Abses Peritonsil Dextra.pptx

  • Uploaded by: Anonymous sjMaRDL
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Abses Peritonsil Dextra.pptx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,037
  • Pages: 51
ABSES PERITONSIL DEXTRA Ratih Kumalasari 30101407298

PENDAHULUAN

• Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Selain abses peritonsil, abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici (Ludwig’s angina), atau abses submandibula juga termasuk abses leher bagian dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan akan mengakibatkan terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN • Nama

: Ny.Y

• Jenis Kelamin

: Perempuan

• Umur

: 32 tahun

• Alamat

: Banjaran 2/5 Bangsri Jepara

• Agama

: Islam

• Suku

: Jawa

• Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

• Status

• No. CM • Tanggal Masuk

: Menikah

: 000690320 : 26 Maret 2019

ANAMNESIS

• Autoanamnesa tanggal 27 Maret 2019 di Bangsal Dahlia II RSUD R.A. Kartini Jepara Keluhan utama • Nyeri telan. Riwayat penyakit sekarang • Pasien mengeluh nyeri tenggorokan diserai demam dan berbau sudah berlangsung 1 minggu akan tetapi keluhan tersebut dirasa semakin parah 2 hari terakhir dikarenakan pasien merasa nyeri saat membuka mulut dan tidak dapat makan dan minum sama sekali. Pasien juga mengeluh nyeri telinga sebelah kanan. Kurang pendengaran dan sesak napas disangkal oleh pasien. Sehari sebelum di rujuk ke RSUD RA Kartini pasien melakukan pungsi di RSI dan hasilnya adalah pus.

Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pengobatan\ • Pasien mengatakan sering merasakan keluhan berulang yang hilang timbul seperti nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan. • Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat-obatan. • Riwayat penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi dan sesak disangkal oleh pasien. Riwayat Penyakit Keluarga • Keluarga pasien pernah mengalami keluhan serupa • Tidak ada keluarga yang menderita alergi

• Tidak ada keluarga yang menderita diabetes mellitus, hipertensi maupun sesak. Riwayat Sosial Ekonomi • Pasien sering mengonsumsi kerupuk dan gorengan • Biaya pengobatan ditanggung BPJS

PEMERIKSAAN FISIK

• Dilakukan pemeriksaan pada tanggal 27 Maret 2019 di bangsal Dahlia II RSUD R.A. Kartini Jepara Status Generalis • Keadaan umum : Baik • Kesadaran

: Compos mentis

• Berat badan

: 55 kg

• Tinggi Badan

: 160 cm

• Status Gizi

: BMI 21,48 (normoweight)

Tanda vital • TD

: 110/70

• Nadi

: 80 x/menit

• Respirasi : 20 x/menit • Suhu

: 36.7 °C

Kepala dan Leher • Kepala : Normocephal • Wajah : Simetris • Leher anterior

: nyeri pada leher sebelah kanan

• Leher posterior : tidak ada pembesaran KGB Gigi dan Mulut : • Gigi geligi : tumbuh beraturan

• Lidah : bentuk normal, beslag (+), seperti peta (-), tremor (-) • Pipi

: bengkak (-)

PEMERIKSAAN TELINGA LUAR

Aurikula

Preaurikula Retroaurikula

Mastoid CAE

Dextra

Sinistra

Bentuk normal

Bentuk normal

Nyeri tarik (-)

Nyeri tarik (-)

Oedem (-)

Oedem (-)

Tragus pain (-)

Tragus pain (-)

Oedem (-)

Oedem (-)

Nyeri tekan (-)

Nyeri tekan (-)

Oedem (-)

Oedem (-)

Nyeri tekan (-)

Nyeri tekan (-)

Oedem (-)

Oedem (-)

Discharge (-)

Discharge (-)

Serumen (-)

Serumen (-)

Hiperemis (-)

Hiperemis (-)

PEMERIKSAAN MEMBRANE TIMPANI Dextra

Sinistra

Perforasi

(-)

(-)

Cone of light

(+) anteroinferior

(+) anteroinferior

Warna

Putih keabu-abuan mengkilat Putih keabu-abuan mengkilat

Bentuk

seperti mutiara

seperti mutiara

Cekung

Cekung

PEMERIKSAAN HIDUNG Luar:

Dextra

Bentuk

Tidak ada deformitas

Tidak ada deformitas

Inflamasi/tumor

Eritem (-) bengkak (-)

Eritem (-) bengkak (-)

Krepitasi

(-)

(-)

Nyeri tekan/ ketok

(-)

(-)

sinus

Sinistra

Pemeriksaan hidung

Dextra

Sinistra

Hidung

Bentuk normal

Bentuk normal

Sekret

Sekret minimal

Sekret minimal

Mukosa konka media Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-) Mukosa konka

Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

inferior Meatus media

Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

Meatus inferior

Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

Septum

Deviasi (-)

Deviasi (-)

Massa

(-)

(-)

PEMERIKSAAN TENGGOROKAN Bibir

Kering

Mulut

Mukosa mulut basah berwarna merah muda

Geligi

Caries dentis rahang bawah kiri P2M1 dan rahang atas kiri M2

Ginggiva

Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar

Lidah

Beslag berwarna putih

Uvula

Sedikit terdorong kearah kiri

Palatum mole

Hiperemis

Faring

Mukosa hiperemi (+), reflex muntah (+), membrane (-)

Tonsila palatine

Kanan

Kiri

Ukuran

T2

T1

Warna

Hiperemis (+)

Hiperemis (+)

Tidak rata

Tidak rata

Melebar

Melebar

(+)

(-)

Abses (+)

Abses (-)

Hiperemis (+)

Hiperemis (+)

Permukaan Kripte Detritus Peri Tonsil Fossa Tonsillaris dan Arkus Faringeus

PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium darah lengkap (termasuk BT dan CT), HbsAg, GDS, Ureum Kreatinin.

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai Normal Perempuan

Hemoglobin

13,6

gr%

12-16

Leukosit

20.130

mm 3

4000-10000

Trombosit

182.000

mm 3

150.000-400.000

Hematokrit

38.4

%

37-43

WAKTU PEMBEKUAN (CT)

4’ 10”

menit

2-6

WAKTU PERDARAHAN (BT)

2’ 05”

menit

1-3

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai Normal Perempuan

GDS

139

mg%

80-150

UREUM

33.0

mg%

10-50

KREATININ

0,7

mg%

0.5 – 0.9

NATRIUM

136.7

Mmol/L

135 - 155

KALIUM

4.11

Mmol/L

3.5- 5.5

KLORIDA

102.3

HBSAG

negatif (-)

Mmol/L

95 - 105

EKG

DESKRIPSI EKG • Irama

: Sinus

• Regularitas

: regular

• Frekuensi

: 90 x/menit

• Gelombang P

: 0,08 detik, P pulmonal (-), P Mitral (-)

• Interval PR

: 0,16 detik

• Axis

: Normo Axis

• Zona Transisi

:-

• Komplek QRS

: 0,08 detik

• Gelombang Q

: tidak terdapat Q patologis

• Segmen ST

: ST Elevasi (-), ST Depresi (-)

• Gelombang T

: T inversi (-)

• Kesan

: Normo Sinus

RESUME • Pasien mengeluh nyeri tenggorokan diserai demam dan berbau sudah berlangsung 1 minggu akan tetapi keluhan tersebut dirasa semakin parah 2 hari terakhir dikarenakan pasien merasa nyeri saat membuka mulut dan tidak dapat makan dan minum sama sekali. Pasien juga mengeluh nyeri telinga sebelah kanan. Kurang pendengaran dan sesak napas disangkal oleh pasien. Sehari sebelum di rujuk ke RSUD RA Kartini pasien melakukan pungsi di RSI dan hasilnya adalah pus. Pada pemeriksaan rongga mulut dan orofaring didapatkan mulut kering, sulit untuk membuka mulut secara lebar, lidah terdapat beslag berwarna putih, terdapat caries gigi rahang bawah kiri P2M1 dan rahang atas kiri M2, uvula terdorong kearah kiri, palatum mole sedikit membengkak dan hiperemis, pilar anterior dan posterior hiperemis, tonsil kanan T2 dan kiri T1, tonsil hiperemis, kripte melebar, terdapat detritus berupa pus pada tonsil sebelah kanan, dinding posterior orofaring hiperemis. Pada pemeriksaan kelenjar limfe leher didapatkan nyeri pada submandibular dextra. Pada pemeriksaan hidung terdapat sekret minimal dan pada pemeriksaan telingan menggunakan otoskopi dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium leukositosis. Pasien setuju untuk dilaksanakan tatalaksana operatif dan menginap dibangsal Dahlia 2 dan dijadwalkan untuk operasi setelah menjalani prosedur pemeriksan untuk dilakukan operasi.

