Kecanduan Situs Jejaring Sosial Online: Tinjauan Komprehensif Cecilie Schou Andreassen
Abstrak Penelitian mengenai kecanduan terhadap situs jejaring sosial online (social network site/SNS) (contohnya situs jejaring sosial online yang berlebihan dan kompulsif) telah meluas selama beberapa tahun terakhir. Karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan ulasan mengenai penelitian tersebut. Walaupun tidak diakui sebagai sebuah diagnosis, kecanduan SNS memiliki persamaan dengan beberapa kecanduan lainnya, meliputi tolerance, withdrawal, conflict, salience, relapse, dan mood modification. Beberapa instrumen skrining untuk mengidentifikasi kecanduan SNS yang berkembang – pendekatan terhadap fenomena terkait melalui berbagai cara, mengungkap konsep dan kekaburan empiris mengenai bidang ini. Model teoritis dan empiris mengajukan gagasan bahwa kecanduan SNS terbentuk oleh berbagai faktor; meliputi disposisional, sosiokultural, dan penguatan perilaku. Selain itu, penemuan empiris umumnya mengungkapkan bahwa kecanduan SNS berhubungan dengan gangguan kesehatan dan kesejahteraan. Terdapat beberapa uji empiris mengenai pencegahan atau pengobatan untuk mengatasi perilaku kecanduan ini, walaupun strategi, terapi, dan intervensi untuk menolong diri (self-help) telah diusulkan. Kata kunci: Kecanduan, Penilaian, Facebook, Gambaran umum, Situs jejaring sosial, Penanganan
Pendahuluan Situs jejaring sosial online (social network sites/SNS) (Facebook, Twitter, Instagram, dll) sangat akrab bagi kebanyakan orang, setidaknya lebih dari satu juta orang menggunakan satu atau lebih secara rutin [1,2]. Jejaring sosial online sejauh ini telah menjadi perilaku modern yang normal. Bentuk patologis dari perilaku normal dan penting (seperti, olahraga dan belanja) menerima
perhatian lebih dalam beberapa dekade terakhir [3, 4, 5] dimana ditemukan kesamaan yang mencolok antara kecanduan zat kimia (ketergantungan obat) dan perilaku persisten berlebih yang tidak terkait zat kimia (perjudian patologis) [4, 6 – 10]. Zat kimia dan perilaku kecanduan memiliki tujuh gejala utama yang sama: salience, toleransi (tolerance), modifikasi suasana hati (mood modification), konflik (conflict), ketergantungan (withdrawal), masalah (problems), dan relaps (relapse) [4, 11]. Perilaku jejaring sosial online yang berlebihan dan kompulsif kini mengacu pada perilaku kecanduan [12, 13, 14], walaupun tidak diakui secara formal atau melekat pada nosologi psikiatrik. Karya ilmiah ini memberikan gambaran umum literatur terkini mengenai kecanduan SNS dan meliputi topik seperti konsep, prevalensi, penilaian, studi pendahuluan, hasil, dan intervensi yang potensial (lihat Gambar 1).
Definisi Kecanduan SNS Andreassen dan Pallesen [12] [h. 4054] mendefinisikan kecanduan SNS sebagai “terlalu khawatir mengenai SNS, terdorong motivasi yang kuat untuk masuk atau menggunakan SNS, dan menyediakan banyak waktu dan usaha untuk SNS yang mengganggu aktivitas sosial lain belajar/bekerja, hubungan interpersonal, dan/atau kesehatan dan kesejahteraan psikologis”.
Gambar 1. Gambar ini memberikan skema gambaran umum singkat mengenai kecanduan SNS, baik dari definisi, pengukuran tertentu, penjelasan, dampak, dan intervensi kecanduan SNS.
