ACARA IV ISOLASI ENZIM AMILASE DARI KECAMBAH BIJI A. Tujuan Praktikum Tujuan dari praktikum Acara IV “Isolasi Enzim Amilase dari Kecambah Biji dan Reaksi Pencoklatan Enzimatis” ini adalah: 1.
Mahasiswa mampu mengetahui aktivitas enzim amilase selama perkecambahan biji.
2.
Mahasiswa dapat mengetahui pengaruh perlakuan yang berbeda terhadap reaksi pencoklatan enzimatik pada permukaan potongan buah.
B. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Teori Browning atau yang dikenal dengan reaksi pencoklatan merupakan reaksi enzimatis yang terjadi pada buah-buahan seperti pir, pisang, anggur, dan apel serta pada sayur-sayuran seperti terong, jamur, dan kentang. Fenomena yang terjadi pada sayuran dan buah-buahan tersebut mengalami kerusakan secara mekanik sehingga menghasilkan pigmen berwarna coklat (Muniarti dkk, 2014). Menurut Mitcham dkk (2008), faktor-faktor biokimia yang mendasari terkait dengan gangguan pencoklatan daging internal (FB) yang diinduksi CO2 dari apel Pink Lady (Malus domestica). Borkh ‘Cripps Pink’ kurang dipahami. Untuk menyelidiki gangguan ini, apel Pink Lady disimpan di udara atau dikontrol atmosfer (CA) dengan 1,5 kPa O2 dan 5 kPa CO2 pada 0,5 ◦C selama 2 dan 4 bulan pada tahun 2004 dan 2005. Setelah penyimpanan CA, buah dipisahkan menjadi dua kategori, rusak (FB) dan jaringan tidak rusak dari masing-masing kategori dipelajari secara terpisah. Studi viabilitas sel mengungkapkan bahwa sel-sel mati dalam warna coklat jaringan apel yang rusak. Semua jaringan sehat dalam apel yang sama mengandung sel yang layak. Baik jaringan sehat coklat dan sekitarnya pada apel dengan FB menunjukkan penurunan asam askorbat dan peningkatan asam dehidroaskorbat selama 2 bulan pertama penyimpanan di CA, periode waktu ketika FB dikembangkan. Tidak rusak, apel yang
disimpan CA mempertahankan konsentrasi asam askorbat yang lebih tinggi setelah 2 bulan dalam penyimpanan. Tingkat hidrogen peroksida (H2O2) meningkat lebih banyak dalam daging apel yang disimpan CA daripada di apel yang disimpan di udara, indikasi stres jaringan. Selain itu, konsentrasi H2O2 secara signifikan lebih rendah pada apel yang diphenylamine (DPA). Perawatan dengan DPA juga menghambat FB sepenuhnya dibandingkan dengan apel yang tidak diolah. Aktivitas polifenol oksidase (PPO) serupa untuk apel yang disimpan di udara atau penyimpanan CA dan di antara buah yang tidak rusak dan rusak. Hasilnya menunjukkan hubungan yang lebih erat antara FB dan mekanisme oksidan-antioksidan seperti asam askorbat, H2O2 dan DPA, dibandingkan dengan aktivitas spesifik enzim berwarna seperti PPO. Penelitian lebih lanjut tentang efek perlindungan asam askorbat dibenarkan seperti penelitian lebih lanjut tentang yang mendasarinya penyebab kerentanan buah apel terhadap FB. Polifenol oksidase (PPO) EC 1.14.18.1 adalah suatu enzim yang termasuk pada golongan oksidoreduktase yang mengkatalisis proses hidrosilasi senyawa monofenol menjadi senyawa difenol, kemudian dilanjutkan dengan mengkatalisis proses oksidasi difenol menjadi kuinon. Senyawa kuinon yang terbentuk sangat reaktif sehingga akan mengalami reaksi polimerisasi menghasilkan pigmen merah, coklat dan hitam yang disebut pigmen melanin. Kesemuanya ini
menampakkan warna
kecoklatan pada jaringan buah-buahan dan sayur-sayuran yang memar. Pada sel tumbuhan, enzim ini terdapat di dalam vakuola sel dan letaknya terpisah dengan senyawa-senyawa fenol yang terdapat dalam tumbuhan tersebut. Inilah sebabnya reaksi pencoklatan akan terjadi hanya jika jaringan atau selnya rusak. Fungsi dari enzim PPO ini dalam sel yang utuh belum diketahui secara pasti, diperkirakan enzim ini berfungsi sebagai pemacu biosintesis lignin atau berpartisipasi dalam perlindungan mekanik dari jaringan tumbuhan yang luka atau memar. Aktifitas polifenol oksidase ditentukan dari laju reaksi oksidasi substrat pirogalol
dengan adanya polifenol oksidase yang membentuk produk berwarna coklat. Intensitas warna coklat ini diamati dengan spektrofotometer pada panjang 420 nm. Satu unit enzim didefinisikan sebagai kenaikan absorban 0,001 permenit persatuan waktu pada panjang gelombang 420 nm (Mardiah, 2011). Pencoklatan enzimatik buah adalah hal yang diketahui fenomena yang disebabkan oleh oksidasi senyawa fenolik menjadi quinones. Ini reaksi terutama dikatalisasi oleh polifenol oxidase (PPO, EC 1. 14. 18. 1) di hadapannya oksigen dan memberi naik ke pigmentasi coklat. Coklat ini perubahan warna menyebabkan organoleptik dan modifikasi nutrisi dalam jaringan tanaman, sehingga menyebabkan perubahan kualitas yang tidak menguntungkan di produk makanan. Tingkat aktivitas polifenoloksidase dipanen dan variasinya selama penyimpanan buah telah dianggap penting untuk prediksi kerentanan terhadap browning. Itu studi berbagai varietas apel penting, karena aktivitas PPO bergantung pada kultivar. Secara umum disepakati itu PPO adalah enzim yang terutama bertanggung jawab untuk browning. Peningkatan dalam aktivitas PPO setelah mengupas dan memotong diharapkan. Kontribusi lainnya enzim untuk browning total mungkin juga relevan (Jeong dkk, 2008). Kini dan ke depan pemanfaatan enzim banyak diaplikasikan secara luas terutama dalam proses pengolahan pangan komersial. Dewasa ini sebagian besar kebutuhan enzim masih dipenuhi dengan jalan impor. Hal tersebut tidak menguntungkan dari segi devisa dan pengembangan bioteknologi di Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menghasilkan enzim sehingga kebutuhan dalam negeri dapat diatasi. Sumber enzim dapat diperoleh dari tanaman, hewan dan mikroorganisme. Salah satu enzim pemecah pati adalah enzim α-amilase (α-1,4-glukan-glukanodidrolase; EC.3.2.1.1.), enzim ini sangat berperan dalam industri pembuatan roti dan sirup. Enzim α-amilase banyak terdapat pada kecambah kacang-kacangan. Enzim α-amilase dalam biji dibentuk pada waktu awal perkecambahan oleh asam giberilik. Asam
giberilik adalah suatu senyawa organik yang sangat penting dalam proses perkecambahan
suatu
biji
