Abu Nawas dan Kambing
Di negeri Persia hiduplah seorang lelaki yang bernama Abdul Hamid Al-Kharizmi, lelaki ini adalah seorang saudagar yang kaya raya di daerahnya, tetapi sayang usia perkawinannya yang sudah mencapai lima tahun tidak juga dikaruniai seorang anak. Pada suatu hari, setelah shalat Ashar di Mesjid ia bernazar, “ya Allah swt. jika engkau mengaruniai aku seorang anak maka akan kusembelih seekor kambing yang memiliki tanduk sebesar jengkal manusia”. Setelah ia pulang dari mesjid, istrinya yang bernama Nazariah berteriak dari jendela rumahnya: Nazariah : “hai, hoi, cuit-cuit, suamiku tercinta, aku sayang kepadamu, ayo kemari, cepat aku ggak sabaran lagi, kepingen ni, cepat, aku kepengen ngomong”
Abdul heran dengan sikap istrinya seperti itu, dan langsung cepat-cepat dia masuk kerumah dengan penasaran sebesar gunung.
Abdul : h, h, h, h, h, h, nafasnya kecapaian berlari dari jalan menuju kerumahnya “ada apa istriku yang cantik?” Nazariah : “aku hamil kang mas” Abdul : “kamu hamil?, cihui, hui, “
Sambil meloncat-loncat kegirangan di atas tempat tidur, Plok, dia terperosok ke dalam tempat tidurnya yang terbuat dari papan itu.
Tidak lama setelah kejadian itu istrinya melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat cantik dan lucu. Dan diberi nama Sukawati
Pak lurah : “Anak anda kan laki-laki, kenapa diberi nama Sukawati?”
Abdul : “dikarenakan anak saya laki-lakilah makanya saya beri nama Sukawati, jika saya beri nama Sukawan dia disangka homo. Abdul : “Hai Malik (ajudannya) cepat kamu cari kambing yang mempunyai tanduk sebesar jengkal manusia”. Malik : “tanduk sebesar jengkal manusia?” ia heran “mau cari dimana tuan?” Abdul : “cari di dalam hidungmu dongol, ya cari diseluruh ke seluruh negeri ini”
Beberapa hari kemudian.
Malik : “Tuan Abdul, saya sudah cari kemana-mana tetapi saya tidak menemukan kambing yang punya tanduk sejengkal manusia” Abdul : “Bagaimana kalau kita membuat sayembara, cepat buat pengumuman ke seluruh negeri bahwa kita membutuhkan seekor kambing yang memiliki tanduk sejengkal manusia untuk
disembelih” Menuruti perintah tuannya, Malik segera menempelkan pengumunan di seluruh negeri itu, dan orang-orang yang memiliki kambing yang bertandukpun datang kerumah Abdul, seperti pengawas Pemilu, Abdul memeriksa tanduk kambing yang dibawa tersebut.
Abdul : “hai tuan anda jangan menipu saya, kambing ini tidak memiliki tanduk sebesar jengkal manusia” kemudian ia pergi ke kambing lain “jangan main-main tuan, ini tanduk kambing palsu”.
Setelah sekian lama menyeleksi tanduk kambing yang dibawa oleh kontestan sayembara, ternyata tidak satupun yang sesuai dengan nazarnya kepada Allah swt. Abdul hampir putus asa, tiba-tiba.
Abdul : “aha, saya teh ada ide, segera kamu ke ibu kota dan jumpai pak Abu dan katakan saya ingin meminta tolong masalah saya.
Malik segera menuruti perintah tuannya, dan segera menuju ibu kota dan menjumpai Pak Abu yang punya nama lengkap Abu Nawas.
Malik : “Pak Abu, begini ceritanya, cus, cues, ces. Pak Abu bisa bantu tuan saya” Pak Abu : “katakan pada tuan kamu, bawa kambing yang punya tanduk dan bayinya tersebut besok pagi ke mesjid Fathun Qarib. Malik segera pulang dan memberitahukan kepada tuannya bahwa Pak Abu bisa
membantu dan cus, cues, ces, sstsst,
Di esok pagi Abdul menjumpai Pak Abu dengan seekor kambing yang punya tanduk dan anaknya yang masih bayi tersebut, beserta istrinya.