Definisi ini merefleksikan gejala kecanduan tersebut [11]. Mereka berpendapat bahwa kecanduan SNS ditandai dengan menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan SNS dan bagaimana mereka meluangkan lebih banyak waktu untuk jejaring sosial online (salience). Sering, mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk berjejaring sosial daripada yang seharusnya, terdorong untuk
berjejaring
sosial
lebih
lagi
untuk
mencapai
tingkat
kesenangan
tertentu
(toleransi/tolerance). Mereka menggunakan SNS untuk mengurangi perasaan bersalah, kecemasan, kegelisahan, ketidakberdayaan, dan depresi, dengan tujuan melupakan masalah pribadi (modifikasi suasana hati/mood modification). Apabila dilarang menggunakan SNS, pecandu menjadi stres, gelisah, tidak berdaya, atau marah, dan merasa buruk apabila mereka tidak dapat terhubung ke jejaring sosial (ketergantungan/withdrawal). Mereka tidak membutuhkan nasihat dari orang lain untuk mengurangi waktu yang dihabiskan untuk berjejaring sosial. Namun, mereka biasanya gagal mencoba untuk mengurangi berjejaring sosial. Ketika mereka memutuskan menggunakan jejaring sosial lebih jarang, mereka tidak mengaturnya dengan baik sehingga terjadi relaps (relaps/relapse). Pecandu SNS tidak menjadikan hobi, belajar/bekerja, kegiatan di waktu senggang, dan berolahraga sebagai prioritas mereka, dan menjauh dari pasangan, anggota keluarga, atau teman karena SNS (konflik/conflict). Pecandu SNS terlalu banyak menggunakan SNS sehingga memberi pengaruh buruk terhadap kesehatan, kualitas tidur, hubungan, dan kesejahteraan (masalah/problems). Beberapa orang berpendapat bahwa konsep “kecanduan SNS” menunjukkan suatu proses patologis yang tidak penting dari suatu perilaku normal ekstremitas. Meskipun demikian, tampaknya terdapat dukungan empiris untuk anggapan bahwa individu tertentu menunjukkan perilaku terkait SNS yang kompulsif dan tidak terkendali, yang paling baik dipahami dalam perspektif kecanduan [3, 12, 13, 14, 16]. Selanjutnya, perbedaan utama antara terlalu berlebihan dalam berjejaring sosial yang normal (kadang-kadang dialami oleh banyak orang) dan kecanduan SNS adalah bahwa kecanduan yang terakhir, berbeda dengan yang sebelumnya, dikaitkan dengan dampak yang tidak menguntungkan, dan bahwa jejaring sosial menjadi tidak terkendali dan kompulsif. Singkatnya, jejaring sosial yang terlalu berlebihan masih tetap terkendali [17]. Mereka menghargai aktivitas lain dan menunjukkan kehidupan yang multidimensional. Sedangkan, untuk pecandu SNS, semua yang menghambat jejaring sosial tidak disukai oleh yang bersangkutan.
Walaupun perilaku ini menyebabkan dampak yang tidak diinginkan, seperti insomnia atau konflik relasional, pecandu SNS menjunjung tinggi pola perilakunya, bersamaan dengan perilaku adiktif lainnya [11, 12, 13, 18]. Dengan demikian, kecanduan SNS berbeda secara kualitatif dari menghabiskan banyak waktu untuk SNS (sama seperti orang yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuka beberapa platform dengan tujuan tertentu tanpa kecanduan) atau masuk ke SNS terlebih dahulu setiap pagi dan terakhir sebelum tidur malam.
