Acara 1.docx

  • Uploaded by: Kartika Keksi
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Acara 1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,152
  • Pages: 35
ACARA 1 KARBOHIDRAT A. Tujuan Praktikum Tujuan dari praktikum Acara I “Karbohidrat” adalah: 1. Mahasiswa mengetahui pengaruh asam dan alkali terhadap sukrosa. 2. Mahasiswa mengetahui pengaruh asam dan alkali terhadap glukosa. 3. Mahasiswa mengetahui pengaruh suhu terhadap gelatinisasi pati pada tepung tapioka dan maizena. B. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Teori Karbohidrat merupakan sumber energi utama dalam kehidupan mikroorganisme rumen dan ruminan itu sendiri. Jaringan tanaman merupakan bahan makanan utama ruminan yang rata-rata mengandung 75% karbohidrat. Sifat karbohidrat tersebut terutama dalam bentuk karbohidrat yang kompleks (selulose, hemiselulose dan yang serupa) disamping yang mudah larut (pati, gula dan yang sejenis). Pencernaan pati oleh ruminan berkisar antara 39-94% tergantung pada sumber dan prosesingnya (Parakkasi, 1999). Karbohidrat adalah komponen bahan pangan yang tersusun oleh 3 unsur utama, yaitu karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O). Susunan atom-atom tersebut dan ikatannya membedakan karbohidrat satu dengan yang lainnya, sehingga ada karbohidrat yang masuk kelompok struktur sederhana seperti monosakarida dan disakarida dan dengan struktur kompleks atau polisakarida seperti pati, glikogen, selulosa dan hemiselulosa. Analisis kualitatif karbohidrat umumnya didasarkan atas reaksi- reaksi warna yang dipengaruhi oleh produk-produk hasil penguraian gula dalam asam-asam kuat dengan berbagai senyawa organik, sifat mereduksi dari gugus karbonil dan sifat oksidasi dari gugusan hidroksil yang berdekatan. Reaksi dengan asam-asam kuat seperti asam sulfat, hidroklorat dan fosfat pada karbohidrat menghasilkan pembentukan produk terurai yang berwarna (Andarwulan dkk, 2011).

Karbohidrat terbagi menjadi tiga kelompok utama, gula, oligosakarida (rantai pendek karbohidrat) dan polisakarida. Gula meliputi (i) monosakarida, (ii) disakarida dan (iii) polisakarida (alkohol gula). Oligosakarida yang baik adalah malto-oligosakarida, terutama terjadi dari hidrolisis pati dan non glukan seperti raffinose dan stachyose (galactosides), Frukto dan galacto-oligosakarida oligosakarida lainnya. Polisakarida dapat dibagi menjadi Pati (1:4 dan 1:6 glucans) dan non-Pati polisakarida (NSPs), komponen utama polisakarida adalah polisakarida dinding sel tanaman seperti selulosa, hemiselulosa dan pektin (Chumming dan Stephen, 2007). Monosakarida tidak dapat dihidrolisis lebih jauh ke dalam bentuk karbohidrat yang lebih sederhana. Monosakarida adalah mudah diserap di usus. Semua tipe lain dari Karbohidrat seperti disakarida dan polisakarida tidak diserap secara langsung. Semua disakarida dan polisakarida pada akhirnya diubah menjadi monosakarida. Monosakarida penting dalam tubuh terutama glukosa, fruktosa dan galaktosa. Glukosa adalah karbohidrat paling penting dalam manusia tubuh (Paulsen dkk, 1968) .Glucose terbentuk dari hidrolisis karbohidrat kompleks termasuk pati, dekstrin. Glukosa ditemukan dalam darah dan menyediakan energi untuk tubuh. Glukosa juga terbentuk dari kerusakan glikogen dalam tubuh. Fruktosa adalah suatu mengurangi gula dan membentuk kristal osazon. Fruktosa adalah ditemukan dalam buah dan juga ditemukan dalam madu. Fruktosa bisa diperoleh dalam tubuh dengan aksi sucrase pada sukrosa. Galaktosa juga merupakan gula pereduksi dan membentuk batang kristal (Campbell dkk, 2010). Disakarida terdiri dari dua gula yang dihubungkan oleh a hubungan glikosidik. Hubungan glikosidik ini dibentuk oleh reaksi kondensasi yang terjadi antara keduanya unit gula, mengakibatkan hilangnya atom hidrogen dari satu monosakarida dan gugus hidroksil dari lain. Disakarida dipecah menjadi dua monosakarida, di usus kecil selama proses pencernaan (Fox dkk, 2002).

Sukrosa mengandung glukosa dan fruktosa. Sukrosa ditemukan di tebu. Sukrosa adalah gula tanpa pereduksi. Sukrosa rumusnya adalah C12H22O11. Sukrosa dihidrolisis oleh sucrase menjadi fruktosa dan glukosa. Tanaman membentuk sukrosa dan lainnya hewan tidak bisa membuat sukrosa. Secara alami ditemukan di tanaman. Pinus apel dan aprikot adalah sumber utama sukrosa. Sukrosa dihidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa. Terlalu banyak mengkonsumsi sukrosa memiliki efek buruk pada kesehatan seperti karies gigi. Pada karies gigi, bakteri mulut berubah gula menjadi asam yang menyerang enamel gigi. Lebih konsumsi sukrosa juga berhubungan dengan metabolisme sindrom seperti diabetes mellitus (Alexander dkk, 2004). Sebuah penelitian dilakukan pada tikus di mana tikus diberi makan mengandung dua sepertiga dari sukrosa, pada awalnya kadar trigliserida meningkat dan kemudian pada insulin resistensi dikembangkan (Fukuchi dkk, 2004). Di studi lain diberi makan diet kaya-sukrosa itu hipertrigliseridemia, hiperglikemia dan resistensi insulin (Lombardo dkk, 1996). Secara umum definisi karbohidrat adalah senyawa organik yang mengandung atom Karbon, Hidrogen dan Oksigen, dan pada umumnya unsur Hidrogen clan oksigen dalam komposisi menghasilkan H2O. Di dalam tubuh karbohidrat dapat dibentuk dari beberapa asam amino dan sebagian dari gliserol lemak. Akan tetapi sebagian besar karbohidrat diperoleh dari bahan makanan yang dikonsumsi sehari-hari, terutama sumber

bahan

makan

yang

berasal

dari

tumbuh-tumbuhan

(Sediaoetama, 1989). Sumber karbohidrat nabati dalam glikogen bentuk glikogen, hanya dijumpai pada otot dan hati dan karbohidrat dalam bentuk laktosa hanya dijumpai di dalam susu. Pada tumbuh-tumbuhan, karbohidrat di bentuk dari basil reaksi CO2 dan H2O melalui proses foto sintese di dalam sel-sel tumbuh-tumbuhan yang mengandung hijau daun (klorofil). Matahari merupakan sumber dari seluruh kehidupan, tanpa matahari tanda-tanda dari kehidupan tidak akan dijumpai (Sediaoetama, 1989).

