BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Peradaban, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin”, atau “hal – hal yang menyangkut sopan santun dan kemajuan kebudayaan suatu bangsa. Jadi Peradaban adalah kemajuan suatu bangsa dalam berbagai aspek kehidupannya. Baik dalam aspek moral, kemajuan berpikir, agama, ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dengan demikian peradaban suatu bangsa tidak dipisahkan dari nilai-nilai moral. Bangsa yang berperadaban adalah bangsa yang bermoral. Di antara nilai-nilai moral yang paling penting adalah integritas. Integritas bisa diartikan sebagai suatu konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan
kebenaran dari tindakan seseorang. Integritas
merupakan sesuatu yang mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin. Masjid adalah simbol keislaman. Sebagai tempat ibadah bagi umat Islam, masjid dinilai berperan penting dalam membentuk insan – insan yang berintegritas. Secara bahasa masjid berasal dari kata sajada-yasjudu-sujudan yang secara etimologis beraarti patuh; taat; tunduk dengan penuh hormat. Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, atau bersujud adalah bentuk lahiriyah yang paling nyata dari makna-makna tersebut. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk shalat dinamai masjid, “tempat bersujud”. Masjid bukan sekadar tempat sujud dan sarana penyucian atau bertayamum (wudhu dengan debu suci). Masjid adalah tempat Muslim bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh dalam ketaatan kepada Allah swt. Umat muslim harus bisa memaksimalkan keberadaan masjid sebagai pusat aktivitas yang menawarkan kegiatan-kegiatan alternatif dalam berdakwah.
1
Masjid memiliki peran sangat penting bagi masyarakat muslim sejak periode nabi Muhammad SAW. dan sejak masa awal eksistensi masyarakat muslim di Madinah. Ketika hijrahnya dari Makkah ke Madinah, beliau membangun masjid sebagai upaya konkret yang pertama bagi peradaban Islam. Sejak periode penting ini masjid yang ia bangun dipandang sebagai pusat utama bagi beragam aktifitas masyarakat muslim. Dengan kata lain masjid menjadi pusat komunitas dan naungan bagi segala bentuk program dan aktifitas sosial dan pendidikan masyarakat muslim.
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1
Pengertian Masjid Dilihat dari segi harfiyah masjid adalah tempat sembahyang. Perkataan mesjid berasal dari bahasa arab. Kata pokoknya Sujudan, Fiil Madinya sajada (ia sudah sujud). Setiap muslim boleh melakukan shalat di wilayah manapun di bumi ini terkecuali dia atas kuburan, di tempat yang bernajis, dan di tempat-tempat yang menurut ukuran syariat Islam tidak sesuai untuk dijadikan tempat shalat. Sedangkan secara umum Masjid adalah tempat suci umat islam yang berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat kegiatan keagamaan, dan kemasyarakatan yang harus dibina, dipelihara dan dikembangkan secara teratur dan terencana.untuk menyemarakan siar islam, meningkatkan semarak keagamaan dan menyemarakan kualitas umat islam dalam mengabdi kepada allah, sehingga partisipasi dan tanggung jawab umat islam terhadap pembangunan bangsa akan lebih besar. Singkatnya Mesjid adalah tempat dimana diajarkan, dibentuk, ditumbuhkan dan dikembangkan dunia pikiran dan dunia rasa islam. Masjid tidak bisa dilepaskan dari masalah shalat. Selain itu, masjid merupakan tempat orang berkumpul dan melakukan shalat secara berjamaah, dengan tujuan meningkatkan solidaritas dan silahturrahmi di kalangan kaum muslimin. Di masjid pulalah tempat terbaik untuk melangsungkan shalat jum’at. Dimasa Nabi SAW. Ataupun dimasa sesudahnya, masjid menjadi pusat atau sentral kegiatan kaum muslimin. Kegiatan di bidang pemerintahan pun mencakup, ideology, politik, ekonomi, social, peradilan , dan kemiliteran dibahas dan di pecahkan di lembaga Masjid. Masjid juga berfungsi sebagai pusat pengembangan kebudayaan Islam terutama saat gedung-gedung khusus untuk it belum didirikan. Masjid juga merupakan ajang halaqah atau diskusi, tempat mengaji, dan memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan agama ataupun umum. Pertumbuhan
remaja
masjid
dewasa
ini
juga
termasuk
upaya
memaksimalkan fungsi kebudayaan yang diemban masjid.
