Adab Mendidik Anak

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Adab Mendidik Anak as PDF for free.

More details

  • Words: 3,513
  • Pages: 15
bismillahRR:

Dinul Islam dengan tegas telah menyariatkan pendidikan anak-anak kaum muslimin diserahkan tanggung-jawabnya kepada kedua orang tuanya. Seperti telah difirmankan oleh Allah swt di dalam surat at-tahrim ayat ke-6, “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka; yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya para malaikat yang kasar lagi keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” Rasulullah saw juga telah berwasiat, “Bekerjalah dengan taat kepada Allah. Peliharalah diri kalian dari berbuat maksiat kepada Allah. Perintahkanlah anak-anak kalian untuk menaati perintah-perintah [Allah] dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sebab hal itu akan menjaga mereka dan diri kalian dari api neraka” (Hr.Ibnu Jarir). Dan, Nabi saw juga telah memperingatkan para orang tua dengan sabdanya, “Seorang lelaki [suami] itu adalah pemimpin di dalam keluarganya. Dan, dia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya itu. Dan, seorang perempuan [isteri] itu adalah pemimpin di dalam rumah suaminya, dan dia bertanggung jawab terhadap ke-pemimpinannya itu…” (Hr.Bukhari dan Muslim). Berdasarkan teks al-qur`an dan hadis Nabi saw tersebut di atas. Mendidik anak adalah wajib hukumnya bagi kedua orang tuanya. Itulah sebabnya, seorang anak berhak untuk mendapatkan pendidikan yang utuh baginya. Ini hak asasi seorang anak yang harus diberikan oleh kedua orang tua. Sedangkan tolok ukur keberhasilan sebuah pendidikan bagi anak. Bukan teraihnya gelar kesarjanaan (titel), atau status sosial. Namun terdapatnya pendidikan yang baik yang diimplementasikan dengan akhlakul karimah. Sebuah “kemerdekaan” untuk tetap dapat melakukan daya suspend di tengah kehidupan dunia yang terus mengalami perubahan dan percepatan serta pemberdayaan. Sebagaimana diperintahkan Nabi saw, “Didiklah anak-anak kalian dengan pendidikan yang baik” (Hr.Ibnu Majah). Sedangkan yang dimaksud pendidikan yang baik itu, seperti diperintahkan Nabi saw, yaitu,

“Didiklah anak-anak kalian atas tiga hal: 1).Mencintai Nabi kalian; 2).Mencintai ahli bait-nya; dan 3).Membaca al-qur`an, sebab para ahli qur`an itu berada pada naungan ‘Arsy Allah pada hari yang tidak ada perlindungan selain daripada perlindungan-Nya” (Hr.Thabrani, dari Ali bin Abi Thalib kw). Didik Anak Menjadi Mandiri Pada prinsipnya keberhasilan sebuah pendidikan, baik yang autodidak atau yang melalui proses belajar mengajar, adalah semakin mandiri anak di dalam survive dengan lingkungan terdekat. Sedangkan untuk mendapatkan daya suspend dan kemandirian. Maka, perlu adanya pembekalan-pembekalan dan pengembangan visi yang sesuai dengan daya nalar dan ketajaman pikir masing-masing anak. Namun, secara substansi untuk mendapatkan ke-pribadian anak yang mandiri. Perlu diperhatikan beberapa adab mendidik anak, supaya di kemudian hari anak-anak kita mendapatkan kesuksesan, insya Allah. Hal itu antara lain: 1. Mendidiknya dengan tradisi tauhidullah. Pertama dan yang paling utama di dalam membekali pendidikan anak, adalah perilaku tauhid. Untuk mendapatkan perilaku tauhid itu harus ditradisikan beberapa amaliah utama di keluarga mukmin: (a).Setelah umur 7 tahun perintahkan shalat. Nabi saw bersabda, “Suruhlah anak-anak kalian mengerjakan shalat manakala mereka telah berusia 7 tahun. Dan, pukullah mereka jika pada usia 10 tahun masih melalaikannya. Dan, pisahkanlah tempat tidur mereka” (Hr.Hakim dan Abu Dawud, dari Ibnu Amr bin Ash r.hu). (b).Mendidikkan al-qur`an ke dalam sebuah tradisi kehidupan. Nabi saw Bersabda, “Didiklah anak-anak kalian dalam tiga hal: Mencintai Nabi kalian; Mencintai keluarga Nabi; dan Membaca al-qur`an. Maka, sesungguhnya orang-orang yang membaca al-qur`an berada dalam naungan ‘Arsy Allah, ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, bersama para nabi dan para wali” (Hr.Thabrani, dari Ali bin Abi Thalib kw). (c).Mengenalkan Nabi saw sebagai figur utama di dalam kehidupan.

