LAPORAN PENDAHULUAN SYOK DISTRIBUTIF Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Tugas Stase Keperawatan Gadar Dan Kritis
Oleh: Agung Setiawan NIM: 18650081
PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO 2019
LEMBAR PERSETUJUAN NAMA NIM PRODI JUDUL
: AGUNGSETIAWAN : 18650081 : PROGRAM STUDI NERS : LAPORAN PENDAHULUAN SYOK DISTRIBUTIF
MALANG, …. Maret 2019 PRESEPTOR KLINIK
PRESEPTOR AKADEMIK
(
)
(
)
LAPORAN PENDAHULUAN SYOK DISTRIBUTIF
I. Konsep Syok Distributif 1.1 Definisi Syok Distributif Syok adalah salah satu kondisi klinis yang paling sering didiagnosis, tetap saja kompleksitasnya masih sulit dipahami hingga saat ini. Bahkan definisi yang paling memadai untuk menjelaskannya masih kontroversial terutama karena presentasi variabel dan etiologinya yang memang sangat multifaktorial (Cheatham, 2003). Syok distributif diartikan sebagai maldistribusi aliran darah oleh karena adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan (Kamus Dorland, 2006). Seperti halnya tipe kolaps kardiovaskular lainnya, syok distributif juga dikarakterisasi oleh perfusi jaringan yang inadekuat, dengan manifestasi klinis berupa perubahan kondisi mental, takikardi, hipotensi, maupun oliguria (Weil, 2007). Dalam definisi yang lebih kompleks, syok distributif dikaitkan dengan perubahan resistensi pembuluh darah ataupun akibat perubahan permeabilitasnya, dimana faktor inilah yang mencetuskan terjadinya hipoperfusi sistemik. Perubahan-perubahan tersebut langsung mempengaruhi distribusi volume darah yang beredar secara efektif untuk kebutuhan jaringan tubuh, sehingga sebagai dampaknya akan muncul hipotensi, diikuti dengan gangguan perfusi jaringan serta hipoksia sel. Meskipun efek hipoksik dan metabolik akibat hipoperfusi pada mulanya hanya menyebabkan jejas sel secara reversibel, syok yang terus terjadi pada akhirnya akan mengakibatkan jejas jaringan secara ireversibel dan dapat berpuncak pada kematian pasien (Robbins dkk, 2007). Ada berbagai penyebab dari syok distributif. Beberapa di antaranya adalah sepsis, SIRS, kegagalan tonus vasomotor dan reaksi anafilaksis. Syok septik adalah bentuk paling umum dari syok distributif dengan angka kematian yang cukup besar. Sama halnya dengan sepsis, systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang merupakan kondisi inflamasi sistemik, juga menjadi penyebab kematian tersering di negara barat khususnya Amerika Serikat (Sudoyo et al, 2009). Anafilaksis dan kegagalan tonus vasomotor adalah pencetus lain dari syok distributif. Namun demikian, semua faktor di atas cukup adekuat untuk memicu berbagai reaksi berantai dalam tubuh yang bila dibiarkan berlanjut tanpa terapi, akan menimbulkan konsekuensi yang sifatnya fatal bagi pasien (Duane, 2008).
1.2 Etiologi Syok Distributif Syok distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer): Syok neurogenik; Cedera medula spinalis atau batang otak; Syok anafilaksis; Obat-obatan; Syok septik; serta Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya tahanan pembuluh darah perifer. Karena syok biasanya disebabkan oleh curah jantung yang tidak adekuat, maka setiap keadaan yang menurunkan curah jantung jauh di bawah normal akan sangat mungkin menyebabkan syok (Guyton & Hall, 2008). Namun demikian, faktor tersebut tidak selamanya berlaku mengingat dalam mekanismenya, syok distributif mencakup dinamika yang lebih kompleks. Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis atau oleh pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel, karena itu, kondisi-kondisi yang menempatkan pasien pada resiko-resiko di atas tergolong sebagai etiologi dari syok distributif itu sendiri (Robbins dkk, 2007).