Epidemiologi Kecanduan SNS Terdapat argumen yang menyatakan bahwa kecanduan SNS telah meningkat, terutama seiring dengan berkembangnya teknologi baru (laptop, smartphone) [12]. Namun, statistik yang kuat mengenai prevalensi kecanduan SNS saat ini masih sulit didapatkan. Studi prevalensi biasanya melibatkan sekelompok kecil sampel siswa yang tidak representatif dengan menggunakan beberapa metode skrining dan cut-off tertentu [12, 14, 16]. – membuatnya sulit untuk membandingkan hasil antar studi. Meskipun demikian, ulasan artikel terkini yang lebih mengeksplorasi fenomena ini secara empiris menunjukkan bahwa 2% dari orang dewasa di Amerika Serikat adalah pecandu. Laporan studi menyebutkan tingkat prevalensi kecanduan Facebook sebesar 1,6% [19], dan 8,9% [20], dimana sebesar 12% telah dilaporkan sebagai pengguna SNS yang bermasalah [21], dan 34% [22] lainnya sebagai pengguna Xiaonei (SNS Cina). Rendahnya tingkat prevalensi, yakni sebesar 1,6% ditemukan pada sampel Nigeria, dimana hal ini terkait dengan rendahnya aksesibilitas Internet pada sampel ini. Tingkat prevalensi yang tinggi sebesar 34% ditemukan pada 335 sampel siswa Cina (19 – 28 tahun) menggunakan versi modifikasi dari Young’s Internet Addiction Scale [23]. Terdapat beberapa bukti bahwa kecanduan SNS lebih rentan pada kelompok tertentu. Secara spesifik, studi melaporkan estimasi yang lebih tinggi pada kalangan muda [3, 13, 24], dan pada perempuan [13], walaupun demikian, beberapa studi juga menemukan estimasi yang lebih tinggi pada pengguna berusia lebih tua [25] dan pada laki-laki [26]. Studi lainnya menemukan bahwa kecanduan SNS tidak berhubungan dengan usia [21, 27] dan gender [21, 24, 27]. Studi yang baru ini dipublikasikan mengenai prediktor penggunaan pribadi media sosial di tempat kerja pada sampel 10.018 karyawan menunjukkan penggunaannya berhubungan dengan jenis kelamin laki-
laki, dewasa muda, status lajang, dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi [1]. Meskipun demikian, studi ini tidak mengukur kecanduan SNS. Secara keseluruhan, akibat kurangnya kualitas penelitian sebelumnya mengenai prevalensi kecanduan SNS dalam hal pengambilan sampel, desain studi, pengukurn, dan penilaian titik potong yang digunakan, terlalu dini untuk menarik kesimpulan mengenai prevalensi dan faktor risiko yang relevan dari kecanduan SNS.
Pengukuran Kecanduan SNS Beberapa instrumen skrining kecanduan SNS terdapat dalam literatur. Penelitian kecanduan SNS berawal dan lebih terfokus pada kecanduan Facebook, sementara beberapa fokus pada jejaring sosial lainnya, atau SNS secara umum.
Bergen Facebook Addiction Scale (BFAS) BFAS merupakan kuesioner yang terdiri dari 6 item, dikembangkan oleh Andreassen dkk [13]. Mengacu pada teori kecanduan secara umum, BFAS mengoperasionalkan kecanduan Facebook berdasarkan kriteria kecanduan berikut: salience, mood modification, conflict, withdrawal, tolerance, dan relapse. Semua item ini disusun sebaris dengan kriteria diagnostik kecanduan [15, 28, 29]., dan dinilai dalam 5 skala poin dengan rentang dari “sangat jarang” ke “sangat sering”, menanyakan seberapa sering gejala dialami “selama setahun terakhir”. Gabungan rentang nilai dari 6 hingga 30, dimana cut-score diatur hingga >3 pada sekurangnya empat dari enam kriteria (penilaian politetik). BWAS dibuat dan diuji kembali pada sampel 423 sampel siswa di Norwegia. BFAS merupakan kuesioner yang singkat dan memiliki sifat psikometrik yang baik [3, 12, 13]. Terdapat pula versi BFAS yang dimodifikasi mengenai SNS secara umum.