Sebagaimana difirmankan oleh Allah swt, “Maka, disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal” (Qs.Ali Imran [3]: 159). “Dan, sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Qs.alQalam [68]: 4). (d).Membiasakan dengan kehidupan masjid. Nabi saw bersabda, “Maukah kalian aku ajarkan suatu amal yang dapat menghapus segala dosa, dan sekaligus mengangkat derajat?” Jawab mereka, “Tentu, ya Rasulullah.” Sabda beliau, “Menyempurnakan wudlu di saat-saat segan, memperbanyak langkah ke masjid, dan menunggu waktu shalat sesudah shalat yang lain. Itulah cara menguasai diri yang efektif” (Hr.Muslim). (e).Menggembleng dengan dzikrullah. Allah azza wa jalla berfirman, “Aku selalu berada pada prasangka hamba Ku. Dan, Aku senantiasa bersamanya ketika dia menyebut nama Ku. Jika dia menyebut nama Ku dalam hatinya, maka Aku menyebut pula dalam hati Ku. Dan, jika dia menyebut Ku dalam majelis, maka Aku menyebutnya dalam majelis yang lebih baik. Jika dia mendekati Ku sejengkal, Aku mendekatinya sehasta. Dan, jika dia mendekati Ku sehasta, Aku mendekatinya sedepa. Jika dia datang kepada Ku berjalan kaki, Aku mendekatinya dengan berlari” (Hr.Bukhari dan Muslim). Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman, “Aku bersama hamba Ku, jika dia mengingat Ku dan kedua bibir-nya bergerak menyebut Ku” (Hr.Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dari Abu Hurairah r.hu). (f).Menempa dengan shalat-shalat sunnah. Diriwayatkan dari Abu Muhammad Abdullah bin Amru bin Ash r.hu, bersabda

Nabi saw, “Lā yu`minu ahadu-kum hattā yakūna hawā-hu taba’ān limā ji`tu bi-hi; tidak beriman seseorang dari kalian sampai hasratnya kuat mengikuti apa saja [sunnah nabawiyah] yang aku bawa” (Hadis Shahih). Di antara shalat-shalat sunnah itu adalah: • Shalat dluha. Paling sedikit dikerjakan sebanyak dua rakaat, pertengahannya empat rakaat, dan utama-nya delapan raka’at. Seperti dijelaskan dalam hadis Nabi saw: “Setiap pagi hari dianjurkan bagi setiap orang di antara kalian untuk melakukan sedekah. Dan hal itu, cukup ditunaikan hanya dengan melakukan dua raka’at shalat dhuha” (Hr.Muslim, dari Abu Dzar r.hu). “Rasulullah saw shalat dhuha 4 rakaat dan beliau tambah sesukanya” (Hr.Muslim, dari Ibunda ‘A`isyah r.ha). “Bahwa Rasulullah saw shalat [dhuha] 8 rakaat” (Hr.Muslim, dari Ummu Hani` r.ha). • Shalat taubat. Diriwayatkan Imam Abu Dawud r.hu, Imam Nasaa`i r.hu, Imam Baihaqi r.hu, dan Imam Tirmidzi r.hu; dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.hu, dia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Tak seorang pun berbuat dosa, lalu dia bersuci dan shalat [dua rakaat]. Kemudian memohon ampunan Allah, kecuali Allah pasti akan mengampuninya.” Lalu beliau membaca ayat, “Dan, orang-orang yang apabila mengerjakan per-buatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah. Kemudian memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan, siapa lagi yang dapat meng-ampuni dosa-dosa selain Allah? Dan, mereka itu tidak meneruskan perbuatan buruknya itu, sedangkan mereka mengetahui. Mereka itu balasannya adalah am-punan dari Rabb mereka, dan surga-surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai. Sedangkan mereka kekal di dalamnya. Dan, itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang berbuat baik” (Qs.Ali Imran: 135-136).