Pak Abu : “Baiklah tuan Abdul, jika nazarmua kepada Allah swt. menyembelih kambing yang punya tanduk sebesar jengkal manusia, sekarang tunjukkan mana kambing yang kau bawa kemari, dan mana anakmu” Abdul : “ini kambing dan anak saya Pak Abu”
Pak Abu kemudian mengukur tanduk kembing tersebut dengan jengkal anak bayi tersebut dan Pak abu memperlihatkannya ke Abdul
Pak Abu : “sekarang kamu sudah bisa membayar nazarmu kepada Allah swt. karena sudah dapat kambing yang pas” Abdul : “cihui, uhui, pak Abu memang hebat”, dia meloncat-loncat kegirangan di dalam mesjid setelah melakukan sujud syukur, dan tiba-tiba sleit, dia terpeleset jatuh, karena lantainya baru saja di pel oleh pengurus mesjid itu
Konon Terjadi Saat Lailatulkadar
Cerita tentang ”Teler”-nya Abu Nawas HAMPIR semua orang mengenal nama Abu Nawas. Namun di negeri kita, sosok tersebut telanjur dianggap sebagai pelawak. Mungkin hal itu akibat pengaruh buku "Hikayat Abu Nawas" saduran Nur Sutan Iskandar, terbitan Balai Pustaka, yang menjadi bacaan wajib murid-murid sekolah sejak tahun 1930-an hingga 1950-an.
SALAH satu taman kota, "Taman Abu Nawas" di Bagdad Irak dihiasi monumen dinding dengan relief cerita Abu Nawas yang hidup merakyat dan berperilaku lucu. Monumen sejenis dengan tema cerita Abu Nawas banyak dijumpai di taman-taman kota di Bagdad dan kota lainnya di Irak. (Foto diambil Maret 2003).*Achmad Setiyaji/"PR" -
Padahal Abu Nawas (nama sebenarnya Abu Hani Muhammad bin Hakami, lahir di Ahwaz, Persia, tahun 735 dan meninggal di Bagdhad, tahun 810) adalah seorang sastrawan besar dalam khazanah sastra Arab abad Pertengahan. Bahkan sastrawan terbesar pada zaman kekuasaan Sultan Harun al Rasyid al Abassi, yang menjadi khalifah Dinasti Abasiyah tahun 786-809. Memang, karena kepiawaiannya di bidang bahasa dan sastra Arab, Abu Nawas banyak menggubah sajak-sajak bercorak lelucon dan senda-gurau (mujuniyat). Ia juga sangat ahli merangkai syair tentang cinta dan kecantikan wanita (gazal), pujian terhadap seseorang (madah), bahkan sindiran halus namun tajam (hija). Dan dalam keadaan mabuk minum alkohol khamr), sambil meracau tak karuan, ia menggubah puisi-puisi yang membangga-banggakan minuman keras, yang disebut puisi khumrayat. Karena kelakuannya yang urakan, tak bermoral, bahkan kemungkina atheis, Abu Nawas tidak disukai kalangan agamawan dan kalangan yang menjunjung tinggi ahlak kesopanan. Bahkan, ia pernah dipenjarakan karena kelakuannya yang tak beres itu. Namun menjelang usia tua, ia berubah total. Menjadi tekun beribadah, rendah hati (tawadlu) dan jarang berbicara. Dari beberapa anekdot yang dihimpun para pengamat puisi Abu Nawas, terungkap, kesadaran (al yakhzah) diri Abu Nawas tergugah pada suatu malam "Qadar" (Lailatulkadar). Konon, ketika dalam keadaan "teler" Abu Nawas didatangi seseorang tak dikenal, yang berkata : "Ya, Abu Hani, idza lam takun milhan tuslih, fa la takun zubabatan tufsid (Wahai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikkan, yang merusak hidangan itu). Abu Nuwas langsung merasa dirinya sebagai lalat. Bahkan lebih hina dina. Ia sadar, tahun-tahun kehidupannya tidak membawa manfaat sebagaimana garam memberi kesedapan. Justru ia terus-
