Adib Al-fikhri_185130101111005_inhaler.docx

  • Uploaded by: Jauri Bima
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Adib Al-fikhri_185130101111005_inhaler.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,543
  • Pages: 17
MAKALAH FISIOLOGI VETERINER INHALER

Disusun oleh : Adib Al-Fikhri 185170101111005 2018 A

Dosen Pengampu : drh. Rahadi Swastomo, M. Biomed

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiran-Nya yang telah melimpahkan rahmat hidayah dan inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Fisiologi Veteriner. Makalah ini kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar laporan ini. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Allah SWT 2. drh. Rahadi Swastomo, M.Biomed Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya, oleh karena itu dengan tangan terbuka, kami menerima kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki laporan ini. Akhir kata, kami berharap agar makalah ini memberi manfaat kepada pembaca. Terima Kasih. Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Malang, 22 Maret 2019

Ahmad Farhan Wicaksono 185130107111028

PENDAHULUAN Terapi inhalasi merupakan suatu terapi melalui sistem pernafasan yang ditujukan untuk membantu mengembalikan atau memperbaiki fungsi pernafasan pada berbagai kondisi, penyakit, ataupun cidera.1 Terapi ini telah lama dikembangkan dan kini sudah diterima secara luas sebagai salah satu terapi yang berkaitan dengan penyakit-penyakit saluran nafas kronik seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), selain pemberian dengan cara peroral, injeksi intramuskular, dan intravena. Pada umumnya, terapi inhalasi dilakukan dengan menggunakan suatu alat khusus yang dapat membentuk partikel-partikel aerosol yang selanjutnya dengan teknik tertentu dialirkan menuju saluran nafas hingga mencapai reseptor kerja obat. Aerosol adalah suspensi partikelpartikel zat padat atau cairan di dalam gas yang dapat memasuki saluran nafas melalui proses inspirasi. Keuntungan utama dari terapi inhalasi ini adalah obat yang diberikan akan secara langsung menuju lumen internal dari saluran nafas dan kemudian menuju target kerja obat di dalam paru-paru. Selain itu, onset kerja obat akan lebih cepat dan dosis yang diberikan lebih kecil, sehingga dosis sistemik dari sebagian besar obat yang diberikan secara inhalasi lebih rendah daripada obat oral maupun intravena dan efek samping sistemiknya juga akan lebih rendah. Adapun beberapa tipe perangkat pembentuk aerosol atau generator aerosol yang umm digunakan yaitu pressurized metered dose inhaler (pMDI), dry powderinhaler (DPI) dan nebulizer. Pemilihan generator aerosol disesuaikan dengan penderita. Terapi inhalasi harus dapat menyediakan dosis yang konsisten, yaitu dengan distribusi ukuran partkel aerodinamik yang sesuai, untuk memastikan bahwa obat dapat secara efisien mencapai ke sisi target pada paru-paru. Desain generator (device) yang baik juga harus mempertimbangkan penggunaannya pada pasien, hal ini dapat meliputi ketahanan, mudah untuk digunakan, portable, dan cocok untuk segala usia yang ditujukan untuk mencapai kepatuhan yang baik dari pasien terhadap pengobatan yang diberikan Pemahaman terhadap terapi inhalasi ini baik tujuan, jenis-jenis regimen obat, cara kerja obat, serta tipe-tipe generator aerosol sangat penting diketahui oleh seorang dokter. Maka melalui pembuatan makalah ini, diharapkan dapat memberikan lebih banyak informasi tentang terapi inhalasi kepada teman-teman sejawat dokter muda.

TINJAUAN PUSTAKA 1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan Sistem pernafasan memiliki berbagai fungsi penting bagi tubuh. Fungsi utamanya adalah untuk menyediakan oksigen, mengeliminasi karbondioksida, regulasi pH, untuk pembentukan suara dan pertahanan tubuh terhadap mikroba. Fungsi lain dari sistem pernafasan adalah dapat mempengaruhi konsentrasi kimia arterial dengan menghilangkan bahan tertentu dari kapiler paru dan memproduksi dan menambahkan bahan lainnya ke dalam darah. Terdapat dua buah paru-paru yang utamanya terdiri dari jutaan alveolus (kantong tipis berisi udara). Alveolus ini merupakan tempat dari pertukaran gas antara paru-paru dan darah. Aliran udara agar dapat sampai ke alveolus adalah melalui saluran nafas dan udara dapat masuk/keluar paru karena adanya mekanisme inspirasi (perpindahan udara dari lingkungan ke alveolus) dan ekspirasi (perpindahan udara kea rah sebaliknya). Inspirasi dan ekspirasi ini disebut sebagai siklus respirasi Sistem pernafasan terdiri dari saluran nafas dan parenkim paru. Saluran nafas dibagi menjadi 3 regio yaitu saluran nafas atas, zona konduksi dan zona respirasi. Saluran nafas atas terdiri dari hidung atau mulut, faring (yang bercabang menjadi saluran makanan dan saluran nafas), dan laring (dimana terdapat pita suara). Zona konduksi dimulai dari trakea, bronkus, dan bronkiolus terminalis, dan zona respirasi terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolus, dan kantong alveolus Pada dinding trakea dan bronkus terdapat cincin kartilago (tulang rawan), yang memberikan bentuk silindris dan mempertahankan saluran ini agar tidak kolaps. Kartilago ini secara progresif menjadi semakin kecil pada generasi akhir bronkus dan tidak dijumpai lagi dalam bronkiolus. Pada trakea dan bronkus tidak semua dindingnya dibentuk oleh tulang rawan, melainkan juga dibentuk oleh otot polos yang dapat berkontraksi dan relaksasi sehingga akan mempengaruhi radius saluran nafas. Bronkiolus dicegah untuk tidak kolaps bukan melalui rigiditas dindingnya, namun oleh tekanan transpulmonal yang juga mengembangkan alveoli. Dengan demikian apabila alveolus melebar, maka bronkiolus juga akan melebar. Dinding bronkiolus hampir semuanya terbentuk oleh otot polos kecuali pada bagian bronkiolus respiratorius yang dibentuk oleh sel epitel paru, jaringan fibrosa, dan beberapa serabut otot polos Kavum nasi atau oral akan menangkap partikel-partikel dari udara karena adanya rambut pada kavum nasi dan juga mukus. Seluruh saluran nafas, dari hidung sampai bronkiolus respiratorius, dipertahankan agar tetap lembab oleh lapisan mukus yang melapisi seluruh permkaannya. Mukus ini disekresikan oleh sel goblet mukosa dalam, lapisan epitel saluran nafas, dan kelenjar submukosa yang kecil. Selain untuk mempertahankan kelembaban, mukus juga dapat berperan dalam menangkap partikel-partikel kecil dari udara inspirasi dan menahannya agar tidak sampai ke alveoli. Mukus nantinya akan dibersihkan oleh adanya