• Shalat tahiyatul masjid. “Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, hendak-nya dia tidak duduk dahulu, kecuali setelah shalat dua rakaat” (Hr.Muslim, dari Abu Qatadah r.hu). • Shalat syukur wudlu. “Kabarkanlah kepadaku mengenai perbuatan yang paling kamu harapkan pahalanya, yang kamu kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar bunyi kedua sandalmu di dekatku di surga.” Bilal berkata, “Aku tidak melakukan suatu pekerjaan yang paling diharapkan pahalanya, kecuali bahwa aku tidaklah bersuci baik di malam hari atau siang hari melainkan aku shalat sesudahnya, semampu aku melakukannya” (Hr.Bukhari, dari Abu Hurairah r.hu). • Shalat lail. “Afdlalush shalāti ba’dal farīdlati shalātul laili; shalat yang paling utama setelah shalat fardlu adalah shalat malam [tahajjud]” (Hr.Tirmidzi, dari Abu Hurairah r.hu). “Sesungguhnya di malam hari terdapat satu saat, yang jika ada salah seorang muslim memohon kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat, melainkan Allah akan mengabulkannya. Dan, saat itu terdapat di setiap malam” (Hr.Muslim, dari sahabat Jabir bin Abdullah r.hu). “Kerjakanlah shalat malam, karena sesungguhnya merupakan adab orang-orang shalih. Dan, salah satu sarana mendekatkan diri kepada Rabb kalian, penebus kesalahan, dan pencegah perbuatan dosa” (Hr.Tirmidzi, dari Abu Umamah r.hu). • Shalat tarawih. Didirikan setelah shalat isya’ di Bulan Rama-dlan. Dinamakan tarawih, karena di antara shalat tersebut ada kesan rileksnya. Boleh dilaksanakan sendirian di rumah, atau secara berjamaah di rumah, di mushalla, atau di masjid. Bilangan rakaatnya boleh delapan atau duapuluh rakaat, setelahnya di tutup dengan shalat witir. • Shalat witir. Adalah shalat yang berbilangan rakaat ganjil. Yang paling afdhal sebelas rakaat atau se-dikitnya satu rakaat. Namun umumnya tiga rakaat, boleh dikerjakan dua

rakaat salam di tambah satu rakaat salam, atau boleh juga dikerjakan dengan tiga rakaat dengan satu salam. Waktunya setelah shalat isya’ sampai ter-bitnya fajar. Dalam satu malam tidak boleh menger-jakan witir di dua waktu. Jadi, seadainya setelah shalat isya’ mengerjakan shalat witir, lalu tidur un-tuk tahajud malamnya tidak usah ditutup dengan shalat witir lagi. Sebagaimana disabdakan Nabi saw, “Tidak ada dua shalat witir dalam satu malam” (Hr.Abu Dawud dan Tirmidzi). Beliau saw juga bersabda, “Shalat witir adalah kewajiban atas setiap muslim, maka barangsiapa ingin melaksanakannya sebanyak lima rakaat, silahkan melaksanakan. Barangsiapa ingin melaksanakan sebanyak satu raka’at saja, silahkan melakukan” (Hr.Abu Dawud dan Hakim). • Shalat istikharah. Nabi saw bersabda, “Mā khāba manis-takhara…; tidak akan kecewa seseorang yang beristikharah….” (Hr.Thabrani, dari Anas bin Malik r.hu). Diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdullah r.hu dalam Kitab Shahih Bukhari, setelah shalat dua raka’at Nabi saw berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta agar Engkau memilihkan mana yang baik menurut Mu. Aku memohon agar Engkau memberikan kepastian dengan ketentuan Mu. Aku memohon kemurahan Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau kuasa dan aku tidak kuasa, Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui; dan Engkau Mahamengetahui hal-hal yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa [urusan ini] baik bagiku dalam agamaku, hi-dupku, dan baik akibatnya. Maka, berikanlah urusan ini kepadaku dan mudahkanlah bagiku. Lalu berkahilah untukku di dalamnya. Jika Engkau tahu bahwa [urusan ini] buruk bagiku, dalam agamaku, hidupku, dan buruk akibatnya. Maka, jauhkanlah urusan ini dariku dan jauhkanlah diriku dari-nya. Berilah aku kebaikan di mana saja aku berada, kemudian jadikanlah aku ini hamba yang rela menerima segala anugerah Mu” (Hr.Bukhari, dari Jabir bin Abdullah r.hu). • Shalat hajat. Yakni shalat sunnah dua rakaat, atau menurut kebutuhannya. Dapat dilakukan