DIAGNOSIS

• Abses peritonsiler dextra

Diagnosis Banding • Abses retrofiring, • abses parafaring, • abses submandibular,

• angina Ludovici

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa: • Inf RL 28 tpm

• Futrolit 1 fl/24 jam drip IV • Ceftriaxone 2gr/24 jam IV • Inj. metronidazole 500mg/ 6 jam drip IV • Inj. Methyl prednisolone 125mg/12 jam IV

Operatif : • Tonsilektomi (pelaksanaan tonsilektomi pada 28 Maret 2019 pukul 12.00)

EDUKASI

• Menghindari makanan yang digoreng serta es atau air dingin • Meminum obat yang sudah diberikan secara teratur

• Istirahat cukup dan makan makanan bergizi serta banyak minum air putih

PROGNOSIS

• Quo ad vitam

: dubia ad bonam

• Quo ad sanam

: dubia ad bonam

• Quo ad functionam

: dubia ad bonam

FOLLOW UP Tanggal

27/03/2019

Keadaan Klinis

Program Terapi



Keluhan: nyeri telan



Inf RL 28 tpm



KU:compos mentis



Futrolit 1 fl/24 jam drip IV

TD:110/70 mmHg, suhu: 36.7oC



Ceftriaxone 2gr/24 jam IV

N: 80x/menit,



Inj. metronidazole 500mg/ 6 jam drip IV

RR: 20x/menit



Inj. Methyl prednisolone 125mg/12 jam IV



Pemeriksaan tenggorok: Tonsila palatina Dextra T2,hiperemis (+), kripte

Edukasi rencana tonsilektomi pukul 12.00 tanggal 28 Maret 2019, puasa 6 jam sebelum

melebar (+), detritus berupa pus (+), granulasi (+), operasi tonsila palatina Sinistra T1, hiperemis (+), kripte melebar berisi detritus, granulasi (+), halitosis (+)

Dinding posterior orofaring : hiperemis (-), post nasal drip (-),mukosa pucat (-), granular (-)

28/6/2018



Telah dilakukan tonsilektomi pukul 12.00



Pengawasan KU,TTV, tanda perdarahan



Keluhan: nyeri dengan skala 7



Kompres es dileher



Pf: TD: 110/70 mmHg, suhu: 36.5o C , N:  90x/menit, RR: 20x/menit



Pemeriksaan tenggorok: Terpasang jahitan tonsil dextra 3 buah jahitan, tonsil sinistra 2 buah jahitan



Plica semilunaris dan uvula Hiperemis dan

Perdarahan berhenti Assessment: post tonsilektomi

Posisi tidur miring tanpa bantal selama belum sadar



Pasien sadar penuh boleh minum sedikit-sedikit tanpa sedotan



Infus Ringer Laktat 28 tpm



Inj Ceftriakson 2gr/24jam



Inf. Metronidazole 500mg/8jam IV



Inf sanmol 1gr/8jam drip IV



Inj. Kalnek 500mg/8jam IV



Diet : H0; 3x cair dingin/ice krim, H1; 3x bubur saring

29/6/2018



Keluhan: nyeri telan



TTV:TD: 120/80 mmHg,T: 36o C, RR 19x/menit



PF tenggorok: Perdarahan (-), beslag (-) tonsil T0



Assessment: post tonsilektomi



Edukasi menjaga hygine mulut.

INSTRUKSI DIET DAN LAINNYA UNTUK PASIEN PASCA OPERASI TONSILEKTOMI OLEH SP THT-KL HARI KE-1 PASCA OPERASI • Penderita hanya diperkenankan makan berupa cairan yang dingin seperti: susu dingin, sirup, ice cream, 6x200 cc (6x1 gelas belimbing) sehari. Posisi tidur miring, bila perlu kompres dingin di leher. HARI KE-2 PASCA OPERASI • Pasien diberi diet/makanan saring seperti: puding, bubur sumsum, agar-agar, bubur maizena, yang disajikan kondisi dingin. Minum sebanyak mungkin agar tidak demam. Pasien sudah boleh mobilisasi (bangun dari tempat tidur), diijinkan pulang, pasien tetap di dalam rumah. Kumur antiseptik jika belum bisa gosok gigi.

HARI KE-3 S/D KE-5 PASCA OPERASI • Pasien diberi diet/makanan yang agak padat/kental seperti: bubur nasi, roti yang direndam susu, telor matang, sayur berkuah di dalam kondisi dingin, minum sebanyak mungkin semampunya. Di rumah: pasien boleh keluar rumah/bermain tapi jangan sampai kelelahan. Mulut harus bersih dengan gosok gigi. HARI KE-6 PASCA OPERASI

• Pasien diberi diet/makanan padat seperti: nasi lembek, telor matang, sayur berkuah, pisang, pepaya, daging dicacah/bakso, dalam kondisi dingin minum sebanyak mungkin semampunya. Aktivitas di luar rumah jangan sampai kelelahan, kebersihan mulut terus dijaga. HARI KE-7 PASCA OPERASI • Pasien diberi diet/makanan seperti biasa, boleh makan hangat, boleh masuk sekolah, jika obat habis kontrol ke poli THT.

ANATOMI TONSIL • Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual yang ketiga- tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.