Uji Benedict digunakan untuk mengidentifikasi karbohidrat melalui rekasi gula pereduksi. Larutan alakali dari tembaga direduksi oleh gula yang mengandung gugus aldehida atau keton bebas, dengan membentuk kupri oksida berwarna. Larutan Benedict mengandung kupri sulfat, natrium benzoat, dan natrium sitrat. Uji Benedict dilakukan pada suasana basa yang menyebabkan terjadinya transformasi isomerik. Pada suasana basa, reduksi ion Cu2- dari CuSO4 oleh gula pereduksi akan berlangsung dengan cepat dan membentuk Cu2O yang merupakan endapan warna merah bata (Bintang, 2010). Benedict tes, digunakan untuk mendeteksi disakarida, 2 ml larutan benedict dipindahkan ke 5 tetes larutan tes dalam tabung mendidih, dan panas diterapkan dalam penangas air selama 2-3 menit. Warna merah setelah pemanasan mengindikasikan adanya disakarida. Uji Iodine dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan pati. Warna biru-hitam mengidentifikasikan bahwa terdapat pati dalam sampel tersebut (Aladesida, 2013). Pati resisten dibagi menjadi empat golongan yaitu pati resisten tipe I merupakan pati yang secara fisik tidak dapat dicerna karena terjebak dalam matriks yang tidak dapat tercerna, pati resisten tipe II merupakan pati tidak tergelatinisasi, pati resisten tipe III adalah pati teretrogradasi, dan pati resisten tipe IVadalah pati yang mengalami modifikasi kimia (Haralampu, 2000). Pati resisten enzim amilase atau pati resisten tipe III terbentuk selama proses pengolahan dengan kandungan air tinggi melalui proses

pemasakan,

baking,

dan

autoclaving

(Tharanathan dan Tharanathan, 2001). Pati resisten tipe III adalah polimer pati yang mengalami retrogradasi terutama rantai amilosa, yang dihasilkan ketika pati didinginkan setelah proses gelatinisasi. Gelatinisasi terjadi ketika pati alami dipanaskan dengan kandungan air yang mencukupi. Selanjutnya, granula pati akan menyerap air kemudian mengembang, dan struktur kristalinnya terganggu (Copeland dkk, 2009). Proses gelatinisasi menyebabkan granula pati

semakin mengembang dan terjadi pelepasan amilosa. Jumlah amilosa yang terlarut dalam karbohidrat semakin banyak ketika suhu gelatinisasi semakin meningkat (Palav dan Seetharaman, 2006). Oksidasi mempunyai peranan penting dalam kimia dan analisis karbohidrat. Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah seperti larutan benedict dan fehling. Pati adalah poliglukosida berbobot molekul tinggi sebagai tempat menyimpan karbohidrat bagi tumbuh tumbuhan. Amilopektin, komponen pati yang larut air, berbeda dengan amilosa dalam hal rantai cabang poliglukosida yang dihubungkan dengan atom karbon. Pati selain dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat, digunakan dalam makanan sebagai zat pengental dan pen-jel. Penerapan utama pati di luar bidang pangan ialah sebagai zat perekat untuk memperbaiki

kekuatan

dan

mutu

penulisan

permukaan

kertas

(Pine, 1988). Gelatinisasi adalah suatu proses pemecahan bentuk kristalin granula pati, sehingga setiap lapisan permukaan molekulnya dapat menyerap air atau larut dan bereaksi dengan bahan lain, dan kondisinya tidak dapat kembali seperti semula. Beberapa manfaat gelatinisasi pada pati yaitu: (1) mampu meningkatkan penyerapan sejumlah air; (2) dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis (amilase) untuk memecah ikatan pati menjadi bentuk lebih sederhana yang mudah larut, dan (3) meningkatkan konversi dan kecernaan pakan. Suhu gelatinisasi pati merupakan sifat khas untuk masing-masing pati. Suhu gelatinisasi ini diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri pada waktu telah kehilangan sifat kristalnya (McCready, 1970 ). Selanjutnya dikatakan fase proses gelatinisasi diawali saat air secara perlahanlahan dan bolak balik berimbibisi ke dalam granula, kemudian granula mengembang dengan cepat dan akhirnya kehilangan sifat birefringence-nya dan bila suhu tetap naik maka molekulmolekul pati terdifusi keluar granula.

Mekanisme

pembentukan

gel

dimulai

jika

larutan

pati

dipanaskan. Butir-butir pati akan mengembang sehingga ikatan hidrogen pada unit amorphous akan rusak dan pada suhu tertentu granula akan pecah (Hodge dan Osman, 1976). Pati tergelatinisasi dengan adanya air dan membentuk struktur pasta pati, akan bercampur dengan granula pati yang belum tergelatinisasi (Hariyadi, 1984). Menurut Hariyadi (1984) bahwa pati tergelatinisasi dengan adanya air akan membentuk struktur pasta pati. Pasta pati tersebut akan bercampur dengan granula pati yang belum tergelatinisasi. Makin naiknya suhu gelatinisasi, maka konsentrasi pati tergelatinisasi makin naik sehingga pasta pati yang terbentuk makin tebal dan penghambatan panas makin kuat, akibatnya dibutuhkan energi yang lebih besar untuk digunakan dalam proses gelatinisasi. Pati merupakan komponen utama yang membentuk tekstur pada produk makanan semi-solid. Jenis pati yang berbeda akan memiliki sifat yang berbeda dalam pengolahan. Sifat-sifat ini dapat diaplikasikan pada pengolahan pangan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan gizi, teknologi pengolahan, fungsi, sensori dan estetika. Sifat thickening (mengentalkan) dan gelling (pembentuk gel) dari pati merupakan sifat yang penting dan dapat memberikan karakteristik sensori produk yang lebih baik. Sifat-sifat ini memiliki efek teknologi dan fungsi yang penting dalam proses, baik di tingkat industri maupun persiapan makanan di dapur (Imaningsih, 2012). Jumlah fraksi amilosa-amilopektin sangat berpengaruh pada profil gelatinisasi pati. Amilosa memiliki ukuran yang lebih kecil dengan struktur tidak bercabang. Sementara amilopektin merupakan molekul berukuran besar dengan struktur bercabang banyak dan membentuk double helix. Saat pati dipanaskan, beberapa double helix fraksi amilopektin merenggang dan terlepas saat ada ikatan hidrogen yang terputus. Jika suhu yang lebih tinggi diberikan, ikatan hidrogen akan semakin banyak yang terputus, menyebabkan air terserap masuk ke dalam granula pati. Pada proses ini, molekul amilosa terlepas ke fase air yang

menyelimuti granula, sehingga struktur dari granula pati menjadi lebih terbuka, dan lebih banyak air yang masuk ke dalam granula, menyebabkan granula membengkak dan volumenya meningkat. Molekul air kemudian membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil gula dari molekul amilosa dan amilopektin. Di bagian luar granula, jumlah air bebas menjadi berkurang, sedangkan jumlah amilosa yang terlepas meningkat. Molekul amilosa cenderung untuk meninggalkan granula karena strukturnya lebih pendek dan mudah larut. Mekanisme ini yang menjelaskan bahwa larutan pati yang dipanaskan akan lebih kental (Imaningsih, 2012). Jenis tepung yang berbeda memiliki distribusi pertikel yang berbeda. Ukuran partikel memegang peran penting dalam pembasahan tepung dan penyerapan air pada tepung. Makin besar ukuran partikel, maka luas permukaannya akan semakin kecil, sehingga air memerlukan waktu yang lebih lama untuk diabsorpsi ke dalam partikel pati. Sebaliknya, ukuran partikel lebih kecil akan meningkatkan laju hidrasi tepung (Imaningsih, 2012). Suhu gelatinisasi tiap-tiap pati berbeda dan merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran,bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Pada saat granula pati yang terdapat di dalam tepung mulai pecah, maka akan diperoleh suhu gelatinisasi pati dalam tepung umbi bengkuang. Semakin rendah suhu gelatinisasi, waktu gelatinisasi juga semakin pendek (Pudjihastuti dan Sumardiono, 2011). Menurut Matz (1984) gelatinisasi suhu berkisar antara 58,8-70. Pati kandungan amilopektinnya tingg akan membentuk gel yang tidak kaku Sedangkan pati yang kandungan amilopektinnya rendah akan emmebentuk gel kaku. Awal gelatinisasi bahan adalah di mana gelatinisasi mulai terjadi. Sedangkan waktu dan suhu granula pati pecah dihitung pada saat gelatinisasi sudah sempurna. Kadar amilosa suatu bahan pangan berpengaruh pada sifat amilografnya. Viskositas puncak