kapan sa-ja di saat muncul hasrat atau kehendak, tidak harus malam hari. Sebagaimana disabdakan Nabi saw, “Barangsiapa berwudlu seraya menyempurnakan wudlunya itu, lalu shalat 2 raka’at yang juga dilaksanakannya dengan sempurna. Niscaya Allah akan memenuhi permintaannya, secara segera atau pun di waktu lainnya” (Hr.Ahmad, dari Abu Darda` r.hu). Adapun doanya, “Tidak ada ilah selain Allah yang Mahapenyayang lagi Mahapemurah. Mahasuci Allah, Rabb yang memelihara ‘Arsy yang agung. Segala puji hanyalah bagi Allah Rabb semesta alam. Aku memohon kepada Mu segala apa yang mewajibkan rahmat Mu, dan segala apa yang mendatangkan ampunan dari Mu, dan ke-untungan dari segala kebaikan, selamat dari segala dosa. Jangan-lah Engkau biarkan dosa bersisa kepadaku, kecuali Engkau menghilangkannya. Dan, tidak pula (suatu kebetuhan) yang Engkau ri-dlai, kecuali Engkau mengabulkannya. Wahai Allah yang lebih Penyayang dari segala Penyayang” (Hr.Tirmidzi). • Shalat rawatib. Didirikan sebagai penyerta dari shalat-sha-lat fardlu, antara lain shalat sunnah: qabliyah subuh dua rakaat, qabliyah dan ba’diyah dhuhur masing-masing dua rakaat, qabliyah ashar dua rakaat, ba’diyah maghrib dua rakaat, ba’diyah isya’ dua raka’at, “Tidaklah seorang muslim yang shalat karena Allah dalam setiap hari dua belas rakaat, sebagai shalat sun-nah, selain yang fardlu, kecuali Allah membuat rumah baginya di surga” (Hr.Muslim). (g).Memberikan latihan-latihan kematangan jiwa dengan puasa-puasa sunnah. Nabi saw bersabda, “Tidaklah seseorang yang puasa satu hari karena Allah, kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh perjalanan 70 puluh tahun” (Hr.Muslim, dari sahabat Abu Said al-Khudri r.hu). Adapun puasa sunnah yang dimaksud adalah: • Puasa Hari Arafah. Telah disabdakan Nabi saw,

“Puasa Hari Arafah dihitung oleh Allah sebagai penghapus dosa tahun lalu dan tahun sesudahnya [yang akan datang]” (Hr.Mus-lim, dari Abu Qatadah r.hu). • Puasa Bulan Sya’ban. Telah dirawikan dari Ibunda ‘A`isyah r.ha, “Tidak pernah saya menyaksikan Rasulullah saw berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Ramadlan. Dan, tidak pernah saya menyaksikan beliau banyak berpuasa di hari-hari tertentu, seperti pada bulan Sya’ban” (Hr.Bukhari dan Muslim). • Puasa Hari Asyura. Nabi saw bersabda, “Puasa Hari Asyura dihitung oleh Allah sebagai penghapus dosa tahun lalu, dan tahun sesudahnya” (Hr.Muslim, dari Abu Qatadah r.hu). Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.hu, bahwa Nabi saw pernah bersabda, “Jika aku masih hidup pada tahun yang akan datang, niscaya aku akan puasa pada hari ke sembilan (dari bulan Muharram).” Dalam riwayat Imam Ahmad r.hu dikatakan, bahwa Nabi saw pernah bersabda, “Puasalah kalian pada Hari Asyura, berbedalah kalian dengan Yahudi. Dan, puasalah sehari sebelum atau sehari sesudahnya.” • Puasa enam hari di Bulan Syawal. Telah disabdakan oleh Nabi saw, “Barangsiapa puasa Bulan Ramadlan. Lalu diikuti puasa enam hari dari bulan Syawwal, maka puasanya itu sama dengan puasa setahun penuh” (Hr.Muslim, dari Abu Ayub al-Anshari r.hu). • Puasa Hari Senin dan Hari Kamis. Telah disabdakan Nabi saw, “Amal perbuatan manusia dilaporkan pada Hari Senin dan Kamis, maka aku ingin amal perbuatanku dilaporkan pada saat aku berpuasa” (Hr.Tirmidzi).

