan bagaimana Indonesia untuk masa mendatang tergantung dari pada warna anak-anak yang akan menjadi remaja dan bagaimana pola pikir remajanya. B. Rumusan Masalah Masalah yang muncul dalam penyusunan karya ilmiah ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut: 1. Sejauhmana pengaruh tayangan televisi terhadap akhlak anak? 2. Mengapa tayangan televisi berpengaruh terhadap akhlak anak? C. Tujuan Penyusunan Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan ini adalah: 1. Untuk mengetahui sejauhmana pengaruh televisi terhadap akhlak anak 2. Untuk mengetahui mengapa tayangan televisi berpengaruh terhadap akhlak anak. D. Teknik Penyusunan Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini dengan menggunakan studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan referensi dan buku-buku sebagai landasan teoritis mengenai masalah yang akan diselesaikan. BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP AKHLAK ANAK A. Gambaran Umum Tayangan Televisi 1. Pengertian Televisi Televisi berasal dari kata tele dan visie, tele artinya jauh dan visie artinya penglihatan, jadi televisi adalah penglihatan jarak jauh atau penyiaran gambar-gambar melalui gelombang radio. (Kamus Internasional Populer: 196) Televisi sama halnya dengan media massa lainnya yang mudah kita jumpai dan dimiliki oleh manusia dimana-mana, seperti media massa surat kabar, radio, atau komputer. Televisi sebagai sarana penghubung yang dapat memancarkan rekaman dari stasiun pemancar televisi kepada para penonton atau pemirsanya di rumah, rekaman-rekaman tersebut dapat berupa pendidikan, berita, hiburan, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan televisi adalah sistem elektronik yang mengirimkan gambar diam dan gambar hidup bersama suara melalui kabel (Arsyad, 2002: 50). Sistem ini menggunakan peralatan yang mengubah cahaya dan suara ke dalam gelombang elektrik dan mengkonversikannya kembali ke dalam cahaya yang dapat dilihat dan suara yang
dapat didengar. Dewasa ini televisi dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan dengan mudah dapat dijangkau melalui siaran dari udara ke udara dan dapat dihubungkan melalui satelit. Apa yang kita saksikan pada layar televisi, semuanya merupakan unsur gambar dan suara. Jadi ada dua unsur yang melengkapinya yaitu unsur gambar dan unsur suara. Rekaman suara dengan gambar yang dilakukan di stasiun televisi berubah menjadi getaran-getaran listrik, getaran-getaran listrik ini diberikan pada pemancar, pemancar mengubah getaran getarangetaran listrik tersebut menjadi gelombang elektromagnetik, gelombang elektromagnetik ini ditangkap oleh satelit. Melalui satelit inilah gelombang elektromagnetik dipancarkan sehingga masyarakat dapat menyaksikan siaran televisi. 2. Tujuan dan Fungsi Televisi a. Tujuan Sesuai dengan undang-undang penyiaran nomor 24 tahun 1997, BAB II pasal 4, bahwa penyiaran bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, dan membangun masyarakat adil dan makmur. Jadi sangat jelas tujuan secara umum adanya televisi di Indonesia sudah diatur dalam undang-undang penyiaran ini. Sedangkan tujuan secara khususnya dimiliki oleh stasiun televisi yang bersangkutan, contohnya TVRI “Menjalin Persatuan dan Kesatuan”. Dari uraian di atas penulis dapat mengklarifikasikan mengenai tujuan secara umum adanya televisi atau penyiaran di Indonesia, adalah sebagai berikut: 1. Menumbuhkan dan mengembangkan mental masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 2. Memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dan 3. Mengembangkan masyarakat adil dan makmur b. Fungsi Pada dasarnya televisi sebagai alat atau media massa elektronik yang dipergunakan oleh pemilik atau pemanfaat untuk memperoleh sejumlah informasi, hiburan, pendidikan dan sebagainya. Sesuai dengan undang-undang penyiaran nomor 24 tahun 1997, BAB II pasal 5 berbunyi “Penyiaran mempunyai fungsi sebagai media informasi dan penerangan, pendidikan dan hiburan, yang memperkuat ideology, politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan.” Banyak acara yang disajikan oleh stasiun televisi di antaranya, mengenai sajian kebudayaan bangsa Indonesia, sehingga hal ini dapat menarik minat penontonnya untuk lebih mencintai kebudayaan bangsa sendiri, sebagai salah satu warisan bangsa yang perlu dilestarikan. Dari uraian di atas mengenai fungsi televisi secara umum menurut undang-undang penyiaran, dapat kita deskripsikan bahwa fungsi televisi sangat baik karena memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Media informasi dan penerangan 2. Media pendidikan dan hiburan 3. Media untuk memperkuat ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya 4. Media pertahanan dan keamanan