karena
bersifat
sebagai
pengontrol
perkecambahan tersebut. Pemilihan kacang hijau sebagai sumber enzim α-amilase karena dalam bentuk kecambah mengandung tokoferol (pro vitamin E) 936,4 ppm, fenolik 11,3 ppm. Senyawa tersebut merupakan antioksidan yang sangat penting terhadap kesehatan terutama balita. Senyawa fenolik dengan antioksidan lainnya pada konsentrasi rendah dapat melindungi bahan pangan tersebut dari kerusakan oksidatif. Selain itu, kacang hijau memiliki kelebihan dari segi ekonomis dan agronomis dibandingkan
dengan
tanaman
kacang-kacangan
lainnya
(Suarni dan Patong, 2007). Dalam industri makanan, cara umum untuk menerapkan teknik pencoklatan enzimatis adalah dengan mengeringkan buah. Mengeringkan buah adalah metode tertua yang diketahui untuk melestarikan makanan. Mengeringkan buah aman karena Anda menghilangkan kelembaban dan ini mencegah mikroorganisme tumbuh di dalamnya. Buah kering juga lebih kompak dan membutuhkan lebih sedikit ruang penyimpanan; membuat / bepergian dengan baik. Buah berwarna terang (apel, aprikot, persik, pir) cenderung menjadi gelap selama pengeringan dan penyimpanan. Proses ini disebut oksidasi. Oksidasi merampas buah dari rasa, warna, dan vitamin. Untuk mencegah hal ini terjadi, adalah lazim untuk melakukan pretreat buah dalam larutan sebelum memulai proses pengeringan (Jeong dkk, 2008). Pertumbuhan tanaman yang berasal dari biji diawali dari proses perkecambahan. Dalam pertumbuhannya memerlukan energi, dan energi tersebut
berasal
dari
perombakan
bahan-bahan
organik
seperti
karbohidrat lemak dan protein,. Enzim yang digunakan untuk merombak protein adalah enzim protease, perombakan lemak adalah enzim lipase dan pati memerlukan enzim amilase. Enzim-enzim tersebut secara bersamaan dihasilkan tumbuhan selama proses perkecambahan. Enzim adalah molekul protein yang berperan sebagai biokatalis dan berfungsi
untuk mengkatalisis reaksi-reaksi metabolisme yang berlangsung pada mahkluk hidup. Fungsi ini dipengaruhi oleh faktor lingkungannya seperti temperatur, keasaman (pH), konsentrasi substrat, konsentrasi enzim dan aktivator. Pada kondisi optimum, laju reaksi enzimatik akan bekerja secara optimum, sehingga diperoleh produk yang lebih banyak. Laju reaksi enzimatik akan bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim, akan tetapi laju reaksi dapat mencapai konstan bila jumlah substrat bertambah terus sampai melewati batas kemampuan enzim (Bahri dkk, 2014). Pencoklatan (Browning) merupakan perubahan kecoklatan pada buah yang terjadi akibat proses enzimatik oleh polifenol oksidasi. Secara umum perubahan browning sering terjadi pada buah-buahan seperti pisang, pear, salak, pala, dan apel. Perubahan browning ini terbagi menjadi dua yaitu secara enzimatik dan secara non enzimatik. Sayur dan buah dapat mengalami browning jika terkelupas atau dipotong. Browning ini merupakan proses pembentukan pigmen berwarna kuning yang akan segera berubah menjadi coklat gelap. Permasalahan yang sering terjadi selama penyimpanan buah apel pada jangka waktu yang lama yaitu daging buah apel akan berubah menjadi warna kecoklatan (Browning). Hal ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi. Daging buah apel mengalami perubahan warna menjadi coklat melalui oksidasi enzimatik senyawa fenolik primer selama masa penyimpanan tersebut. Perubahan warna pada buah apel ini dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara proses
oksidatif
dan
reduktif
metabolisme
dalam
buah
yang
menyebabkan oksigen menjadi reaktif. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya tekstur dan rasa pada buah yang mengalami browning. Pencegahan browning telah banyak dilakukan dengan menggunakan penambahan bahan-bahan kimia sintetis seperti bisulfid, asam sitrat, asam askorbat, asam benzoat dan kalsium klorida sebagai senyawa anti browning pada berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Namun, pengunaan bahan kimia sintetis sebagai anti browning telah dilarang
karena dapat menyebabkan asmatik dan efek samping bagi kesehatan pada konsumen. Pengunaan bahan – bahan alami lebih efektif dalam mencegah browning pada buah-buahan dan sayur-sayuran dibanding bahan kimia sintetis (Husaini dkk, 2017). Produk potong-segar merupakan produk sayuran dan buah yang diproses secara minimal dan masih dalam keadaan segar. Proses minimal ini antara lain meliputi pengupasan, pemotongan, pencucian, sanitasi, pengeringan, dan pengemasan produk, sehingga produk akhir dapat langsung dikonsumsi. Produk potong-segar dapat dikenali sebagai buah atau sayuran dalam kemasan yang sudah diiris, dikupas menjadi produk yang dapat langsung dimanfaatkan. Tidak adanya tahap pematian mikrobia dalam proses minimal dan rawannya jaringan tanaman terhadap pertumbuhan mikrobia akan berakibat mudahnya terjadi kontaminasi dan pembusukan sehingga akan mempersingkat umur simpan produk potongsegar. Dengan demikian, standar kualitas dan keamanan pangan yang tinggi sangat penting untuk menjaga pertumbuhan industri produk potong-segar. Pencoklatan enzimatis merupakan reaksi pewarnaan yang banyak terjadi pada buah dan sayuran, sebagai akibat interaksi oksigen, senyawa fenol, dan enzim polifenol oksidase (PPO). Pencoklatan biasanya diawali dengan oksidasi enzimatis monofenol menjadi o-difenol dan kemudian o-difenol menjadi kuinon, yang selanjutnya akan mengalami polimerisasi non-enzimatis sehingga terbentuk pigmen berwarna coklat. Pencoklatan enzimatis akan menurunkan kualitas buah dan sayuran potong-segar, meskipun disisi lain proses ini justru menguntungkan pada beberapa produk perkebunan seperti teh, kopi, dan kakao. Beberapa varietas buah dan sayuran seperti apel, pir, pisang, persik, selada, dan kentang, sangat peka terhadap pencoklatan enzimatis selama pemrosesan dan penyimpanan. Pencoklatan tidak hanya berpengaruh terhadap tampilan produk potong segar, tetapi akan berpengaruh pula terhadap kualitas sensoris lainnya seperti rasa, aroma, tekstur, dan kandungan gizi (Jiang, 2004).