• Puasa Bidh. Nabi saw bersabda, “Jika kalian ingin berpuasa dalam [setiap] bulan sebanyak tiga hari, maka puasalah pada hari ke-13, 14, dan 15” (Hr.Tirmidzi, dari Abu Dzar r.hu). • Puasa Nabi Dawud as. Disabdakan Nabi saw, “Berpuasalah satu hari dan berbukalah pada hari berikutnya, maka yang demikian itu adalah puasanya Nabi Dawud as. Dan itu adalah puasa yang utama” (Hr.Bukhari, dari Abu Said al-Khudri r.hu). (h).Senantiasa diajak untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Nabi saw bersabda, ‫ِإ‬ “Takwalah kepada Allah di mana saja kamu berada. Ikutilah perbuatan jahat dengan perbuatan baik, niscaya akan meng-hapusnya. Dan, bermasyarakatlah dengan budi pekerti yang ba-gus” (Hr.Tirmidzi). Di sabdanya yang lain, ‫َا‬ “Seorang budiman itu adalah yang patuh dan beramaliah untuk hidup sesudah mati. Dan, pemalas itu adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya lagi berangan-angan selalu bersama Allah” (Hr.Tirmidzi). (i).Diberdayakan dengan ilmu pengetahuan. Allah swt berfirman, “Qul, hal yastawil ladzīna ya’lamūna wal ladzīna lā ya’lamūna?; katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs.az-Zumar []: 9). “Yarfa’il-lāhul ladzīna āmanū mink-kum wal ladzīna ūtūl ‘ilma darajātin; niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Qs.alMujadalah []: 11). “Wa many-yu`tal hikmata faqad ūtiya khairank-katsīrān; dan, ba-rangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak” (Qs.al-

Baqarah [2]: 269). Nabi saw juga bersabda, “Dan, barangsiapa menempuh suatu perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya untuk me-nuju surga” (Hr.Muslim, dari Abu Hurairah r.hu). “Dunia ini terkutuk, dan terkutuklah yang ada di dalamnya, ke-cuali orangorang yang mengingat Allah, yang taat kepada-Nya, orang-orang yang alim, atau terpelajar” (Hr.Tirmidzi, dari Abu Hurairah r.hu). “Keutamaan orang alim atas para manusia, bagaikan keutamaan-ku atas orangorang yang paling rendah di antara kalian. Se-sungguhnya Allah, malaikat-Nya, penduduk langit dan bumi sampai kepada semut di dalam lubangnya, dan ikan di laut; benar-benar mendoakan kebaikan kepada orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (Hr.Tirmidzi, dari Abu Hurairah r.hu). “Apabila bani Adam telah meninggal dunia, maka putuslah segala amal perbuatannya. Kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (Hr.Muslim, dari Abu Hurairah r.hu). 2. Keteladanan orang tua. Adalah kewajiban orang tua untuk memberikan keteladanan kepada para anaknya. Karena salah satu percepatan pola pendidikan nabawiah, adalah kuatnya unsur keteladanan Nabi saw atas para sahabat. Sehingga di antara para sahabat pun terbiasa untuk saling meneladani. Hal ini disebabkan, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi. Tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya, dan Allah lebih menge-tahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (Qs.al-Qashash []: 56). 3. Rizeki yang halal. Mencari rizeki halal merupakan kewajiban orang tua. Dan, haram hukumnya memberikan makanan, minuman, dan pakaian kepada para anaknya dari rizeki yang haram dan syubhat. “Kasbul halāli farīdlatun ba’dal farīdlati; mencari nafkah yang halal adalah kewajiban setelah kewajiban” (Hr.Thabrani dan Baihaqi).