terusan merusak, merusak dan merusak. Padahal merusak dilarang keras oleh Allah SWT. La tufsidu fil ardli. Innallaha la yuhibbul mufsidin (Alquran Surah Al Qashash ayat 77). Sejak peristiwa "Malam Qadar" itu, Abu Nawas, mengganti syair-syair dengan zikir. Memindahkan malam-malamnya dari kafe, bar atau pub, ke masjid. Ia tidak ingin lagi menjadi lalat. Biar tak jadi apa-apa, asal tidak membawa kerusakan bagi dirinya dan orang lain. Beberapa kawannya satu "geng" mendatangi Abu Nawas yang sedang i'tikaf di sebuah masjid, pada sepuluh malam terakhir Ramadan. "Apa yang keluar dari bibirmu sekarang ?" ejek kawan-kawannya. "Ayat-ayat Alquran," jawab Abu Nawas, kalem. "Yang kau pikirkan di kepalamu ?" "Kemahaagungan Allah, yang sudah mengubah manusia buruk seperti kalian, menjadi manusia yang baik seperti aku sekarang." "Kau habiskan malam-malammu dengan apa ?" "Dengan mendekatkan diriku yang hina dina kepada Zat Maha Mulia, yaitu Allah SWT." "Lalu siang-siangmu keluyuran ke mana ?" "Ke gurun dan samudera petunjuk-Nya yang penuh rahmat dan ampunan. Aku tak akan tersesat di situ, karena firman-firman-Nya amat jelas," kata Abu Nawas seraya mengutip sabda Nabi Muhammad saw. afdlala ibadati ummatiy tilawatul Qurani. Sebaik-baik ibadah umatku adalah membaca Alquran. Salah satu puisi karya terakhir Abu Nawas, sebuah puisi religius yang di negeri kita (antara lain di Pondok Modern Gontor) dijadikan "pupujian" seusai salat. Ilahi, lastulil firdausi 'ala Wa la aqwa alan naril jahimi Fahabli taubatan waghfir dzunubi Fainnaka ghafiru dzanbil adzimi
(Ya Allah, tak pantas buatku surga Tapi neraka, tak kuat aku akan siksanya
Maka atas segala dosa aku bertaubat Karena ampunanmu lebih hebat)
Puisi-puisi Abu Nawas bersama kisah hidupnya, ditulis antara lain oleh Mustafa Abdur Razak, dalam buku "Abu Nawas, Hayatuhu wa Sya'iruhu" (1981). Dikenal dan digemari di dunia Barat setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh A.von Kremer "Diwan des Abu Nuwas Grossten Lyrischen Dichters der Araber" (1806). Abu Nawas mungkin salah satu contoh manusia yang mendapat barakah "Lailatul Qadar". Malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Kita yang sedang saum sambil mengharap ampunan, rahmat dan itqun minannari (pembebasan dari api neraka), tak mustahil mendapat keberuntungan seperti Abu Nawas. (H.Usep Romli HM)***
Hikayat Sufi Abu Nawas - Yang Lebih Kaya Dan Mencintai Fitnah Seperti biasa, Abu Nawas berjalan-jalan mengunjungi pasar. Tempat inilah yang paling ia sukai karena dari tempat ini ia dapat menyampaikan ide-idenya ke masyarakat luas secara langsung. Tiba-tiba ia berdiri di suatu tempat yang cukup tinggi untuk di dengar seluruh orang di pasar. Dengan suara agak keras, ia mulai berpidato, "Saudara-saudara sekalian. Ada yang perlu saudara-saudara ketahui tentang Raja kita yang tercinta, Baginda Harun Al Rasyid." Seluruh isi pasar terdiam, pandangan tertuju padanya. Orang-orang di pasar itu menunggu-nunggu kalimat berikutnya yang akan dikeluarkan oleh Abu Nawas. Melihat pandangan semua tertuju padanya, Abu Nawas semakin percaya diri. "Kalian harus tahu, bahwa sebenarnya Baginda Harun Al Rasyid lebih kaya dari pada Allah." Tiba-tiba bergemeruhlah suara orang-orang dipasar. Semua orang tersentak mendengar kata-kata yang keluar mulut si Abu Nawas. "Tenang....tenang.....tenang Lagi-lagi "Baginda
saudara.
seluruh kita
itu,
orang sebenarnya
Masih
ada
pasar
sangaaaaaaat
mencintai
lagi." terdiam. fitnah."
