Agama yang Sempurna Agama Islam adalah agama yang sempurna. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana Islam mengatur segala aspek dari yang terkecil sampai yang terbesar dalam kehidupan manusia sehari-harinya dalam menjalani kehidupanya.Aturan-aturan yang Islam adakan bagi semua umatnya sangatlah mendetail, sehingga tidak memungkinkan untuk semua umatnya untuk terjadi kesalah pahaman, dan membuat umatnya berada di jalan yang diridhai oleh Allah SWT.Sesungguhnya semua perintah dari Allah yang tertera di Al Quran tidak ada yang merugikan, melainkan sangat membuat kita menjadi orang yang lebih baik dan mempertebal keimanan kita yang sangat penting untuk kita semua di akhirat nanti. Kita wajib meyakini yang ada di dalam Al Quran, karena Al Quran adalah Al Furqon (pembeda), Al Huda (petunjuk), As Syifa (penawar), dan Adz Zikru (peringatan). http://ekivalen770.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-dan-karakteristik-agama-islam.html
upan manusia mulai dari muamalah, politik, hukum, aqidah, dan perdata. Semua diatur dalam Islam tanpa terkecuali, bahkan jumlah kamar pun, cara berpakaian, bergaul semua ada aturannya dalam Islam karena Islam agama yang sempurna dan memang telah ditegaskan oleh Allah s.w.t. Allah s.w.t berfirman “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridahi Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al- Ma’idah, 5:3) Sangat jelas Allah telah menegaskan bahwa “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu ...”yang menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Sehingga tidak ada yang dapat menyangkal bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Dari pembahasan pertama hingga ketiga telah cukup membuktikan bahwa Islam agama yang sempurna. Disamping itu, kesempurnaan Islam dapat kita buktikan dengan kondisi atau keadaan zaman sekarang ini. Meskipun zaman telah berganti tetapi Islam tetap dapat berdiri dan mampu menyesuaikan dengan zaman. Akan tetapi disini, bukanlah Islam yang mengikuti peraturan zaman namun aturan Islam mampu menyesuaikan dengan keadaan saat ini misal, pada zaman Rasulullah dahulu tidak ada yang namanya teknologi seperti komputer, handphone, dan laptop sedangkan sekarang zaman telah berganti zaman sudah semakin canggih dengan berbagai teknologi dan pengetahuan yang lebih maju dibandingkan dahulu. Tetapi Islam tetap mampu berdiri dan Islam memiliki aturan atas segala sesuatu yang terjadi saat ini. Dengan semakin berkembangnya pengetahuan dan teknologi otomatis akan semakin bertambah tingkat pergerakan, masalah, dan hal-hal yang perlu diatur, berbeda dengan agama lain. Agama lain belum tentu memiliki aturan sesempurna Islam, mungkin mereka memiliki aturan tapi tidak sesempurna aturan yang ada dalam Islam yang mencakup segala hal. Sebagai contoh, belum pernah saya mendengar dalam agama nasrani yang mengatur tentang riba atau muamalah. Dan Islam memiliki semua aturan serta solusi akan hal itu sehingga Islam disebut agama sempurna. Karakteristik setiap agama memang hal yang menjadi pembeda dari agama lain. Dan memang telah terbukti dari pembahasan diatas sangat terlihat jelas karakteristik agama Islam yang berbeda dari agama lain. Perlu diketahui, bahwa aturan Islam berdasarkan Al-quran dan as-sunnah serta Allah s.w.t yang mengatur segala hal sehingga aturan dalam Islam bukannlah
semata-mata buatan manusia melainkan dari Allah s.w.t. Jadi agama Islam diturunkan langsung oleh Allah s.w.t melalui para Nabi dan Rasul-Nya untuk mensejahterkan manusia. Kita sebagai umat Islam harus menaati segala aturan dan perintah serta menjauhi laranganNya. http://pendidikan-college.blogspot.co.id/2013/04/karakteristik-agama-islam.html