3
2.2
Masjid dalam Masa Periode Awal Islam Pada periode awal Islam yaitu pada masa Rasulullah Saw. masjid memiliki peran signifikan dan strategis baik ketika di Makkah atau di Madinah. Di Makkah, masjid al Haram menjadi tempat sosialisasi wahyu dari Allah secara terbuka sehingga mengundang reaksi keras dari golongan musyrikin Quraisy seperti dialami oleh Abdullah ibn Mas’ud. Demikian pula sewaktu nabi singgah di Quba dalam perjalanannya ke Yatsrib, selama 4 (empat) hari beliau mendirikan masjid yang kemudian dikenal dengan sebutan masjid Quba, masjid yang pertama kali dibangun oleh nabi pada tahun ke- 13 kenabiannya atau tahun ke- 1 hijriah (28 Juni 622 M). Masjid Quba ini merupakan tempat peribadatan umat Islam pertama yang kemudian menjadi model atau pola dasar bagi umat Islam dalam membangun masjidmasjid di kemudian hari. Masjid Quba disamping sebagai tempat peribadatan yang menjadi fungsi utamanya, juga sebagai tempat pendidikan dan pengajaran agama Islam. Untuk itu, Rasulullah menempatkan Mu’adz ibn Jabal sebagai imam sekaligus guru agama di majid Quba ini. Selain itu, Rasulullah sendiri kerap berkunjung ke masjid ini, baik dengan mengendarai unta ataupu berjalan kaki, dan menunaikan shalat. Kemudian setibanya di Yatsrib, langkah pertama yang dilakukan Rasulullah Saw. adalah membangun masjid yang sangat sederhana, berukuran 35 x 30 m2. Dengan berlantaikan tanah, dinding terbuat dari tanah yang dikeringkan, tiangnya dari batang pohon kurma dan atapnya dari pelepah dan daunnya. Masjid ini kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Nabawi. Di sebelah timur masjid, dibangun tempat tinggal Rasulullah yang tentunya lebih sederhana lagi dari masjid, dan di sebelah barat dibangun sebuah ruangan khusus untuk orang-orang miskin muhajirin, yang kemudian dikenal dengan sebutan al shuffah. Di Masjid Nabawi inilah, seperti dijelaskan Quraish Shihab, fungsifungsi penting yang terkait dengan kehidupan masyarakat muslim pada masa itu dijalankan dengan baik karena Rasulullah sendiri yang secara langsung memimpin pemberdayaan masjid sebagai tempat dan basis utama
4
mengelola masyarakat muslim dengan sebaik-baiknya yang di kemudian hari melahirkan sebuah masyarakat ideal yang disebut masyarakat madani. Selain dari dua masjid di atas, Rasulullah dan para sahabat juga membangun dan memperhatikan beberapa masjid dalam waktu yang berbeda antara lain : masjid Qiblatain, masjid Salman, masjid Sayyidina Ali, masjid Ijabah, masjid Raya, masjid Suqiya, masjid Fadikh, masjid Bani Quraizhah, Masjid Afr dan masjid al Aqsha yang notebene masjid tertua kedua setelah masjid al haram di Makkah. Pada masa Khulafa al Rasyidin juga dibangun beberapa masjid baru di wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai. Di Bayt al Maqdis, misalnya, khalifah Umar ibn Khattab membangun sebuah masjid yang berbentuk lingkaran (segi delapan), dindingnya terbuat dari tanah liat, tanpa atap, tepatnya di atas bukit Muriah. Masjid ini kemudian dikenal dengan nama masjid Umar. Di Kufah pada tahun 17 H Sa’ad ibn Abi Waqqash, sebagai panglima perang, membangun sebuah masjid dengan bahan-bahan bangunan dari Persia lama dari Hirah dan selesai dibangun pada tahun 18 H. Masjid ini sudah memiliki mihrab dan menara. Di kota Basrah, pada tahun 14 H juga dibangun sebuah masjid oleh ‘Utbah ibn Ghazwan. Di Madain, pada tahun 16 H. Sa’ad ibn Abi Waqqash menjadikan sebuah gedung sebagai masjid. Di Damaskus, pada tahun 14 H. gereja St. John dibagi dua, sebagian (sebelah timur) menjadi milik muslim dan dibuat sebagai masjid oleh Abu Ubaidah ibn Jarrah. Di Fustat, Mesir, pada tahun 21 H. Amr ibn ‘Ash, ketika menjadi panglima perang untuk menaklukan daerah tersebut membangun
masjid al ‘Atiq. Secara fisik masjid tersebut sudah
berkembang lebih maju dibandingkan masjid-masjid lain yang telah ada.