gerakan silia oleh epitel bersilia yang terdapat pada seluruh permukaan saluran nafas. Gerakan silia akan selalu mendorong ke arah atas atau ke arah faring, sementara gerakan silia pada sel epitel mukosa hidung mengarah ke bawah menuju faring. Sehingga mukus-mukus tersebut akan terkumpul pada faring, untuk selanjutnya dapat ditelan atau dibatukkan. Akibat adanya\ mekanisme ini paru-paru dapat dijaga agar tetap bersih dari berbagai macam partikel-partikel tertentu dan juga bakteri. Mekanisme pertahanan lainnya adalah bronkiolus dapat berkonstriksi untuk membantu mencegah masuknya partikelpartikel tertentu atau iritan mencapai alveolus. Selain itu mekanisme pertahanan terhadap infeksi juga diperankan oleh sel-sel yang terdapat pada saluran nafas dan alveolus, yaitu makrofag. Sel tersebut menangkap dan menghancurkan partikel udara dan bakteri yang terinhalasi yang telah mencapai alveolus. Makrofag ini dapat cidera atau rusak apabila terpapar asap rokok dan gasgas polutan

2. Penyakit Parenkimal Paru a. Asma Asma adalah suatu penyakit obstruksi jalan nafas yang reversible dengan dikarakteristikan oleh hiperreaktivitas bronkus, bronkokonstriksi, dan inflamasi saluran nafas kronik. Perkembangan penyakit asma bersifat multifaktorial yang meliputi penyebab genetik dan lingkungan Patofisiologi terjadinya asma adalah karena adanya inflamasi kronik spesifik dari mukosa saluran nafas bawah. Pengaktifan dari kaskade inflamasi menyebabkan terjadinya infiltrasi sel eosinophil, neutrophil, sel mast, sel T, dan leukotrin ke mukosa saluran nafas. Rekruitmen sel-sel tersebut akan memicu terbentuknya mediator proinflamasi lainnya seperti histamine, prostaglandin, bradikinin, tromboksan, leukotriene, platelet activating factor, dll yang akan berpengaruh terhadap berbagai target organ. Hal ini menyebabakan terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan edema dinding saluran nafas, infiltrasi sel radang pada saluran nafas, dan peningkatan aktivitas sel pensekresi mukus. Adanya peningkatan jumlah sel-sel inflamasi mengakibatkan hipersensitivitas saluran nafas serta memicu remodeling saluran nafa Terapi asma terdiri dari dua modalitas terapi obat: (1) untuk mengurangi inflamasi kronik dan menangani hiperresponsif saluran nafas dengan obat anti inflamasi yaitu glukokortikoid inhalasi dan penghambat leukotriene, dan (2) untuk menangani kontraksi berlebihan akut dari otot polos saluran nafas yaitu dengan obat golongan bronkodilator yang dapat merelaksasi saluran nafas. Target kerja obat pada saluran nafas dapat langsung merelaksasi otot polos atau dengan menghambat/memblok aksi dari bronkokonstriktor