poin 4 Islam tidak mengakui hak mutlak dan kebebasan mutlak, tetapi mempunyai batasan- batasan tertentu, termasuk dalam bidang hak milik. Hanya keadilan yang dapat melindungi keseimbangan antara batasan- batasan yang ditetapkan dalam sistem Islam untuk kepemilikan individu dan umum. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang untuk mensejahterakan dirinya, tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat secara umum. Maksud dan tujuan dari hukum Islam yang berupa kemaslahatan bagi manusia ini harusdipahami secara luas. Dalam arti hukum Islam pada dasarnya hendak mewujudkankebaikan hidup yang hakiki bagi manusia, baik secara individual maupun social.Di samping bertujuan untuk membentuk pribadi yang baik, hukum islam juga bertujuanuntukk menegakkan kemaslahatan dan keadilan sosial. Karena apabila hal tersebutdapat direalisasikan terhadap permasalahanpermasalahan kehidupan yang kompleks,baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, politik, perdagangan birokrasi,maupun wilayah yang lain, niscaya keadilan sosial dan kemaslahatan umat akanterwujud.Keadilan keputusan hukum atas permasalahan yang terjadi, sudah seyogyanyadidasarkan pada nash atau dalil alQur‟an, kitabullah yang telah diakui kebenarannya, dan juga bersandar pada ketentuan-ketentuan Rasullullah yang disebut as-Sunnah.Selain dilandasi kedua fondasi tersebut, islam juga mengenal penetapan hukum secara aqliyyah, yang biasa dinamakan dengan metode ijtihad birra‟yi (dengan rasio), dan salah satu metode tersebut dinamakan al-Mashlahah al-mursalah, yaitu menetapkansuatu perbuatan yang tidak terdapat dasar penguat atau pembatalannya dalam alQur‟an maupun Sunnah. Definisi Mashlahah al-Mursalah Dari segi bahasa (etimologi) terdiri dari dua kata, yakni mashlahah dan mursalah.Mashlahah berarti suatu yang mendatangkan kebaikan. Lafadz mashlahah seperti
lafadz manfa ‟at, baik artinya maupun wazannyam yaitu kalimat isim mashdar yangsama artinya dengan kalimat as-shalah, seperti halnya lafadz almanfa‟at sama artinya dengan annaf‟u. Sedangkan al-mursalah bermakna diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan).Mashlahah juga dipahami sebagai manfaat, dari segi lafadz maupun makna baik secaralangsung maupun proses seperti menghasilkan faedah ataupun pencegahan danpenjagaan seperti menjauhi kemadharatan dan penyakit. Semisal dikatakan apabilaberbisnis itu suatu kemaslahatan, maka
hal tersebut berarti bahwa berbisnis itupenyebab diperolehnya manfaat lahir dan bathin.Mashlahah al-mursalah menurut Abdul Wahab Khallaf ialah yang mutlak. Menurutistilah Ahli Ushul, maslahah al mursalah diartikan kemaslahatan yang tidak disya ri‟atkanoleh Syari‟ dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping tidak ada dalil yang membenarkan dan menyalahkan. Karenanya mashlahah mursalahitu disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar atau salah.Secara terminology almashlahah al-mursalah berarti suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara‟ dan tidak pula terdapat dalil -dalil yang menyuruh untukmengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkankebaikan yang besar atau kemaslahatan. Makna lain memaparkan bahwa mashlahahmursalah berarti mashlahah yang tidak disebutkan dengan nash tertentu, akan tetapisejalan dengan kehendak nash. Dengan kata lain jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuannya syara‟ dan tidak ada illat yang keluar dari syara‟ yang menentukan kejelasan hukum suatu kejadian tersebut, kemudian ditentukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara‟ yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-maslahah al-mursalah. Sebagai contoh kemashlahatan tersebut seperti telah terjadi pada masasa habat yang telah mensyari‟atkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian di tangan pemilik dan pemungutan pajak terhadap tanah itudi daerah pertanian yang mereka taklukkan. Sebagian Ulama Ushul juga memberikan macammacam ta‟arif untuk mendefinisikanmashlahah al-mursalah, di antaranya ;1. Imam al-Gazali memberikan penjelasan mashlahah mursalah pada dasarnya ialahmeraih manfaat menolak kemadharatan, dalam rangka memelihara tujuantujuan syara‟. Tujuan syara‟ yang dimaksud, lanjut a l-gazali ada lima bentuk, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara‟ tersebut, maka dinamakan mashlahah. Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemadharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara‟ di atas, juga dinamakan mashlahah. 2. Imam arRazi, menta‟rifkan mashlahah mursalah sebagai perbuatan yang bermanfaatyang telah diperintahkan oleh musyarri‟ (allah) kepada hamb a-Nya tentangpemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya. 3. Muhammad Hasbi as-Shiddiqy menuliskan al-mashlahah al mursalah adalah memelihara tujuan syara‟ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk. Ta‟rif di atas memberikan pengertian pada al-mashlahah al-mursalah, yaitu setiap manfaat yang di dalamnya terdapat tujuan syara‟ secara umum, namun tidak terdapat dalil
yang secarakhusus menerima atau menolaknya.Manfaat itu adalah kenikmatan atas sesuatu yang akan mengantarkan pada kenikmatan.Dengan kata lain tahsil alibqa‟. Maksdu tahsil adalah penghimpunan kenikmatan secaralangsung, sedangkan yang dimaksud ibqa‟ adalah penjagaan terhadap kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemadharan dan sebab-sebabnya.Dalam aplikasinya konsep almashlahah al-mursalah dikatakan dengan istilah yang berbeda.Sebagian ulama menggunakan istilah mashlahah mursalah itu dengan kata al-munasib mursal,ada juga yang menggunakan istihlah dan sebagian lain lagi menyebutnya al-istidlal al-mursal.Perbedaan nama itu dipandang dari tiga segi. Pertama, melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan. Kedua, melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara‟ yang mengharuskan adanya sesuatu ketentuan hukum agar tercipta sesuatu kemashlahatan. Ketiga,melihat proses penetapan hukum terhadap sesuatu mashlahah yang ditujukan oleh dalil khusu.Yang terpenting dalam mendefinisikan al mashlahah al mursalah ini, yaitu berarti penetapansuatu hukum yang bertujuan memberikan kemashlahatan bagi masyarakat umum, tetapipenetapan tersebut tidak terdapat nash dan dalil yang menguatkan atau membatalkannya.
http://www.academia.edu/9834281/Maksud_dan_tujuan_dari_hukum_Islam_yan g_berupa_kemaslahatan_bagi_manusia_ini_harus_dipahami_secara_luas
Poin 7
Ajaran Islam Tidak Berubah karena Waktu dan Tempat
Perbedaan Ideologi Islam dan Barat
Karakteristik ajaran Islam sangat berbeda dengan ideologi dunia yang lainnya. Hukum Islam dibangun atas dasar nas-nas syariat yang tetap. Dalam Islam, nas-nas syariat merupakan sumber hukum yang kemudian menghukumi realitas. Sebaliknya, dalam Idelogi Barat, misalnya, realitaslah (kondisi) yang menjadi pijakan hukum yang kemudian menghasilkan produk-produk hukum yang sesuai dengan
(mengakomodasi) realitas. Akibatnya, hukum produk ini berubah-ubah dari waktu ke waktu dan berbeda-beda antara satu tempat dan tempat lainnya. Ini adalah konsekuensi dijadikannya realitas —yang terus berubah dan berkembang— sebagai pijakan hukum. Perubahan Waktu dan Tempat Tidak Ada Pengaruh[1] Sebagaimana telah dijelaskan, produk hukum Islam digali dari nas-nas syariat. Sementara itu, pada saat yang sama, nas-nas tersebut tetap dan tidak pernah mengalami perubahan. Karena itu, produk hukum tersebut harus selalu terikat dengan nas dan tunduk pada segala hal yang dinyatakan oleh dalâlah-nya(penunjukan). Pertimbangan atas dasar ‘perubahan zaman’ dan perbedaan tempat tidak mempunyai nilai sama sekali di sini, sebagaimana pertimbangan atas dasar kemaslahatan atau kemadaratan. Perbedaan kultur, kebiasaan, dan adat istiadat masyarakat juga tidak boleh mempengaruhi ajaran Islam. Alasannya, kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat bukanlah ‘illat (motif diberlakukannya hukum) dan bukanlah sumber hukum. Bahkan, kultur, kebiasaan, dan adatistiadat acapkali banyak yang bertentangan dengan syariat. Apalagi kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat yang