3. Manfaat dan Mudarat Televisi a. Manfaat Televisi Televisi memang tidak dapat difungsikan mempunyai manfaat dan unsur positif yang berguna bagi pemirsanya, baik manfaat yang bersifat kognitif afektif maupun psikomotor. Namun tergantung pada acara yang ditayangkan televisi Manfaat yang bersifat kognitif adalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan atau informasi dan keterampilan. Acara-acara yang bersifat kognitif di antaranya berita, dialog, wawancara dan sebagainya. Manfaat yang kedua adalah manfaat afektif, yakni yang berkaitan dengan sikap dan emosi. Acara-acara yang biasanya memunculkan manfaat afektif ini adalah acara-acara yang mendorong pada pemirsa agar memiliki kepekaan sosial, kepedulian sesama manusia dan sebagainya. Adapun manfaat yang ketiga adalah manfaat yang bersifat psikomotor, yaitu berkaitan dengan tindakan dan perilaku yang positif. Acara ini dapat kita lihat dari film, sinetron, drama dan acara-acara yang lainnya dengan syarat semuanya itu tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada di Indonesia ataupun merusak akhlak pada anak. Televisi menarik minat baik terhadap orang dewasa khususnya pada anak-anak yang senang melihat televisi karena tayangan atau acara-acaranya yang menarik dan cara penyajiannya yang menyenangkan. b. Mudarat Televisi Kemudaratan yang dimunculkan televisi memang tidak sedikit, baik yang disebabkan karena terapan kesannya, maupun kehadirannya sebagai media fisik terutama bagi pengguna televisi tanpa dibarengi dengan sikap selektif dalam memilih berbagai acara yang disajikan. Dalam konteks semacam ini maka kita dapat melihat beberapa kemudaratan itu sebagai berikut: 1. Menyia-nyiakan waktu dan umur Mengingat waktu itu terbatas, juga umur kita, maka menonton televisi dapat dikategorikan menyia-nyiakan waktu dan umur, bila acara yang ditontonnya terus menerus bersifat hiburan di dalamnya (ditinjau secara hakiki) merusak aqidah kita ini mesti disadari karena kita diciptakan bukan untuk hiburan tapi justru untuk beribadah. 2. Melalaikan tugas dan kewajiban Kenyataan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, juga sudah menunjukan dengan jelas dan tegas bahwa menonton televisi dengan acaranya yang memikat dan menarik sering kali membawa kita pada kelalaian. Televisi bukan hanya membuat kita terbius oleh acaranya, namun pula menyeret kita dalam kelalaian tugas dan kewajiban kita sehari-hari. Misalnya banyak orang yang malas untuk sholat ke mesjid karena mereka terbius oleh acara atau tayangan televisi. 3. Menumbuhkan sikap hidup konsumtif Ajaran sikap dan pola konsumtif biasanya terkemas dalam bentuk iklan dimana banyak iklan yang berpenampilan buruk yang sama sekali tidak mendidik masyarakat ke arah yang lebih baik dan positif. 4. Mengganggu kesehatan Terlalu sering dan terlalu lama memaku diri di hadapan televisi untuk menikmati berbagai macam acara yang ditayangkan cepat atau lambat akan menimbulkan gangguan kesehatan pada pemirsa. Misalnya kesehatan mata baik yang disebabkan karena radiasi yang bersumber dari layar televisi maupun yang disebabkan karena kepenatan atau kelelahan akibat nonton terus menerus.
5. Alat transportasi kejahatan dan kebejatan moral Sudah merupakan fitrah, bahwa manusia memiliki sifat meniru, sehingga manusia yang satu akan meniru cenderung untuk mengikuti manusia yang lain, baik dalam sifat, sikap maupun tindakannya. Dalam hal adanya berbagai sajian program dan acara yang disiarkan di televisi misalnya, film, sinetron, musik, drama dan lain sebagainya yang paling dikhawatirkan adalah jika tontonan tersebut merupakan adegan dari kebejatan moral contohnya, pembunuhan, pemerkosaan, pornografi yang tentu saja sedikit atau banyak akan ditiru oleh para pemirsa sesuai fitrahnya 6. Memutuskan silaturahmi Dengan kehadiran televisi di hampir setiap rumah tangga, banyak orang yang merasa cukup memiliki teman atau sahabat yang setia, melalui kenikmatan yang didapat dari berbagai acara televisi yang disajikan di tempat tinggalnya. Akibatnya mereka tidak lagi merasa membutuhkan teman, kawan, sahabat untuk misalnya; saling berbagi suka dan duka, saling bertukar pikiran dan berbagai keperluan lainnya sebagaimana layaknya hidup dan kehidupan suatu masyarakat yang islami. 7. Mempengaruhi dan menurunkan prestasi belajar murid Dalam hal penyebab kemunduran prestasi belajar murid generasi muda dewasa ini, indikasinya adalah kehadiran televisi di tempat tinggal mereka. Lantaran berbagai macam acara hiburan yang ditayangkan dalam televisi yang memikat dan menggiurkan para pelajar. Ternyata mampu memporakporandakan jadwal waktu belajar mereka untuk disiplin waktu belajar, karena mereka sudah terbius oleh pengaruh hingar bingar dan kenikmatan yang ditawarkan oleh berbagai macam hiburan televisi. B. Gambaran Umum Akhlak Anak 1. Pengertian Akhlak Secara lughowi akhlak jama’nya khuluk, tingkah laku perangai, bentuk kepribadian. Dan secara sempitnya pengertian akhlak dapat diartikan dengan a. Kumpulan kaidah-kaidah untuk menempuh jalan yang baik b. Jalan yang sesuai untuk menuju akhlak c. Pandangan akal tentang kebaikan dan keburukan Pendapat seorang filosof muslim yang bernama ibnu Maskawaih, mendefinisikan akhlak secara luas sebagai berikut: لُرْوَيٍة َ غْيِر ِفْكٍر َو َ ن ْ عَيٌة َلّهاَأْفَعاِلَها ِم ِ س َدا ِ حلٌ ِللّنْف َ Artinya: “Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatanperbuatan tanpa melakukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.” Imam Al Ghazali mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut: ل ُرْوَيٍة َ جٍة َو َ حا َ غْيِر َ ن ْ سُهْوَلٍة ِم ُ ل ِب ُ لْفَعا َ صُدُر ْا ْ عْنَهاَت َ س َأَمَنٌة ِ َهْيَئٌة ِللّنْف Artinya: “Sifat yang tertanam dalam jiwa dan daripadanya timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan pertimbangan.” Sementara ini Prof. Dr. Ahmad Amin membuat definisi, bahwa yang disebut “akhlak” adalah “Adatul-Iradah’ atau kehendak yang dibiasakan. Definisi ini terdapat dalam suatu