Tabel 1.1. Etiologi Syok Distributif Berdasarkan Bentuk-Bentuknya Variasi Syok Distributif
Etiologi Pencetus Infeksius
(sepsis)
Secara umum, penyebab
viremia,
fungemia,
dari SIRS dapat dibagi
infeksi protozoa, infeksi organ solid, dll
SIRS dan sepsis
kedalam 2 golongan, yakni infeksius dan noninfeksius
:
Bakteremia, mycobacteria,
Non-infeksius (SIRS) : Trauma, luka bakar
masif,
luka
pasca
operasi,
pankreatitis, kanker, overdosis obat, suntikan
sitokin,
sindrom
aspirasi,
iskemia visceral (Sudoyo et al, 2009) Staphylococcus aureus
Toxic shock syndrome TSS
dapat
dipicu
oleh
eksotoksin/enterotoksin
Streptococcus pyogenes (Sharma, 2006).
yang dihasilkan oleh bakteri Insufisiensi adrenal
Autoimun (kurang lebih 70-90 kasus) Infeksi (TBC, histoplasmosis, HIV, syphilis) Keganasan, seperti metastase dari paruparu,
mamae,
carcinoma
colon,
melanoma, dan limfoma Terapi
glukokortikoid
(mensupresi CRH)
jangka
lama
Tumor pituitari/hipotalamus Penyakit infeksi dan infiltrasi dari kelenjar pituitari (sarkoid, histiositosis, TB, dll) Radiasi pituitari (Corrigan, 2006). Heat Stroke
Suhu tubuh yang meningkat melebihi suhu kritis, dalam rentang 105o sampai 108oF (Guyton & Hall, 2006).
Syok neurogenik
Trauma/cedera
ataupun
karena
penggunaan zat anestesi pada medula spinalis di segmen toraks bagian atas (Cheatham, 2003). semua ini mengakibatkan kurangnya pengiriman zat makanan ke jaringan-organ kritis, dan juga mengakibatkan kurangnya pembuangan produk sisa metabolisme sel dari jaringan.
1.3 Tanda Gejala Syok Distributif a. Sistem Kardiovaskuler 1) Gangguan sirkulasi perifer - pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. 2) Nadi cepat dan halus. 3) Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah. 4) Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik. 5) CVP rendah. b. Sistem Respirasi Pernapasan cepat dan dangkal. c. Sistem saraf pusat Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang karena kesakitan. d. Sistem Saluran Cerna Bisa terjadi mual dan muntah. e. Sistem Saluran Kencing Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60 ml/jam (1/5–1 ml/kg/jam).
1.4 Patofisiologi Syok Distributif Upaya untuk menjelaskan patofisiologi dari syok telah mencapai perkembangan yang signifikan setelah beberapa dekade terakhir (Cheatham, 2003). Melalui serangkaian pengamatan, telah diketahui bahwa semua tipe syok dikarakterisasi oleh gangguan perfusi, dan karena sifat-sifat khasnya cenderung dapat berubah pada berbagai derajat keseriusan, mekanisme syok kemudian dibagi lagi menjadi 3 tahapan utama yaitu : a.
Tahap awal nonprogresif Selama tahap ini, mekanisme kompensasi refleks akan diaktifkan dan perfusi organ vital dipertahankan sehingga pada akhirnya menimbulkan pemulihan sempurna tanpa dibantu terapi dari luar
b.
Tahap progresif Merupakan tahap yang ditandai hipoperfusi jaringan serta manifestasi awal dari memburuknya ketidakseimbangan sirkulasi dan metabolik
c.
Tahap ireversibel Muncul setelah syok telah jauh berkembang sedemikian rupa, yakni ketika tubuh mengalami jejas sel dan jaringan yang sangat berat sehingga meskipun semua bentuk terapi yang diketahui dilakukan
untuk memperbaiki gangguan
hemodinamika pasien, pada kebanyakan kasus tidak mungkin tertolong lagi (Guyton & Hall, 2008). Tahapan di atas paling jelas dikenali pada syok hipovolemik, tetapi lazim pula untuk bentuk syok lainnya. Namun demikian, meskipun tahapan dari berbagai macam syok pada teorinya sama, di sisi lain mekanisme yang terlibat dapat bervariasi tergantung pada penyebabnya. Dalam syok distributif, perfusi jaringan yang inadekuat disebabkan oleh meningkatnya tahanan vaskular sistemik dengan peningkatan curah jantung sebagai hasilnya (mekanisme kompensasi). Mula-mula perubahan-perubahan ini dikarakterisasi oleh dinamika kontraktilitas, dilatasi dari pembuluh darah perifer, serta dampak dari upaya resususitasi yang dilakukan tubuh. Sebagai contoh, di stadium awal syok septik terjadi penurunan darah diastol, melebarnya tekanan pulsasi, akral hangat, dan berbagai efek lain seperti terisinya kapiler dengan cepat karena vasodilatasi perifer. Tubuh akan berusaha mengkompensasi kondisi ini dengan meningkatkan curah jantung (cardiac output) sehingga pada stadium akhir syok septik, kombinasi dari kurangnya kontraktilitas myokard yang bergabung dengan hilangnya tonus (paralisis) pembuluh darah perifer akan menginduksi penurunan perfusi organ. Sebagai hasilnya, terjadilah hipoperfusi dari berbagai organ vital seperti otak, hepar, dan bahkan jantung.