5
2.3
Masjid dan Pendidikan Pada masa nabi Muhammad Saw dan khalifah Abu Bakar Shiddiq masjid masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan pendidikan Islam tanpa ada pemisahan yang jelas antara keduanya hingga masa Amirul Mukminin, Umar ibn Khattab. Pada masanya, di samping atau di beberapa sudut masjid dibangun kuttab-kuttab untuk tempat belajar anak-anak. Kuttab atau maktab “berasal dari kata dasar ‘kataba’ yang artinya menulis atau tempat menulis, jadi kuttab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam kuttab telah ada di negeri arab meskipun belum banyak dikenal oleh masyarakat”. Ahmad Syalabi menulis bahwa “kuttab adalah tempat memberi pelajaran menulis, dimana tempat belajar membaca dan menulis ini teruntuk bagi anak-anak”. Sejak masa inilah pengaturan pendidikan anak-anak dimulai. Hari Jum’at adalah hari libur mingguan sebagai persiapan melaksanakan shalat Jum’at. Khalifah Umar ibn Khattab mengusulkan agar para pelajar diliburkan pada waktu dzuhur hari kamis, agar mereka bersiap-siap menghadapi hari Jum’at. Usul ini kemudian menjadi tradisi hingga sekarang. Sebagai
institusi
pendidikan
Islam
periode
awal,
masjid
menyelenggarakan kajian-kajian baik dalam bentuk diskusi, ceramah dan model pembelajaran yang memiliki bentuk atau format tersendiri yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat muslim pada masa itu yang pada masa-masa berikutnya terus mengalami inovasi dan pembaruan. Hasil inovasi dan pembaruan tersebut sebagai konsekwensi dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat muslim terhadap pendidikan Islam yang terus mengalami perubahan dan peningkatan. Format dasar pendidikan masjid adalah lingkaran studi, lebih dikenal dalam Islam sebagai `ilm al-Halaqat ‘atau singkatnya: Halaqa. Halaqa, dieja Halqa dalam edisi baru Ensiklopedi Islam, yang didefinisikan sebagai ‘pertemuan orang yang duduk membentuk lingkaran. Lingkaran (halaqa) adalah bentuk tertua dari pengajaran Islam, sejak masa Nabi Muhammad, yang berperan memimpin kegiatan bagi para pengikutnya baik pria maupun wanita. Dalam halaqa tradisional, guru
6
duduk di atas bantal membelakangi dinding atau pilar. Para siswa duduk dalam setengah lingkaran di sekitar guru, sesuai peringkat pengetahuannya. Pada awal Islam, para guru di halaqa termasuk laki-laki dan perempuan. Situs pertama untuk kalangan belajar berada di masjid (masjid). Guru terkenal dikaitkan dengan kota dan masjid tertentu, dan biasanya juga untuk nama pilar bagi ulama terkenal yang duduk di sana. Lingkaran belajar juga diadakan di lembaga lain dan rumah. Siswa melakukan perjalanan untuk duduk dalam lingkaran seorang sarjana terkenal. Tradisi merekam pemaparan pengajar berkembang menjadi pengajaran yang lebih sistematis. Metode yang dilakukan para guru dalam mengampu mata pelajaran, memungkinkan siswa mereka untuk mengajukan pertanyaan dan menguji pengetahuan mereka. Kesuksesan belajar dihargai dengan surat, atau sertifikat belajar (ijazah). Tradisi halaqa formal dan informal berlanjut sampai hari ini dalam kebudayan Muslim. Dalam halaqa yang diselenggarakan di masjid siapapun bisa bergabung