adalah kriteria yang digunakan untuk mengetahui kemampuan tepung atau pati dalam mempertahankan granula pati akibat proses pemanasan. Granula pati akan mengalami hidrolisis menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-asam organik, terutama asam laktat (Rasulu dkk, 2012) Pada saat pati tergelatinisasi, granula-granula pati mengembang secara maksimal. Proses mengembangnya granula pati ini disebabkan karena banyaknya air yang terserap ke dalam tiap granula pati. Granula pati yang mengembang tersebut menyebabkan swelling power menjadi meningkat. Namun jika ini berlangsung dengan suhu yang semakin tinggi, maka granula pati yang mengembang akan rusak, dan menyebabkan granula pati sulit untuk mengembang lagi karena kemampuan untuk menyerap air sudah maksimum. Suhu gelatinisasi pada tepung tapioka dengan bahan dasar ubi kayu yaitu 59-69°C (Pudjihastuti, 2010). Gelatinisasi adalah peristiwa perkembangan granuka pati sehingga granula pati tersebut tidak dapat kempabi pada kondisi semula. Pengembangan granula pati pada mulanya bersifat baik, tetapi juka pemanasan mencapai suhu tertentu, pengembangan granula pati menjadi bersufat tidak dapat balik dan akan terjadi perubahan struktur granula. Suhu pada saat granula pati membengkak dengan cepat dan mengalami perubahan yang bersifat tidak dapat balik disebut suhu gelatinisasi (Winarno, 1947). Bentuk granula merupakan ciri khas dari masing-masing pati. Perbedaan bentuk maupun ukuran granula ternyata hanya untuk mengidentifikasi macam umbi atau merupakan ciri khas dari masingmasing pati umbi. Tidak ada hubungan yang nyata antara gelatinisasi dengan ukuran granula pati, tetapi suhu gelatinisasi mempunyai hubungan dengan kekompakan granula, kadar amilosa dan amilopektin. Granula pati utuh tidak larut dalam air dingin. Granula pati dapat menyerap air dan membengkak tetapi tidak dapat kembali seperti semula. Air yang terserap dalam molekul menyebabkan granula mengembang. Pada proses

gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan hidrogen mempunyai peranan untuk mempertahankan struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Dengan demikian, semakin banyak jumlah gugus hidroksil dari molekul pati, maka kemampuan menyerap air semakin tinggi. Oleh karena itu, absorbsi air sangat berpengaruh terhadap viskositas (Richana, 2004). Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka energi panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi. Proses gelatinisasi pati menyebabkan perubahan viskositas larutan pati (Bastian, 2011). Pati resisten (RS) merupakan karbohidrat tidak tercerna dalam sistem pencernaan manusia sehingga berpengaruh positif bagi kesehatan tubuh. Pati resisten mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan serat pangan yaitu tidak mempunyai kecenderungan mengikat mineral, tidak menyebabkan flatulensi serta memberikan tekstur dan kenampakan yang lebih baik. Salah satu komoditas yang potensial dikembangkan menjadi pati resisten adalah beras. Sebelum penggunaan enzim granula pati harus digelatinisasi terlebih dahulu agar granula pati pecah dan enzim dapat terpenetrasi secara sempurna ke dalam granula. Kandungan fisikokimia dari produk meliputi kadar air 8,45%, kadar abu 3,19%, kadar pati

85,44%, kadar pati resisten 3,67%, suhu awal gelatinisasi 79,3oC, suhu gelatinisasi 89,6°C dan viskositas maksimum 1478 AU (Wulan, 2007). Pada saat pati tergelatinisasi, granula-granula pati mengembang secara maksimal. Proses mengembangnya granula pati ini disebabkan karena banyaknya air yang terserap ke dalam tiap granula pati. Granula pati yang mengembang tersebut menyebabkan swelling power menjadi meningkat. Namun jika ini berlangsung dengan suhu yang semakin tinggi, maka granula pati yang mengembang akan rusak, dan menyebabkan granula pati sulit untuk mengembang lagi karena kemampuan untuk menyerap air sudah maksimum. Suhu gelatinisasi pada tepung tapioka dengan bahan dasar ubi kayu yaitu 59-69oC (Pudjihastuti, 2010). Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka energi panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi. Proses gelatinisasi pati menyebabkan perubahan viskositas larutan pati (Bastian, 2011). Amilosa memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen atau mengalami retrogradasi. Semakin banyak amilosa pada pati akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan intramolekulnya. Sifat amilosa yang penting jika dibandingkan dengan amilopektin adalah amilosa lebih mudah keluar dari granula dan memiliki kemampuan untuk mudah berasosiasi dengan sesamanya. Tingginya

amilosa pada substitusi tepung tapioka akan menghasilkan tekstur yang tinggi karena dilihat dari bentuk rantai amilosa yang lurus atau terbuka maka amilosa memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga memungkinkan untuk lebih banyak menyerap atau mengikat air dan sifat binder yang dimiliki tepung tapioka akan mengurangi kerapuhan sehingga lebih halus (Lestari, 2008). Semakin kecil rasio pati terhadap air atau semakin sedikit air yang digunakan saat proses gelatinisasi menghasilkan kadar pati resisten yang semakin rendah. Sugiyono, dkk., (2009) menyatakan jumlah air yang lebih sedikit mengakibatkan tidak optimumnya amilosa yang lepas selama gelatinisasi sehingga amilosaamilosa dan amilosa - amilopektin yang mengalami reasosiasi saat retrogradasi lebih sedikit yang mengakibatkan kadar pati resisten menjadi lebih rendah. Parker dan Ring (2001) menyatakan bila pati dipanaskan dengan adanya air, suatu proses tidak dapat balik yang disebut gelatinisasi akan terjadi, pada keadaan tersebut ikatan hidrogen pati akan digantikan oleh ikatan pati dengan air. 2. Tinjauan Bahan Tapioka merupakan pati alami dari ubi kayu yang dikeringkan dan dihaluskan (Suprapti, 2005). Kusnandar (2010) menyatakan bahwa secara umum pati alami atau pati tak termodifi kasi memiliki kekurangan yang sering menghambat aplikasinya dalam proses pengolahan pangan. Karakteristik atau sifat-sifat pati dapat ditingkatkan dengan melakukan berbagai modifi kasi. Salah satu bentuk modifikasi pati adalah pati tinggi amilosa yang diperoleh melalui proses fraksinasi. Fraksinasi pati bertujuan untuk memisahkan komponen amilosa dan amilopektin dalam pati. Salah satu alternatif proses fraksinasi adalah dengan menggunakan pelarut air panas (hot-water soluble/HWS) dan senyawa pengompleks butanol (Mizukami dkk., 1999). Pati jagung atau yang biasa disebut tepung maizena merupakan bahan berharga untuk industri makanan, banyak digunakan sebagai pengental, pembentuk gel, bulking dan retensi air. Di India, jagung