tulisan yang berbunyi: ِ خُل ق ُ سّماُة ِباْال َ ي ْالُم َ شيًأ َفَعاَدُتُها ِه َ ت ْ عَتاَد ْ لَراَدَةا ِ ن ْا َ لَراَدِة َيْعِنى َأ ِ عاَدُة ْا َ ق ِبَأّنُه َ خُل ُ ضُهْم اْل َ ف بْع َ عّر َ Artinya: “Sebagian orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya kehendak itu bisa membiasakan sesuai, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak.” (Ahmad Amin, 1999:12) Dari pengertian-pengertian di atas memberikan suatu gambaran bahwa tingkah laku merupakan bentuk kepribadian dari seseorang tanpa dibuat-buat atau tanpa adanya dorongan dari luar. Kalaupun adanya dorongan dari luar sehingga seseorang menampakan kepribadiannya dengan bentuk tingkah laku yang baik pasti akan terlihat tingkah laku sebenarnya. 2. Macam-Macam Akhlak 1. Akhlak terpuji Yang termasuk akhlak terpuji di antaranya sebagai berikut: a. Jujur Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang baik harta, ilmu, rahasia dan sebagainya yang wajib dipelihara atau disampaikan kepada yang berhak menerimanya b. Pemaaf Manusia tidak sunyi dari khilaf dan salah. Maka apabila orang berbuat sesuatu kepada diri kita yang mungkin karena khilaf atau salah maka maafkanlah sebagai rahmat Allah SWT dan janganlah mendendam c. Bertolong-menolong Bertolong-menolong adalah ciri kehalusan budi, kesucian jiwa, ketinggian akhlak dan membuahkan cinta antara sesama manusia. Memberikan pertolongan jangan karena mengharapkan imbalan tetapi berikan dengan keikhlasan sebagai penunaian tugas kemanusiaan guna mencari keridhoan Tuhan 2. Akhlak tercela Yang termasuk akhlak yang tercela di antaranya sebagai berikut: a. Dengki Ialah membenci nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepada orang lain dengan keinginan agar nikmat orang lain itu terhapus b. Dusta Dusta ialah memberikan sesuatu yang berlainan dengan kejadian yang sebenarnya Orang yang berdusta menunjukan kelemahan dirinya dan dusta adalah salah satu dari pada tanda munafik c. Aniaya Aniaya ialah meletakan sesuatu tidak pada tempatnya dan mengurangi hak yang seharusnya diberikan 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Akhlak Pertama seseorang mempunyai tingkah laku atau akhlak, karena adanya pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu ada dua faktor yang mempengaruhi akhlak anak yaitu: 1. Faktor keturunan/keluarga
Faktor keturunan/keluarga merupakan pendidikan yang utama bagi pembentukan akhlak anaknya. Yang dilakukan oleh orang tuanya biasanya si anak mengikutinya. Oleh karena itu peran orang tua sangat mempengaruhi watak dan karakter anak-anaknya. Pepatah mengatakan “Guru kencing berdiri murid kencing berlari.” Nabi Muhammad SAW menjelaskan: ساِنْيِه َج ّ صَراِنْيِه َاْوُيَم ّ طَرِة َفَأَبَواُه ُيَهّوَداِنْيِه َاْوُيَن ْ عَلى ْالِف َ ل َمْوُلْوٍد ُيْوَلُد ّ ُك Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci atau fitrah tergantung kedua orang tuanya mau dijadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Didikan dan bimbingan dalam keluarga secara langsung banyak memberikan bekas bagi penghuni rumah itu sendiri dalam tindak tanduknya. Dan secara tidak langsung gerak langkah dari orang dewasa (baik ayah maupun ibu) terutama sekali oleh seorang anak yang masih memerlukan bimbingan dan perkembangan kematangan hidupnya. 2. Faktor lingkungan/pergaulan Faktor yang mempengaruhi akhlak seseorang di samping faktor keturunan dan juga faktor lingkungan, dari faktor kedua ini faktor pergaulan/lingkunganlah yang sangat kuat pengaruhnya atau sangat dominan pengaruhnya dalam pembentukan karakter atau akhlak. Seperti orang tua dahulu bilang siapa yang bergaul dengan jualan minyak wangi maka akan dapat wanginya dan siapa yang bergaul dengan tukang las maka akan terkena percikan apinya. Nabi Muhammad SAW menggambarkan bahwa teman itu bagaikan barang tambalan. ظْرِبَماَتْرَقُعُه )الحديث ُ ك َفاْن َس ِ ي َقِمْي ْ ب َرْقَعٌة ِف ُ ِصاح ّ )َال Artinya: “Teman itu bagaikan barang tambalan pada pakaianmu, maka lihatlah dengan apa kamu menambalnya.” Maksud hadits di atas, seseorang harus mampu dengan mempergunakan akalnya di dalam mencari teman yang senantiasa memberikan suatu kebaikan pada kita dalam hidup dan kehidupan. Menurut seorang penyair Islam yang bernama Syaufi dalam bait syairnya; ْ ح ق َس ْ جْلَد اْلُم ِ صَر َ صْفٍر َلّما َ ل ِب ً جْلَد اْلَعّفَر ُمَغَب َ ف َاَوَلْم َتَراْل ٍ شَر َ خْيُر ُم َ ل ِج َ لْن َ سَر َ شَرًفاَوُم َ سى ُم َ ف َا َ سَر ْل َ سَر ْا َ ن َا ْ َم Artinya: “Siapa yang berteman dengan orang mulia dia akan ikut mulia, siapa yang berteman dengan orang hina tidak akan ikut mulia. Tidakkah engkau lihat kata syufi betapa kulit kambing yang hina dicium orang ketika kambing berteman dengan al-qur’an) jadi kantong (Qur’an) tapi kulit kambing yang berteman dengan kayu (dijadikan bedug) tiap waktu sholat orang memukulnya.”