Reaksi pencoklatan pada kuinon sebagai produk dari oksidasi senyawa fenolik pada tanaman yang dikatalisis PPO ketika tanaman mengalami kerusakan struktur sel. PPO mampu mengkatalisis perubahan berbagai senyawa aromatik yang memiliki dua kelompoksenyawa fenolik.Oksidasi kelompok senyawa fenolikmenghasilkan sejumlah produk kuinon. Kuinon tersebut sangat reaktif sehingga dapat bereaksi satu sama lainnya. Hal inilah yang menyebabkan pencoklatansebagai kuinon yang lama kelamaan berwarna bintikbintik gelap (pigmen coklat tua) sebagai senyawa melanin yang terjadipada kulit buah, yang seringmembuat buah atau sayuran tidak termakan. Dalam sistem pangan, pencoklatan tersebut menyebabkan kerusakan buah dan sayuran yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar (Muniarti dkk, 2014). Cara penonaktifan PPO bisa dilakukan didasarkan pada mekanisme reaksi pencoklatan misalnya, melalui penghilangan oksigen yang merupakan reaktan dalam reaksi pencoklatan, denaturasi protein enzim, melindungi interaksi dengan gugus prostetik tembaga dan interaksi dengan senyawa fenolik ataupun quinon. Salah satu senyawa yang digunakan dalam menonaktifkan PPO adalah sulfit. Sulfit merupakan inhibitor kuat yang efektif dalam menghambat pencoklatan dan sudah lama digunakan dalam industri makanan. Akan tetapi penggunaan yang berlebihan dilarang oleh WHO karena akan berdampak negatif khususnya bagi penderita asma. Sodium metabisulfit (SMB) sebagai anti-browning sudah digunakan pada berbagai buah maupun sayuran, tetapi penelitian penggunaan natrium metabisulfit untuk mencegah pencoklatan pada rebung masih belum banyak dipelajari. Pencegahan pencoklatan oleh sulfit disebabkan oleh reaksi antara sulfit dengan quinin, dan perendaman dengan larutan bisulfit efektif dalam mempertahankan timbulnya warna coklat pada buah dan sayur. Oksigen yang membantu reaksi pencoklatan diikat oleh radikal SO·, sehingga reaksi pencoklatan dapat diturunkan kecepatannya (Wardhani dkk, 2016).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja enzim amilase Aktivitas atau kinerja enzim dipengaruhi oleh banyak faktor. Terdapat lima faktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim yaitu; pH, temperatur, konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, dan konsentrasi kofaktor (Sukandar, 2011). Enzim amilase yang digunakan dalam proses hidrolisis pembuatan dekstrin dapat diperoleh dari mikroorganisme. enzim amilase dapat digunakan sebagai katalis dalam hidrolisis pati ubi kayu (Zusfahair, 2012). Reaksi
pencoklatan
nonenzimatik
belum
diketahui
atau
dimengerti penuh. Tetapi pada umumnya ada tiga macam teaksi pencoklatan nonenzimatik yaitu karamelisasi, reaksi Maillard, dan pencoklatan akibat vitamin C. Proses yang pertama adalah karamelisasi. Bila suatu larutan sukrosa diuapkan maka konsennetrasinya akan meningkat, demikian juga titik didihnya. Keadaan ini akan terus berlangsung sehingga seluruh air menguap semua. Bila keadaan tersebut telah tercapai dan pemanasan diteruskan, maka cairan yang ada bukan lagi terdiri dari air tetapi cairan sukrosa yang lebur. Titik lebur sukrosa adalah 1600°C. Bila gula yang telah mencair tersebut dipanaskan terus sehingga suhunya melampaui titik leburnya, misalnya pada suhu 1700°C, maka mulailah terjadi karamelisasi sukrosa (Winarno, 2004). Proses yang kedua yaitu reaksi Maillard. Reaksi Maillard berlangsung melalui tahap-tahap sebagai berikut: (1) suatu aldosa bereaksi bolak balik dengan asam amino atau dengan suatu gugus amino dari protein sehingga menghasilkan basa Schiff. (2) perubahan terjadi menurut reaksi Amadori sehingga menjadi amino kerosa. (3) dehidrasi dari hasil reaksi Amadori membentuk turunan-turunan fulfuraldehida, misalnya dari
heksisa diperoleh hidroksimetol furfural. (4) proses
dehidrasi selanjutnya menghasilkan hasil antara metil α-dikarboksil yang diikuti penguraian menghasilkan reduktor-reduktor dan α-dikarboksil seperti metilglioksal, asetol, dan diasetil. (5) aldehida-aldehida aktif dari 3 dan 4 terpolimerisasi tanpa mengikutsertakan gugus amino (hal ini
disebut kondensasi aldol) atau dengan gugusan amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin (Winarno, 2004). Reaksi yang ketiga adalah pencoklatan akibat vitamin C. Vitamin C (asam askorbat) merupakan suatu senyawa reduktor dan juga dapat bertindak sebagai precursor untuk pembentukan awarna coklat nonenzimatik. Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk suatu senyawa diketogulonat, dan kemudian berlangsunglah reaksi Maillard dan proses pencoklatan (Winarno, 2004). Dalam industri pangan, enzim α-amilase berfungsi menyediakan gula hidrolisis pati sehingga dapat dimanfaatkan untuk produksi sirup glukosa ataupun sirup fruktosa yang mempunyai tingkat kemanisan tinggi, pembuatan roti, dan makanan bayi. Enzim α-amilase adalah enzim ekstrasel yang mengkatalisis reaksi pemotongan ikatan glukosidik α-1,4 pada bagian dalam molekul substrat (endoenzim). Secara komersial enzim ini dihasilkan baik oleh bakteri seperti dari genus Bacillus, maupun kapang dari genus Aspergillus dan Rhizopus. Uji keaktifan enzim dilakukan terhadap berbagai pengaruh lingkungan seperti: suhu, pH, aktivator serta inhibitor enzim (Setiasih, 2006). Perendaman akan mengakibatkan pelarutan senyawa-senyawa beberapa zat gizi penting seperti vitamin dan mineral sehingga semakin lama perendaman maka akan semakin rendah kandungan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat pada biji sorgum berada dalam bentuk bebas. Kadar mineral seperti P, K, Zn, N, dan Cu lebih tinggi pada bahan yang dikecambahkan dan ketersediaan hayatinya juga lebih tinggi. Enzim fitase akan membebaskan ikatan antara mineral - protein dan senyawa lain sehingga ketersedian nutrisi seperti kadar mineral akan mengalami peningkatan
sedangkan
perkecambahan
dan
fermentasi
akan
meningkatkan mineral. Fase pertama dalam proses perkecambahan biji barley adalah aktivitas enzim seperti β-glukanase mendegradasi dinding
sel endosperm dan α amilase dimana sebagian besar prosesnya adalah mendegradasi pati. Sebanyak 80% dinding sel endosperm akan didegradasi selama perkecambahan (Narsih, 2008). Perendaman dalam larutan sodium metabisulfit (Na2S2O5) dapat mencegah reaksi pencoklatan non enzimatis karena gugus sulfit pada sodium metabisulfit berikatan dengan gugus karbonil pada gula yang terkandung dalam tepung suweg. Hal tersebut akan mencegah pembentukan senyawa melanoidin (komponen pembentuk warna coklat) sehingga warna yang dihasilkan pada tepung suweg menjadi lebih baik yang meliputi kecerahan dan tingkat kekuningan yang lebih tinggi. Hal dikarenakan sulfit dapat menghambat reaksi pencoklatan yang dikatalis enzim fenolase dan dapat memblokir reaksi pembentukan senyawa hidroksil metal furfural dari D-glukosa penyebab warna coklat. Fungsi sulfit yang dapat menghambat reaksi pencoklatan yang dikatalis enzim fenolase dan dapat memblokir reaksi pembentukan senyawa hidroksil metal
furfural
dari
D-glukosa
penyebab
warna
coklat
(Ferdiansyah, 2015). 2. Tinjauan Bahan Apel umumnya dikonsumsi sebagai buah segar. Komponen penting pada buah apel adalah pektin, yaitu sekitar 24%. Kandungan pektin pada buah apel terdapat pada sekitar biji, di bawah kulit dan hati. Pektin tersebut akan membentuk gel apabila ditambah gula pada kisaran pH tertentu. Pektin memegang peran penting dalam pembuatan jus (sari buah), jeli, selai, dan dodol. Buah apel (Malus sylvestris mill)selain mempunyai kandungan senyawa pektin juga mengandung zat gizi lain. Apel varietas Anna merupakan varietas baru di Indonesia dan sapat tumbuh subur di Malang. Di luar negeri apel Anna dikenal dengan nama apel Jonathan. Apel Anna memiliki ciri-ciri antara lain: berwarna merah hampir di seluruh kulit apel, rasa manis agak asam, daging buah berwarna putih kekuningan, dan berpasir. Apel Manalagi mempunyai rasa manis walaupun masih muda dan aromanya harum. Bentuk buahnya
bulat dan kulit buahnya berpori putih. Jika dibungkus kulit buahnya berwarna hijau muda kekuningan, sedangkan jika dibiarkan terbuka warnanya akan tetap hijau. Apel Romebeauty berkulit tebal, berwarna merah pudar bila terkena sinar matahari dan tetap hijau bila terlindungi. Lakukan pada pangkal buah agak dalam, sedangkan lekukan di ujung buah melebar dan dangkal. Bentuk bekas kelopak bunga yang menempel di ujung buah mendatar dengan ujung terarah kelima arah.Dalam 100 gram apel Romebeauty terkandung pektin dalam bentuk kalsium pektat sebesar 0.56 gram (Estiasih dan Hapsari, 2015). Kacang hijau (Phaseolus radiatus L) merupakan salah satu bahan pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas selain beras. Karena tergolong tinggi penggunaannya dalam masyarakat maka kacang hijau memiliki tingkat kebutuhan yang cukup tinggi. Dengan teknik budidaya dan penanaman yang relatif mudah budidaya tanaman kacang hijau memiliki prospek yang baik untuk menjadi peluang usaha bidang agrobisnis. Saat ini permintaan pasar terhadap kacang hijau terus mengalami peningkatan sedangkan produksi di dalam negeri masih rendah. Sebagian besar kebutuhan kacang hijau domestik untuk pakan atau industri pakan dan sebagian lainnya untuk pangan, dan kebutuhan industri lainnya. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, produksi kacang hijau nasional juga berpeluang besar untuk memasok sebagian pasar kacang hijau dunia sehingga dapat menambah devisa negara. Dibanding dengan tanaman kacang-kacangan lainnya, kacang hijau memiliki kelebihan dari segi agronomi dan ekonomis, seperti: (a) lebih tahan kekeringan, (b) serangan hama dan penyakit lebih sedikit, (c) dapat dipanen pada umur 55-60 hari, (d) dapat ditanam pada tanah yang kurang subur, dan (e) cara budidayanya mudah Oleh karena itu, sangat penting bagi mahasiswa dan petani untuk dapat mengetahui teknik budidaya kacang hijau baik secara teori maupun aplikasi dan prakteknya secara langsung di lapangan sehingga dapat melakukan tehnik budidaya yang baik dilapangan (Siregar dkk, 2014).