menjadi makanan nomor tiga sebagai makanan paling penting setelah gandum dan padi. Permintaan jagung meningkat di India dengan mendirikan unit pengolahan makanan yang terlibat dalam pengolahan jagung. Atas dasar rasio amilosa dan amilopektin, jagung bisa dipisahkan menjadi normal, lilin dan amilosa tinggi. Pati jagung yang normal terdiri dari sekitar 75% berat bercabang amilopektin dan sekitar 25 wt% amilosa, yang linear atau sedikit bercabang. Pati butiran mengembang bila dipanaskan dalam air berlebih (Sandhu, 2007). Kelarutan pati yang semakin meningkat akibat pemanasan suspensi pati yang semakin tinggi disebabkan amilosa telah mengalami depolimerisasi. Suhu tinggi menyebabkan terjadinya depolimerisasi molekul pati (Yuliasih dkk., 2007). Hal tersebut menyebabkan molekul amilosa yang dihasilkan lebih sederhana, yaitu terdapat rantai lurus yang pendek sehingga sangat mudah larut dalam air. Amilosa merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus dan larut dalam afir (Ben dkk, 2007). Tapioka adalah pati yang diperoleh dari hasil ekstraksi ubi kayu, dimana pati itu terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan oleh air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan yang tidak terlarut disebut amilopektin. Tepung tapioka mengandung 17% amilosa dan 83% amilopektin. Perbandingan amilosa atau semakin tinggi kandungan amilopektinnya maka pati cenderung menyerap air lebih banyak (Tjokroadikoesoemo, 1986). Pereaksi benedict berupa larutan yang mengandung kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu++ dari kuprisulfat menjadi ion Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O. Adanya natrium karbonat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah. Endapan yang terbentuk dapat berwarna hijau, kuning atau merah bata. Warna endapan ini tergantung pada konsentrasi karbohidrat yang diperiksa. Tes Benedict, yang biasa digunakan sebagai uji aldehid. Tes ini dapat juga digunakan untuk

membedakan karbohidrat yang mengandung gugus reduksi dari yang tidak mengandung gugus reduksi. Reagen ini mengandung CuSO4, Natrium sitrat dan natrium karbonat dan didalam alkalin, larutan tersebut tidak

mengkatalisis

(Kibar, 2010).

reagen

benedict

menunjukkan

tes

positif

C. Metodologi 1. Alat a. Beaker glass b. Gelas benda c. Gelas preparat d. Mikroskop e. Penangas air f. Pengaduk kaca g. Penjepit kayu h. pH universal i. Pipet tetes j. Pipet volume k. Propipet l. Rak tabung reaksi m. Sendok n. Tabung reaksi o. Termometer p. Timbangan 2. Bahan a. Aquades b. HCL 0,1 N c. Larutan glukosa 0,1 M d. Larutan iodin e. Larutan sukrosa 5% f. NaHCO3 (kristal) g. NaOH 0,1 N h. Pereaksi Benedict i. Tepung beras j. Tepung maizena

3. Cara Kerja a.

Pengaruh Asam dan Alkali terhadap Sukrosa Sukrosa 2 ml 5%

Pemasukkan dalam 3 tabung reaksi

Penambahan HCl 0,1N 5 ml pada tabung 1

Penambahan NaOH 0,1N 5ml pada tabung 2

Penambahan aquades 5 ml pada tabung 3

Pemanasan sampai mendidih 3 menit (pemanasan I)

Pengamatan perubahan warnanya

NaHCO3 kristal

Penambahan pada tabung ke 1

Pemindahan 2 ml larutan pada 3 tabung reaksi

2 ml pereaksi benedict

Penambahan setiap tabung dan pemanasan selama 5 menit (pemanasan 2)

Pengamatan perubahan warna atau warna endapan Gambar 1.1 Diagram Alir Pengaruh Asam dan Alkali terhadap Sukrosa

b. Pengaruh Asam dan Alkali terhadap Glukosa 5 ml glukosa 0,1 N

Pemasukan dalam 3 tabung reaksi

Penambahan HCl 0,1 N sebanyak 2 ml pada tabung 1

Penambahan NaOH 0,1 N sebanyak 2 ml pada tabung 2

Penambahan aquades sebanyak 2 ml pada tabung 3

Pemanasan selama 3 menit

Pengamatan perubahan warna Gambar 1.2 Diagram Alir Pengaruh Asam dan Alkali terhadap Glukosa

c.

Gelatinisasi Pati 30 gr pati maizena dan30 gr pati tapioka tapioka tapioka Pemasukkan pada beaker glass

Aquades

1 tetes Larutan Iod 0,01 N

Pengolesan pada gelas benda dan Penambahan pada suhu kamar, 40°C, 50°C, 60°C, 65°C,70°C,75°C,80,85°C masing-masing sebanyak 100 ml Penambahan

Penutupan dengan gelas penutup

Pengamatan pada mikroskop perbesaran 10x10 Gambar 1.3 Diagram Alir Gelatinisasi Pati

D. Hasil dan Pembahasan Tabel 1.1 Hasil Pengamatan Pengaruh Asam dan Alkali Terhadap Sukrosa Kel.

Larutan

8,9

HCl 0,1 N

10,11

NaOH 0,1 N

12,13

Aquades

Pemanasan 1 Awal Akhir

Pemanasan 2 Awal Akhir Orange Endapan Merah Bata

Bening

Bening

Biru

Bening

Bening

Biru

Biru

Bening

Bening

Biru

Biru

Sumber: Laporan Sementara

Secara umum definisi karbohidrat adalah senyawa organik yang mengandung atom Karbon, Hidrogen dan Oksigen, dan pada umumnya unsur Hidrogen clan oksigen dalam komposisi menghasilkan H2O. Di dalam tubuh karbohidrat dapat dibentuk dari beberapa asam amino dan sebagian dari gliserol lemak. Akan tetapi sebagian besar karbohidrat diperoleh dari bahan makanan yang dikonsumsi sehari-hari, terutama sumber bahan makan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (Sediaoetama, 1989). Karbohidrat terbagi menjadi tiga kelompok utama berdasarkan jumlah

sederhana

penyusunnya,

gula,

oligosakarida

(rantai

pendek

karbohidrat) dan polisakarida. Gula meliputi (i) monosakarida, (ii) disakarida dan (iii) polisakarida (alkohol gula). Oligosakarida yang baik adalah maltooligosakarida, terutama terjadi dari hidrolisis pati dan non glukan seperti raffinose dan stachyose (galactosides), Frukto dan galacto-oligosakarida oligosakarida lainnya. Polisakarida dapat dibagi menjadi Pati (1:4 dan 1:6 glucans) dan non-Pati polisakarida (NSPs), komponen utama polisakarida adalah polisakarida dinding sel tanaman seperti selulosa, hemiselulosa dan pektin (Chumming and Stephen, 2007). Menurut Westman dkk, (2007), karbohidrat dibagi menjadi tiga golongan yaitu, monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Monosakarida adalah karbohidrat yang sederhana, tidak dapat dibagi lagi atau dipisahkan tanpa melepaskan sifat khasnya sebagai karbohidrat. Karbohidrat merupakan