BAB III PEMBAHASAN TENTANG PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP AKHLAK ANAK A. Sejauhmana Pengaruh Tayangan Televisi Terhadap Akhlak Anak Televisi dapat juga disebut sebagai sebuah keajaiban dalam dunia walaupun hanya berbentuk sebuah kotak elektronik yang sederhana yang mampu secara efektif berperan sebagai media massa dalam berbagai informasi dengan gambar hidup, berwarna-warni dan bergerak. Sehingga dapat memikat, membius dan menggiring seluruh perhatian para pemirsanya itulah sebabnya, sebagian besar pemirsa menganggap bahwa informasi apa saja yang ditayangkan televisi adalah benar, apa saja yang disajikan oleh televisi adalah baik. Sehingga mereka memutuskan bahwa televisi merupakan satu-satunya sumber dan pusat informasi yang benar, baik dan akurat, bahkan televisi dianggap sebagai guru yang wajib diturut dan diikuti, alat yang paling efisien dan efektif untuk mengenal mempelajari dan mendapatkan berbagai hal dalam hidup dan kehidupan ini ketimbang berbagai buku bacaan yang dianggap menyita waktu. Dari sekian banyak program acara yang disajikan televisi, kebanyakan dapat mempengaruhi sikap penontonnya setelah atau pada waktu melihat tayangan televisi. Banyak fakta yang kita jumpai dari informasi yang disampaikan televisi, baik fakta positif maupun fakta negatif. Sehingga hal ini baik secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi akhlak penontonnya ke arah positif atau ke arah negatif. Sehingga ada dua pengaruh tayangan televisi terhadap akhlak anak yaitu: 1. Pengaruh yang bersifat positif Televisi dapat memberikan pengaruh yang positif bagi para pemirsa yang menyaksikan program acara atau tayangan televisi. Adapun pengaruhnya yang bersifat positif sebagai berikut: a. Adanya sinetron yang bernafaskan keagamaan seperti: rahasia ilahi, kuasa ilahi, dan lain sebagainya. b. Adanya acara atau tayangan yang bernuansakan pendidikan atau pengetahuan seperti cerdas cermat, berita dan lain sebagainya. 2. Pengaruh yang bersifat negatif Tayangan televisi tidak hanya memberikan pengaruh yang positif saja tetapi acara televisi lebih banyak memberikan pengaruh yang negatif kepada sikap para pemirsanya setelah atau pada waktu melihat tayangan televisi, sehingga akan mempengaruhi akhlak penonton ke arah negatif. Adapun pengaruhnya tayangan televisi yang bersifat negatif sebagai berikut: a. Sering menonton televisi akan melalaikan tugas dan kewajiban bagi para pemirsa b. Sering menonton televisi akan mempengaruhi dan menurunkan prestasi belajar murid c. Anak-anak cenderung lebih menyukai tayangan yang bernuansakan kekerasan d. Setelah menonton tayangan televisi mereka suka meniru apa yang telah mereka tonton B. Mengapa Tayangan Televisi Berpengaruh Terhadap Akhlak Anak Manusia memanfaatkan televisi sebagai alat bantu yang paling efisien dan efektif. Dimana kesemuanya ini dapat terwujud melalui berbagai program dan tayangan televisi
yang dapat dipertangung jawabkan secara moral dan material. Kebanyakan kegiatan menonton televisi cenderung terencana dan bersifat tak sadar, tiap kali banyak orang mempunyai waktu luang, mereka tiba-tiba saja duduk dihadapan televisinya tanpa diundang banyak niat dan rencana yang tiba-tiba saja dibatalkan, lantaran tergoda, terpanggil, tergelitik untuk menikmati acara tertentu yang disiarkan oleh televisi. Televisi dengan mudah bisa melahap sebagian besar waktu anak waktu yang dilewatkan di depan layar televisi berarti waktu yang tidak di manfaatkan oleh anak untuk belajar membaca menggambar atau membantu pekerjaan rumah tangga. Apabila tayangan televisi menyajikan acara hiburan atau acara bernuansa kekerasan maka itu anak – anak cenderung menyukai dan menggemari tayangan tersebut karena apa yang di lihat, di tonton di tayangan televisi biasanya anak – anak cenderung akan menirunya tanpa disaring, di filter dan tanpa dibarengi dengan sikap selektif dalam memilih acara yang di sajikan, sehingga takut akan merusak akhlak anak terhadap pengaruh yang ditayangkan oleh televisi oleh karena itu peran pendamping dan bimbingan oleh orang tua kepada anaknya yang sedang menonton atau menikmati tayangan yang di sajikan oleh pesawat televisi di rumah karena setiap harinya banyak anak – anak menghabiskan waktu di depan pesawat televisi sehingga banyak tayangan atau program acara yang dinikmatinya tanpa banyak memikirkan apakah layak di tonton oleh anak – atau dapat merusak akhlak anaknya. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan kajian sebagaimana di uraikan di atas penulisan menyimpulkan hal–hal yang berkaitan dengan penyelesaian permasalahan sebagai berikut 1. Dari sekian banyak tayangan yang disajikan televisi, kebanyakan dapat mempengaruhi sikap penontonnya setelah atau pada saat melihat tayangan televisi. Sehingga hal ini baik secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi akhlak penontonnya baik pengaruh yang positif maupun pengaruh yang negatif. 2. Tayangan televisi yang menyajikan acara hiburan atau acara bernuansa kekerasan maka biasanya anak-anak cenderung menyukai tayangan tersebut karena apa yang ditonton di tayangan televisi biasanya anak cenderung akan menirunya sehingga takut akan merusak akhlak anak. B. Saran– saran 1. Pilihlah program acara televisi yang memang benar – benar bermanfaat bagi seluruh keluarga 2. Gunakan televisi yang ada hanya sebagai media untuk mendapatkan informasi penting seperti cerita 3. Tentukan dan bedakan waktu menonton televisi bagi anak – anak yang belum dan sudah dewasa 4. Batasi waktu menonton televisi untuk anak – anak 5. Alihkan perhatian dan kegemaran anak – anak dalam keluarga dari kecanduan menyaksikan seluruh acara televisi yang di sajikan di setiap harinya kepada bentuk –
bentuk kegiatan dan kesenangan baru yang positif seperti membaca dan mempelajari alqur’an dan hadits, membaca koran, membaca buku dan lain sebagainya. DAFTAR PUSTAKA Mansur, awadl, Dr. (1993). Manfaat Dan Mudarat Televisi, Fikahati Anska, Jakarta Chen, Milton. (2005). Mendampingi Anak Menonton Telivisi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. __________ (1997). Undang–Undang Penyiaran No. 24 Tahun 1997, Sinar Gratika, Jakarta Amin, Ahmad, (1968). Ilmu Akhlak, Bulan Bintang, Jakarta. Bakar Atjeh, Abu (1963). Mutiara Akhlak 1, Bulan Bintang, Jakarta. Umary, Barmawie, Drs. (1966), Materia akhlak, Cv. Ramadani, Yogyakarta .
Relevansi Akhlak dalam Kehidupan Modern Oleh: Ngabdullah Akrom Abstraksi Dizaman modern ini, berjalan beriringan dengan semaraknya globalisasi dan kapitalisme global, ketimpangan sosial pun semakin kentara. Kemodernan yang menuntut rasa individualitas, yang akhirnya menyebabkan rasa acuh pada problem-problem sosial . Hal ini, menyebabkan adanya kecemburuan sosial yang berimplikasi pada tindakan kriminal. Dan tidak hanya itu saja yang menjadikan orang untuk melakukan tindak kriminal. Dilihat melalui kacamata akhlak Islam, tindakkan kriminalitas ialah tindakan yang timbul karena
adanya penyakit jiwa pada diri manusia, penyakit yang seperti apakah itu? Memang terlihat aneh dan lucu, ketika dua hal yang memiliki epistemologi yang berbeda—sisi yang berbeda adalah ketika kita berbicara modern yang cenderung menggunakan rasional dan fakta empiris dengan akhlak Islam di mana di dalamnya berbicara tentang jiwa manusia (bersifat metafisik) yang dipadukan dengan sumber-sumber otoritatif islam, yakni al-quran dan sunah—mencoba disatukan. Dalam tulisan ini, saya mencoba membangun argumentasi tentang relevansi akhlak Islam dalam kehidupan modern.
Apa Itu Modern? Sering sekali kita dengar Istilah modern? Namun, tidak banyak yang mengerti apa itu maksud dari modern. Belakangan ini, term modern terus berkembang seperti; wanita modern, busana modern, kerudung modern, gaya modern, filsafat modern hingga sampai pada postmodern. Kecenderungan manusia yang mulai menggunakan rasional, sering dijadikan identifikasi bahwa itulah awal mula adanya term yang disebut dengan "modern". Dalam beberapa forum diskusi, sering digunakan pula definisi dari modern adalah sebuah pola hidup yang cenderung dengan materealisme dan rasionalisme yang cenderung menolak hal yang
metafisis.