baik statusnya sebagai murid yang terdaftar ataupun sekedar pengunjung yang berminat mengikuti kajian. Mereka yang menjadi murid pada halaqa tersebut diberi tugas untuk melakukan pembacaan terhadap sumber-sumber keilmuan penunjang agar tidak mengalami kesulitan dalam memahami uraian mudarris ketika proses kajian berlangsung, juga dituntut untuk berkonsentrasi secara sungguh-sungguh. Kegiatan diskusi aktif pun diintensifkan untuk menggali lebih dalam untuk menangkap wawasan lebih luas tentang ajaran Islam. Pada perkembangan selanjutnya pembakuan kurikulum terstruktur tersebut dilakukan pada lembaga pendidikan Islam yang formal yaitu : madrasah. Kemunculan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan fase terpenting dalam sejarah intelektual pendidikan Islam yang mengubah secara signifikan format penyelenggaraan pendidikan Islam menjadi lebih sistematis dan terstruktur. Format halaqa yang semula digunakan dalam kajian-kajian keilmuan Islam bergeser ke lembaga baru bernama madrasah yang menggunakan sistem kelas dalam praktek pengajaran dan pembelajarannya.
7
Faktor yang mendorong perlunya pendirian madrasah sebagai pengganti fungsi pendidikan masjid adalah kenyataan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan telah melahirkan kelompok intelektual baru, tentunya memajukan dan mengembangkan lembaga pendidikan seperti madrasah merupakan usaha untuk menyediakan lahan baru bagi mereka.
2.4
Peran Masjid Kampus bagi Mahasiswa Pada zaman sekarang, masjid kampus memang hanya sebuah bagian kecil dari sebuah kampus. Meskipun begitu, peran masjid kampus dalam membentuk mahasiswa berintegritas sangat besar. Masjid kampus tidak saja menjadi tempat shalat, saat ini masjid menjelma menjadi pusat kegiatan mahasiswa yang memiliki segudang lembaga dan kegiatan. Lembagalembaga dan kegiatan yang berada di bawah naungan masjid akan lebih maksimal
jika
dioptimalkan
untuk
membentuk
mahasiswa
yang
berintegritas. Dalam perannya membentuk mahasiswa berintegritas, masjid kampus sekurang-kurangnya bisa memanfaatkan dua hal yaitu fungsi spiritual masjid dan lembaga-lembaga yang berada di dalamnya. Secara spiritual, fungsi utama masjid adalah sebagai tempat bersujud. Bersujud dalam arti melaksanakan penghambaan kepada Allah. Didalamnya orang-orang muslim melaksanakan shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Oleh sebabitu masjid kampus tidak pernah sepi. Mahasiswa yang datang ke masjid adalah mereka yang berupaya untuk menjaga integritas terhadap agamanya. Salah satunya untuk melaksanakan shalat (baik shalat berjamaah maupun munfarid). Orang yang senantiasa menjaga shalatnya berarti ia menjaga integritas terhadap Tuhannya. Shalat adalah tiang agama. Barang siapa mendirikan shalat berarti mendirikan agamanya, barang siapa meninggalkan shalat berarti meruntuhkan agamanya. Demikian sabda Sang Nabi Saw. Shalat juga menjadi parameter bagi amal seseorang. Jika shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, dan sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa peran utama masjid dalam membentuk mahasiswa adalah melalui aktivitas ibadah, terutama shalat.