senyawa karbohidrat yang paling sederhana karena molekulnya hanya terdiri dari beberapa atom C dan tidak dapat diuraikan dengan cara hidrolisis menjadi karbohidrat yang lain. Oligosakarida adalah karbohidrat yang tersusun dari 2-6 atom C, seperti glukosa, fruktosa dan galaktosa. Merupakan senyawa gabungan dari molekul-molekul monosakarida dan biasanya bersifat larut dalam air. Terbentuk dari banyak sakarida sebagai monomer Sedangkan polisakarida adalah karbohidrat yang tersusun lebih dari 10 atom C misalnya pati. Disakarida merupakan senyawa yang berisi dua gula sederhana yang dihubungkan oleh pembentukan asetal antara gugus aldehida atau gugus keton dengan gugus hidroksil. Disakarida mempunyai karakteristik seperti larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan praktis tak larut dalam eter dan pelarut organik non-polar. Disakarida terhidrolisis menghasilkan dua molekul monosakarida yang mungkin dapat sama atau berbeda, misal sukrosa (sakarosa atau gula tebu) terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa, dan laktosa terdiri dari molekul glukosa dan galaktosa (Westman dkk, 2007). Contoh dari disakarida adalah sukrosa yang terbentuk dari gabungan 1 molekul glukosa dan fruktosa, laktosa yang terbentuk dari gabungan 1 molekul glukosa dan galaktosa. Di dalam produk pangan sukrosa bisa berasal dari gula tebu yang merupakan pembentuk hambir 99% dari gula pasir atau gula meja yang biasa digunakan dalam sehari-hari seperti dalam pembuatan suatu produk makanan. Laktosa merupakan karbohidrat yang terdapat pada susus sapi dengan konsentrasi 6,8 gr/ 100 ml (Irawan, 2007). Uji benedict bertujuan untuk mengidentifikasi gula pereduksi pada karbohidrat. Merupakan uji umum untuk karbohidrat yang memiliki gugus aldehid atau keton bebas. Pada suaana yang sedikit basa, benedict mampu bekerja secara maksimal, dan tidak bekerja secara maksimal pada kondisi asam. Larutan Benedict mengandung kupri sulfat, natrium benzoat, dan natrium sitrat. Prinsip uji Benedict dilakukan pada suasana basa yang menyebabkan terjadinya transformasi isomerik. Reaksi uji benedict berdasarkan reduksi Cu2+ menjadi Cu+ oleh gugus aldehid atau keton bebas dalam suasana alkalis biasanya ditambahkan zat pengompleks seperti sitrat

atau tatrat untuk mencegah terjadinya pengendapan, CuCO3 uji positif ditandai dengan terbentuknya larutan hijau, merah, orange atau merah bata serta adanya endapan. Pada suasana basa, reduksi ion Cu2- dari CuSO4 oleh gula pereduksi akan berlangsung dengan cepat dan membentuk Cu2O (Bintang, 2010). Pada uji pengaruh asam dan alkali

terhadap sukrosa perlu

panambahan NaHCO3. Penambahan NaHCO3 pada larutan bertujuan untuk memberikan suasana sedikit basa, karena NaHCO3 yang bersifat basa. Pada pereaksi Benedict tidak dapat bekerja secara maksimal pada asam dan dapat bekerja secara maksimal pada kondisi sedikit basa. Pereaksi Benedict tidak dapat bekerja dengan baik pada kondisi asam, oleh karena itu perlu penambahan NaHCO3 (Kibar, 2010). Sukrosa termasuk disakarida yang disusun oleh glukosa dan fruktosa. Gula ini banyak terdapat dalam tanaman. Sukrosa terdapat dalam gula tebu dan gula bit. Dalam kehidupan sehari-hari sukrosa dikenal dengan gula pasir. Sukrosa tersusun oleh molekul glukosa dan fruktosa yang dihubungkan oleh ikatan 1,2 –α. Sukrosa dibentuk oleh banyak tanaman, tetapi tidak terdapat pada hewan tingkat tinggi. Berlawanan dengan laktosa dan maltosa, sukrosa tidak mengandung atom karbon anomer bebas, karena karbon anomer kedua komponen unit monosakarida pada sukrosa berikatan satu dengan yang lain, karena alasan inilah sukrosa bukan merupakan gula pereduksi (Lehninger, 1982). Menurut Olanbiwoninu dan Odunfa (2012), sukrosa bukan merupakan gula pereduksi karena sukrosa tidak memiliki gugus aldehida atau keton bebas. Gula yang memiliki aldehid dan keton bebas diketahui sebagai gula pereduksi dan semua monosakarida adalah gula pereduksi. Ketika dua atau lebih monosakarida diikat bersama melalui grup aldehid dan ketonnya maka grup reduksi ini tidak bebas dan bukan gula pereduksi. Pengaruh asam alkali terhadap sukrosa berbeda-beda. Pada kondisi alkalis, karena sukrosa termasuk disakarida maka akan relatif stabil. Sedangkan pada kondisi asam disakarida tidak akan stabil, yang akan

mengalami hidrolisis atau mengalami dokomposisi dimana berubahnya bentuk molekul menjadi molekul lain yang lebih sederhana. Hal tersebut dikarenakan oleh rantai-rantai atom C yang berikatan mengalami pemutusan karena bereaksi dengan senyawa asam. Pada sukrosa akan mengalami hidrolisis pada uji benedict yang terjadi pemecahan menjadi glukosa dan fruktosa yang dimana termasuk gula pereduksi (Hakiki, 2010). Pada Tabel 1.1 adalah hasil pengamatan pengaruh asam dan alkali terhadap sukrosa. Pada praktikum kali ini digunakan tiga larutan yaitu HCl 0,1 N dan NaOH 0,1 N dan aquades. Masing-masing sampel dilakukan pemanasan dua kali, pada pemanasan kedua semua sampel diuji dengan benedict dan untuk HCl 0,1 N ditambah NaHCO3. Pada sukrosa yang ditambah HCl 0,1 N didapatkan hasil pada pemanasan pertama awal bening dan akhir tetap bening, sedangkan pada pemanasan kedua dari biru menjadi orange dan terdapat endapan merah bata. Pada sampel dengan penambahan NaOH 0,1N didapatkan hasil pemanasan pertama bening dan akhir tetap bening, pada pemanasan kedua dari biru menjadi biru. Pada larutan yang ditambah aquades pada pemanasan pertama dari bening tetap bening, pada pemanasan kedua dari warna biru menjadi tetap biru. Pada sampel dengan HCl terdapat perubahan warna menjadi orange dan ada endapan merah bata yang berarti terdapat kandungan gula pereduksi akibat asam yang menghidrolisisi sukrosa menjadi gula penyusunnya. Hal ini sudah sesuai dengan teori Wulan (2007), bahwa sukrosa suasana asam akan tidak stabil dan akan terhidrolisis menjadi monosakarida penyusunnya. Tabel 1.2 Pengaruh Asam dan Alkali terhadap Glukosa Kel.