Dan
ada
pula
yang
mendefinikan
bahwa
kehidupan modern adalah kehidupan sekarang ini atau hal yang berkaitan dengan hal kontemporer yang berlawanan dengan
kuno. Saya lebih setuju dengan definisi yang pertama, karena secara historis kita bisa lihat lahirnya sebuah term "modern" ini, muncul sekitar enam belasan yang tandai munculnya adalah pencerahan eropa yang dikenal dengan aufklarung, yang ditandai dengan
lahirnya
aliran
rasionalisme
dan
empirisme,
yang
kemudian melahirkan filsafat Modern. Idealisme filsafat modern seolah muncul untuk menggugat doktrin gereja yang membelenggu eksistensi manusia. Pada masa itulah mulai muncul penemuan-penemuan yang bisa dikatakan baru, seperti Isaac Newton, Charles Darwin, dan Albert Einstein
yang
meruntuhkan
paradigma
gereja
konservatif.
Akibatnya, dogma-dagma agama (Kristen) mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat dan mereka mulai tidak percaya dengan agama yang bersifat abstrak dan penuh dengan dogmadogma.
Pascakrisis
kepercayaan
terhadap
gereja,
muncul
beberapa filosof dari mahzab rasionalisme dan empirisme yang mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan, antara lain; Rene Descartes, Immanuel Kant, David Hume, Thomas Hobbes, John Locke, Hegel, dan sebagainya. Dari sinilah sejarah munculnya term "modern". Kenapa tidak setuju dengan definisi yang kedua? Karena menurut saya pada definisi yang kedua terdapat ambiguitas tentang pengertian "modern", karena kalau kita melihat berdasar definisinya, berarti pada setiap masa pernah mengalami apa yang disebut dengan "modern", lalu apa yang disebut dengan kuno? dan berarti yang modern pun akan mengalami kuno.
Karena menurut saya, definisi yang pertama lebih tepat dengan fenomena yang ada. AKHLAK[1] Begitu banyak term yang memiliki persamaan arti dengan term akhlak. Secara terminologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab, ia adalah bentuk jama’ dari Khulq yang berarti karakter dan sifat, apakah itu akhlak yang baik seperti pemberani, jujur, berjiwa sosial, dsb. Atau pun akhlak yang buruk seperti pembohong, pengecut, pemalu, dsb.[2] Mengenai definisi ilmu akhlak sendiri, dari sekian banyak definisi tentang ilmu akhlak saya lebih setuju dengan definisi yang dipakai Julian Bagini dalam buku the key of philosophy, karena definisi ini lebih mengena pada akar kata akhlak tadi yang telah saya sebut di atas, bahwa ilmu akhlak atau akhlak adalah sebuah disiplin ilmu yang mengkaji tentang should do or should not do berkenaan dengan perilaku manusia. Karena dalam definisi lain ada yang menyatakan bahwa akhlak adalah pengetahuan tentang tradisi, adat istiadat dan sifat-sifat manusiawi.,
definisi
ini
diargumentasikan
dengan
merujuk
bahasa inggris pada ethic dan moralilty yang digunakan untuk mewakili kata akhlak, kata ethic berakarkata dari bahasa Yunani ethos yang berarti karakter. Ada pun kata morality berakarkata dari bahasa Latin, Mores, yang berarti adat dan tradisi[3]. Saya melihat
definisi
kuranglah
tepat,
karena
pengertian
yang
demikian menjadi bagian yang masuk dalam kajian ilmu akhlak bukan mewakili secara universal apa itu ilmu akhlak sendiri, dan pengertian ini hanyalah mewakili bagian partikular dari ilmu akhlak mengenai egoisme psikologis dan egoisme etis.
Sejauh penelitian para ahli bahasa Arab, kata khulq seakar kata dengan kata khalq, walaupun dia memiliki sisi yang berbeda, ketika menggunakan kata khulq, tendensinya adalah karakter (yang bersifat batiniah)pada manusia, sedangkan kata khalq, tendesinya lebih bersifat fisikal (yang bersifat lahiriah) pada manusia.[4] Sebagai sebuah istilah yang sering dipakai, akhlak digunakan secara beragam oleh para ulama akhlak dan para pemikir, sehingga memiliki arti yang berbeda-beda. Beberapa arti dari istilah akhlak adalah sebagai berikut; Arti akhlak secara umum yang sering digunakan para ulama akhlak
muslim
adalah
sifat-sifat
yang
ulama
akhlak Islam
melekat
pada
jiwa
manusia[5]
Sebagian
mendefinisikan
akhlak
dengan; sifat batin yang menyebabkan kemunculan tindakantindakan yang baik atau buruk, apakah itu terpatri kuat atau tidak pada jiwa manusia, ataukah perlu pertimbangan pikiran. Ada pula yang mendefinisikan bahwasannya kata akhlak hanya mewakili tindakkan yang baik, sedang yang buruk adalah ammoral. Dari berbagai pendefinisiian akhlak menurut versi masingmasing yang berkepentingan dalam pendefinisian itu[6], maka dari itu, muncullah dua mahzab besar dalam filsafat moral yakni relativisme penurunan
dan ke
absolutisme
dalam
yang
beberapa
kemudian
bagian
mengalami
egoisme,
yang
di
dalamnya juga mengalami sebuah penurunan menjadi egoisme etis dan egoisme psikologi, utilitarianisme yang merupakan turunan dari absolutisme. Naraqi, membagi ilmu akhlak menjadi tiga tema besar.[7] Pertama, akhlak diskriptif (Ethics Descriptive) ialah studi tentang akhlak yang berlaku pada setiap kelompok atau
masyarakat.