8
2.5
Lembaga dalam Kepengurusan Masjid Kampus Masjid kampus memiliki banyak lembaga yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan. Lembaga dakwah kampus (LDK) merupakan salah-satu pilar paling penting dalam membentuk mahasiswa yang berintegritas. Sebagai lembaga dakwah yang berbasis di masjid, LDK bisa memanfaatkan posisi strategis masjid sebagai tempat berkumpulnya mahasiswa. LDK bisa menawarkan kajian-kajian, halaqah-halaqah, atau kegiatan kegiatan lain yang bisa meningkatkan integritas dan spiritualitas mahasiswa. Model halaqah (forum berbentuk lingkaran) adalah model kajian/diskusi yang cukup popular dikalangan aktivis islam kampus. Model ini sudah terkenal sejak masa kejayaan Islam. Saat itu halaqah merupakan model kajian yang begitu trekenal dan efektif di masjid-masjid di seluruh duania Islam. Peran LDK dalam membentuk mahasiswa berintergritas selanjutnya melalui organasasinya. Biasanya, sebagian besar mahasiswa
yang
bergabung dengan LDK bertujuan untuk memperbaiki diri dan spiritualitas mereka. Maka lingkungan LDK yang berisi komunitas orang-orang yang konsisten menjaga spiritualitasnya harus mampu memberikan jawaban dari permasalahan permasalahan mereka, dan pada akhirnya mampu mencetak mahasiswa – mahasiswa yang berintegritas.
2.6
Masjid sebagai Pembinaaan “Masjid sebagai pusat pembinaan potensi umat” adalah warisan tak ternilai yang diterima umat Islam dari Rasulullah SAW. Masjid bukan semata-mata tempat shalat. Masjid adalah untuk menegakkan ibadah dan menyusun umat. Islam tidak dapat tegak tanpa jamaah. Ajaran-ajaran Islam adalah jalinan ibadah dan muamalah. Yang satu “mu’amalah dengan Khaliq (hablum min Allah)”, yang lainnya “mu’amalah dengan makhluk (hablum min an-naas)”. Ini kaji, yang sudah terang perintah wajibnya. Masyarakat Islam memikul kewajiban membina masyarakat (jamaah) karena beban langsung dari agamanya. Masjid dan Langgar (surau) yang hidup dan dinamis, berperan sebagai pusat bimbingan untuk menaikkan jiwa umat (mendinamisirnya) untuk
9
mencapai taraf kemakmuran hidup lebih baik.Masjid yang hidup sebagai pusat pembinaan umat, akan meng- hidupkan jiwa jamaahnya supaya terpelihara “Izzah”, kepribadian umat yang sedang berkecimpung dalam masyarakat ramai dari berbagai corak. Jamaah umat Islam dapat saling berlomba dengan masyarakat lainnya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan secara bersama-sama guna menyuburkan kebajikan untuk masyarakat umum. Begitulah fungsi Masjid secara hakiki. Kewajiban Umat “Membina Jamaah melalui Masjid” ini tidak boleh dilalaikan (di kucawaikan) dalam keadaan bagaimanapun. Hidupkan Masjid kembali. Dari masjid yang hidup akan terpancar jiwa yang memancarkan cahaya hidup kepada umat disekelilingnya. Inilah program umatisasi. Masjid adalah sumber kekuatan umat Islam masa lalu, sekarang dan di masa depan. Alangkah meruginya Umat Islam, bila mereka tidak kunjung mengenal dan mempergunakan modal kekayaan tak ternilai jumlahnya yang dapat dijadikan sumber kekuatannya ini.