Larutan

Pemanasan Awal

Akhir

8,9

HCl 0,1N 2 ml

Bening

Bening

10,11 12,13

NaOH 0,1N 2 ml Aquades 2 ml

Bening Bening

Kuning Bening Bening

Sumber: Laporan Sementara

Monosakarida adalah suatu molekul yang dapat terdiri dari lima atau enam atom C. Karakteristik dari monosakarida adalah tidak terhidrolosis menjadi gula yang lebih sederhana lagi, tetapi monosakarida merupakan hasil hidrolisis dari jenis karbohidrat yang lain. Monosakarida adalah senyawa tak berwarna dan kebanyakan mempunyai rasa manis dan berbentuk kristal. Sifat monosakarida yang lain yaitu, kristal padat yang bebas larut di dalam air, tidak larut dalam pelarut nonpolar, berasa manis, diserap langsung oleh alat pencernaan, mempunyai rumus empiris (CH2O)n, dimana n = 3 – 8. Jumlah atom C: triosa, tetrosa, pentosa dan heksosa, perbedaan struktur menyebabkan sifat spesifik. Contoh dari monosakarida adalah glukosa (dextrosa), fruktosa (levulosa), galaktosa, xylosa dan ribosa (Dewi, 2004). Pada pengaruh asam alkali terhadap glokosa berbeda. Glukosa termasuk contoh dari monosakarida. Molekul monosakarida akan relatif stabil pada kondisi asam. Tetapi sebaliknya pada kondisi alkalis, monosakarida tidak akan stabil dan mengalami dekomposisi atau berubahnya molekul menjadi molekul lain yang lebih sederhana dan menghasilkan pencoklatan non enzimatis bila dipanaskan dalam suasana alkalis (Wulan, 2007). Berdasarkan Tabel 1.2 Pengaruh Asam dan Alkali terhadap Glukosa pada tabung pertama sampel glukosa diberi penambahan HCl 0,1N sebanyak 2 ml, tabung kedua dengan penambahan NaOH 0,1N, dan tabung ketiga dengan penambahan aquades sebanyak 5 ml, diketahui warna sebelum pemanasan ketiga tabung adalah bening dan setelah pemanasan tabung pertama tetap bening, tabung kedua terjadi perubahan menjadi kuning bening, dan tabung ketiga tidak terjadi perubahan. Pada tabung kedua yaitu dengan penambahan NaOH 0,1N terjadi perubahan warna menjadi kuning bening yang berarti terjadi dekomposisi glukosa oleh basa. Hal ini sudah sesuai dengan teori dari Wulan (2007), bahwa monosakarida akan terjadi dekomposisi pada suasana basa, dan suasan asam akan stabil.

Tabel 1.3 Pengamatan Gelatinisasi Kel.

Sampel

8,9,10

Pati tapioca (suhu kamar)

Gambar

Keterangan Bentuk: bulat Ukuran: sangat kecil Kerapatan: sangat rapat Kondisi: tidak pecah

Perbesaran 10 x 10 8,9,10 Pati tapioka (suhu 40°C)

Bentuk: bulat Ukuran: kecil Kerapatan: rapat Kondisi: belum pecah/ stabil

Perbesaran 10 x 10 Pati tapioka (suhu 50°C)

Bentuk: bulat Ukuran: kecil Kerapatan: rapat Kondisi: belum pecah/ stabil

Perbesaran 10 x 10 Pati tapioka (suhu 60°C)

Bentuk: bulat Ukuran: kecil Kerapatan: rapat Kondisi: stabil

Perbesaran 10 x 10

Pati tapioka (suhu 65°C)

Bentuk: tidak beraturan Ukuran: agak besar Kerapatan: renggang Kondisi: pecah dan sudah tergelatinisasi Perbesaran 10 x 10

Pati tapioka (suhu 70°C)

Bentuk: tidak beraturan Ukuran: agak besar Kerapatan: tidak rapat/ renggang Kondisi: pecah dan sudah tergelatinisasi Perbesaran 10 x 10

Pati tapioka (suhu 75°C)

Bentuk: tidak beraturan Ukuran: agak besar Kerapatan: tidak rapat/ renggang Kondisi: tidak stabil Perbesaran 10 x 10

Pati tapioka (suhu 80°C)

Bentuk: tidak beraturan Ukuran: besar Kerapatan: sangat renggang Kondisi:tidak stabil

Perbesaran 10 x 10 Pati tapioka (suhu 85°C)

Bentuk: tidak beraturan Ukuran: besar Kerapatan: sangat renggang Kondisi: tidak stabil Perbesaran 10 x 10

11, 12, 13

Pati maizena (suhu kamar)

Bentuk: bulat Ukuran: sangat kecil Kerapatan: sangat rapat Kondisi: stabil

Pati maizena (suhu 40°C)

Bentuk: bulat Ukuran: kecil Kerapatan: rapat Kondisi: belum pecah/ stabil

Perbesaran 10 x 10 Pati maizena (suhu 50°C)

Bentuk: bulat Ukuran: kecil Kerapatan: rapat Kondisi: stabil

Perbesaran 10 x 10 Pati maizena (suhu 60°C)

Bentuk: bulat Ukuran: kecil Kerapatan: rapat Kondisi: stabil

Perbesaran 10 x 10 Pati maizena (suhu 65°C)

Bentuk: bulat Ukuran: kecil Kerapatan: rapat Kondisi: stabil

Perbesaran 10 x 10

Pati maizena (suhu 70°C)

Bentuk: tidak beraturan Ukuran: agak besar Kerapatan: tidak rapat/ renggang Kondisi: pecah sudah tergelatinisasi Perbesaran 10 x 10

Pati maizena (suhu 75°C)

Bentuk: tidak beraturan Ukuran: agak besar Kerapatan: renggang Kondisi: pecah dan sudah tergelatinisasi Perbesaran 10 x 10

Pati maizena (suhu 80°C)

Bentuk: tidak beraturan Ukuran: besar Kerapatan: sangat renggang Kondisi: tidak stabil Perbesaran 10 x 10

Pati maizena (suhu 85°C)

Bentuk: tidak beraturan Ukuran: besar Kerapatan: sangat renggang Kondisi: tidak stabil Perbesaran 10 x 10

Sumber: Laporan Sementara

Tapioka adalah pati yang diekstrak dari singkong. Tapioka mengandung sekitar 95% dari pati dan dapat digunakan dalam makanan, tekstil, kimia dan industri farmasi. Suhu gelatinisasi tepung tapioka lebih rendah dari tepung dari pati umbi-umbian yaitu sebesar 52-64°C. Produksi tapioka dari singkong menghasilkan solid sebagai limbah cair. Limbah padat

terdiri dari singkong kupas dan bubur singkong (beberapa menyebutkan literatur sebagai singkong ampas tebu). Bubur singkong mengandung pati dan serat dalam jumlah yang signifikan, 68% dan 27%, namun masing-masing karbohidrat dapat dikonversi menjadi berbagai jenis bahan kimia atau produk. Granula tapioka berukuran lebih besar (sekitar 20μm) dengan helium yang berbentuk sentries dimana titik mulai berkembangnya granula pati terletak ditengah-tengah bulatan, berbentuk agak bulat dan pada salah satu bagian ujungnya berbentuk kerucut. Granula pati tapioka berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan berasa (Hermiati, 2011). Pati jagung atau yang biasa disebut tepung maizena merupakan bahan berharga untuk industri makanan, banyak digunakan sebagai pengental, pembentuk gel, bulking dan retensi air. Di India, jagung menjadi makanan nomor tiga sebagai makanan paling penting setelah gandum dan padi. Permintaan jagung meningkat di India dengan mendirikan unit pengolahan makanan yang terlibat dalam pengolahan jagung. Atas dasar rasio amilosa dan amilopektin, jagung bisa dipisahkan menjadi normal, lilin dan amilosa tinggi. Pati jagung yang normal terdiri dari sekitar 75% berat bercabang amilopektin dan sekitar 25 wt% amilosa, yang linear atau sedikit bercabang. Pati butiran mengembang bila dipanaskan dalam air berlebih (Sandhu, 2007). Karakteristik dari tepung maizena yaitu berwarna putih, sedikit beraroma jagung, butiran dan tekstur halus. Granula pati maizena berukuran 20-120 µm dan berbentuk oval polyhedral dengan diameter 6-30 µm. Suhu gelatinisasi pada tepung maizena yaitu sekitar 62-70°C (Winarno, 1992). Gelatinisasi adalah suatu proses pemecahan bentuk kristalin granula pati, sehingga setiap lapisan permukaan molekulnya dapat menyerap air atau larut dan bereaksi dengan bahan lain, dan kondisinya tidak dapat kembali seperti semula. Beberapa manfaat gelatinisasi pada pati yaitu: (1) mampu meningkatkan penyerapan sejumlah air; (2) dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis (amilase) untuk memecah ikatan pati menjadi bentuk lebih sederhana yang mudah larut, dan (3) meningkatkan konversi dan kecernaan pakan. Suhu gelatinisasi pati merupakan sifat khas untuk masing-masing pati.