B Penyakit Paru Obstrutif Kronis (PPOK) Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang ditandai gejala pernafasan dan hambatan aliran udara persisten karena adanya abnormalitas saluran nafas dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan partikel atau gas berbahaya/polusi yang signifikan. Faktor risiko dari penyakit ini adalah genetik, merokok atau sebagai perokok pasif, paparan terhadap debu dan partikel-partikel berbahaya (terutama di pertambangan batubara, pertambangan emas, dan industri tekstil), paparan terhadap polusi udara baik indoor maupun outdoor, asma dan hiperreaktifitas saluran nafas, bronkitis kronis, infeksi, serta berat badan lahir rendah. Adanya inhalasi terhadap asap rokok maupun gas-gas polusi lainnya dapat menyebabkan terjadinya inflamasi. Respon inflamasi ini adalah normal, namun pada pasien PPOK inflamasi tersebut mengalami modifikasi yaitu menjadi lebih kuat. Hal tersebut masih belum jelas, namun dikatakan ada pengaruh faktor genetik atau karena adanya stres oksidatif dan proteinase yang berlebihan di dalam paru-paru Beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya PPOK adalah karena adanya (1) stres oksidatif yang dibentuk oleh asap rokok dan agen berbahaya lainnya, serta pelepasan dari sel inflamasi teraktivasi seperti makrofag dan neutrophil, maupun karena adanya penurunan antioksidatif endogen, (2) ketidakseimbangan protease-antiprotease, (3) peningkatan sel inflamasi seperti makrofag pada saluran nafas perifer, parenkim paru, dan pembuluh darah pulmoner, yang secara bersamaan dengan peningkatan aktivasi neutrophil dan peningkatan limfosit, dan (4) peningkatan mediator inflamasi. Respon inflamasi kronis ini dapat menginduksi destruksi jaringan parenkimal (menghasilkan emfisema) dan mengganggu proses perbaikan normal dan mekanisme pertahanan (menghasilkan fibrosis saluran nafas kecil). Perubahan patologis ini menyebabkan gas terperangkap dan terjadinya hambatan aliran udara yang progresif Patofisiologi dari PPOK dapat meliputi terjadinya hambatan aliran udara dan terperangkapnya udara (sehingga menimbulkan hiperinflasi), abnormalitas pertukaran gas, dan hipersekresi mukus. Bronkodilator yang bekerja pada saluran nafas perifer dapat mengurangi terperangkapnya gas, dengan demikian volume paru menurun dan memperbaiki gejala dan kapasitas olahraga. Pada pemeriksaan spirometri PPOK ditandai dengan hasil FEV1/FVC post bronkodilator 3. Pertimbangan Terapi Inhalasi Terapi inhalasi merupakan suatu jenis terapi yang diberikan melalui saluran nafas yang bertujuan untuk mengatasi gangguan atau penyakit pada paruparu. Tujuan dari terapi inhalasi ini adalah untuk menyalurkan obat langsung ke target organ yaitu paru-paru, tanpa harus melalui jalur sistemik terlebih dahulu. Dalam terapi inhalasi, pada prinsipnya sediaan obat yang diberikan dibentuk menjadi partikel-partikel aerosol terlebih dahulu dengan penggunaan generator aerosol. Penggunaan obat-obatan secara inhalasi memiliki keuntungan dan kerugian dalam hal terapi penyakit paru.

4. Sifat Fisik Aerosol dan Prinsip Dasar Deposisi Partikel Obat Pada Saluran Nafas

Aerosol merupakan suspensi partikel-partikel zat padat atau cairan di dalam gas3. Ukuran partikel aerosol yang dikeluarkan oleh alat inhalasi adalah penting, karena berkaitan dengan sampainya obat yang terinhalasi ke target aksi di dalam paru-paru Pada penyakit PPOK, adanya keterlibatan jalan nafas kecil secara signifikan dalam onset dan propresifitas penyakit tersebut. Sehingga, berdasarkan lokasinya yang dalam pada paru-paru dan struktur anatominya, saluran nafas kecil tersebut tidak akan mudah untuk dicapai oleh semua jenis ukuran aerosol yang dihasilkan oleh alat atau generator aerosol Deposisi obat aerosol di dalam saluran nafas terjadi karena adanya turbulensi dan daya bentur (inertial impaction) yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, cara inhalasi, sifat fisik aerosol, ukuran partikel, dan keadaan saluran nafas penderita Ukuran partikel obat antara 2-5 mikron terbukti memiliki potensi terbesar untuk terdeposisi ke seluruh cabang bronkus. Partikel obat berukuran <2 mikron terdeposisi dalam saluran nafas bronkiolus terminal dan alveolus dengan cara sedimentasi. Sementara partikel >5 mikron cenderung terdeposisi pada saluran nafas yang lebih proksimal atau orofaring, yang tidak akan menghasilkan efek klinis dan menimbulkan peningkatan potensi obat akan tertelan, dan dapat menimbulkan efek samping melalui penyerapan saluran cerna.8 Deposisi partikel besar terjadi karena adanya impaksi partikel tersebut di saluran nafas atas (daerah orofaringeal dan trakeobronkial), dimana terjadi kecepatan udara yang tinggidan terjadi turbulensi aliran udara Terdapat dua indeks yang digunakan untuk mengkarakterisasi distribusi ukuran partikel aerosol yaitu mass median aerodynamicdiameter (MMAD), yang mana sebagian aerosol akan berisi partikel-partikel lebih besar dari MMAD dan sebagian lagi lebih kecil dari MMAD.3,8 Indeks yang kedua adalah fraksi partikel halus/fine particle fraction (FPF) yang merupakan proporsi dari diameter partikel <5 mikron. Kedua indeks ini dapat mempengaruhi bukan hanya jumlah total dari obat yang mencapai paru (deposisi paru total), tetapi juga jumlah obat yang terdistribusi antara regio paru sentral dan distal

1. Apa itu Inhaler Inhaler adalah sebuah alat yang digunakan untuk memberikan obat ke dalam tubuh melalui paru-paru. Sistem penghantaran obat juga berpengaruh terhadap banyaknya obat yang dapat terdeposisi pada teknik terapi inhalasi. Ada 3 tipe penghantaran obat yang ada hingga saat ini, yakni : Metered Dose Inhaler (MDI), Metered Dose Inhaler (MDI) dengan Spacer, dan Dry Powder Inhaler (DPI). a. MDI (Metered Dose Inhaler) atau Inhaler dosis terukur Inhaler dosis terukur merupakan cara inhalasi yang memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai saluran respiratori. Propelan (zat pembawa) yang bertekanan tinggi menjadi penggerak, menggunakan tabung aluminium (canister). Partikel yang dihasilkan oleh MDI adalah partikel berukuran < 5 μm. Penggunaan MDI membutuhkan latihan, para dokter sebaiknya mengajarkan pasiennya cara penggunaan dengan tepat, karena sebagian besar pasien