ada pada masa sekarang pada dasarnya merupakan kristalisasi pemikiran dan hukum-hukum yang bersumber dari sistem sekuler yang telah terbukti mengakibatkan kerusakan masyarakat. Namun, jika kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam, ia diperbolehkan (mubah). Akan tetapi, kebolehannya itu bukan karena pertimbangan apa-apa, kecuali karena memang dibolehkan oleh nas-nas syariat. Syariah Islam Itu Tetap Sebagaimana dipahami, syariat Islam adalah ‘yang itu-itu juga’; tidak pernah berubah. Yang halal akan tetap halal dan yang haram akan tetap haram. Selamanya begitu hingga Hari Kiamat karena wahyu Allah telah terputus dan syariat Islam telah sempurna. Karena itu, khamar, misalnya, tidak akan pernah haram pada satu waktu, kemudian berubah menjadi halal pada waktu lain. Demikian pula keharaman riba, memata-matai orang Islam, menipu, meminta bantuan kepada orang kafir, suap, korupsi, zina dan sebagainya. Statemen bahwa hukum harus berubah karena faktor perubahan waktu dan tempat tentu merupakan pendapat yang tidak tepat. Allah Swt. berfirman: َِب ال ِ َ ِب إِ َن الَذِينَ يَ ْفت َُرونَ َعلَى ِ َ ِب َهذَا َحالَ ٌل َو َهذَا َح َرا ٌم ِلت َ ْفت َ ُروا َعلَى ُ َص َ ّللا ا ْل َكذ َ ّللا ْال َكذ َ ف أ َ ْل ِسنَت ُ ُك ُم ْال َكذ ِ َوالَ تَقُولُوا ِل َما ت َيُ ْف ِلحُون Janganlah kalian berdusta dengan sebab apa yang disifatkan oleh lidah kalian, “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan sesuatu yang dusta terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang berdusta terhadap Allah tidak akan berhasil. (QS an-Nahl [16]: 116). Apabila hukum Islam berubah karena faktor waktu dan tempat, berarti akan ada satu fakta atau kasus yang memiliki dua hukum sekaligus –halal dan haram— meskipun dalam wilayah dan rentang waktu yang tidak sama. Hal Ini jelas mustahil, karena Allah tidak mungkin menurunkan dua hukum yang berlawanan untuk kasus yang sama. Hal ini juga sangat kontradiktif dengan karakter kesempurnaan syariat Islam.
Studi Proporsional Antara Syariah dan Objek Hukum
Memang, realitas yang menjadi objek hukum bisa jadi mengalami perubahan, tetapi hukum atas realitas itu sendiri tentu saja tidak berubah. Dalam istilah para ahli fikih (fuqahâ’), objek hukum biasa disebut manâth al-hukm.[2] Dalam al-Quran dan as-Sunah, misalnya, khamar sampai kapan pun dan di mana pun tetap haram. Akan tetapi, ketika esensi khamar berubah menjadi cuka, maka ia menjadi halal. Dalam dua keadaan ini, sebetulnya, tidak dapat dikatakan telah terjadi perubahan hukum. Yang terjadi adalah perubahan manâth al-hukm yang memungkinkan dihasilkannya dua hukum yang berbeda: khamar tetap khamar dengan keharamannya; cuka tetaplah cuka dengan kehalalannya. Sebab, keduanya memiliki esensi dan manâth al-hukm yang berbeda. Demikianlah, setiap hukum syariat mempunyai manâth al-hukm. Setiap terjadi perubahan manâth, pasti ada hukum lain untuk manâth yang baru tersebut. Manâth, menurut al-Ghazâli, tidak sama dengan ‘illat(latar belakang/motif diberlakukannya hukum).[3] Alasannya, tidak semua hukum mempunyai ‘illat, tetapi ia pasti mempunyai manâth. Karena itu, menurut as-Syâtibi, penentuan hukum atas manâth alhukm harus tepat, dan hanya berlaku untuk manâth tersebut, tidak untuk yang lain.[4] Misal lain, orang sakit yang tidak mampu berdiri, boleh menunaikan shalat sambil duduk atau berbaring. Perubahan posisi dari sebelumnya wajib berdiri menjadi boleh duduk tidak dapat dikatakan sebagai perubahan hukum karena kondisi berbeda, tetapi karena memang adanya perbedaan hukum yang didasarkan pada dua manâth al-hukm yang memang berbeda, yaitu orang sehat tidak sama dengan orang sakit. Karena itu, orang sehat tetap wajib menunaikan shalat sambil berdiri, sedangkan orang sakit dibolehkan melaksanakan shalat sambil duduk atau berbaring. Jika hukum untuk orang sehat diberlakukan juga pada orang sakit, jelas keliru, karena masing-masing mempunyai manâth al-hukm yang berbeda. Demikian seterusnya. Di samping itu, syariat atau ajaran Islam diberlakukan atas manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia; bukan karena faktor suku, etnik, geografis, ataupun karena faktor Arab atau non-Arabnya. Di mana pun dan kapan pun, manusia, baik Arab atau non-Arab, esensinya sama; sama-sama mempunyai kebutuhan jasmaniah dan naluriah yang sama.