Suhu gelatinisasi ini diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri pada waktu telah kehilangan sifat kristalnya (McCready, 1970 ). Selanjutnya dikatakan fase proses gelatinisasi diawali saat air secara perlahanlahan dan bolak balik berimbibisi ke dalam granula, kemudian granula mengembang dengan cepat dan akhirnya kehilangan sifat birefringence-nya dan bila suhu tetap naik maka molekul-molekul pati terdifusi keluar granula. Pati dapat tergelatinisasi karena suatu hal, menurut Bastian (2011) yaitu apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka energi panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi. Menurut Winarno (1992) faktor yang mempengaruhi gelatinisasi adalah suhu, suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan. suhu tersebut akan semakin lambat tercapai. Sampai suhu tertentu kekentalan tidak berubah. bahkan kadang-kadang menurun. Selanjutnya menurut Winarno (1992) pati dengan butir yang lebih besar akan mengembang pada suhu yang lebih rendah daripada butir pati berbutir kecil. Hal ini dikarenakan granula pati yang lebih besar mempunyai ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih lemah. Pengaruh kondisi pemasakan seperti agitasi dan temperatur juga turut mempengaruhi proses gelatinisasi. Agitasi atau stirring yang diberikan pada awal maupun selama proses gelatinisasi memberikan pengembangan granula dan memberikan suspensi yang lebih seragam. Namun. pengadukan berlebih setelah gelatinisasi dapat merusak granula sehingga menyebabkan suspensi menjadi encer. Gelatinisasi sempurna terjadi pada suhu hingga 203°F (95°C). Walaupun pati memiliki

suhu gelatinisasi yang beragam tergantung sumber dan varietas patinya. Lama pemanasan yang berlebihan akan menyebabkan pati menjadi encer yang dikarenakan pergerakan berlebih granula pati yang menyebabkan kerusakan. Jenis panas yang diaplikasikan seperti panas lembab dibutuhkan untuk terjadinya gelatinisasi. Sedangkan panas kering dapat menyebabkan pati terhidrolisis. pembentukan dekstrin. warna coklat. dan aroma “panggang‟. Walaupun demikian, efek pencoklatan tersebut diinginkan dalam produk tertentu (Vaclavik dan Christian, 2008). Pada Tabel 1.3 Pengamatan Gelatinisasi Pati didapatkan bahwa terdapat dua sampel pada percobaan tersebut. Pada kelompok 8,9,10 dengan sampel tapioka dan kelompok 11,12,13 dengan sampel maizena, sampel tapioka dan maizena diberi perlakuan suhu ruang, 40°C, 50°C, 60°C, 65°C, 70°C, 80°C, 85°C. Pada sampel tapioka pada suhu ruang hingga suhu 60°C kondisi masih stabil kemudian suhu 65°C sampai 85°C kondisi mulai pecah. Pada maizena saat suhu ruang hingga suhu 65°C kondisi masih stabil, kemunia mulai suhu 70°C sudah terjadi gelatinisasi. Hasil praktikum sesuai dengan teori Herawati (2012), yang menyatakan bahwasuhu gelatinisasi pati tapioka berkisar 52°C - 64°C, bergantung pada varietas ubi kayu yang digunakanuntuk memproduksi tapioka. Sedangkan suhu gelatinisasi pati maizena adalah 62-70 (Winarno, 1992). Semakin banyak amilosa yang terkandung dalam bahan maka semakin tinggu suhu gelatinisasi, karena amilosa akan berdifusi keluar saat granula pecah (Bastian, 2011).

E. Kesimpulan Dari praktikum Kimia Pangan Acara I Karbohidrat yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Sukrosa yang termasuk kedalam disakarida akan terhidrolisis atau mengalami dekomposisi pada suasana asam, dan stabil pada suasana basa dan netral. 2. Glukosa yang termasuk kedalam monosakarida akan mengalami dekompoisis dan pencoklatan non-enzimatis apabila dalam suasana basa, sedangkan pada suasana asam dan netral akan stabil. 3. Suhu sangat mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Semakin tinggi suhu proses gelatinisasi pati akan semakin cepat. Suhu gelatinisasi pati tapioka berkisar antara 52-64,0°C, bergantung pada varietas ubi kayu yang digunakan untuk memproduksi tapioka. Sedangkan suhu gelatinisasi pati maizena adalah 62-70°C. Pada Pengamatan Gelatinisasi Pati didapatkan hasil gelatinisasi tapioka pada suhu 65°C dan maizena pada suhu 70°C.

DAFTAR PUSTAKA Aladesida. 2013. Cellulose Sources in the Eudrilid Earthworm. Eudrilus. Alexander A, Alfonso., Hernández D, Guillermo., dan Lara B .2004. Effects of fish oil on hypertension, plasma lipids, and tumor necrosis factoralpha in rats with sucrose-induced metabolic syndrome. J. Nutr. Biochem. 15 (6): 350–57. Andarwulan, N., Kusnandar, F dan Herawati, D. 2011. Analisis Pangan. Dian Rakyat. Jakarta. Bastian, Februadi. 2011. Teknologi Pati dan Gula. Penerbit Universitas Hassanuddin. Makasar. Ben, E.S., Zulianis dan Halim, A. 2007. Studi awal pemisahan amilosa dan amilopektin pati singkong dengan fraksinasi butanol-air. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 12(1): 1-11. Bintang, Maria. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Erlangga. Jakarta. Campbell BK., Onions V., Kendall NR., Guo L., dan Scaramuzzi LR .2010. The effect of monosaccharide sugars and pyruvate on the differentiation and metabolism of sheep granulosa cells in vitro. J. Soc.. Reprod. Fertil. 140:541-550 Chummings, JH dan AM Stephen. 2007. Carbohydrate terminology and classification. European Journal of Clinical Nutrition 61. Inggris Copeland, L., Blazek J., Salman H., dan Tang M.C. 2009. Form and functionality of starch. Food Hydrocolloids. 23:1527-1534. Dewi, Chandra., Tjahjadi Purwoko., dan Artini Pangastuti. 2004. Produksi gula reduksi oleh Rhizopus oryzae dari substrat Bekatul. Bioteknologi. 2 (1): 21-26. Fox PC., Cummins MJ., dan Cummins JM. 2002. A third study on the use of orally administered anhydrous crystalline maltose for relief of dry mouth in primary Sjogren's syndrome. J. Altern. Complement Med. 8(5):651659. Fukuchi, Satoshi., Hamaguchi, Kazuyuki., Seike, Masataka., Himeno, Katsuro., Sakata, Toshiie., dan Yoshimatsu, Hironobu. 2004. Role of fatty acid composition in the development of metabolic disorders in sucroseinduced obese rats. Exp. Biol. Med. 229 (6): 486–93. Hakiki, R. 2010. Analisa pendeteksian zat-zat pereduksi di dalam gliserin dengan pereaksi tollens yang menggunakan spektrofotometer uv-visible pada panjang gelombang 400 nm dan dengan pereaksi. Responsitory. Haralampu, S.G. 2000. Resistant starch–a review of the physical properties and biological impact of rs3 [ulas balik]. Carbohydrate Polym. 41(3):285292. Hariyadi, P. 1984. Mempelajari kinetika gelatinisasi sagu (Metroxylon sp) .Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Herawati, W.D .2012. Budidaya Padi. Jogyakarta. Javalitera. Hermiati, Euis., Azuma, Jun-ichi., Mangunwidjaja., Djumali., dkk. 2011. Hydrolysis of carbohydrates in Cassava Pulp and Tapioca Flour under microwave irradiation. Journal of. Chemical. Vol. 11(3).