membahas masyarakat,
nilai studi
Pada benar ini
umumnya, atau
biasa
akhlak
salahnya dilakukan
deskriptif
sebuah para
tidak
tindakkan
ahli psikologi,
sosiologi, maupun antropologi.[8] Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode empiris dan tekstual, tanpa penggunaan rasio di dalamnya. Satu lagi yang ingin saya tambahkan dalam berbagai macam penyajian definisi maupun arti akhlak, bahwasannya dalam mahzab filsafat moral, aliran voluntarisme rasional, menganggap bahwa sebuah tindakan bisa dijustifikasi sebagai tindakan moral, jika di dalamnya terdapat kesadaran manusia dan dalam posisi bebas, bukannya terpaksa.[9] Pendapat ini seolah berbanding terbalik
dengan
pengertian
sebagian
ulama
akhlak
yang
meyakini bahwa tindakan akhlak itu bersifat ekspresif tanpa ada campur tangan rasio di dalamnya. Lalu, apa itu akhlak Islam? Dalam kajian yang lebih khusus ini—mengenai akhlak Islam__, saya
terinspirasi
setidaknya
dengan
pendefinisian
umum
mengenai filosof Muslim yang pernah saya baca, ialah para filosof Islam yang mengunakan sumber-sumber otoritatif Islam sebagai alat inspiratif dalam berfilsafatnya.[10] Maka akhlak Islam ialah sebuah disiplin ilmu yang berbicara tentang perilaku manusia, yang merujuk pada sumber otoritatif Islam yakni al-Quran dan
sunah. Saya sendiri melihat akhlak Islam dalam konteks filsafat moral, bahwasannya akhlak Islam berada di posisi moderat antara
dua
mahzab
besar
dalam
filsafat
moral,
yakni
absolutisme dan relativisme. Karena disamping masih terdapat ego—mewakili mahzab filsafat moral, egoisme, yang merupakan turunan dari relativisme__yang melekat didalamnya juga terdapat nilai-nilai moral yang bersifat universal—yang mewakili mahzab filsafat moral absolutisme. Problem Sosial Merupakan Efek dari Penyakit Jiwa. Di dalam dunia modern sering kali kita temukan beberapa problem yang menurut saya ditimbulkan oleh kerusakan atau penyakit
jiwa,
antara
lain;
kriminalitas,
egoisme,
ghadab,
kekerasan, dendam, sikap fanatik, riya', berggunjing, Penyakit-penyakit
tersebut
di
atas
merupakan
dsb.
merupakan
penyakit yang biasa timbul dari pola hidup modern. Beranjak dari problem ketimpangan sosial yang merupakan aksident dari sifat egois,
maka
timbullah
kriminalitas.
Dari
kriminalitas
menimbulkan penyakit jiwa yakni ghadab dan berkembang menjadikan dendam, dan berlanjut pada . Rasional yang selalu diagungkan dalam dunia modern ini, ternyata tidak bisa selamanya dijadikan sebagai patokan sebuah kebenaran. Karena, di dalam akal terdapat pelbagai bentuk kesesatan
yang
bisa
menyebabkan
kerusakan
pada
jiwa
seseorang? Di manakah kerusakan itu? Akal yang selalu di agungkan ini memiliki kelamahan, antara lain;
1.
kebodohan sederhana, kebeodohan sederhana ini timbul
karena kesesatan berpikir manusia dalam menyusun proposisiproposisi. 2.
kebodohan majemuk, kebodohan ini maksudnya sangat
jelas sekali karena kebodohan ini dikarenakan ketidak mauan belajar seseorang. 3. kebingungan dan keraguan. 4. godaan setan. 5. kebohongan dan penipuan.[11] Lalu, dimanakah posisi akhlak islam dalam menjawab problem dalam masyarakat modern yang berakar pada ketimpangan sosial? Di dalam pembahasan akhlak, seperti yang tadi telah saya jelaskan di atas, mengkaji tentang karakter manusia. Karakter manusia ini, berada pada jiwa manusia. Ketika jiwa manusia sudah rusak[12], maka akan menimbulkan kesenjangan sosial, yang lebih disebabkan oleh egoisme yang menimbulkan rasa individualitas. Penyakit ini
egoisme yang ditimbulkan oleh
syahwat manusia, akan memancing lahirnya peyakit lainnya yang telah tadi saya sebut di atas. Dan dalam kajian akhlak Islam, ia mampu menjawab problem sosial tersebut di atas dengan memberi
penangkar
dari
penyakit-penakit
jiwa
yang
ada.
Sehingga terdapat relevansi akhlak Islam terhadap kehidupan modern. Sebagai seorang muslim, saya sependapat dengan tafsir Fazlur Rahman, sebagai pemikir muslim yang intens dalam kajian
hermeneutik,
dalam
menjawab
problem
masyrakat
dengan
tafsirnya. Rahman membuat metode tafsir yang dikenal dengan gerakan-ganda hingga ia mengeluarkan statement; “…semangat dasar dari al-Qur’an adalah semangat moral, dari mana ia menekankan monotheisme serta keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah ‘perintah’ Allah. Manusia tak dapat membuat
atau
memusnahkan
hukum
moral:
ia
harus
menyerahkan diri kepadanya. Penyerahan ini dinamakan Islam dan implementasinya dalam kehidupan disebut ibadah atau ‘pengabdian
kepada
Allah’.