Facebook Dependence Questionnaire (FDQ) FDQ merupakan kuesioner yang terdiri dari 8 item pertanyaan yang mengukur ketergantungan terhadap Facebook [20]. Kumpulan pertanyaan ini berdasarkan skala kecanduan terhadap Internet
[30], dan mengukur kontrol, kepuasan, waktu penggunaan, dan usaha untuk menguranginya, kekhawatiran, perhatian, dan aktivitas lain terkait Facebook. Format respon berupa dikotomi (ya/tidak), dimana cut-score didukung sekurangnya lima item. FDQ dibuat untuk 418 sampel siswa di Peru. Metodologi statistik melibatkan perhitungan konsistensi internal (0,67).
Social Networking Website Addiction Scale (SNWAS) SNWAS merupakan kuesioner yang dikembangkan oleh Turel dan Serenko [24]. Kuesioner ini dibuat berdasarkan skala kecanduan video game oleh Charlton dan Danforth [31]. Kelima item dinilai dalam rentang skala 7 poin dari “sangat tidak setuju” hingga “sangat setuju”. Tidak terdapat cut-score yang digunakan, selain nilai yang tinggi mengindikasikan kecanduan SNS. Skala dibuat berdasarkan data dari 194 sampel siswa di Amerika, dengan sifat psikometrik yang memuaskan.
Addictive Tendencies Scale (ATS) ATS merupakan kuesioner yang terdiri dari 3 item, dikembangkan oleh Wilson dkk. Mengacu pada teori kecanduan secara umum dan penelitian mengenai penggunaan pesan teks/pesan instan yang berlebihan. ATS mengoperasionalkan kecanduan SNS dalam tiga inti kriteria kecanduan yakni: salience, loss of control, dan withdrawal. Seluruh item dinilai dengan skala 7 poin dimana rentangnya dinyatakan dari “sangat tidak setuju” hingga “sangat setuju”. Nilai cut-off tidak digunakan. Skala dibuat untuk 201 sampel siswa di Australia. Penilaian konsistensi internal sebesar 0,76. Tabel 1 menunjukkan bahwa skala ini dibuat berdasarkan penilaian yang telah ada sebelumnya, digunakan terutama untuk penelitian mengenai kecanduan Internet/penggunaan yang bermasalah [23, 30, 34], kecanduan terhadap telepon genggam/yang bersangkutan [35, 36], kecanduan video game [31], dan/atau komponen perilaku kecanduan oleh Brown [37] dan Griffths [11]. Beberapa didasarkan pada kriteria kecanduan spesifik, sementara lainnya hanya mengukur beberapa aspek kecanduan, atau penggunaan kebiasaan belaka, penggunaan berlebihan atau kecenderungan kecanduan.
Sampel dan metodologi statistik yang digunakan dalam studi pembuatan skala awal pasti memiliki kelemahan seperti desain studi potong lintang kecil yang tidak representatif. Oleh karena perkembangan terbaru, sejauh ini sifat psikometrik telah diuji dan dicadangkan untuk studi awal. Selain itu, sangat sedikit skala yang memiliki cut-score yang sesuai untuk mengkategorikan pecandu SNS. Terdapat kontroversi mengenai penilaian platform jaringan tertentu, seperti Facebook, yang bertentangan dengan jejaring sosial pada umumnya. Sebagai conoth, Griffths [38] dkk [14] berpendapat bahwa dibutuhkan skala yang tervalidasi untuk menilai “kecanduan berjejaring sosial’ secara umum dibandingkan dengan “kecanduan Facebook” karena Facebook merupakan satusatunya jejaring sosial yang memiliki banyak aktifitas yang bervariasi (permainan, mengirim gambar, obrolan, pembaruan status, dll) [38, 39]. Ryan dkk. [16], sebaliknya, berpendapat perlunya pengembangan skala yang berkaitan dengan SNS yang spesifi seperti Facebook karena mungin terdapat perbedaan antara situs yang berbeda dan potensi kecanduan mereka. Andreassen dan Pallesen [12, 40] sebelumnya telah menyediakan petunjuk klinis mengenai bagaimana membedakan penilaian antara SNS spesifik dan umum.