Mengingat dalam syok distributif terdapat berbagai variasi (syok septik, anafilaksis, neurogenik, TSS, dan SIRS) dan reaksi-reaksi yang terlibat pun berbeda sesuai dengan kasusnya. Konsekuensi akhir dari malperfusi dalam berbagai bentuk syok distributif dapat berbeda pada tiap pasien, tergantung dari derajat dan durasi hipoperfusi, jumlah sistem organ yang terkena, serta ada tidaknya disfungsi organ utama. Harap ditekankan bahwa apapun tipenya, sekali syok terjadi, cenderung memburuk secara progresif. Sekali syok sirkulasi mencapai suatu keadaan berat yang kritis, tidak peduli apa penyebabnya, syok itu sendiri akan menyebabkan syok menjadi lebih berat. Artinya, aliran darah yang tidak adekuat menyebabkan jaringan tubuh mulai mengalami kerusakan, termasuk jantung dan sistem sirkulasi itu sendiri, seperti dinding pembuluh darah, sistem vasomotor, dan bagian-bagian sirkulasi lainnya (Guyton & Hall, 2008).
1.5 Pemeriksaan Penunjang Syok Distributif Faktor-faktor pencetus test diagnostik antara lain : a. Electrocardiogram (ECG) b. Sonogram c. Scan jantung d. Kateterisasi jantung e. Roentgen dada f. Enzim hepar g. Elektrolit oksimetri nadi h. AGD i. Kreatinin j. Albumin / transforin serum k. HSD
1.6 Komplikasi Syok Distributif Gambaran klinis syok distributif bergantung pada gangguan yang ditimbulkan oleh pencetus, dan hal ini tidak hanya berlaku untuk syok distributif melainkan juga untuk syok tipe lain. Pada kebanyakan kasus, gambaran klinis dari syok distributif mencakup tanda-tanda berikut ini: a. Perubahan pada status mental, mengacu pada tingkat kesadaran pasien (apatis ataupun somnolen). Biasanya, tingkat kesadaran dapat bervariasi menurut progresifitas syok saat itu juga. Seringkali saat syok semakin berat, maka semakin buruk pula tingkat kesadarannya
b. Frekuensi jantung yang lebih dari 90 kali/menit (perlu dicatat bahwa elevasi pada frekuensi jantung bukanlah pertanda adanya syok bila pasien sedang dalam terapi beta-blocker c. Hipotensi, dengan tekanan sistol yang kurang dari 90 mmHg atau mengalami penurunan sebesar 40 mmHg dari standar normalnya d. Meningkatnya frekuensi pernafasan hingga melebihi 20 kali/menit (takipnea). Pada keadaan yang lebih berat, akan terlihat nafas cepat dan dangkal akibat asidosis e. Ekstremitas teraba hangat (akral hangat) dengan tekanan pulsasi (tekanan sistol dikurangi diastol) yang meningkat, khususnya pada tahap awal syok distributif f. Hipertermia, jika suhu tubuh > 38,3oC atau 101oF g. Hipotermia, dapat pula ditemukan jika temperatur turun hingga di bawah 36oC atau 96,8oF h. Hipoksia dan hipoksemia relatif yang dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi i. Oliguria, yakni berkurangnya produksi urin. Normal rata-rata produksi urin dewasa adalah 60 ml/jam (1/2-1 ml/kgBB/jam)
1.7 Penatalaksanaan Syok Distributif Penatalaksanaan dalam syok distributif pada dasarnya sama dengan syok lainnya. Karena termasuk kondisi gawat darurat, maka yang pertama kali dilakukan adalah tatalaksana suportif untuk mencegah syok berkembang ke tahap yang lebih buruk. Selanjutnya, tatalaksana akan lebih diberatkan ke arah eliminasi etiologi, dimana tentunya akan cenderung disesuaikan dengan faktor pencetus syok distributif itu sendiri. 1.7.1 Tatalaksana suportif Hal utama yang perlu diperhatikan di sini adalah konsekuensi dari SIRS, sepsis, maupun bentuk syok distributif lainnya, yakni kegagalan organ. Seiring berjalannya waktu, pasien SIRS/sepsis akan menerima konsekuensi yang fatal apabila tidak mendapat terapi penunjang yang tepat. 1) Oksigenasi Terapi ini terutama diberikan apabila ditemukan tanda-tanda pasien mengalami hipoksemia dan hipoksia berat. Dalam tatalaksana hipoksemia dan hipoksia semua faktor yang mempengaruhi baik ventilasi, perfusi, delivery dan penggunaan oksigen perlu mendapat perhatian dan dikoreksi. Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal nafas bila disertai penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu segera dilakukan.