sulit mempelajarinya hanya dengan membaca brosur atau leaflet. Penggunaan MDI mungkin tidak praktis pada sekelompok pasien seperti pada anak kecil, usia lanjut, cacat fisik, penderita artritis, kepatuhan pasien buruk dan pasien yang cenderung memakai MDI secara berlebihan (Suwondo,1991). Kesalahan yang umum terjadi pada penggunaan MDI adalah kurangnya koordinasi, terlalu cepat inspirasi, tidak menahan napas selama 10 detik, tidak mengocok canister sebelum digunakan, tidak berkumur-kumur setelah penggunaan dan posisi MDI yang terbalik pada saat akan digunakan (NACA, 2008). Obat dalam MDI yang dilarutkan dalam cairan pendorong (propelan), biasanya propelan yang digunakan adalah chlorofluorocarbons (CFC) dan mungkin freon/asrchon. Propelan mempunyai tekanan uap tinggi sehingga didalam tabung (canister) tetap berbentuk cairan (Yunus, 1995). Kecepatan aerosol rata-rata 30 m/detik atau 100 km/jam (Dept. Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI, 2009). Perlunya koordinasi antara penekanan canister dan inspirasi napas pada pemakaian inhaler b. MDI (Metered Dose Inhaler) dengan ruang antara (spacer) Ruang antara (spacer) akan menambah jarak antara aktuator dengan mulut, sehingga kecepatan aerosol pada saat dihirup menjadi berkurang dan akan menghasilkan partikel berukuran kecil yang masuk ke saluran respiratori yang kecil (small airway) (Rahajoe, 2008). Selain itu, juga dapat mengurangi pengendapan di orofaring. Ruang antara ini berupa tabung 80 ml dengan panjang 10-20 cm. Pada anak-anak dan orang dewasa pemberian bronkodilator dengan MDI dengan spacer dapat memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik (Yunus, 1995). Kesalahan yang umum terjadi pada penggunaan MDI dengan spacer adalah posisi inhaler yang salah, tidak menggocok inhaler, aktuasi yang banyak tanpa menunggu atau mengocok alat pada saat diantara dosis, obat yang berada dalam spacer tidak dihirup secara maksimal dan spacer yang tidak cocok untuk pasien (NACA, 2008). c. DPI (Dry Powder Inhaler) Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan, sehingga mempunyai kelebihan dibandingkan dengan MDI. Menurut NACA (2008), inhaler tipe ini berisi serbuk kering. Pasien cukup melakukan hirupan yang cepat dan dalam untuk menarik obat dari dalam alat ini. Zat aktifnya dalam bentuk serbuk kering yang akan tertarik masuk ke paru-paru saat menarik napas (inspirasi). Kesalahan yang umum terjadi pada penggunaan turbuhaler adalah tidak membuka tutup, tidak memutar searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam, tidak menahan napas, dan pasien meniup turbuhaler hingga basah. Selain itu, inspirasi yang kuat pada anak kecil (< 5 tahun) sulit dilakukan, sehingga deposisi obat dalam sistem respiratori berkurang. Anak usia > 5 tahun, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah dilakukan, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan dengan MDI sehingga dengan cara ini deposisi obat didalam paru lebih besar dan lebih konstan dibandingkan dengan MDI tanpa spacer. Penggunaan inhaler jenis DPI (Dry Powder Inhaler) ini tidak memerlukan spacer sebagai alat bantu, sehingga lebih praktis untuk pasien. Beberapa jenis inhaler bubuk kering yang umumnya digunakan di Indonesia yaitu diskus, turbuhaler, dan handihaler.

2. Respirasi (Sistem Pernapasan) Pengertian secara umum dari pernapasan adalah peristiwa menghirup atau pergerakan udara dari luar yang mengandung oksigen (O2) ke dalam tubuh atau paru-paru serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi ke luar dari tubuh (Syaifudin, 1997) Anatomi saluran pernapasan terdiri dari : a. Hidung Merupakan tempat masuknya udara, memiliki 2 (dua) lubang (kavum nasi) dan dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Rongga hidung mempunyai permukaan yang dilapisi jaringan epithelium. Epithelium mengandung banyak kapiler darah dan sel yang mensekresikan lender. Udara yang masuk melalui hidung mengalami beberapa perlakuan, seperti diatur kelembapan dan suhunya dan akan mengalami penyaringan oleh rambut atau bulu-bulu getar (Syaifudin, 1997). Dalam Syaifudin, (1997:87) hidung merupakan saluran pernapasan udara yang pertama, mempunyai 2 lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Rongga hidung ini dilapisi oleh selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah dan bersambung dengan faring dan dengan semua selaput lendir semua sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung. Rongga hidung mempunyai fungsi sebagai panyaring udara pernapasan oleh bulu hidung dan menghangatkan udara pernapasan oleh mukosa. Hidung berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara, pengatur kelembaban udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan resonator suara. Fungsi hidung sebagai pelindung dan penyaring dilakukan oleh vibrissa, lapisan lendir, dan enzim lisozim. Vibrisa adalah rambut pada vestibulum nasi yang bertugas sebagai penyaring debu dan kotoran (partikel berukuran besar). Debu-debu kecil dan kotoran (partikel kecil) yang masih dapat melewati vibrissa akan melekat pada lapisan lendir dan selanjutnya dikeluarkan oleh refleks bersin. Jika dalam udara masih terdapat bekteri (partikel sangat kecil), maka enzim lisozom yang menghancurkannya (Irman Somantri, 2008:4). b. .Faring (Tekak) Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan. Faring atau tekak terdapat dibawahdasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan mulut setelah depan ruas tulang leher(Syaifudin, 1997:102). Nasofaring adalah bagian faring yang terletak di belakang hidung di atas palatum yang lembut. Pada dinding posterior terdapat lintasan jaringan limfoid yang disebut tonsil faringeal, yang biasanya disebut sebagai adenoid. Jaringan ini kadang-kadang membesar dan menutup faring. Tubulus auditorium terbuka dari dinding lateral nasofaring dan melalui tabung tersebut udara dibawa kebagian tengah telinga. Nasofaring dilapisi membran mukosa bersilia yang merupakan lanjutan membran yang dilapisi bagian hidung. Orofaring terletak di belakang mulut di bawah palatum lunak, dimana dinding lateralnya saling berhubungan. Diantara lipatan dinding ini, ada