Tabel 1. Daftar pengukuran kecanduan SNS yang telah ada, jumlah item, dan latar belakang Pengukuran
Item
Berdasarkan
Bergen Facebook Addiction Scale [13]
6
Gejala perilaku kecanduan Brown [37], model komponen
kecanduan
Griffths,
dan
kriteria
diagnostik kecanduan [28, 29] Facebook Intrusion Questionnaire [65]
8
Komponen perilaku kecanduan Brown [37] dan Mobile Phone Involvement Questionnaire [36]
Facebook Dependence Questionnaire [20]
8
Internet Addiction Questionnaire [30]
Addictive Tendencies Towards SNSs [21]
20
Young’s Internet Addiction Test [23]
Social Networking Website Addiction Scale
5
Charlton and Danforth Online Gaming Addiction
[24]
Scale (versi pendek) [34]
Addictive Tendencies Scale [32]
3
Mobile Phone Addiction Scale [35]
Generalized Problematic Internet Use Scale
7
Generalized Problematic Internet Use Scale [84]
8
Young’s
[21] Faceebook Addiction Scale [27]
Internet
Addiction
Problematic Internet Use Scale
Test
[23]
dan
Facebook Addiction Scale [26]
20
Young’s Internet Addiction Test [23]
Faceebook Addiction Scale [52]
30
komponen perilaku kecanduan Brown [37]
Faceebook Addiction Scale [45]
12
Young’s Internet Addiction Test [23]
Faceebook Addiction Scale [49]
11
tidak dilaporkan
Faceebook Addiction Symptoms Scale [19]
15
Young’s Internet Addiction Test [23]
Social Networking Dependency and Addiction
31
Internet-Related
Scale
Problem
Scale
[86]
dan
Pathological Internet Use Scale [87]
Penjelasan tentang Kecanduan SNS Kecanduan SNS kemungkinan berkembang dari integrasi faktor disposisi, sosiokultural, dan memperkuat faktor perilaku [12, 14, 18].
Faktor Disposisional Penjelasan neurobiologis dan studi mengenai kecanduan SNS saat ini masih kurang, walaupun neurobiologi sering dikaitkan dalam pembahasan mengenai kecanduan perilaku dan zat kimia. Perilaku adiktif sering berhasil ditangani dengan farmokterapi yang menargetkan sistem penghargaan orak, yang mendukung penjelasan neurobiologis [42, 43]. Studi neuroimaging dari pecandu Internet dan permainan mendukung penjelasan ini lebih jauh [44]. Walaupun demikian, berdasarkan penemuan dari peneliti pada kecanduan perilaku dan zat lainnya, terdapat kemungkinan bahwa pecandu SNS secara biologis cenderung mengembangkan perilaku berjejaring sosial yang berlebihan dan kompulsif. Hubungan antara “faktor kepribadian” dan kecanduan SNS telah dibahas pada penelitian sebelumnya [3, 13, 32, 45]. Studi ini didasarkan pada model lima-faktor kepribadian yang menekankan dimensi utama berikut: neurotisme (neuroticism), ekstroversi (extroversion), keterbukaan terhadap pengalaman (openness to experience), kesesuaian (agreeableness), dan kesadaran (conscientiousness) [46]. Tingkat moderat faktor-faktor ini dianggap sebagai adaptif, dan versi ekstrimnya disebut kontraproduktif [3]. “Neurotisme” bermanifestasi sebagai tendensi untuk mengalami emosi yang tidak menyenangkan (ansietas, depresi, ketakutan). Penelitian menunjukkan sifat ini berkorelasi positif dengan kecanduan SNS [3, 13]. “Ekstroversi” (supel,