Buah apel potong mempunyai keterbatasan karena karakteristik buah apel yang sangat mudah mengalami perubahan warna menjadi coklat
akibat
oksidasi
setelah
mengalami
proses
pemotongan.
Browning/pencoklatan ini memiliki pengaruh yang besar terhadap nilai jual karena mengurangi penampilannya. Pencoklatan ini dapat dicegah dengan metode kimia dan fisik, termasuk pengurangan suhu dan oksigen, penggunaan modifikasi atmosfer kemasan dan penerapan anti browning yang bertindak untuk menghambat enzim. Pencoklatan secara enzimatik dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh enzim fenol oksidase. Pada penelitian Larutan asam askorbat dengan konsentrasi 1% dan 3% serta lidah buaya dengan konsentrasi 5% dan 10% digunakan sebagai larutan anti pencoklatan pada buah apel malang. Sampel buah apel malang potong direndam di larutan asam askorbat dan lidah buaya selama 2 menit dan selanjutnya disimpan di suhu 5ºC. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pencelupan pada larutan anti browning dapat mempertahankan kecerahan apel potong selama penyimpanan dan dapat menghambat oksidasi polyphenol oxidase (PPO) yang ditunjukkan dengan nilai Browning Index. Larutan asam askorbat lebih efektif mencegah pencoklatan dibandingkan dengan lidah buaya. Untuk larutan asam askorbat, konsentrasi 3% lebih efektif mencegah pencoklatan dibandingkan dengan 1% (Effendi dan Purwanto, 2015). Kedelai putih (Glycine max (L.) Merill) dan kacang hijau (Phaseolus radiatus) merupakan tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan karena kandungan protein dan karbohidratnya yang sangat tinggi. Protein dan karbohidrat juga diperlukan oleh biji dalam proses perkecambahannya. Saat berkecambah, karbohidrat dalam biji dalam bentuk amilum diurai menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan enzim α-amilase. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi proses perkecambahan biji adalah medan magnet. Medan magnet diketahui dapat mempercepat proses perkecambahan dan sintesis protein serta aktivitasnya di dalam sel namun responnya untuk setiap
tanaman berbeda-beda. Nilai aktivitas enzim α-amilase yang naik turun ini diduga karena proses perkecambahan yang tidak sama antara 1 biji dengan biji lainnya dan juga karena kandungan nutrisi awal, terutama banyak amilum dan protein terlarut, tidak sama pada masing-masing biji sehingga kerja enzim α-amilase yang terjadi dalam setiap biji tidak sama. Terdapat korelasi antara peningkatan aktivitas enzim α-amilase dengan penurunan konsentrasi protein terlarut dalam tiap setiap perlakuan. Perbedaan konsentrasi protein terlarut dalam ekstrak enzim yang didapat diduga
berasal
dari
kadar
protein
awal
kecambah
(Darmayanti dkk, 2014). Dalam mengonsumsi apel, baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk produk olahan, sering kali kulit tidak ikut dikonsumsi. Kulit apel menjadi produk buangan dalam jumlah besar pada pembuatan apel kaleng dan jus apel. Hanya di negara bagian New York saja, pada tahun 2000, dalam pembuatan apel kaleng dan jus apel, sebanyak 16 juta pound kulit apel dibuang yang berasal dari 216 juta pound apel. Kulit apel mengandung senyawaan fenolik yang lebih besar dibandingkan dengan daging buah apel (Wolfe, 2003). Buah pisang mempunyai kandungan gizi yang baik, antara lain menyediakan energi yang cukup tinggi dibandingkan dengan buahbuahan yang lain. Pisang kaya mineral seperti kalium, magnesium, besi, fosfor dan kalsium, juga mengandung vitamin B, B6 dan C serta serotonin yang aktif sebagai neutransmitter dalam kelancaran fungsi otak. Nilai energi pisang rata-rata 136 kalori untuk setiap 100 g. Pisang memiliki kandungan pektin sebesar 0,94% (Irfan, 2011). Pektin merupakan senyawa polisakarida yang bisa larut dalam air dan membentuk cairan kental (jelly) yang disebut mucilage atau mucilagines. Pektin berkaitan erat dengan tejadinya kerenyahan karena dapat membentuk ikatan menyilang antara ion divalen kalsium dengan polimer senyawa pektin yang bermuatan negatif pada gugus karbonil asam galakturonat, Bila ikatan menyilang ini terjadi dalam jumlah yang cukup
besar, maka akan terjadi jaringan molekul yang melebar dan adanya jaringan tersebut akan mengurangi daya larut senyawa pektin dan semakin kokoh dari pengaruh mekanis (Suprapto, 2006). Pisang merupakan buah yang sering dikonsumsi dibandingkan dengan buah yang lain dan dikonsumsi tanpa memperhatikan tingkat sosial. Selain karena mudah didapat dan harganya terjangkau, buah pisang juga sejak lama dikenal sebagai buah yang lezat dan berkhasiat bagi kesehatan. Kemudahannya untuk dikonsumsi menjadikan nilai tambah tersendiri produk ini untuk pola masyarakat modern saat ini. Pisang diketahui mengandung gizi tinggi dan sebagai sumber vitamin, mineral dan juga karbohidrat. Kandungan nutrisi lainnya seperti serat dan vitamin dalam buah pisang seperti vitamin A, B, dan C, dapat membantu memperlancar sistem metabolisme tubuh, meningkatkan daya tahan tubuh dari radikal bebas. Serta menjaga kondisi tetap kenyang dalam waktu lama (Pary dkk, 2016). Natrium bisulfit yang bertujuan untuk menghambat reaksi pencoklatan, sebagai anti mikroba, memperpanjang masa simpan bahan pangan sebagai pengawet. Natrium bisulfit adalah bahan sulfitasi yang tidak karsinogenik dan telah mendapat predikat GRAS (Generally Recognized As Save) dari Food and Drug Administration (FDA). Bahan pengawet ini aman untuk digunakan pada bahan pangan sesuai dengan batas konsentrasi maksimal yang diizinkan yaitu 3000 ppm. Natrium bisulfit dapat mencegah reaksi antara gugus karbonil pada aldehid, keton dan gula pereduksi membentuk asam hidrosulfonat, sehingga gugus aldehid tidak mempunyai kesempatan bereaksi dengan asam amino (Kumalaningsih, 2011).