yang disebut arkus palato-glosum yang merupakan kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsil palatum(Watson, 2002:299). Dalam faring terdapat tuba eustachii yang bermuara pada nasofarings. Tuba ini berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani, dengan cara menelan pada daerah laringofarings bertemu sistem pernapasan dan pencernaan. Udara melalui bagian anterior ke dalam larings, dan makanan lewat posterior ke dalam esofagus melalui epiglotis yang fleksibel(Tambayong, 2001:79). c. Laring (Pangkal Tenggorokan) Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara yang terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk kedalam trakea dibawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan manutupi laring(Syaifudin, 1997). Laring terdiri atas dua lempeng atau lamina yang tersambung di garis tengah. Di tepi atas terdapat lekuk berupa V. Tulang rawan krikoid terletak di bawah tiroid, bentuknya seperti cincin mohor dengan mohor cincinnya di sebelah belakang (ini adalah tulang rawan satusatunya yang berbentuk lingkaran lengkap). Tulang rawan lainnya ialah kedua rawan tiroid terdapat epiglotis, yang berupa katup tulang rawan dan membantu menutup laring sewaktu orang menelan, laring dilapisi oleh selaput lendir yang sama dengan yang di trakea, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi selepitelium berlapis (Pearce, 1995:213). Dalam laring terdapat pita suara yang berfungsi dalam pembentukan suara. Suara dibentuk dari getaran pita suara. Tinggi rendah suara dipengaruhi panjang dan tebalnya pita suara. Dan hasil akhir suara ditentukan oleh perubahan posisi bibir, lidah dan platum mole (Tamabayong, 2001:80).

d. Trachea (Batang Tenggorokan) Dindingnya terdiri atas epitel, cincin tulang rawan yang berotot polos dan jaringan pengikat. Pada tenggorokan ini terdapat bulu getar halus yang berfungsi sebagai penolak benda asing selain gas (Pearce, 1995). Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis kelima dan ditempati ini bercabang dua bronkus. Trakea tersusun atas enam belas sampai dua puluh lingkaran tangan lengkap berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaring fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah belakang trakea, selain itu juga memuat beberapa jaringan otot. Trakea dilapisi oleh selaput lendir yang terdiri atas epitelium bersilia dan sel cangkir. Jurusan silia ini bergerak keatas ke arah laring, maka dengan gerakan debu dan butirbutir halus lainnya yang terus masuk bersama dengan pernapasan, dapat dikeluarkan. Tulang rawan yang gunanya mempertahankan agar trakea tetap terbuka, di sebelah belakangnya tidak tersambung, yaitu di tempat trakea menempel pada esofagus, yang memisahkannya dari tulang belakang (Pearce, 1995:214).

e. Bronkhus (Pembuluh Napas) Bronchus merupakan cabang batang tenggorokan. Cabang pembuluh napas sudah tidak terdapat cicin tulang rawan. Gelembung paru-paru, berdinding sangat elastis, banyak kapiler darah serta merupakan tempat terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida (Pearce, 1995). Kedua bronkhus yang terbentuk dari belahan dua trakhea pada ketinggian kira-kira vertebra torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trakhea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkhusitu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru. Bronkhus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang yang disebut bronkhus lobus atas, cabang kedua timbul setelah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronkhus lobus bawah. Bronkhus lobus tengah keluar dari bronkhus lobus bawah. Bronkhus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelum dibelah menjadi beberapa cabang yang berjalanke lobus atas dan bawah (Pearce, 1995:214).

f. Alveolus Alveolus merupakan saluran akhir dari alat pernapasan yang berupa gelembunggelembung udara. Dindingnya tipis, lembap, dan berlekatan erat dengan kapiler-kapiler darah. Alveolus terdiri atas satu lapis sel epitelium pipih dan di sinilah darah hampir langsung bersentuhan dengan udara. Adanya alveolus memungkinkan terjadinya perluasan daerah permukaan yang berperan penting dalam pertukaran gas O2 dari udara bebas ke sel-sel darah dan CO2 dari sel-sel darah ke udara ( Purnomo. Dkk, 2009). Menurut Hogan (2011), Membran alveolaris adalah permukaan tempat terjadinya pertukaran gas. Darah yang kaya karbon dioksida dipompa dari seluruh tubuh ke dalam pembuluh darah alveolaris, dimana, melalui difusi, ia melepaskan karbon dioksida dan menyerap oksigen.