sosial) juga berkaitan dengan kecanduan SNS [3, 13, 32]. “Kesadaran” ditandai dengan disiplin diri dan menginginkan penghargaan, dimana nilai yang rendah pada aspek ini berhubungan dengan kecanduan SNS [3, 13, 32]. Sejalan dengan hal ini, survei terkini pada sejumlah sampel besar pekerja menunjukkan bahwa ekstroversi dan neurotisme berkorelasi positif sedangkan kesadaran berkorelasi negatif dengan penggunaan SNS pribadi selama jam kerja [1]. Selanjutnya, sifat impulsif (impulsivity) dan narsisme (narcissism) merupakan ciri kepribadian yang bermanifestasi sebagai kecenderungan bertindak menurut keinginan hati dan ego besar. Kedua sifat tersebut dikaitkan dengan kecanduan SNS [21, 47]. Studi juga menunjukkan hubungan antara kebutuhan dasar psikologis bawaan (innate basic psychological needs) dan kecanduan SNS [22, 27, 48, 49]. Menurut teori motivasi (selfdetermination theory), kebutuhan akan otonomi, kompetensi, dan
keterkaitan secara universal
merupakan dasar dari seluruh motivasi manusia [50]. “Kebutuhan akan otonomi” diartikan sebagai kebutuhan untuk bertanggungjawab dan selaras dengan kehidupan dan diri sendiri (memiliki pilihan dan memutuskan pilihan sendiri di SNS tanpa campur tangan orangtua atau editor). “Kebutuhan akan keterkaitan” diartikan sebagai kebutuhan interaksi interpersonal, keterhubungan, kepedulian, dan dipedulikan orang lain (huge friend - list). Penelitian menunjukkan bahwa kecanduan SNS berhubungan dengan kebutuhan untuk memiliki [48], kontak sosial [51], dan perasaan kesepian [22] serta mengurangi kesepian [52, 53]. Dengan demikian, apabila kebutuhan terdistorsi, tindakan akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut sehingga tercapai keseimbangan (akhirnya mengarah pada perilaku SNS yang kompulsif). Kognisi dasar juga berperan dalam mengembangkan kecanduan SNS, meliputi kepercayaan inti, atribusi, skemata, ekspektasi, dan pikiran otomatis. Kognisi mencetuskan perilaku [54], dan oleh karena itu mencetuskan perilaku berjejaring sosial. Dengan demikian, konsep diri yang negatif (“Aku tidak cukup baik” atau “aku kurang mampu bersosialisasi”) akan memicu perilaku berjejaring sosial dimana seseorang meyakini bahwa jumlah “likes” dan “followers” pada SNS menyatakan kesuksesan, dan menyebabkan perilaku jejaring sosial yang kompulsif. Teori ini didukung dengan studi dimana kecanduan SNS secara empiris berkaitan dengan rendahnya penghargaan diri.
Faktor Sosiokultural
Kecanduan SNS telah dijelaskan dari perspektif sosiokultural. Sebagai contoh, pecandu SNS mung terpengaruh beberapa dinamika keluarga (contohnya, tekanan orangtua) atau dengan mengamati perilaku jejaring sosial yang obsesif dari orang terdekat seperti orangtua, saudara kandung, teman sebaya, atau orang lain. Dalam perspektif yang luas, zeitgeist kami menekankan kemampuan bersosial baik secar online maupun offline, kompetensi, kompetisi, kehadiran, status, ketenaran dan keberuntungan. Hal ini berperan penting dalam perkembangan kecanduan SNS – dimana hal tersebut berfungsi sebagai simbol daya tarik pribadi dan budaya (contohnya, psikologi evolusi). Studi lintas kultural dapat menjadi aset dalam penelitian di masa depan, dengan tujuan menelusuri hubungan ini lebih jauh [56]. Penggunaan SNS juga meningkatkan kesenjangan sosial (contohnya, jumlah teman) [57] serta sebagai manajemen kesan (menimbulkan fasad dipuji di SNS) [58, 59], dengan demikian faktor sosiokultural berperan dalam kecanduan.