Karena
penekanan
al-Qur’an
terhadap hukum morallah hingga Allah dalam al-Qur’an tampak bagi banyak orang terutama sebagai Tuhan keadilan. Tetapi hukum moral dan nilai-nilai spiritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui."[13]
KESIMPULAN Melihat fenomena-fenomena sosial yang tidak harmonis ini, pastilah ada sesuatu yang salah di dalamnya. Sebagai seorang muslim, ketimpangan sosial di sini lebih saya khususkan pada masyarakat muslim, yang jelas terdapat sistem sosial didalam alQur'an
misalnya
zakat
dan
shadaqah
yang
mencoba
menyetarakan kehidupan sosial, karena dalam sebuah ayat alQur'an yang berbicara tentang, "di dalam harta/kekayaan kalian terdapat hak-hak anak yatim dan orang miskin." Ketimpanganketimpangan sosial yang ada, menurut yang tadi samapaikan di atas lebih disebabkan adanya kerusakan atau penyakit pada jiwa
seseorang yang berimplikasi pada kehidupan sosial dizaman modern
ini.
Untuk
mengatasinya,
akhlak
Islam
mencoba
menjawabnya dengan memberikan obat dari penyakit-penyakit jiwa yang ada pada zaman modern ini. Sehingga, jelas menurut saya, bahwasannya akhlak Islam dizaman modern dalam melihat ketimmpangan sosial yang ada, jadi dizaman modern ini masih diperlukan adanya ilmu akhlak guna mengatasi problem sosial. Wallahu a'lam bi shawab.
[1] Pada dasarnnya antara term etika, filsafat moral, dan akhlak tidaklah berbeda, karena ini hanyalah perbedaan dalam sisi kebahasaan saja. Dan dalam penulisan ini saya menggunakan kata akhlak. Penggunaan kata akhlak ini lebih saya pilih daripada penggunaan kata etika yang berasal dari latin, karena rujukan Islam bersumber dari bahasa arab sendiri. [2] Hans wehr. The dictionary of Arabic modern. [3] Ethic and morality, dalam Encyclopedia of Ethics, vol. 1, hal. 329 [4] Taqi mishbah Yazdi, Falsafah ye Akhlaq. Al-huda: Jakarta. 2006, cet. 1. hlm, 1 [5] Ibid. hlm 1-2. [6] Maksud saya, ketika seseorang mendefinisikan sesuatu itu demikian, maka ia berkepentingan pada definisi itu, atau memiliki pemahaman atau pandangan berikutnya dengan definisi yang dibuatnya. [7] Muhammad Mahdi bin Abi Szar an-Naraqi, jami' as-saadat,terjemahan dalam bahasa Indonesia; Penghimpun kebahagiaan. Hal 1-9 [8] Dalam sebuah kajian metode pendekatan agama melalui psikologi, sosiologi, maupun antropologi, untuk mendapatkan hasil yang objektif terhadap sebuah objek yang dikaji, kita harus membuang asumsi-asumsi
awal mengenai objek yang dikaji, sampai mencoba menghilangkan budaya yang dimiliki oleh pengkaji agar tidak ada justifikasi nilai baik buruk, sehingga tidak menimbulkan hasil yang subjektif. Dan tindakkan lebihlanjutnya, mencoba mencari benang merah atau kesamaan jika ada orang yang pernah melakukan kajian itu, sehingga tercipta hasil yang intra subjektif. Lihat, Ngabdullah Akrom dalam makalah presentasi ICAS-Jakarta dalam mata kuliah metodologi studi Islam I, Metode Pendekatan Agama Melalui Kajian Antropologi. 12 desember 2007, makalah tidak dipublikasikan. [9] Komarudin hidayat, Etika dalam Kitab Suci dan Relevansinya dalam Kehidupan Modern Studi Kasus di Turki, dalam buku; Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. By; Budhy Munawar-Rachman. Yayasan Paramadina: Jakarta. 2003. [10] Lihat, Haidar bagir dalam Buku Saku Filsafat Islam. Mizan: Jakarta 2003. atau pun dalam buku Mulyadhi Kartanagara, Gerbang Kearifan. [11] Naraqi, Jami' as-Saadat. hlm. 48 [12] Kerusakan di sini bahwasannya jiwa manusia bisa dirusakkan oleh tiga penyakit, setidaknya ada tiga macam jenis penyakti pada jiwa; penyakit dari akal, penyakit yang ditimbulkan dari ghadab, dan penyakit jiwa yang ditimbulkan syahwat atau yang lebih terkenal dalam bahasa Indonesia dengan nafsu.
[13] Rahman, Fazlur. Islam. Diterj. dari Islam (edisi Anchor Books, 1968; dan edisi The Chicago University Press [bab Epilogue], 1979) oleh Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka. 2003 Tags: etika islam, relevansi etika, dunia modern, filsafat moral, akhlak islam Prev: AKU MERASA Next: Membentuk Kesalihan Sosial Melalui Surat Al-Asr
BAMBANG SETIARTO