3. Alat Pemeriksaan Fungsi Paru-paru Pemeriksaan fungsi paru-paru dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain: a. Radiografi Dada Radiografi dada adalah film posteronanterior berukuran penuh dengan jarak standar, yang diambil dan diproses sesuai anjuran ILO, berperan penting dalam pencegahan dan deteksi dini penyakit akibat kerja pada alveoli paru. Meskipun secara teoritis mudah, namun sulit untuk dapat konsisten dalam menghasilkan film sinar X dengan kualitas standar yang baik, juga karena langkanya radiografer yang ahli. b. Riwayat medis dan pekerjaan serta pemeriksaan fisik Riwayat medis dengan penekanan khusus pada pekerjaan masa lalu dan saat ini serta hubungannya dengan gejala-gejala yang diperiksa adalah penting untuk tujuan diagnosis banding. Dari riwayat pekerjaan/ medis dapat pula diperkirakan waktu yang diperlukan antara paparan dan timbul gejala. Dengan demikian dapat pula menilai beratnya penyakit.

4. Terapi dengan Inhalasi a. Definisi Terapi inhalasi adalah terapi dengan pemberian obat secara inhalasi (hirupan) langsung masuk ke dalam saluran pernapasan. Terapi pemberian secara inhalasi pada saat ini makin berkembang luas dan banyak digunakan pada pengobatan penyakit-penyakit saluran pernapasan. Berbagai jenis obat seperti antibiotik, mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering digunakan pada terapi inhalasi. Obat asma inhalasi yang memungkinkan penghantaran obat langsung ke paru-paru, dimana saja dan kapan saja akan memudahkan pasien mengatasi keluhan sesak napas penderita (Rahajoe, 2008). b. Prinsip dasar terapi inhalasi Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang tepat untuk penyakit sistem respiratori adalah obat dapat mencapai organ target dengan menghasilkan partikel aerosol berukuran optimal agar terdeposisi di paru-paru dengan kerja yang cepat, dosis kecil, efek samping yang minimal karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan, dan efek terapeutik segera tercapai yang ditunjukkan dengan adanya perbaikan klinis (Rahajoe, 2008). Agar mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat inhalasi diberikan dalam bentuk aerosol, yakni suspensi dalam bentuk gas (Yunus, 1995). Menurut Suwondo (1991), keuntungan yang lebih nyata dari terapi inhalasi adalah efek topikalnya yakni konsentrasi yang tinggi di paru-paru, dengan dosis obat yang kecil 10% dari dosis oral dan efek sistemik yang minimal. Terapi inhalasi dibandingkan terapi oral mempunyai dua kelemahan yaitu : 1) Jumlah obat yang mencapai paru-paru sulit dipastikan 2) Inhalasi obat ke dalam saluran napas dapat menjadi masalah koordinasi Efektifitas terapi inhalasi tergantung pada jumlah obat yang mencapai paru-paru untuk mencapai hasil yang optimal pasien harus dilatih untuk : 1) Ekshalasi sehabis-habisnya. 2) Bibir menutup/melingkari mouthpiece, tidak perlu terlalu rapat. 3) Semprotkan aerosol kurang lebih pada pertengahan inspirasi. 4) Teruskan inhalasi lambat-lambat dan sedalam mungkin. 5) Tahan napas dalam inspirasi penuh selama beberapa detik (bila mungkin 10 detik).

5. Penilaian Ketepatan Responden Penilaian ketepatan penggunaan inhaler jenis metered dose inhaler (MDI) dan nebulizer berdasarkan kuesioner dan peragaan responden Apotek Bunda Surakarta Hasil penelitian mengenai penggunaan inhaler dan nebulizer pada responden diperoleh setelah responden mengisi kuesioner tentang langkahlangkah penggunaan inhaler dan nebulizer dengan tepat. Responden dikatakan tepat menggunakan inhaler apabila melakukan semua langkah-langkah penggunaan

inhaler tanpa melewatkan satu dari semua tahapan inhaler, sedangkan responden dikatakan tidak tepat menggunakan inhaler apabila melakukan kesalahan dan melewatkan langkah-langkah penggunaan inhaler. Penilaian ketepatan cara penggunaan inhaler pada pasien tidak hanya dilihat berdasarkan kuesioner yang telah diisi responden inhaler, namun juga dilihat berdasarkan kemampuan responden dalam memperagakan inhaler yang mereka gunakan secara langsung. Hasil dari peragaan inhaler oleh responden dinilai secara langsung oleh peneliti karena dianggap lebih akurat. Kuesioner yang telah diisi responden digunakan sebagai data pendukung atau data penunjang dalam penelitian untuk melihat ada atau tidak perbedaan ketidaktepatan pasien dalam langkahlangkah penggunaan inhaler. Gambar 2. Frekuensi ketepatan penggunaan metered dose inhaler dan nebulizer berdasarkan kuesioner dan peragaan responden Gambar 2 menunjukkan bahwa responden inhaler jenis metered dose inhaler (MDI) yang tepat dalam menggunakan inhaler mereka menurut kuesioner sebanyak 21 responden, sedangkan berdasarkan peragaan sejumlah 15 orang responden dikatakan tepat dalam menggunakan inhaler yang mereka gunakan. Sejumlah 10 orang responden nebulizer menggunakan nebulizer mereka dengan tepat berdasarkan kuesioner adalah 9 orang responden, sedangkan berdasarkan peragaannya hanya 7 responden saja yang tepat dalam langkah-langkah penggunaan nebulizer. Sehingga pada responden nebulizer dapat dikatakan bahwa tingkat kesalahan penggunaan nebulizer jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan responden inhaler. Berdasarkan hasil penelitian yang ditinjau dari responden inhaler dalam mengisi kuesioner tentang langkah-langkah menggunakan inhaler dinyatakan tepat dalam menggunakan inhaler tetapi dalam peragaannya masih didapatkan melakukan beberapa kesalahan dalam menggunakan inhaler. Padahal sebelumnya responden mengatakan telah mengenal dan mengetahui cara penggunaan inhaler dengan tepat. Responden yang dinyatakan tepat dalam peragaannya dalam menggunakan inhaler merupakan responden yang sudah pernah diberikan penjelasan oleh dokter/perawat mengenai cara penggunaan inhaler dan responden juga sudah pernah dievaluasi dalam menggunakan inhaler yang mereka gunakan. Responden juga sebelumnya telah menyatakan dalam hasil kuesionernya bahwa cara penggunaan inhaler yang mereka gunakan sudah tepat. Sebagian dari responden inhaler yang dinyatakan tidak tepat dalam peragaannya menggunakan inhaler yakni responden yang menyatakan masih memiliki pertanyaan menggunakan cara penggunaan inhaler. Dari pernyataan responden tersebut dapat disimpulkan bahwa responden belum memahami secara