Meledaklah lagi gemuruh orang seluruh pasar. Banyak yang memprotes omongan
Abu Nawas. Tetapi si Abu Nawas nampak tenang-tenang saja tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tiba-tiba sejumlah tangan merengut kedua lengan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas berusaha tetap tenang. Ia tahu itu adalah tangan-tangan dari punggawa-punggawa kerajaan. Diseretlah Abu Nawas menghadap raja Harun Al Rasyid. Dengan muka geram, raja Harun Al Rasyid menginterogasi Abu Nawas dihadapan penasehat-penasehatnya. "Apakah benar dipasar kamu mengatakan bahwa Aku lebih kaya dari Allah?" "Benar
baginda."
Makin "Apakah "Maaf,
geramlah benar
kamu
Baginda.
"Pengawal!!
Harun
juga
mengatakan
Itu
benar
adanya,"
Abu
Nawas
ke
Bawa
Al bahwa jawab
penjara.
aku Abu
Gantung
Rasyid. mecintai
fitnah?"
Nawas
tenang.
dia
besok
pagi."
"Tenang, Baginda. Beri saya kesempatan untuk menjelaskan apa maksud kata-kata saya itu." Abu Nawas memohon dengan wajah yang memelas. "Cepat
katakan!
Sebelum
kau
temui
ajalmu."
"Begini Baginda. Maksud kata-kata saya bahwa Baginda lebih kaya dari Allah adalah baginda memiliki anak, sedang Allah tidak dimemiliki anak. Bukan begitu Baginda?" Harun Al Rasyid terdiam. Dia tersenyum dalam hati. "Dasar. Si Abu Nawas." "Terus,
maksud
kata-katamu
bahwa
aku
mencintai
fitnah?"
"Maksudnya, bahwa Baginda sangat mencintai istri dan anak-anak Baginda sendiri. Padahal mereka dapat menjadi fitnah bagi Baginda. Bukan begitu Baginda?" Harun Al Rasyid pun hanya bisa geleng-geleng kepala. "Lalu, kenapa kamu teriakteriak di pasar? Yang tidak paham perkataanmu bisa marah." "Yah, kalau masyarakat marah. Nanti kan Saya dipanggil oleh, Baginda." "Kalau
Aku
"Hmmmm....Yah...biar
sudah dikasih
memanggil, hadiah,
Baginda,"
memang ucap
Abu
kenapa?" Nawas
lirih.
Baginda pun hanya bisa tersenyum simpul. Lalu diberikannya sekantung uang dinar ke Abu Nawas. Ada 3 anekdot dan 1 nasehat yg sangat berkesan buatku… Tuhan Maha Adil Di saat Tuhan sedang membuat bumi dan segala kandungannya, Tuhan dgn adil meletakkan sumber daya alam di tiap daerah. Ada tanah yg gersang tapi kandungan minyak buminya sangat melimpah. Ada tanah yg tidak subur, tapi kandungan emasnya banyak. Ada kepulauan tandus, tapi kekayaan lautnya beraneka ragam, dan lain sebagainya. Kecuali, ada 1 daerah di khatulistiwa dimana Tuhan meletakkan hampir seluruh jenis kekayaan alam di situ. Mulai tanah yg subur, hutan yg luas dgn beragam hewan di dalamnya, laut yg luas dgn isinya yg beranekaragam, kandungan minyak dan kekayaan bumi lainnya juga tersedia melimpah di sana. Atas pengecualian ini, salah seorang malaikat memberanikan diri mengajukan “protes” pada Tuhan. Si malaikat berkata, “Ya Tuhan, mengapa Engkau tidak adil dgn meletakkan hampir seluruh jenis kekayaan bumi di tempat itu?” Tuhan pun menjawab, “Aku tahu apa yg Aku lakukan, hai malaikat. Tunggulah, aku belum menentukan manusia2 yg akan memimpin di negeri ini. Setelah itu, kau akan melihat-Ku berlaku adil.” Tanahnya Tuhan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yg dimiliki manusia telah sangat canggih, di segala bidang. Segala hal yg saat ini masih tampak mustahil, saat itu telah menjadi hal yg biasa. Kloning manusia, perjalanan antar