C. Metodologi 1. Alat a. Beaker Glass b. Kertas Filter c. Mortar d. Pemanas air e. Pengaduk f.
Pipet Tetes
g. Pipet volume h. Pisau i.
Propipet
j.
Rak tabung reaksi
k. Stopwatch l.
Tabung reaksi
m. Timbangan analitik 2. Bahan a. Aquades b. Biji kacang hijau kering c. Biji kacang hijau rendam 12 jam 5g d. Buah apel segar e. Buah pisang segar f. Kecambah kacang hijau 12 jam 5g g. Kecambah kacang hijau 24 jam 5g h. Larutan Na-Bisulfit (NaHSO3) 0,8% i. Larutan asam askorbat (vitamin C) 0,5% j. Larutan gula pasir (sukrosa)5% k. Larutan iod encer l. Lartan NaCL 0,1 M 50ml m. Larutan pati 4% (DE:15-20) 1 ml
3. Cara Kerja a. Isolasi enzim amilase kecambah biji 5 gr biji kacang hijau kering, kecambah direndam 12 jam, kecambah direndam 24 jam Penghancuran
50 ml larutan NaCl 0,1
Penambahan
M Pembiaran campuran selama 15 menit
Pengadukan campuran dengan kertas filter
Filtrat yang diperoleh merupakan larutan enzim kasar Gambar 4.1 Cara kerja Enzim Amilase Kecambah Biji
b. Uji Aktivitas Amilase Secara Kualitatif Larutan pati 4% Penggunaan
0,5 ml larutan enzim,
5 tetes larutan iod
Penambahan 1 ml substrat yang sudah dibuat
Pengamatan aktivitas amilase
Penginkubasian pada suhu kamar selama 60 menit dengan pengamatan setiap 10 menit Gambar 4.2 Cara Kerja Uji Aktivitas Amilase Secara Kualitatif
c. Reaksi Pencoklatan Enzim 1 buah pisang dan 1 buah apel Pemotongan masing-masing menjadi 6 potong
Larutan vitamin C 0,5%
Perendaman 1 potong pisang dan apel selama 30 detik
Larutan NaHSO3 0,8%
Perendaman 1 potong pisang dan apel selama 30 detik
Larutan gula (sukrosa) 5%
Perendaman 1 potong pisang dan apel selama 30 detik
Air mendidih
Perlakuan blanching 1 potong pisang dan apel selama 30 detik
Air mendidih
Perlakuan blanching 1 potong pisang dan apel selama 3 menit Pendiaman 1 potong pisang dan apel dalam suhu kamar Pencatatan dan pengamatan perubahan warna setiap 10 menit selama 60 menit
Gambar 4.3 Diagram Alir Reaksi Pencoklatan Enzim
D. Hasil dan Pembahasan Tabel 4.1 Hasil Pengamatan aktivitas amilase selama perkembangan biji kacang Sampel Kacang hijau kering Kacang hijau perendaman 12 jam Kecambah perendaman 12 jam Kecambah perendaman 24 jam
0’
10’
20’
+++
+++
+++
+++
+++
+++ +
+++
+++
+++
+++
+++
+++
Sumber: Laporan Sementara Keterangan : : biru pekat + : warna biru mulai memudar ++ : biru muda +++ : putih kebiruan ++++ : putih Amilase diklasifikasikan sebagai
Waktu 30’ 40’ +++ + +++ + +++ + +++ +
50’
++++
++++
++++
++++
++++
++++
++++
++++
saccharidase
(enzim
60’ +++ + +++ + +++ + +++ +
yang
memotong polisakarida). Amilase merupakan enzim pencernaan, terutama dilakukan oleh pankreas dan kelenjar ludah. Fungsi utama dari enzim amilase adalah untuk memecah pati dalam makanan sehingga mereka dapat digunakan oleh tubuh. Amilase juga disintesis dalam buah tanaman selama pematangan, menyebabkan buah menjadi lebih manis (Ariandi, 2016). Menurut Risnoyatiningsih (2013), enzim amilase merupakan enzim yang berfungsi memecah pati atau glukogen. Senyawa ini banyak terdapat pada tanaman dan hewan. Amilase dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan enzim yaitu, α-amilase yang memecah pati secara acak dari tengah atau dari bagian dalam molekul, sehingga disebut endoamilase. β-amilase yang menghidrolisis unit-unit gula dari ujung molekul pati, sehingga disebut ekomilase. Glukoamilase yang dapat memisahkan glukosa dari terminal gula non-preduksi substrat pati. Enzim amilase banyak digunakan dalam industri. Hal ini digunakan dalam industri pembuatan dan fermentasi bir untuk konversi pati menjadi gula
terfermentasi. Pada industri tekstil, amilase digunakan untuk merancang tekstil, kemudian pada industri deterjen, amilase tercampur dengan enzim protease dan lipase sebagai pencuci noda pakaian dan dalam industri makanan digunakan untuk pembuatan sirup manis, untuk meningkatkan konten diastase tepung, untuk modifikasi makanan bayi, dan menghilangkan pati dalam produksi jelly (Ariandi, 2015). Enzim amilase dapat diklasifikasikan sesuai dengan cara memotong ikatan glysosidic. Alpha-amilase menghidrolisis alpha 1,4-glikosidik, secara acak menghasilkan dekstrin, oligosakarida dan monosakarida. Alpha-amilase adalah endo-amilase. Exoamylases menghidrolisis alpha 1,4-glikosidik linkage hanya dari non-pereduksi ujung rantai polisakarida luar. Exoamylases termasuk beta-amilase dan glucoamylases (gamma-amilase, amyloglucosidases) (Aiyer, 2005). Mekanisme kerja enzim α-amilase terdiri dari dua tahap, yaitu : tahap pertama degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degadasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas dengan cepat. Tahap kedua terjadi pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan tidak acak. Keduanya merupakan kerja enzim α-amilase pada molekul amilosa. Pada molekul amilopektin kerja α-amilase akan menghasilkan glukosa, maltosa dan satu seri α-limit dekstrin, serta oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih glukosa yang mengandung ikatan α-1,6-glikosidik (Winarno, 2010) Penambahan
Iod
pada
praktikum
adalah
sebagai
penanda
terhidrolisisnya larutan pati. Apabila iod membentuk warna biru maka menandakan bahwa enzim menghidrolisis pati menjadi gula sederhana, warna biru ini terbentuk akibat reaksi dari amilum dengan iodium. Penambahan NaCl 0,1 N adalah untuk mengeluarkan enzim yang terdapat pada kacang. Dilakukan penambahan larutan pati karena enzim amilosa berfungsi menghidrolisis pati menjadi maltosa (Naiola, 2008). Pada praktikum ini bertujuan untuk menguji aktivitas enzim amilase secara kualitatif. Sampel yang digunakan yaitu kacang hijau kering, kacang