keseluruhan tentang langkah-langkah penggunaan inhaler. Responden juga menyatakan bahwa inhaler yang mereka gunakan kurang memberikan hasil yang lebih baik untuk penyakit yang dideritanya. Menurut Sestini dan Capiello (2006), didapatkan kesalahan pada saat menggunakan MDI pada pasien yang lanjut usia, hal ini mungkin disebabkan kurangnya edukasi dan instruksi yang cukup tentang cara penggunaan MDI pasien. Pasien yang menggunakan MDI (Metered Dose Inhaler) lebih mungkin memilki teknik yang buruk ketika pasien menggunakan MDI tanpa penggunaan spacer. Penggunaan spacer akan sangat membantu dalam koordinasi saat inspirasi (NACA, 2008). Bateman (2005), ada tiga faktor yang mempengaruhi dalam penggunaan terapi inhalasi yang efektif yaitu karakteristik alat inhalasi, pengetahuan & sikap pasien, pemahaman dokter tentang penggunaan inhaler dan sikap dokter dalam memahami apa yang dibutuhkan oleh pasien. Faktor faktor tersebut secara signifikan berhubungan dengan keberhasilan terapi yang 11 dapat mempengaruhi dalam penggunaan alat terapi inhalasi jangka panjang dan hasil klinisnya. Berikut langkah-langkah penggunaan inhaler (tabel 3) dan nebulizer (tabel 4) berdasarkan kuesioner dan peragaan dari responden. Tabel 3. Frekuensi dan persentase langkah-langkah penggunaan inhaler berdasarkan kuesioner dan peragaan yang dilakukan responden No Langkah penggunaan inhaler Berdasarkan Kuesioner Berdasarkan Peragaan Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase 1. Mengocok inhaler 6 17,10 7 20,00 2. Inhaler dipegang tegak lurus 7 20,00 0 0 3. Ekshalasi perlahan 3 8,60 0 0 4. Mouthpiece diletakkan diantara gigi 2 8,60 4 11,40 5. Inhalasi perlahan,tekan kanister 2 5,70 0 0 6. Menahan napas 10 detik 11 31,40 18 51,40 7. Tahan napas, keluarkan inhaler dari mulut 7 20,00 8 22,80 8. Ekshalasi pelan 0 0 0 0 9. Jika perlu dosis ekstra, setelah 30-60 detik prosedur 2-8 diulang 5 14,30 6 17,10 10. Tutup inhaler 0 0 0 0 11. Berkumur 10 28,60 17 48,50 Berdasarkan tabel 6 diatas, sebagian besar responden inhaler tidak tepat dalam penggunaan inhaler mereka terletak pada step 6 dan step 11 yaitu pada saat menahan napas selama 10 detik dan tidak berkumur-kumur setelah menggunakan inhaler. Menurut Newman et al (1982), yang menyatakan bahwa jumlah obat yang terdeposisi masuk ke dalam paruparu akan lebih banyak setelah menahan napas selama 10 detik dibandingkan dengan jika hanya menahan napas selama 4 detik, karena dengan waktu tambahan tersebut dapat menyebabkan sedimentasi obat yang ada di saluran napas dengan ukuran obat yang lebih kecil dapat meningkatkan jumlah obat yang akan terdeposit ke dalam paru-paru. Sebagian responden inhaler juga tidak berkumur setelah menggunakan inhaler, padahal menjaga kebersihan mulut yakni