bintang, menghuni planet lain, sudah berhasil dilakukan manusia saat itu. Kemajuan paling mutakhir yg dicapai adalah berhasilnya seorang ilmuwan menciptakan manusia dari tanah. Dengan kemampuan yg sudah sedemikian tinggi, sang ilmuwan tersebut merasa telah mampu menyaingi Tuhan. Dengan jumawa sang ilmuwan berkata pada Tuhan, “Hei Tuhan… lihatlah, aku sudah bisa menciptakan manusia dari tanah sebagaimana Engkau dulu menciptakan Adam. Sekarang aku juga bisa menjadi Tuhan seperti Engkau!“. Tuhan pun tersenyum dan menjawab, “Selamat, selamat… kamu memang sudah sangat pandai, wahai manusia!” Si ilmuwan tersenyum bangga. “Tapi… Aku mau tanya nih, darimana tanah yg kau gunakan untuk membuat manusia itu?” Abu Nawas Membeli Baju Siang itu Abu Nawas sedang susah. Satu2-nya baju yg dimiliki Abu Nawas robek besar karena tersangkut kayu pintu rumahnya sendiri. Untuk memperbaiki baju itu pun, Abu Nawas malas karena robeknya lumayan besar. Lagipula baju itu sudah sangat jelek, banyak tambalan kecil di sana-sini. Sedang untuk beli baju baru, Abu Nawas tidak punya uang. Tapi Abu Nawas -seperti biasa- tidak pernah kehilangan akal.
Sorenya, Abu Nawas pergi ke toko pakaian. Dipilihnya salah satu baju yg agak bagus dan mahal. Tapi dia memilih warna kuning yg tidak disukainya serta motif kotak2 yg norak. Dibawanya baju itu ke sang penjual. “Baju ini bagus bahannya tapi aku tidak suka warna dan motifnya, bisakah kau carikan aku alternatif lain?” Walaupun agak pesimis melihat tampilan Abu Nawas, si penjual tetap dgn ramah menawarkan baju lain yg lebih murah berwarna putih polos, “Bagaimana kalo yg ini, Tuan? Harganya lebih murah daripada yg itu, tapi warnanya bagus dan cocok untuk Tuan.” Abu Nawas mengambil baju tsb dan pura2 menimbang-nimbang. “Hmmm… boleh juga. Baiklah, kalo begitu aku tukar aja baju ini“, sambil meletakkan baju yg tidak disukainya, “dgn baju ini“, lanjut Abu Nawas sembari mengambil baju yg ditawarkan si penjual, “apa boleh?” Karena si penjual tidak yakin Abu Nawas akan mampu membayar baju yg mahal itu, tentu saja si penjual dgn senang hati mengijinkan. “Tentu boleh, Tuan. Pembeli adalah raja!” ujar si penjual sambil tersenyum lebar. “Terima kasih, tolong dibungkuskan ya“, kata Abu Nawas tanpa menawar lagi. Si penjual pun dgn sigap membungkus baju tsb dan menyerahkannya pada Abu Nawas. “Harganya hanya dua puluh ribu rupiah saja, Tuan“, si penjual meminta uang pembayaran pada Abu Nawas. “Loh, kenapa aku harus membayar baju ini?“, Abu Nawas pura2 protes. “Tuan kan sepakat beli baju ini, ya harus bayar dong“, jawab si penjual, agak bingung. “Gini ya… tadi aku kan mau beli baju kuning itu, tapi aku gak suka warnanya dan kau mengijinkan aku untuk menukarnya dengan baju putih ini“, Abu Nawas beralasan. “Iya… berarti Tuan harus bayar baju putih ini.“ “Lah… baju putih ini kan sudah aku tukarkan dgn baju yg kuning tadi, kenapa harus bayar lagi?“ “Iya… tapi… baju yg kuning tadi juga belum Tuan bayar“, si penjual jadi agak bingung. “Loh… kenapa aku harus bayar baju kuning itu? Kan aku tidak jadi beli itu. Kenapa aku harus bayar barang yg tidak jadi aku beli?“ “Nah, berarti Tuan bayar baju putih ini.“ “Gimana sih? Baju putih ini kan sudah aku tukarkan dgn baju kuning tadi!“