2) Terapi cairan Hipovolemia pada syok distributif perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid (NaCL 0,9 % maupun ringer laktat) maupun koloid. Kristaloid merupakan pilihan terapi awal karena mudah didapatkan, tetapi perlu diberikan dalam jumlah banyak. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Pada keadaan albumin < 2 gr/dl koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit diperlukan pada keadaan pendarahan aktif atau bilamana kadar hemoglobin rendah pada keadaan iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar HB yang dicapai pada SIRS dipertahankan di atas 8 hingga 10 g/dl. Namun pertimbangan kadar HB bukan hanya berdasarkan kadar HB semata, melainkan juga keadaan klinis pasien, sarana yang tersedia, serta keuntungan dan kerugian pemberian transfusi. 3) Vasopresor dan Inotropik Vasopresor diberikan apabila keadaan hipovolemik teratasi masih ditemukan kondisi hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis terendah secara titrasi untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP) 60 mmHg, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mikrogram (mcg)/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit. Sebagai inotropik yang dapat digunakan dobutamin dengan dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mcg/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase. 4) Bikarbonat Pada SIRS terjadi hipoperfusi dengan konsekuensi terjadinya gangguan transpor karbondioksida dari jaringan, sehingga akan terjadi penurunan pH sel ke tingkat yang sangat rendah. Secara empirik bikarbonat dapat diberikan bila pH < 7,2 atau serum bikarbonat < 9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik. 5) Disfungsi renal Gangguan fungsi renal pada syok distributif terjadi sebagai akibat buruknya perfusi ke organ tersebut. Dopamin dosis renal (1-3 mcg/kg/menit) terbukti tidak menurunkan mortalitas, untuk itu sebagai terapi pengganti dilakukan hemodialisis dan hemofiltrasi kontinu. 6) Nutrisi Kecukupan nutrisi berupa kalori, protein (asam amino), asam lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan baru diberikan secara parenteral. Pengendalian kadar glukosa darah juga perlu dilakukan oleh karena berbagai
penelitian menunjukkan manfaatnya terhadap proses inflamasi dan penurunan mortalitas. 7) Kortikosteroid Beberapa penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa dengan pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis didapatkan perbaikan syok dan disfungsi organ (Bone, 1992).
1.7.2 Kontrol Kausa Hal terpenting dalam tatalaksana Syok distributif adalah menghilangkan faktor presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi (khususnya sepsis). 1) Antibiotik Usaha mencari pathogen penyebab infeksi harus dilakukan maksimal, termasuk kultur darah dan cairan badan, pemeriksaan serologi dan aspirasi perkutan. Pemberian antimikroba yang tepat pada awal perjalanan penyakit infeksi akan memperbaiki prognosis dan bersama-sama dengan pencegahan infeksi sekunder serta penyakit nosokomial akan menurunkan insiden MODS. 2) Pembedahan Umumnya dilakukan pada tatalaksana SIRS yang disebabkan oleh trauma. Sumber dari respon inflamasi tidak selalu jelas, kadang-kadang diperlukan pembedahan eksplorasi terutama bila dicurigai sumber inflamasi berasal dari intra-abdomen. 3) Kontrol kausa lainnya Faktor-faktor lain seperti burns (luka bakar) dan trauma disertai fraktur dapat memicu respon inflamasi sistemik. Untuk itu, fiksasi patah tulang yang lebih dini, debridemen luka bakar, reseksi usus yang iskemik atau jaringan mati serta pengasatan pus perlu dilakukan untuk mengontrol penyebab SIRS (Bone, 1992).