dengan membilas, berkumur dan meludah setelah penggunaan inhaler dapat menurunkan resiko sariawan atau suara serak yang disebabkan oleh obatobatan yang mungkin masih tertinggal di mulut (NACA, 2008). Sedangkan berdasarkan peragaan dari responden inhaler, persentase kesalahan yang paling banyak tidak dilakukan adalah pada langkah 6 lebih dari sebagian pasien (51,40%) tidak menahan napas selama 10 detik. Padahal, dalam penggunaan inhaler tahap ini sangat mempengaruhi keberhasilan terapinya, karena jika inhaler langsung dikeluarkan dari mulut dan langsung melakukan ekshalasi kembali, obat yang disemprotkan akan tidak maksimal 12 masuk ke paru (NACA, 2008). Pasien yang tidak mampu menahan napas selama 10 detik adalah pasien yang sudah menderita penyakit kronis seperti pasien asma kronis, PPOK kronis dan penyakit paru lainnya, sehingga pasien hanya mampu menahan napas kurang dari 10 detik. Langkah-langkah dalam penggunaan inhaler tersebut sangat penting untuk dilakukan karena berpengaruh terhadap efek yang akan diperoleh responden dan secara signifikan keuntungan yang diterima responden pada terapi inhaler yang mereka gunakan. Apabila ditinjau dari kesalahan yang responden lakukan yaitu responden tidak mengocok inhaler, Padahal tujuan dari mengocok inhaler sangat penting agar obat yang berada di dalam tabung inhaler menjadi homogen dan kemudian obat yang sampai ke dalam paru juga maksimal (Alya, 2010). Pada langkah penggunaan yang mengharuskan responden meletakkan mouthpiece diantara gigi dan harus menutup rapat bibir karena pada langkah tersebut ditujukan untuk mencegah obat yang keluar dari mulut sehingga dosis obat yang diharapkan masuk ke dalam paru tidak berkurang dan keuntungan yang diterima responden juga dirasakan optimal pada pengobatannya. Menurut Saiman dan Siegel (2003), menjaga tangan tetap higienis sebelum menggunakan terapi inhalasi dengan nebulizer adalah penting agar dapat mencegah penularan agen infeksius, mencuci tangan dengan alkohol menunjukkan keberhasilan yang lebih besar dalam pencegahannya dibandingkan jika hanya mencuci tangan dengan air biasa atau dengan sabun biasa. Pada umumnya, tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat juga kurang terbiasa atau kurang memahami dengan benar tentang cara penggunaan alat terapi inhalasi (Schammel dan Ellingson, 2007). Oleh sebab itu, untuk dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam menggunakan alat terapi inhalasi yang mereka gunakan, sebaiknya edukasi tidak hanya diberikan kepada pasien tetapi juga diberikan kepada tenaga kesehatan baik dokter dan perawat (Rau, 2006). Berdasarkan beberapa penelitian tentang nebulizer, kesalahan yang umum terjadi ialah pada teknik

penggunaannya, tidak mencuci tangan sebelum memulai terapi dan setelah menggunakan nebulizer tidak mencuci perangkat nebulizer dengan disinfektan. Menurut Lester et al (2004), membersihkan nebulizer secara rutin dapat mengurangi kontaminasi bakteri. Dalam semua aplikasi, pembersihan dan desinfeksi nebulizer merupakan bagian penting karena jika tidak dibersihkan dengan baik (atau jika tidak benar didesinfeksi), nebulizer itu sendiri dapat menjadi sumber potensial kontaminasi dan selanjutnya kemungkinan infeksi. Kurangnya evaluasi dan observasi yang cukup pada pasien yang menggunakan alat terapi inhalasi dapat menjadi salah satu penyebab responden melakukan kesalahan dalam menggunakan alat terapi inhalasi yang mereka gunakan. Berbagai bukti juga didapatkan dari penelitian lainnya tentang terapi inhalasi pasien yang dilakukan secara random juga menunjukkan bahwa kemampuan pasien dalam menggunakan alat terapi inhalasi dapat ditingkatkan dengan memberikan edukasi dan observasi yang cukup dari tenaga ahli kesehatan (Ronmark et al., 2005). Setelah selesai pengobatan, perangkat nebulizer harus dibilas air steril atau air suling dan dikeringkan. Sekali atau dua kali seminggu, nebulizer harus dibongkar, dicuci dalam air sabun, dan didesinfeksi dengan larutan asam asetat 1,25% (cuka putih) atau larutan ammonium kuarterner dengan pengenceran air suling. Jika merendam dengan asam asetat setidaknya harus 1 jam, tetapi jika merendam dengan surfaktan hanya membutuhkan waktu 10 menit (Hess, 2008).

DAFTAR PUSTAKA Alya, V., 2010, Kemampuan Penggunaan Alat Terapi Inhalasi Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Poliklinik Paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010, Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan. Bateman, E. D., 2005, Improving Inhaler Use in COPD and The Role of PatientPreference, Europe Respiratory Review, 14 (96), 85-88. Bryant, L., Bang, C., Chew, C., Balk, S., Wisernan, D. 2013.Adequacy of inhaler technique used by people with asthma orchronic obstructive pulmonary disease.J. Prim. Health Care 5 (3). Hashmi, A., Soomro, J. H., Memon, A., dan Soomro, T. K. 2012. IncorrectInhaler Technique Compromising Quality of Life ofAsthmatic Patients.Journal Medicine. 13. 16-21. Nadi, E., F. Zeraati. 2005. Evaluation of the metered-dose inhaler technique among healthcare providers. Iran :Acta Medica Iranica, 43 (4): 268-272; 2005. Price, S.A. Wilson, L.M. Pathophysiology: clinical concepts of disease process. 6 edition, Elsevier Science 2006. Purnomo, A. Latihan Fisik dan Rekreasi yang benar untuk Meningkatkan Kesehatan. Jakarta . 2000 : Bagian Proyek Pendidikan Kesehatan. Rahajoe, N. N., 2008, Buku Ajar Respirologi Anak Ed. I. Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta. Saiman, L. & Siegel J., 2003, Cystic Fibrosis Foundation Consensus Conference on Infection Control participants. Infection control recommendations for patients with cystic fibrosis: Microbiology, important pathogens, and infection control practices to prevent patient-to-patient transmission. AmJ Infect Control,31. Suwondo, A., 1991, Metode Inhalasi Sebagai Cara Terapi Masa Kini Penyakit Paru Obstruktif, Cermin Dunia Kedokteran, No. 69, Jakarta. Yunus, F., 1995, Terapi Inhalasi Asma Bronkial, Cermin Dunia Kedokteran No. 101, Jakarta. Yunus,F. Aplikasi Klinik Pada Volume Paru. Dalam: PIPKRA (Pertemuan Ilmiah Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi) Workshop Faal Paru. PDPI. Jakarta. 2003. pp;10-15.

Related Documents


More Documents from "Anonymous J8QtlmVD"