Si penjual pun kebingungan. Dengan santai dan senyum simpul, Abu Nawas meninggalkan toko pakaian dan penjualnya sambil membawa bungkusan baju putih di tangan yg diperolehnya secara gratis. Ada yg bisa bantu si penjual pakaian? Syarat Jadi Orang Pelit Ini adalah nasehat dari kakekku yg tidak akan pernah aku lupakan. Saat itu aku masih kecil, masih duduk di bangku SD, kira2 usiaku sekitar 10-11 tahunan. Adikku nangis habis berantem dgnku. Gara2-nya, adikku ingin pinjam set spidol warna punyaku buat dia ngerjakan tugas sekolah, tapi aku gak meminjamkannya. Maklum, spidol warna itu baru aja aku beli 2 hari sebelumnya. Kakekku mendengar pertengkaran kami. Dgn lembut tapi tegas, kakek meminta aku untuk meminjamkannya. Dgn berat hati dan setengah takut pada kakek, akhirnya aku beri pinjam juga spidol warnaku pada adikku. Kakek kemudian mengajakku ke ruang tamu dan menawarkan sepiring pisang goreng yg baru saja dibuat ibuku buat penganan sore hari. Kakek kemudian ngajak aku ngobrol. “Bee… kakek mau nanya nih, kenapa tadi Bee gak ngasih pinjam spidol buat adik?“, tanya kakek. Wah, kesempatan buat mengadu (jawa: wadul) nih, pikirku. “Gini kek… adik itu suka pelit ama Bee. Adik juga sering ngerusakin barang2 Bee yg dipinjamnya. Bee kan gak suka, kek! Makanya tadi Bee gak mau kasih pinjam spidol ke adik“, ujarku mengadu. “Hmmm gitu ya…“, sahut kakek sambil mengunyah pisang goreng, “Kalo gitu, Bee pelit dong“, lanjut kakek. Aku hanya terdiam, waktu itu aku gak ngerasa salah bersikap pelit pada org2 yg sering merusak barang2-ku. “Kalo Bee mau jadi org pelit boleh2 aja… tapi ada syaratnya“, kata kakek lagi. Wah… baru nih, biasanya org2 dewasa pada nasehatin aku supaya jgn pelit, tapi kakek bilang kok boleh2 aja? Kakek yg aneh, pikirku. “Syaratnya apa, kek?“, tanyaku penasaran. “Bee pernah lihat org meninggal yg diantar dgn dipikul org lain ke kuburan?“ “Pernah kek… waktu kapan hari Mbah Mat meninggal, Bee kan lihat waktu rombongan jenazahnya lewat depan rumah, trus ibu nyuruh Bee masuk ke dalam rumah“. “Baguslah… Bee tau kenapa org meninggal harus diantar org lain ke kuburannya sendiri?“
“Wah… kakek pertanyaannya aneh nih… org meninggal ya jelas harus diantar ke kuburan dong, masa’ jalan sendiri? Org lain jadi takut ntar!” jawabku sambil tersenyum-senyum. “Tapi, bisa gak org meninggal jalan sendiri ke kuburan dan gak ngerepotin org lain buat ngantar dia?“ “Ya jelas gak bisa lah, kek… namanya org meninggal, ya gak bisa gerak2, apalagi jalan. Berarti harus org lain yg ngantar ke kuburan“, jawabku dgn pede. Kakek udah pikun kali ya? pikirku waktu itu. “Nah… itu dia syaratnya… kalo suatu saat nanti Bee meninggal dan Bee yakin bisa jalan sendiri ke kuburan tanpa bantuan orang lain, baru Bee boleh pelit. Setuju?“ “Yah… kakek, mana bisa syaratnya seperti itu. Kan gak mungkin, kek!“, aku protes. “Ya udah… kalo syaratnya gak bisa Bee penuhi, berarti Bee gak boleh pelit. Gampang kan?“, jawab kakek. Dgn dongkol, terpaksa aku iyakan juga “syarat pelit” dari kakek. Waktu itu aku belum terlalu paham maksud dari “syarat” ini, maklum aku masih kanak2. Tapi seiring bertambahnya usia, aku mulai ngeh inti dari nasehat kakek di atas. Terima kasih, kek… semoga kakek saat ini bahagia di alam sana.