1.7.3 Terapi inovatif 1) Modulasi imun Penelitian berskala besar dengan pemberian antibodi monoklonal serta obatobatan lain yang bertujuan untuk memanipulasi sistem imun menunjukkan tidak adanya penurunan presentasi mortalitas pasien-pasien Sepsis.
2) Inhibitor NO Dari penelitian terbukti pemberian inhibitor NOS bahkan meningkatkan mortalitas. Di masa mendatang mungkin inhibitor yang selektif terhadap iNOS mempunyai peranan dalam tatalaksana MODS 3) Filtrasi darah Hemofiltrasi volume tinggi (2-6 filtrasi/jam) mungkin dapat menyaring sitokin-sitokin dan mediator inflamasi lainnya dan mengeluarkannya dari jaringan. 4) Manipulasi kaskade pembekuan darah Pemberian terapi ini menghasilkan penurunan mortalitas pada pasien sebesar 6% (Bone, 1992).
1.8 Pathway Syok Distributif Infeksi masif Pelepasan Endotoksin
Cedera spinal Kehilangan tonus simpatis Dilatasi arteriola/ venula Penurunan TD Penurunan TD Penurunan venous return Penurunan curah jantung Penurunan suplai O2 seluler Penurunan Perfusi jaringan
Reaksi alergi Pelepasan Histamin
II. Rencana Asuhan Keperawatan Klien dengan Syok Distributif 2.1 Pengkajian Primer 2.1.1
Airway
2.1.2
Jalan nafas dan prenafasan tetap merupakan prioritas pertama, untuk mendapatkan oksigenasiyang cukup. Tambahan oksigen diberikan bila perlu untuk menjaga tekanan O2 antara 80- 100mmHg. Breathing
2.1.3
Frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu pernapasan, retraksi dinding dada, adanya sesak napas. Palpasi pengembangan paru, auskultasi suara napas, kaji adanya suara napas tambahan seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya trauma pada dada. Sirkulasi dan kontrol perdarahan
2.1.4
Prioritas adalah : kontrol perdarahan luar, dapatkan akses vena yang cukup besar dan nilai perfusi jaringan. Perdarahan dan luka eksternal biasanya dapat dikontrol dengan melakukan bebat tekan pada daerah luka, seperti di kepala, leher dan ekstremitas. Perdarahan internal dalam rongga toraks dan abdomen pada fase pra RS biasanya tidak banyak yang dapat dilakukan. PSAG (gurita) dapat dipakai mengontrol perdaran pelvis dan ekstermitas inferior, tetapi alat ini tidak boleh mengganggu pemasangan infus. Pembidaian dan spalk-traksi dapat membantu mengurangi perdarahan pada tulang panjang. Disability
2.1.5
Pemeriksaan neurologis singkat yang dilakukan adalah menentukan tingkat kesadaran, pergerakkan bola mata dan reaksi pupil, fungsi motorik dan sensorik. Data ini diperlukan untuk menilai perfusi otak. Exposure-Gaster-Dekompresi
2.1.1
Pemeriksaan menyeluruh setelah menentukan prioritas terhadap keadaan yang mengancam nyawa, penderita dilepas setelah seluruh pakaian untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai kelainan yang ada, tetapi harus dicegah hipotermi. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium a. Hematologi : Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi, trombositopenia, eosinophilia naik/ normal / turun b. Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat. Radiologi a. X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug. b. EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
2.2 Pemeriksaan Sekunder a. Identitas pasien b. Keluhan utama klien dengan syok mengeluh susah bernafas, mengeluh muntah dan mual, kejang-kejang. c. Riwayat Kesehatan Sekarang.