[5] Kondisi ini tidak pernah berubah. Karena itu, gagasan bahwa hukum harus berubah karena faktor waktu dan tempat, sebenarnya, bukanlah merupakan keniscayaan hidup manusia. Sebab, esensi kemanusiaan pada diri manusia tidak pernah mengalami perubahan. Yang berubah hanyalah sarana fisik dan wujud materi yang berada disekitarnya. Dengan demikian, dinamisasi, perkembangan, dan perubahan tersebut sebenarnya hanya menyangkut bentuk-bentuk materi atau sarana-sarana fisik yang dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dan naluriahnya. Sebaliknya, kebutuhan-kebutuhan manusia, baik untuk memenuhi tuntutan jasmaniah maupun naluriahnya, tidak pernah berubah. Contoh, manusia
memerlukan makanan, minuman, pakaian, tidur, dan beristirahat. Semua itu diperlukan oleh manusia pada zaman mana pun dan di mana pun, meskipun boleh jadi alat pemuas dan kualitasnya berbeda-beda. Alat pemuas dan kualitas kebutuhan manusia zaman purba, misalnya, tentu berbeda dengan alat pemuas dan kualitas yang dibutuhkan manusia pada zaman modern, sekalipun kebutuhan mereka untuk makan, minum, berpakaian, tidur, dan istirahat tidak pernah berubah. Karena itulah, berkaitan dengan benda-benda sebagai alat pemuas kebutuhan manusia, Islam telah menggariskan kaidah hukum yang sama yang berlaku untuk segala tempat dan segala zaman, yakni: اإلبَا َحةُ َمالَ ْم يَ ِر ْد َد ِل ْي ُل التَحْ ِري ِْم ِ ِص ُل فِي اْأل َ ْشي ْ َ اَأل ِ اء Hukum asal benda (barang) adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.[6] Sebaliknya, berkaitan dengan perbuatan yang ditujukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan jasmaniah ataupun naluriah —yang tidak pernah berubah itu— Islam menggariskan kaidah syariah berikut: َ ال التَقَيُ ُد بِاْألَحْ ك َِام ال ْ َص ُل فِي اْأل َ ْفع ش ْر ِعيَ ِة ْ َ اَأل Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat.[7] Walhasil, pemikiran, propaganda dan gagasan bahwa hukum Islam harus berubah karena waktu dan tempat tidak mempunyai pijakan syariat yang jelas dalam Islam.[8] [Yan S. Prasetiadi, M.Ag]
[1] Selama beberapa tahun penulis mengikuti perkuliahan di beberapa Universitas, mulai dari level sarjana hingga pascasarjana, menemukan umumnya beberapa kalangan akademis berpendapat bahwa penafsiran ajaran Islam ini laksana karet yang elastis, sehingga hukum Islam itu bisa berubah karena faktor waktu dan tempat (kondisi). Namun hal ini belum memuaskan dahaga intelektual penulis, sehingga akhirnya penulis menemukan jawaban fundamental terkait wacana ‘perubahan hukum’ ini, jawaban tersebut ada pada kitab bernama al-Fikr al-Islami, karya M. Muhammad Ismail pada bab La Yajuz An Tataghayyar al-Ahkam Bi Taghayyur az-Zaman wal Makan. Kaidah “Lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyur az-zamân wa al-makân (Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan waktu & tempat),” merupakan kaidah yg keliru, yg dirumuskan ketika umat Islam mengalami kemerosotan pemikiran paling parah pada abad ke-19. [KH. Shiddiq al-Jawie] Dalam konteks ini, Imam Ibnu Hazm menegaskan: “Jika terdapat nash al-Quran & as-Sunnah yg telah tetap dalam urusan tertentu yg hukumnya tertentu pula, maka yg benar adalah, nash itu tidak terpengaruh oleh pergantian tempat maupun perubahan keadaan. Sesungguhnya apa yg telah tetap itu akan tetap selama-lamanya, untuk setiap waktu, setiap tempat, & setiap keadaan sampai ada nash lain yg datang menggesernya, sebagai hukum pada waktu yg lain, tempat yg lain, & keadaan yg lain pula.” (Ibnu Hazm, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 5/771).