“Inna afdlalal kasbi kasbur rajuli min yadi-hi; sesungguhnya mencari nafkah yang paling mulia adalah mencari nafkah seseorang [berdasarkan kemampuan] tangan sendiri” (Hr.Ahmad). Juga diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.hu, Nabi saw bersabda, “Kullu jasadin nabata min suhtin [min harāmin], fan-nāru aulā bi-hi; setiap tubuh yang tumbuh dari [makanan atau minuman] yang haram, maka neraka lebih berhak baginya” (Hr.Baihaqi). 4. Mencarikan guru yang dapat diteladani. Keteladanan guru itu sangat penting, tanpa ada keteladanan yang utuh. Maka, anak-anak didiknya akan sekadar menjadi para islamolog. Adalah kewajiban orang tua mencarikan guru untuknya yang memiliki dedikasi tarbawiah dan ta’limiah, antara lain: a. Ikhlas. b. Takwa. c. Berpandangan ilmu pengetahuan. d. Penyabar. e. Memiliki rasa tanggung jawab. Sedangkan substansi pendidikan itu adalah dengan memberikan kepengaruhan keteladanan yang kuat terhadap para anak didiknya. Itulah yang diterapkan Rasulullah saw di dalam mendidik para sahabatnya, hasilnya sangat mengagumkan. “Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik” (Qs.al-Ahzab []: 21). “Dan, sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Qs.alQalam []: 4). Disabdakan Nabi saw, “Sahabat-sahabatku adalah bagai bintang-bintang, kepada siapa pun di antara mereka kalian mengambil petunjuk. Niscaya kalian mendapat petunjuk” (Hr.Baihaqi dan Dailami). “Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`ur rasyidin almahdiyyin. Berpegang teguhlah kepadanya dengan sekuat-kuatnya” (Hr.Ashabus Sunnan dan Ibnu Hibban).

5. Doa yang ikhlas. Nabi saw bersabda, “Lā tad’ū ‘alā aulādi-kum…wa lā tuwāfiqū mina-llāhi sā’atan nīla fī-hā ‘athā`un fa-yustajābu min-kum; …janganlah kalian mengutuk anak-anak kalian…Jangan sampai kalian bertepatan dengan saat di mana kalian memohon sesuatu, lalu Allah mengabulkan permintaan kalian pada waktu itu” (Hr.Muslim). Sebaliknya tekun dan istiqamahlah di dalam mendoakan para anaknya. Sebab, doanya orang tua kepada anak sangatlah mustajabah. 6. Membekalinya dengan keahlian. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.hu, bahwa Nabi saw bersabda, “Bekerjalah, maka setiap orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang memang diciptakan untuknya” (Hr.Thabrani). “Setiap manusia dimudahkan menurut bakatnya masing-masing” (Hr.Bukhari dan Muslim, dari Imran r.hu). Dan, ibunda ‘A`isyah r.ha pernah berkata, “Rasulullah saw menyuruh kami menempatkan orang-orang sesuai dengan posisi masing-masing” (Hr.Muslim dan Abu Dawud). 7. Mendidiknya dengan tradisi menabung. Allah swt sangat membenci perilaku boros, sebaliknya sangat mencintai perilaku sederhana. “Wahai Bani Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang pemboros” (Qs.al-A’raf []: 31). Nabi saw bersabda, “Kīlū tha’āma-kum yubārak la-kum fī-hi; berhematlah kalian, niscaya usaha kalian akan diberkahi” (Hr.Muslim). “Hemat di dalam berbelanja adalah bagian dari kehidupan…” (Hr.Thabrani, dari Ibnu Umar r.hu).

Dan, Nabi Yusuf as telah berkata, “Supaya kalian bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa. Maka, apa yang kalian tuai, hendaklah kalian biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kalian makan --supaya sebagian hasil panen disimpan di lumbung” (Qs.Yusuf: 47). 8. Mendidiknya dengan tradisi investasi. Perilaku investasi pernah diteladankan oleh Nabi Yusuf as, bahkan Allah swt telah mencantumkan perilaku tersebut di dalam al-qur`an surat Yusuf ayat ke 48-49, “Kemudian, sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, di mana menghabiskan apa yang kalian simpan untuk menghadapinya [masa paceklik]. Kacuali sedikit dari [bibit gandum] yang kalian simpan --investasi modal. Kemudian setelah itu akan datang tahun di mana manusia diberi hujan [dengan cukup] dan di masa itu mereka memeras anggur.” 9. Mendidiknya dengan tradisi profesionalisasi. Dapatlah kiranya dijadikan dasar ke-profesional-an, nasehat Nabi Ya’cub as kepada puteranya Nabi Yusuf as, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian [bersama-sama] masuk dari satu pintu gerbang. [Tetapi] masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan. Namun demikian aku tiada dapat me-lepaskan kalian barang sedikit pun dari [takdir] Allah. Ke-putusan menetapkan [sesuatu] hanyalah hak Allah. Kepada-Nya-lah aku bertawakkal, dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri” (Qs.Yusuf []: 67). 10. Penguasaan atas sains dan teknologi tinggi. Ditradisikan untuk menyerap teknologi dan melakukan lompatan-lompatan high-tech. “Wahai segolongan jin dan manusia, jika kalian sanggup menembus [melintasi] penjuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kalian tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan --penguasaan sains dan teknologi” (Qs.ar-Rahman []: 33). 11. Fahamkan atas takdir Allah. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.hu,