Hodge, J. E. dan W . M. Osman, 1976. Carbohydrates. In: Fanema, C. R, Editor. Principle of Food Science. Marcel Decker Inc. New York. Hlm 41 – 138. Imaningsih, N. 2012. Profil gelatinisasi beberapa formulasi tepung-tepungan untuk pendugaan sifat pemasakan. Jurnal Panel Gizi Makan. 35(1):1322. Irawan, M. Anwari. 2007. Karbohidrat. Polton Sports Science dan Performance Lab. Kibar, E., Aytunga Arik., Ilknur Gonenc., dan Ferhunde Us. 2010. Gelatinization of waxy, normal and high amylose corn straches. International Researche Journal. 35 (4): 237-244. Kusnandar, F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Seri 1. Dian Rakyat, Jakarta. Lehninger, A. L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Lestari, Desi W. 2008. Pengaruh Substitusi Tepung Tapioka Terhadap Tekstur dan Nilai Organoleptik Dodol Susu. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang Lombardo., Drago, S., Chicco A., Fainstein D, Gutman R., Gagliardino J., dan Gomez D. 1996. Long-term administration of a sucrose-rich diet to normal rats: relationship between metabolic and hormonal profiles and morphological changes in the endocrine pancreas. Metabolism. 45(12): 1527–32. Matz, S.A. 1984. Snack Food Technology. 2nd ed. The AVI Publishing Company. Westport. Connecticut. McCready, R. M. 1970. Starch and Dextrin. In: Joslyn M. A. Editor Method in Food Analysis. Academic Press. New York. Mizukami, H., Takeda, Y., dan Hizukuri, S. 1999. The structure of the hot-water soluble components in the starch granules of new Japanese rice cultivars. Carbohydrate Polymers. 38(4): 329-335. Olanbiwoninu dan Odunfa. 2012. Enhancing the production of reducing sugars from cassava peels by pretreatment methods. International Journal of science and Technology. Vol.2, No. 9. Palav, T. dan Seetharaman K. 2006. Mechanism of starch gelatinization and polymer leaching during microwave heating. Carbohydrate Polym. 65:364-370. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia. Press, Jakarta. Parker, R. dan Ring G.S. 2001. Aspects of the physical chemistry of starch. J Cereal Sci. 34:1-17. Paulsen H, Todt K. 1968. Cyclic monosaccharides having nitrogen of sulfur in the ring. Adv Carbohydr Chem Biochem. 23(1):115-232 Pine, S. H., dkk. 1988. Kimia Organik 1. Bandung: ITB. Pudjihastuti, Isti dan Siswo Sumardiono. 2011. Pengembangan proses inovatif kombinasi reaksi hidrolisis asam dan reaksi photokimia uv untuk produksi pati termodifikasi dari tapioka. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan. ISSN 1693 – 4393: 1 – 6.

Pudjihastuti, Isti. 2010. Pengembangan Proses Inovatif Kombinasi Reaksi Hidrolisis Asam dan Reaksi Photokimia UV Untuk Produksi Pati Termodifikasi Dari Tapioka. Universitas Diponegoro. Semarang. Rasulu, Hamidin dkk. 2012. Karakteristik tepung ubi kayu terfermentasi sebagai bahan pembuatan sagukasbi. Jurnal Teknologi Pertanian. 13 (1). Malang. Richana, Nur dan Titi Chandra Sunarti. 2004. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung umbi dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubikelapa dan gembili. Jurnal Pasca Panen. 1 (1): 29-37. Sandhu, Kawaljit Singh and Singh, Narpinder. 2007. Some properties of corn starches ii: physicochemical, gelatinization, retrogradation, pasting and gel textural properties. Food Chemistry. 101: 1499–1507. Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1989. Ilmu Gizi. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta. Sugiyono., Pratiwi R., Faridah D.N. 2009. Modifikasi pati garut (Marantha arundinacea) dengan perlakuan siklus pemanasan suhu tinggi– pendinginan (Autoclaving–Cooling Cycling) untuk menghasilkan pati resisten Tipe III. J.Teknol.Industri Pangan . XX(1):17-24. Suprapti, M.L. 2005. Tepung Tapioka, Pembuatan dan Pemanfaatannya. Kanisius, Yogyakarta. Tharanathan M. dan Tharanathan R.N. 2001. Resistant starch in wheat-based products: isolation and characterisation. J Cereal Sci. 34:73-84. Tjokroadikoesoemo P.S. 1986. High Fructose Syrup dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Vaclavik, V.A. dan Christian, E.W. 2008. Essentials of Food Science Third Edition. Springer Science+Business Media, LLC. New York. Westman, Eric., Richard Feinman., John Mavropoulos., Mary., Jeff Volek dan James Wortman. 2007. Low-carbohydrate nutrition and methabolism. The American Journal of Chemical Nutrition. Vol. 86. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wulan, Siti Narsito., Tri dewanti Widyaningsih dan Dian Ekasari. 2007. Modifikasi pati alami dan pati hasil pemutusan rantai cabang dengan perlakuan fisik/kimia untuk meningkatkan kadar pati resisten pada pati beras. Jurnal Teknologi Pertanian. 8 (2): 80-87. Yuliasih, I., Irawadi, T.T., Sailah, I., Pranamuda, H., Setyowati K., dan Sunarti, T.C. 2007. Pengaruh proses fraksinasi pati sagu terhadap karakteristik fraksi amilosanya. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 17(1): 29-36.

LAMPIRAN DOKUMENTASI

Gambar 1.4 Pemanasan

Gambar 1.6 HCl 0,1 N

Gambar 1.8 Sukrosa

Gambar 1.5 Pengambilan Benedict

Gambar 1.7 Benedict

Gambar 1.9 Pengambilan Sukrosa

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA PANGAN ACARA I KARBOHIDRAT

Disusun Oleh: Kartika Keksi Nirwesthi H3117043 Kelompok 10

PROGRAM STUDI D-III TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2018

Related Documents

Berita Acara
October 2019 75
Acara I.docx
May 2020 31
Susunan Acara
August 2019 60
Acara Olahraga.xlsx
April 2020 16
Berita Acara
June 2020 42
Acara I.docx
October 2019 22

More Documents from "Rizca Febry Tiana"