2.7
Strategi dalam Pembinaan Generasi Muda Nabi melakukan berbagai macam strategi dakwah yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi para mad’unya. Ketika dakwah pertama kali diturunkan kepada Nabi, Beliau melakukan strategi dakwah secara sembunyi-sembunyi. Selanjutnya, pada saat dakwah Nabi Muhammad mendapatkan tekanan dan ancaman dari kaum Quraisy, Nabi menerapkan strategi hijrah ke Madinah. Bahkan, Nabi juga melakukan strategi melalui jalur pernikahan untuk mendapatkan dukungan dan pengikut. Intinya, strategi dakwah Nabi Muhammad disesuaikan dengan kemampuan, situasi dan kondisi mad’u. Dengan tidak ditetapkan satu strategi yang khusus oleh Nabi dalam melakukan dakwah, maka pengikutnya dapat berkreasi untuk menciptakan dan menerapkan berbagai strategi yang sesuai dengan mad’u. Pertimbangan dasar yang perlu diperhatikan dalam menentukan dan menerapkan strategi dakwah, yaitu: tujuan dakwah, kemampuan dan keahlian da’i atau pelaksana dakwah, kondisi dan situasi dakwah dan mad’u, sarana dan prasarana
10
pendukung. Dengan memperhatikan pertimbangan dasar tersebut tentunya strategi dakwah untuk anak-anak akan berbeda dengan strategi yang digunakan kepada para pemuda. Begitu juga, strategi yang diterapkan kepada pemuda berbeda dengan strategi yang diterapkan kepada orang dewasa. Secara umum ada dua strategi besar yang dapat diterapkan dalam pembinaan kepada pemuda yaitu: strategi internal-personal dan strategi external-institutional. 1. Strategi internal-personal berorientasi pada upaya peningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam yang bersumber dari dalam diri pemuda itu sendiri. 2. Strategi external-institutional diarahkan pada penguatan organisasi yang dimiliki oleh pemuda. Dalam mengaplikasikan strategi internal-personal, pengurus masjid tidak hanya memberikan tempat dan pendanaan untuk berkembangnya organisasi pemuda masjid. Pengurus masjid hendaknya memberikan bimbingan, arahan dan kontrol terhadap pelaksanaan ajaran Islam pada generasi muda. Apakah dalam kegiatankegiatan yang mereka lakukan tidak menyimpang dari ajaran Islam, bagaimana shalat berjama’ah mereka, tadarus al-Qur’an mereka dan bagaimana kepeduliaan serta keterlibatan pemuda dengan persoalan kemasyarakatan. Semua itu tentunya dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan demokratis. Tidak bisa pengurus masjid memaksakan paham, ideologi dan kepentingan masjid kepada pemuda. Intinya, penerapan strategi ini lebih pada pembinaan kepribadian pemuda tersebut atau dalam bahasa sekarang dikenal dengan pembangunan karakter (character building) pemuda. Sedangkan aplikasi strategi external-institutional, pengurus masjid harus memberikan kesempatan kepada pemuda untuk mengembangkan diri dalam organisasi remaja (pemuda) masjid dan setiap masjid harus mengupayakan terbentuknya organisasi pemuda masjid. Dalam praktek di lapangan, kedua strategi besar di atas jangan dipisahkan atau dipertentangkan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan
11
strategi internal – personal saja atau sebaliknya hanya menerapkan strategi external-institutional saja. Hindari juga anggapan yang menyatakan bahwa membina mental remaja hanya menjadi tugas dari orang tua saja, sedangkan masyarakat hanya berpangku tangan atau sebaliknya. Organisasi dapat melakukan pembinaan mental sekaligus dapat melatih mereka dalam berorganisasi. Demikian juga, orang tua melatih mental remaja sekaligus mendukung remaja untuk aktif di organisasi.
12
BAB III PENUTUP 3.1
Kesimpulan Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa: a. Masjid mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus. Dalam arti umum, masjid adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud, sedangkan dalam arti khusus masjid adalah tempat yang dibangun khusus untuk menjalankan ibadah, terutama shalat berjamaah. b. Masjid mempunyai banyak fungsi diantaranya yaitu sebagai tempat menjalankan ibadah shalat, sebagai tempat musyawarah, dan sebagai tempat pengaduan masyarakat dalam menuntut keadilan. c. Lembaga kepengurusan dalam kepengurusan masjid kampus juga berfungsi untuk melakukan pembinaan mental sekaligus dapat melatih mahasiswa dalam berorganisasi.
13