d. Riwayat
kesehatan
dahulu,
apakah klien sbelumnya pernah mengalami
penyakit yang sama. e. Riwayat kesehatan keluarga apakah keluarga ada yang pernah mengalami sakit yang sama seperti klien sebelumnya. f. Pemeriksaan Fisik. 1. Kepala Simetris/ tidak, teraba benjolan/ massa, karateristik rambut. 2. Mata Simetris kiri dan kanan, konjungtiva anemis/ tidak, sklera ikterik/ tidak. 3. Telinga ada pendarahan/ tidak, membaran tympani utuh/ tidak, ada cerumen/ tidak. 4. Hidung ada pendarahan di hidung/ tidak, ada secret/ tidak. 5. Mulut ada pendarahan dimulut/ tidak, gigi caries/ tidak, lidah menutup jalan nafas/ tidak, tonsil membesar/ tidak. 6. Leher simetris, kaku kuduk ada/ tidak, pembesaran vena jugularis nya gimana. 7. Thorak I : simetris ka = ki P : fremitus ka = ki P : sonor A : vesikuler, wh -, rh 8. Jantung I : ictus cosdis tidak terlihat P : ictus cordis teraba 1 antara ics 4-5 P : irama teratur/ tidak, ada suara tambahan/ tidak, murmur ada/ tidak. 9. Abdomen I : membucit/ tidak, distensi/ tidak P : hepar/ lien tearaba/ tidak, nyeri tekan ada/ tidak P : tympani A: BU +. 10. GenetaliaTerpasang kateter/ tidak, ada infeksi/ tidakk. 11. EkstermitasAkral hangat/ dingin, edeman ada/ tidak, kekuatan otot. 12. Aktivitas kelemahan, kelelahan tidak dapat tidur, jadwal olahraga tidak teratur. 13. SirkulasiKenaikan TD, nadi. 14. Integritas ego, Menoleh, menyangkal, berguman/ tidak. 15. Eliminasi Normal/ tidak, bising usus normal/ tidak. 16. Hygiene kesulitan melakukan tugas perawatan 17. Neuro sensori perubahan mental, kelemahan
2.3 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul Diagnosa I : Penurunan Curah Jantung 2.2.1
Definisi Rentan terhadap ketidak adekuatan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan merabolisme tubuh, yang dapat mengganggu kesehatan
2.2.2
Batasan Karakteristik Perubahan Afterload
a. Dispnea b. Kulit lembab c. Oliguria d. Pengisian kapiler memanjang e. Peningkatan PVR f. Peningkatan SVR g. Penurunan nadi perifer h. Penurunan resistansi vascular paru (Pulmonary vascular resistance, PVR) i. Penurunan resistansi vascular sistemik (systemic vascular resistance, SVR) j. Perubahan tekanan darah k. Perubahan warna kulit (mis., pucat, abu-abu, sianosis) 2.2.3
Faktor yang berhubungan a.
Perubahan afterload
Diagnosa II : Ketidak Efektifan Bersihan Jalan Nafas 2.2.4
Definisi Ketidakmampuan membersihakan sekresi atau obstruksi dari saluaran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas.
2.2.5
Batasan Karakteristik a. Batuk yang tidak efektif b. Dispnea c. Gelisah d. Kesulitan verbalisasi e. Mata terbuka lebar f. Ortopnea g. Penurunan bunyi napas h. Perubahan frekuensi napas i. Perubahan pola napas j. Sianosis k. Sputum dalam jumlah yang berlebihan l. Suara napas tambahan m. Tidak ada batuk
2.2.6
Faktor yang berhubungan a. Lingkungan : Perokok, Perokok pasif, Terpajan asap b. Obstruksi Jalan napas : Adanya jalan napas buatan, Benda asing dalam jalan napas, Eksudat dalam alveoli ,Hiperplasia pada dinding brokus, Mukus berlebihan, Penyakit paru obstruktikronis, sekresi yang tertahan, spasme jalan napas.