hijau perendaman 12 jam, kecambah perendaman 12 jam, dan kecambah perendaman 24 jam. Sebelum menguji aktivitas enzim amilase, dilakukan isolasi amilase pada kecambah biji. Mula-mula sampel ditimbang sebanyak 5 gram, kemudian dihancurkan untuk mempermudah hidrolisa, setelah itu ditambah NaCl untuk memicu aktivitas enzim amilase dapat bekerja. Campuran dibiarkan 15 menit dan disaring dengan kertas filter. Filtrat yang diperoleh merupakan larutan enzim kasar. Setelah itu baru dilakukan pengaman aktivitas enzim amilase dengan penambahan amilum 1 ml dan larutan iod 5 tetes. Aktivitas enzim amilase diamati selama 60 menit setiap 10 menit. Adanya aktivitas enzim amilase dapat diketahui dengan perubahan warna dari biru pekat menjadi putih. Pada Tabel 4.1 pengamatan aktivitas amilase selama perkecambahan biji kacang, didapat hasil yang beragam dari setiap sampel dan dari perlakuan wakru yang berbeda-beda. Pada sampel kacang hijau kering hasil analisa sebelum diinkubasi (menit ke-0) mulai terjadi perubahan warna menjadi putih kebiruan, pada menit ke-10 warna putih kebiruan sampai menit ke-20. Sedangkan pada menit ke 30 sampai menit ke 60 warna sudah menjadi putih. Pada perlakuan kacang hijau perendaman 12 jam, sebelum diinkubasi (menit ke-0) terjadi warna menjadi putih kebiruan, pada menit ke-10 warna putih kebiruan. Pada menit ke-20 sampai 60 warna menjadi putih. Pada sampel kecambah perendaman 12 jam pada menit ke-0 warna putih kebiruan dan pada menit ke-10 sampai 20 warna putih kebiruan. Pada waktu menit ke 30 sampai 60 warna menjadi putih. Sedangkan untuk sampel kecambah perendaman 24 jam menit ke-0 warna menjadi putih kebiruan sampai menit 20, sedangkan untuk menit ke-30 sampai 60 warna menjadi putih. Diketahui keempat sampel mula-mula berwarna putih kebiruan, saat menit ke-20 kacang hijau perendaman 12 jam menunjukkan aktivitas enzim amilase dengan perubahan warna menjadi putih. Sedangkan ketiga sampel yang lainnya, yaitu kacang hijau kering, kecambah perendaman 12 jam, dan kecambah perendaman 24 jam baru menunjukkan perubahan warna pada menit ke-30. Berdasarkan teori seharusnya yang menunjukkan aktivitas enzim amilase
dengan maksimal secara berurutan dari yang paling baik adalah kecambah perendaman 24 jam, kecambah perendaman 12 jam, kacang hijau perendaman 12 jam, terakhir kacang hijau kering, dimana seharusnya kecambah perendaman 24 jam dan kecambah perendaman 12 jam berubah warna dari biru menjadi putih, dan kacang hijau perendaman 12 jam dan kacang hijau kering berubah warna dari putih kebiruan menjadi putih. Tetapi pada praktikum keempat sampel menunjukkan hasil yang sama, yaitu dari putih kebiruan menjadi putih. Kesalahan ini bisa terjadi karena kualitas kecambah yang kurang bagus. Hal ini belum sesuai menurut teori Suarni (2007) bahwa kecambah biji mempunyai aktivitas enzim amylase yang lebih tinggi karena adanya aktivitas enzim giberelik dalam biji yang sedang berkecambah. Aktivitas enzim mulai menunjukkan penaikan setelah dilakukan perendaman dan perkecambahan. Tabel 4.2 Hasil Pengamatan Pengaruh perlakuan yang berbeda terhadap reaksi pencoklatan enzimatis Samp el
Apel
Pisan g
Wakt u (Meni t)
Kontr ol
Nabisulfit 0,8%
Perlakuan Lar. Asam Gula Askorb 5% at 0,5%
Blanchi Blanchin ng 30 g 3mnt dtk
0 10 20 30 40 50 60 0 10 20 30 40 50 60
+ + ++ ++ ++ ++ + + ++ ++ ++
-
+ + + + ++ ++ -
+ + + + ++ ++ -
Sumber : Laporan Sementara Keterangan : -
= Tidak Coklat
+
= Agak Coklat
-
+ + + + + + -
++
= Coklat
+++
= Sangat Coklat Browning atau yang dikenal dengan reaksi pencoklatan merupakan
reaksi enzimatis yang terjadi pada buah-buahan seperti pir, pisang, anggur, dan apel serta pada sayur-sayuran seperti terong, jamur, dan kentang. Fenomena yang terjadi pada sayuran dan buah-buahan tersebut mengalami kerusakan secara mekanik sehingga menghasilkan pigmen berwarna coklat (Muniarti dkk, 2014). Reaksi pencoklatan nonenzimatik belum diketahui atau dimengerti penuh. Tetapi pada umumnya ada tiga macam teaksi pencoklatan nonenzimatik yaitu karamelisasi, reaksi Maillard, dan pencoklatan akibat vitamin C. Proses yang pertama adalah karamelisasi. Bila suatu larutan sukrosa diuapkan maka konsennetrasinya akan meningkat, demikian juga titik didihnya. Keadaan ini akan terus berlangsung sehingga seluruh air menguap semua. Bila keadaan tersebut telah tercapai dan pemanasan diteruskan, maka cairan yang ada bukan lagi terdiri dari air tetapi cairan sukrosa yang lebur. Titik lebur sukrosa adalah 1600°C. Bila gula yang telah mencair tersebut dipanaskan terus sehingga suhunya melampaui titik leburnya, misalnya pada suhu 1700°C, maka mulailah terjadi karamelisasi sukrosa (Winarno, 2004). Proses yang kedua yaitu reaksi Maillard. Reaksi Maillard berlangsung melalui tahap-tahap sebagai berikut: (1) suatu aldosa bereaksi bolak balik dengan asam amino atau dengan suatu gugus amino dari protein sehingga menghasilkan basa Schiff. (2) perubahan terjadi menurut reaksi Amadori sehingga menjadi amino kerosa. (3) dehidrasi dari hasil reaksi Amadori membentuk turunan-turunan fulfuraldehida, misalnya dari heksisa diperoleh
hidroksimetol
furfural.