[2] Lihat: Rawwâs Qal’ah Ji, Mu’jam Lughât al-Fuqahâ’, Dâr an-Nafâ’is – Beirut, cet. I, 1996, hlm. 431; Al-Ghazâli, al-Mustashfâ fi ‘ilm al-Ushûl, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah – Beirut, cet. I, 2000, hlm. 319; As-Syâtibi,al-Muwâfaqât, ed. Abdullâh Darâz, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah – Beirut, t.t., juz IV, hlm. 65 [3] Al-Ghazâli, al-Mustashfâ, hlm. 304 [4] As-Syâtibi, al-Muwâfaqât, juz III, hlm. 62 [5] Kajian tentang kebutuhan jasmani dan naluri manusia, akan dibahas pada artikel lain [6] M. Muhammad Ismâ’îl, al-Fikr, hlm. 35-37; As-Suyûthi, al-Asybâh wa an-Nadhâ’ir, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.t., hlm. 60 [7] M. Muhammad Ismâ’îl, ibid, hlm. 32-35; Athâ’ bin Khalîl, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. IV, 2000, hlm. 13-15. [8] Sebenarnya jika ditelaah ulang, para penyeru gagasan ‘perubahan hukum’ tidak mampu menghadirkan dalil yang logis dan bisa diterima untuk membenarkan argumentasi mereka. Misalnya, justifikasi bahwa Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) mengubah fikih beliau hanya karena pindah dari Irak ke Mesir, adalah simplikasi berlebihan terhadap fakta yang sesungguhnya terjadi. Salah besar jika berasumsi Imam asy-Syafi’i mengubah fikihnya hanya karena beliau pindah tempat tinggal dari Irak ke Mesir. Alasan sebenarnya adalah, sang Imam besar itu mengubah metodologinya karena beliau bertemu dengan sejumlah mujtahid dari mazhab yang berbeda-beda dari Irak dan Mesir, yang masing-masing membawa metodologi penggalian hukum dan cara pandang terhadap nash yang berbeda dari dirinya. Hal ini menimbulkan kematangan dan kristalisasi pemikiran beliau dalam kaitannya dengan proses ijtihad. Suatu ketika Imam Ahmad bin Hanbal diminta oleh Muhammad bin Muslim ar-Razi untuk memberitahunya tentang buku-buku karya Imam Syafi’i yang harus dibacanya. Imam Ahmad menjawab, “Pilihlah buku-buku yang ditulis di Mesir. Buku-buku yang ditulis di Irak tidak terlalu bagus. Lalu, beliau pergi ke Mesir. Di sanalah beliau menghasilkan buku-buku yang jauh lebih bagus.” (Lihat: Dr. Muhammad Baltaaji, Manahij at-Tasyri al-Islami fi al-Qarn ats-Tsani al-Hijri. Jilid 1. hlm. 31) https://studipemikiranislam.wordpress.com/2013/09/26/ajaran-islam-tidak-berubah-karenawaktu-dan-tempat/comment-page-1/