c. Fisiologis Asma, Disfungsi neuromuscular, Infeksi, Jalan napas alergik
2.4 Perencaan Diagnosa I : Penurunan Curah Jantung 2.3.1 Tujuan dan Kriteria Hasil (outcomes criteria) : Berdasarkan NOC a. Tingkat Keparahan Kehilangan Darah : Tingkat keparahan pedarahan / hemoragi internal atau eksternal b. Efektifitas Pompa Jantung : Keadekuatan volume darah yang diejeksikan dari ventrikel kiri untuk mendukung tekanan perfusi sistemik c. Status Sirkulasi : Tingkat pengaliran darah yang tidak terhambar, satu arah, dan pada tekanan yang sesuai melalui pembuluh darah besar aliran sistemik dan pulmonal d. Perfusi Jaringan : Organ Abdomen : Keadekuatan aliran darah melewati pembuluh darah kecil visera abdomen untuk mempertahankan fungsi organ e. Perfusi Jaringan : Jantung : Keadekuatan aliran darah yang melewati vaskulatur coroner untuk mempertahankan fungsi organ jantung f. Perfusi Jaringan : Serebral : Keadekuatan aliran darah yang melewati vaskulatur serebral untuk mempertahankan fungsi otak g. Perfusi Jaringan : Perifer : Keadakuatan aliran darah yang melalui pembuluh darah kecil ekstermitas untuk mempertahankan fungsi jaringan h. Perfusi jaringan : Pulmonal : Keadekuatan aliran darah yang melewati vasculartur pulmonal untuk memerfusi unit alveoli /kapiler i. Status Tanda Vital : Tingakat suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah dalam rentang normal 2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional : Berdasarkan NIC a.
Intervensi : Perawatan Jantung Rasional : Membatasi komplikasi akibat ketidakseimbangan antara suplay dan kebutuhan oksigen miokard pada pasien yang mengalami gejala kerusakan fungsi jantung.
b.
Intervensi : Perawatan Jantung, Akut : Rasioenal : Membatasi komplikasi untuk pasien yang sedang mengalami episode ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard yang mengakibatkan kerusakan fungsi jantung
c.
Intervensi : Perawatan Sirkulasi : INsufisiensi arteri : Rasional : Meningkatkan sirkulasi arteri
d.
Intervensi : Perawatan Embolus : Perifer
Rasional : Membatasi komplikasi untuk pasien yang mengalami, atau berisiko mengalami sumbatan sirkulasi perifer e.
Intervensi : Regulasi Hemodinamik Rasional : Mengoptimalkan frekuensi jantung, preload, afterload, dan kontraktilitas
f.
Intervensi : Terapi Intravena (IV) Rasional : Memberi dan memantau cairan dan obat intravena (IV)
g.
Intervensi : Pemantauan Neurologis Rasional : Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mencegah atau meminimalkan komplikasi neurologis
h.
Intervensi : Management Syok : Vasogenik Rasional : Meningakatkan perfusi jaringan yang adekuat pada pasien yang mengalami kehilangan berat pada tonus pembuluh darah
i.
Intervensi : Pemantauan Tanda Vital Rasional : Mengumpulkan dan menganalisis data kardio vascular, pernapasan, dan suhu tubuh untuk menentukan dan mencegah komplikasi.
Diagnosa II : Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas 2.3.3
Tujuan dan Kriteria Hasil (outcomes criteria) : Berdasarkan NOC a.
Pencegahan aspirasi : tindakan personal untuk mencegah masuknya cairan atau partikel padat kedalam paru
b.
Status pernapasan : ventilasi : pergerakan udara yang masuk dan keluar ke dan dari paru
c.
Status pernapasan : kepatenan jalan napas : jalur napas trakoebronkial bersih dan terbuka untuk pertukaran gas
2.3.4
Intervensi keperawatan dan rasional : Berdasarkan NIC a.
Keefektidan pemberian oksigen dan terapi lain
b.
Keefektifan obat resep
c.
Kecenderungan pada gas darah arteri jika tersedia
d.
Frekuensi kedalam dan upaya pernapasan
e.
Factor yang berhubungan seperti nyeri batuk tidak efektif, mucus kental, dan keletihan.
f.
Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan
g.
Pengisapan jalan napas
h.
Tentukan kebutuhan pengisapan oral atau trakeal
i.
Pantau status oksigen pasien dan status hemodinamik dan irama jantung sebelum selama dan setelah pengisapan
j.
Catat jenis dan jumlah sekrat yang dikumpulkan
Daftar Pustaka
S. Moorhead, M. Johnson. et al.(Eds) 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Indonesia:Mocomedia T.H. Herdman, S.Kamitsuru. et al(Eds) 2017, Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC) G.M. Bulechek, H.K.Butcher. et al (Eds) 2013. Nursing Interventions Classification (NIC).Indonseia : Mocomedia J.M. Wilkinson, N.R.Ahern (Eds) 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan (Edisi 9). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC) https://www.pdfcoke.com/doc/97297223/referat-syok-distributif https://krisnaerawan.files.wordpress.com/2010/05/syok.pdf