(4)
proses
dehidrasi
selanjutnya
menghasilkan hasil antara metil α-dikarboksil yang diikuti penguraian menghasilkan reduktor-reduktor dan α-dikarboksil seperti metilglioksal, asetol, dan diasetil. (5) aldehida-aldehida aktif dari 3 dan 4 terpolimerisasi tanpa mengikutsertakan gugus amino (hal ini disebut kondensasi aldol) atau
dengan gugusan amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin (Winarno, 2004). Reaksi yang ketiga adalah pencoklatan akibat vitamin C. Vitamin C (asam askorbat) merupakan suatu senyawa reduktor dan juga dapat bertindak sebagai precursor untuk pembentukan awarna coklat nonenzimatik. Asamasam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk suatu senyawa diketogulonat, dan kemudian berlangsunglah reaksi Maillard dan proses pencoklatan (Winarno, 2004). Pencoklatan enzimatik buah adalah hal yang diketahui fenomena yang disebabkan oleh oksidasi senyawa fenolik menjadi quinones. Ini reaksi terutama dikatalisasi oleh polifenol oxidase (PPO, EC 1. 14. 18. 1) di hadapannya oksigen dan memberi naik ke pigmentasi coklat. Mekanismenya Polifenol oksidase (PPO) EC 1.14.18.1 adalah suatu enzim yang termasuk pada golongan oksidoreduktase yang mengkatalisis proses hidrosilasi senyawa monofenol menjadi senyawa difenol, kemudian dilanjutkan dengan mengkatalisis proses oksidasi difenol menjadi kuinon. Senyawa kuinon yang terbentuk sangat reaktif sehingga akan mengalami reaksi polimerisasi menghasilkan pigmen merah, coklat dan hitam yang disebut pigmen melanin. Aktifitas polifenol oksidase ditentukan dari laju reaksi oksidasi substrat pirogalol dengan adanya polifenol oksidase yang membentuk produk berwarna coklat. Intensitas warna coklat ini diamati dengan spektrofotometer pada panjang 420 nm (Mardiah, 2011). Faktor-faktor
terpenting
yang
menentukan
laju
pencoklatan
enzimatis pada buah dan sayuran adalah kandungan PPO dan senyawasenyawa fenol, pH, temperatur dan ketersediaan O2 dalam jaringan. Pemahaman pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap pencoklatan enzimatis sangat diperlukan untuk pengendaliannya. Sampai saat ini, berbagai teknik dan mekanisme untuk pengendalian pencoklatan enzimatis pada buah dan sayuran potong segar telah banyak diteliti, dan secara teoritis teknik-teknik tersebut ditujukan untuk mengurangi satu atau lebih komponen utama yang
terlibat dalam reaksi pencoklatan enzimatis seperti O2, enzim, tembaga atau substrat (Mardiah, 2011). Penghambatan reaksi pencoklatan pada buah dilakukan dengan 5 macam perlakuan yaitu perendaman larutan Na bisulfit, larutan gula, larutan asam askorbat, blanching selama 30 detik dan 3 menit. Larutan gula mampu memberi stabilitas mikroorganisme pda suatu produk makanan jika diberikan pada konsetrasi yang cukup (di atas 70% padatan terlarut), sehingga gula dipakai sebagai salah satu kombinasi dari teknik pencegahan reaksi pencoklatan enzimatis (Qiang He, 2008). Cara mencegah pencoklatan pada bahan pangan dapat dilakukan dengan berbagai cara salah-satunya dengan penambahan atau perendaman dengan larutan sodium metabisulfit (Na2S2O5) yang dapat mencegah reaksi pencoklatan, hal tersebut karena pembentukan senyawa melanoidin. Natrium bisulfit bertujuan untuk menghambat reaksi pencoklatan, sebagai anti mikroba, memperpanjang umur simpan, bahan ini bersifat tidak karsinigenik. Selain itu perendaman atau penambahan vitamin C dalam bahan pangan juga dapat menghambat proses terjadinya reaksi pencoklatan, karena pada vitamin C terdapat anti oksidan (Ferdiansyah, 2015). Blancing yang dilakukan yaitu perendaman bahan ke dalam air mendidih selama 30 detik dan 3 menit. Blancing dapat menghambat proses pencoklatan enzimatis karena suhu yang tinggi dapat membuat enzim polifenol oksidase mati karena suhu optimal enzim polifenol oksidase yaitu sekitar 40oC, sedangkan suhu air mendidih yaitu 100oC. Oleh karena itu, enzim peliphenolase tidak dapat bekerja sehingga terjadi pengahambatan proses pencoklatan enzimatis (Javdani, 2013). Pada Tabel 4.2 yaitu Reaksi Pencoklatan digunakan sampel buah apel hijau dan pisang yang masing-masing dipotong menjadi 6 bagian. Masing-masing bagian diberi perlakuan yang berbeda yaitu dicelupkan dalam larutan Na bisulfit, larutan gula, asam askorbat (vitamin C), diblanching 30 detik, diblanching 3 menit dan didiamkan dalam ruangan terbuka (kontrol). Berdasarkan hasil praktikum buah apel hijau dan pisang yang dicelupkan
dalam larutan Na bisulfit dan asam askorbat tidak mengalami pencoklatan. Sedangkan sampel pada perlakuan dicelupkan larutan gula, blanching 30 detik, blanching 3 menit dan kontrol sampel semakin lama semakin coklat. Dari percobaan tersebut, urutan perlakuan yang paling efektif untuk menghambat reaksi pencoklatan enzimatis pada buah pisang dan apel adalah perlakuan dengan perenadaman larutan Na bisulfit 0,5%, perendaman dengan asam askorbat 0,5%, blanching 3 menit, perendaman dengan larutan gula 5%, blanching selama 30 detik, dan control. Hal ini telah sesuai Kanopa (2012) yang menyatakan bahwa perlakuan yang paling efektif dilakukan untuk menghambat reaksi pencoklatan enzimatis terhadap pisang dan apel adalah perlakuan dengan perendaman sampel didalam larutan Na bisulfit 0,5%. Hal ini dikarenakan larutan Na bisulfit bersifat antioksidan. Antioksidan adalah senyawa yang dapat mencegah oksidasi. Senyawa fenolik juga merupakan senyawa yang dapat mencegah oksidasi yang banyak terkandung dalam sayuran dan buah-buahan. Reaksi pencoklatan enzimatik pada buah dan sayuran dapat diatasi dengan menghinhibisi enzim PPO. Penginhibisi ini harus memperhatikan halhal yang dapat mempengaruhi rasa, keamanan dan nilai ekonomisnya. Caracara yang pernah dipakai untuk menginhibisi reaksi enzimatik ini antara lain dengan memanaskan, mengurangi kontak dengan oksigen serta penggunaan senyawasenyawa kimia (Mardiah, 2011). Penambahan asam-asam organik dapat menghambat browning enzimatik terutama disebabkan oleh efek turunnya pH akibat penambahan senyawa tersebut. Enzim fenolase dan polifenolase bekerja optimum pada pH 5 – 7. Di samping menurunkan pH, penambahan asam askorbat yang bersifat pereduksi kuat akan berfungsi sebagai antioksidan. Dengan penambahan asam askorbat, oksigen yang menjadi pemacu reaksi browning enzimatis dapat dieliminasi (Harianingsih, 2010). Asam sitrat juga dapat menghambat terjadinya pencoklatan karena dapat mengkompleks ion tembaga yang dalam hal ini berperan sebagai katalis dalam reaksi pencoklatan. (Winarno, 1997).
E. Kesimpulan Berdasarkan hasil praktikum Acara IV yaitu “Isolasi Enzim Amilase Dari Kecambah Biji dan Reaksi Pencoklatan Enzimatis” dapat disimpulkan bahwa: 1. Aktivitas enzim amilase akan lebih cepat atau akan mengalami kenaikan apabila setelah dilakukan perendaman dan perkecambahan. Semakin lama waktu perkecambahan kandungan enzim amilase didalamnha semakin tinggi. Enzim amilase dalam 12-18 jam perkecambahan (hari pertama) mencerna amilosa dan amilopektin pada pati kecambah. Hal tersebut menyebabkan aktivitas enzim α-amilase lebih besar. Berdasarkan praktikum urutan sampel yang kandungan enzim amilasenya tinggi ke rendah adalah kecambah perendaman 24 jam, kecambah perendaman 12 jam, kacang hijau perendaman 12 jam, dan yang terakhir kacang hijau kering. 2. Reaksi pencoklatan adalah reaksi yang mengubah warna buah dan bahan pangan lain menjadi coklat karena adanya pholifenolase. Pencegahan pencoklatan dapat dilakukan dengan berbagai cara, berdasarkan praktikum urutan yang paling baik adalah dalam Na bisulfit 0,8%, asam askorbat 0,5%, blanching 3 menit, larutan gula 5%, blanching 30 detik dan control. Perlakuan paling efektif adalah Na bisulfit karena dapat mencegah reaksi antara gugus karbonil pada aldehid, keton dan gula pereduksi membentuk asam hidrosulfonat, sehingga gugus aldehid tidak mempunyai kesempatan bereaksi dengan asam amino.