“Sesungguhnya apabila nutfah telah berdiam di rahim, malaikat mengambilnya dengan telapak tangan. Malaikat berkata, ‘Wahai Rabb, tercipta ataukah tidak tercipta?’” Bila Allah berfirman, “Tidak tercipta.” Maka, malaikat melemparkanya ke rahim dalam bentuk darah tanpa nyawa. Tetapi bila Allah berfirman, “Tercipta.” Maka, malaikat bertanya, “Laki-laki atau perempuan? Sengsara ataukah bahagia? Bagaimana rizekinya, kapan ajalnya, di bumi mana dia akan mati?” Maka, dijawab, “Pergilah kamu ke Ummul-Kitab (Lauhul Mahfudz, red), di sana kamu akan menemukan semua itu!” Lalu dia pergi dan mendapatkan jawaban semua itu di Ummul-Kitaab, kemudian dia menyadurnya. Tulisan itu masih terus dipegangnya hingga akhir sifatnya.” Bila anak-anak telah memahami takdirnya, maka mereka akan berucap, “…Aku tidak bermaksud melainkan [mengadakan] perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan, tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali” (Qs.Hud []: 88). Berakhlakul Karimah Nabi saw bersabda, “Pemuda yang dermawan lagi berakhlak baik, lebih dicintai Allah daripada orang tua ahli ibadah yang kikir lagi berakhlak buruk” (Hr.Dailami, dari Ibnu Abbas r.hu). Guna mendapatkan generasi penerus yang ber-akhlakul karimah, maka anakanak di kepribadiannya harus ditumbuhkan implementasi nilai-nilai iman di dalam kehidupan kesehariannya. “Al-lā malja`a mina-llāhi illā ilaihi…; …Bahwa tidak ada tempat lari dari [siksa] Allah, melainkan kepada-Nya….” (Qs.at-Taubah [9]: 118). Apalah arti sebuah kelangsungan pendidikan, bila tidak membuahkan akhlakul karimah. Adalah kebahagian bagi para orang tua manakala mempunyai anakanak yang tinggi akhlakul karimahnya. Untuk itu hendaklah mulai sedini mungkin, mulai dari masa pralahir, batita, balita, dan pubertas. Anak-anak mesti dibekali dengan akhlak-akhlak, adab-

adab, dan pemahaman atas halal-haram, sehingga di dalam perjalanan kehidupannya; mulai dari masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa mereka mempunyai komitmen dan konsistensi yang tinggi terhadap dinul Islam (Lebih jelasnya silahkan baca dua buku alfaqir: Cahaya Kalbu, 2001 dan Mutiara Kalbu, 2002). Di dalam proses pendidikan anak para orang tua tidak boleh lalai atau teledor sedikit pun. Karena laksana anak panah yang lepas dari busurnya, sekali lepas tidaklah mungkin kita dapat mengejarnya. Sebab itu, sebagai orang tua harus benar-benar tepat di dalam membidik sasarannya. Karena sekali melenceng anak panah itu akan melesat berada di luar titik fokus yang hendak kita tuju. Padahal seorang mukmin hanya mempunyai cita-cita, agar di kehidupannya, awal hingga akhir di dunia ini, tergolong hamba Allah swt yang berkedudukan ruhani “radliatam-mardliah”. Pun pula dengan masa depan anak-anak kita alfaqir mlm al-mutawakkil

Related Documents