Faktor Penguatan Perilaku Kecanduan SNS dapat dijelaskan berdasarkan teori belajar (learning theory) [12]. Apabila perilaku jejaring sosial yang berlebihan telah dialami di masa lalu, perilaku tersebut kemungkinan akan terulang kembali [60]. Pengaruh positif seperti hiburan, popularitas, dan perhatian serta umpan balik positif yang signifikan dari orang lain dapat mengembangkan perilaku. Selain itu, apabila perilaku jejaring sosial menyebabkan penghindaran dampak negatif (contohnya, kebosanan, kritik, kelompok terasing), akan lebih mungkin terjadi kembali. Studi menunjukkan bahwa kecanduan SNS berhubungan dengan motif menghabiskan waktu, hiburan, takut tertinggal, dll. [16, 49, 61]. Selain itu, prinsip pengkondisian operan, prinsip pembelajaran sosial dan model belajar (lihat di atas) juga dapat diaplikasikan untuk memahami perkembangan fenomena kecanduan SNS terhadap perspektif penguatan perilaku [55] – namun belum terdapat uji empiris. Yang terakhir, atribut struktural yang melekat pada jejaring sosial itu sendiri seperti tombol “likes”, umpan balik instan dan komentar, masuk- dan keluar- grup, memposting gambar, dll, memperkuat perilaku lebih jauh [14]. Pengguna SNS mencari umpan balik, dan mereka mendapatkannya dari banyak orang – secara instan. Dapat disimpulkan bahwa platform dirancang agar pengguna ketagihan.
Dampak Negatif dari Kecanduan SNS Terlepas dari efek kepuasan sementara dan langsung yang berasal dari jejaring sosial, penggunaan jejaring sosial yang berlebihan dalam waktu yang lama serta kompulsif jarang bermanfaat dan tidaklah sehat [11, 12, 14]. Berdasarkan hasil penelitian, korelasi terindentifikasi menyatakan bahwa pecandu SNS menderita masalah emosional, relasional, terkait kesehatan, dan kinerja.
Masalah Emosional Kecanduan SNS menimbulkan masalah emosional yang signifikan. Seperti kecanduan lainnya, seseorang mengalami perilaku kecanduan sebagai pelampiasan perasaan negatif dari ketidaknyamanan dan stres (melarikan diri/mekanisme kontrol) [14, 52, 62]. Singkatnya, pecandu SNS tergantung dengan sosial media untuk memperoleh pengendalian, namun malah dikontrol oleh jejarig sosial. Pecandu SNS juga menggunakan jejaring sosial sebagai sarana untuk tetap terputus dari perasaan mereka sendiri [27]. Dengan demikian, pecandu SNS tidak dapat melepaskan diri dari SNS walaupun mereka menyadari dampak destruktif, dan mengalami kecemasan apabila mereka menghentikan penggunaan jejaring sosial. Pecandu SNS mendeskripsikan energi positif yang mereka dapatkan dari jejaring sosial, terkadang salah mengartikan karena mereka mengaitkannya dengan perasaan baik. Namun, mereka tidak senang dengan hobi atau acara sosial – kecuali apabila melibatkan jejaring sosial online [26]. Kenyataannya, “kehidupan nyata” memang tidak terasa enak. Studi terbaru melaporkan hubungan antara kecanduan SNS dengan depresi dan kecemasan [27, 45], juga terdapat studi mengenai hubungan kecanduan SNS dengan rendahnya penghargaan diri dan kesejahteraan [32, 45, 63].