DAFTAR PUSTAKA Aiyer, Prasanna V. 2005. Review: Amylases and Their Applications. African Journal of Biotechnology. Vol. 4 (13), pp. 1525-1529. Ariandi. 2016. Pengenalan enzim amilase (alpha-amylase) dan reaksi enzimatisnya menghidrolisis amilosa pati menjadi glukosa. Jurnal Dinamika Vol. 07. No. 1. 74-82. ISSN 2087 – 7889. Bahri, Syaiful, Moh. Mirzan, Dan Moh. Hasan. 2012. Karakterisasi Enzim Amilase Dari Kecambah Biji Jagung Ketan (Zea Mays Ceratina L.). Jurnal Natural Science 1: 132-143. Darmayanti, Winda., Irawan Suntoro dan Herpratiwi. 2014. Isolasi dan karakterisasi aktivitas enzim α- amilase pada kecambah kedelai putih (Glycine max (L). Merill) dan kacang hijau (Phaseolus radiatus) DI bawah pengaruh medan magnet. Estiasih, Teti dan Marina Dohitra Yanuparinda Hapsari. 2015. Variasi proses dan grade apel (Malus sylvestris mill) pada pengolahan minuman sari buah apel: kajian pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 3 No 3 p.939-949 Ferdiansyah1, M. Khoiron., Endang Is Retnowati., Iffah Muflihati., dan Arief R. Affandi. 2015. Peningkatan derajat putih tepung umbi suweg (Amorpophalus oncophilus) dengan kombinasi proses blanching dan bleaching menggunakan larutan sodium metabisulfit. Program Studi Teknologi Pangan. Fakultas Teknik. Universitas PGRI Semarang. Harianingsih. 2010. Pemanfaatan Limbah Cangkang Kepiting menjadi Kitosan menjadi Bahan Pelapis (Coater) pada Buah Strawberry. Tesis Program Magister Teknik Kimia Universitas Diponegoro. Semarang. Husaini, Oktarina., Zulkifli, Martha L. Lande, dan E.Nurcahyani. 2017. Karakterisasi bahan anti browning dari ekstrak air buah jambu batu (Psidium guajava Linn) pada Buah Apel Malang (Malus sylvestris (L.) Mill). Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. Vol. 17 (2): 85-92 Javdani, Zahra, Mahmood Ghasemnezhad, and Somaye Zare. 2013. A Comparison of Heat Treatment and Ascorbic Acid on Controlling Enzymatic Browning of Fresh-Cuts Apple Fruit. International Journal of Agriculture and Crop Sciences. 5 (3): 186-193. Jeong, H. L., Jin, W. J., Kwang, D. M., dan Kee, J. P. 2008. Effects of antibrowning agents on polyphenoloxidase activity and total phenolics as related to browning of fresh-cut ‘fuji’ apple. ASEAN Food Journal. 15 (1): 79-87 Jiang Y. 2004. Advances in understanding of enzymatic browning in harvested litchi fruit. Food Chemistry. 88: 443–446. Jiang YM, Pen L and Li J (2004). Use of citric acid for shelf life and quality maintenance of fresh-cut Chinese water chestnut. Journal of Food Engineering. 63(3): 325–328. Kanopa, Iqra U., Lydia I., Momuat, dan Edi Suryanto. Aktivitas Antioksidan Tepung Pisang Goroho (Musa spp) yang Direndam dengan Beberapa Rempah-Rempah. Jurnal MIPA UNSRAT 1(1): 29-32.
Kumalaningsih, Sri., Harijono, Y. F. Amir. 2007. Pencegahan Pencoklatan Umbi Ubi Jalar (Ipomoea Batatas (L). Lam.) Untuk Pembuatan Tepung : Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Asam Askorbat Dan Sodium Acid Pyrophosphate. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 5 No. 1: 11 – 19. Mardiah, Elida. 2011. Mekanisme inhibisi enzim polifenol oksidase pada sari buah markisa dengan sistein dan asam askorbat. J Ris. Kim. Vol. 4, No. Mitcham, Elizabeth J., Elena de Castro., Diane M. Barrett., dan Jennifer Jobling. 2008. Biochemical factors associated with a CO2-induced flesh browning disorder of Pink Lady apples. Postharvest Biology and Technology. 48 (2008) 182–191 Murniati, Anceu., Buchari., Suryo Gandasasmita., Zeily Nurachman., dan Ockky Muhammad Ikbal. 2014. Aktivitas polifenol oksidase yang terkandung dalam terong (SOLANUM MELONGENA). Kartika Wijaya Kusuma. Vol.22 No. 2 Naiola, Elidar. 2008. Isolasi dan Seleksi Mikroba Amilolitik dari Makanan Fermentasi/Ragi Tapai Gambut Di Kalimantan Selatan. Berk. Penelitian Hayati 13: 109–114. Pary, Cornelia Dkk. 2016. Analisis Kandungan Gizi Limbah Kulit Pisang Kepok Sebagai Bahan Baku Kerupuk. Jurnal Biology Science And Education Vol. 5 No. 1: 112-123. Purwanto Yohanes Aris dan Ririn Noerianty Effendi. 2015. Penggunaan asam askorbat dan lidah buaya untuk menghambat pencoklatan pada buah potong apel malang. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol. 4 No. 2, p 203210. P-ISSN 2407-0475 E-ISSN 2338-8439 Qiang He, Yaguang Luo, and Pei Chen. 2008. Elucidation of the Mechanism of Enzymatic Browning Inhibition by Sodium Chlorite. Food Chemistry 110: 847-851. Risnoyatiningsih, Sri. 2011. Hidrolisis Pati Ubi Jalar Kuning Menjadi Glukosa Secara Enzimatis. Jurnal Teknik Kimia Vol.5, N0.2, April 2011. Setiasih, Siswati, Budiasih Wahyuntari, Trismillah, dan Dewi Apriliani. 2006. Karakteristik Enzim α-Amilase Ekstrasel dari Isolat Bakteri Termofil SW2. Jurnal Kimia Indonesia 1 (1). Jawa Barat. Siregar, Muhammad Anshar., Wan Arfiani Barus, dan Hadriman Khair. 2014. Respon pertumbuhan dan produksi kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) akibat penggunaan pupuk organik cair dan pupuk tsp. Agrium. Vol.19. No. 1. Suarni dan Rauf Patong. 2007. Potensi Kecambah Kacang Hijau Sebagai Sumber Enzim Α-Amilase. Indo. J. Chem., 2007, 7 (3), 332-336. Suarni, dan Rauf Patong. 2007. Potency of mung bean sprout as enzyme source (α-AMILASE). Indo. J. Chem. 7 (3), 332-336 Sukandar, Ukan , Achmad Ali Syamsuriputra, Lindawati, Dan Yadi Trusmiyadi. 2011. Sakarifikasi Pati Ubi Kayu Menggunakan Amilase Aspergilus Niger Itb Cc L74. Jurnal Teknik Kimia Indonesia Vol. 10 No. Suprapto, Hadi. 2006. Pemgaruh Perendaman Pisang Kepok (Musa acuminax balbisiana Calla) dalam Larutan Garam Terhadap Mutu Tepung yang Dihasilkan. Jurnal Teknologi Pertanian 1 (2) : 74-80. Samarinda.
Wardhani, Dyah Hesti., Ardha Eri Yuliana., dan Atiqoh Sabrina Dewi. 2016. Natrium metabisulfit sebagai anti-browning agent pada pencoklatan enzimatik rebung ori (Bambusa Arundinacea). Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 5 (4) 2016 Winarno, F.G. 1995. Kimia Pangan Dan Gizi. Gramedia: Jakarta Winaro, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka. Jakarta. Zusfahair dan Dian Riana Ningsih. 2012. Pembuatan Dekstrin Dari Pati Ubi Kayu Menggunakan Katalis Amilase Hasil Fraksinasi Dari Azospirillum Sp. Jg3. Jurnal Molekul 7 (1): 9 – 19.
LAMPIRAN
Gambar 4.4 Blanching
Gambar 4.7 Pisang Kontrol 0
Gambar 4.5 Apel Kontrol (0)
Gambar 4.8 Pisang Kontrol 0
Gambar 4.6 Larutan Gula 10 menit
Gambar 4.9 Na-Bisulfit 20