Masalah Relasional Relasi offline berkurang [64] karena pecandu SNS sibuk menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berjejaring sosial [26, 65]. Orang lain berhenti mengharapkan waktu dari mereka, sehingga mereka terkucilkan dari lingkungan sosialnya, meninggalkan kehidupan pribadi yang bermasalah. Ketidaknyamanan emosional yang berhubungan dengan berbohong atau menutupi perilaku jejaring sosial yang berlebihan juga dapat mendorong pecandu SNS untuk mengisolasi diri dari
lingkungan mereka [26]. Akibat perilaku jejaring sosial ini, pecandu SNS mungkin mengalami distres, ansietas, dan gejala depresi yang signifikan, dimana akan memberikan dampak negatif terhadap hubungan mereka di rumah (konflik keluarga), di sekolah (gangguan konsentrasi dan kolaborasi), dan sosial (kehilangan teman). Singkatnya, pecandu SNS memperlihatkan kecintaan yang berlebihan terhadap jejaring sosial sehingga merugikan hubungan interpersonal [14]. Sebagai contoh, suatu studi menemukan bahwa penggunaan jejaring sosial yang berlebihan berkorelasi positif dengan ketidakpuasan hubungan akibat sikap cemburu dan mengawasi dari pasangan [65]. Studi lain melaporkan bahwa skor kecanduan Facebook secara signifikan berkorelasi dengan sejumlah masalah relasional yang potensial.
Masalah Terkait Kesehatan Penggunaan jejaring sosial yang berlebihan dapat menyebabkan kesulitan tidur [66, 67]. Seperti yang diperkirakan, terdapat studi yang menunjukkan bahwa pecandu SNS memiliki masalah tidur yang lebih banyak dan kualitas tidur yang lebih rendah dibandingkan bukan pecandu SNS [13, 20]. Akibat istilah “lebih banyak lebih baik” bagi pecandu SNS, mereka tetap berada di jejaring sosial bahkan dalam keadaan yang tidak penting, menyebabkan kurangnya olahraga, istirahat, dan pemulihan. Oleh sebab itu, studi menyatakan hubungan antara kecanduan SNS dengan insomnia dan gejala somatis [13, 27]. Dari penelitian mengenai tidur kita mengetahui bahwa beberapa masalah berkaitan dengan gangguan psikogis dan fisiologis yang berkepanjangan [68 – 70]. Secara keseluruhan, studi longitudinal dapat menjadi aset untuk menggali apa dan bagaimana kecanduan SNS berhubungan dengan gejala terkait kesehatan dalam jangka panjang.
Masalah Kinerja Oleh karena pecandu SNS menghabiskan lebih banyak waktu dan usaha untuk jejaring sosial mereka, dan melupakan aktivitas lainnya, seseorang mengharapkan mereka menguranginya di domain lain. Perilaku ini jelas berpengaruh negatif terhadap kinerja dan prestasi akademik mereka maupun orang lain. Sebuah studi kasus mengenai kecanduan SNS melaporkan kehilangan pekerjaan akibat perilaku jejaring sosial [71]. Sejalan dengan ini, studi terbaru dari 10.018 karyawan menyimpulkan bahwa penggunaan situs jejaring sosial untuk tujuan pribadi selama jam
kerja mengganggu kinerja pribadi [72]. Belakangan ini, studi juga memeriksa lebih cermat mengenai hubungan antara prestasi akademik dengan penggunaan dan kecanduan SNS yang berlebihan. Studi ini menunjukkan nilai yang lebih rendah serta kinerja yang lebih buruk akibat adanya distraksi digital [26, 27, 73]. Dengan demikian, walaupun kesimpulan yang pasti masih terlalu dini, seseorang dapat berspekulasi bahwa perilaku SNS secara negatif mempengaruhi efisiensi dan prestasi. Masalah emosional, relasional, dan masalah terkait kesehatan yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa kecanduan SNS juga dapat mempengaruhi kinerja dan prestasi akademik yang tidak diinginkan. Namun, karena penggunaan Internet kurang lebih tidak dapat dipisahkan dari kehidupan profesional maupun personal kita, intervensi melawan kecanduan SNS harus berfokus pada penggunaan yang terkontrol daripada pantangan total dari perilaku jejaring sosial online [74].
Intervensi Terapeutik untuk Kecanduan SNS