TONSIL PALATINA • Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: • Lateral

 Muskulus konstriktor faring superior

• Anterior

 Muskulus palatoglosus

• Posterior

 Muskulus palatofaringeus

• Superior

 Palatum mole

• Inferior

 Tonsil lingual

PENDARAHAN • Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu • Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteritonsilaris dan arteri palatina asenden • Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden • Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal • Arteri faringeal asenden Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal

ALIRAN GETAH BENING • Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.

IMUNOLOGI TONSIL

• Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang • Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik

ABSES PERITONSIL

• Abses peritonsil sering disebut sebagai Peritonsillar Abscess (PTA) atau Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai hasil dari tonsillitis supuratif

ETIOLOGI • Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. • Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.

PREVALENSI • Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 2040. • Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan hampir 45.000 kasus setiap tahun.

PATOLOGI • Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra lateral

• Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus.Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru

GEJALA KLINIK

• Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai terjadinya abses sekitar 2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum mole. Terdapat riwayat faringitis akut, tonsilitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin memburuk. Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat. • Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia yang menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m. Masseter menekan tonsil yang meradang, sakit kepala, rasa lemah, dehidrasi, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, mulut berbau (foetor ex orae), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia)

• karena oedem palatum molle yang terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem perifokalis, dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus) yang bervariasi, trismus menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut.

DIAGNOSIS

Anamnesis • Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah satu yang mendukung terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.

Pemeriksaan Fisik • Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan bahkan seperti bintilbintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Gold standart pemeriksaan yaitu dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan menggunakan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan: • Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).

• Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.

• Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik. • Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. • Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana operasi. • Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti.

DIAGNOSIS BANDING

• Abses retrofaring • Abses parafaring • Abses submandibula • Angina ludovici • Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses leher dalam lainnya yang disebutkan diatas. Hal ini karena pada semua penyakit abses leher dalam, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan membuka mulut merupakan keluhan yang paling umum. Untuk membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya, diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.

TERAPI

Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah : • Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.

• Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral. • Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara parenteral atau peroral. • Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral. • Pemberian steroid.

• Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.

• Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. • Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsil berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya

KOMPLIKASI

• Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau piemia. • Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis. • Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. • Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam rheumatik apabila bakteri penyebab infeksi adalah Streptococcus Group A.

• Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke selubung karotis atau carotid sheath. • Peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda. • Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri supratonsilar.

PROGNOSIS

• Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru

PEMBAHASAN • Pasien mengeluh nyeri tenggorokan diserai demam dan berbau sudah berlangsung 1 minggu akan tetapi keluhan tersebut dirasa semakin parah 2 hari terakhir dikarenakan pasien merasa nyeri saat membuka mulut dan tidak dapat makan dan minum sama sekali. Pasien juga mengeluh nyeri telinga sebelah kanan. Kurang pendengaran dan sesak napas disangkal oleh pasien. Sehari sebelum di rujuk ke RSUD RA Kartini pasien melakukan pungsi di RSI dan hasilnya adalah pus. Pada pemeriksaan rongga mulut dan orofaring didapatkan mulut kering, sulit untuk membuka mulut secara lebar, lidah terdapat beslag berwarna putih, terdapat caries gigi rahang bawah kiri P2M1 dan rahang atas kiri M2, uvula terdorong kearah kiri, palatum mole sedikit membengkak dan hiperemis, pilar anterior dan posterior hiperemis, tonsil kanan T2 dan kiri T1, tonsil hiperemis, kripte melebar, terdapat detritus berupa pus pada tonsil sebelah kanan, dinding posterior orofaring hiperemis. Pada pemeriksaan kelenjar limfe leher didapatkan nyeri pada submandibular dextra. Pada pemeriksaan hidung terdapat sekret minimal dan pada pemeriksaan telingan menggunakan otoskopi dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium leukositosis. Pasien setuju untuk dilaksanakan tatalaksana operatif dan menginap dibangsal Dahlia 2 dan dijadwalkan untuk operasi setelah menjalani prosedur pemeriksan untuk dilakukan operasi.

Berdasarkan keluhan pasien sesuai dengan teori dimana pasien awalnya mengeluh nyeri tenggorokan yang disertai demam. Selain itu berdasarkan pengakuan pasien adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan yang hilang timbul adalah salah satu yang mendukung terjadinya abses peritonsil. Nyeri tenggorokan merupakan salah satu tanda ada nya peradangan pada jaringan disekitarnya, sedangkan demam tersebut menandakan adanya infeksi yang sedang berlangsung. Proses peradangan yang terus berlanjut pada jaringan disekitarnya menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, yang membuat pasien merasa kesakitan saat membuka mulut. Selain itu khas dari abses peritonsil adalah nyeri telinga pada sisi yang sama dengan terdapatnya abses peritonsil. Rasa nyeri ditelinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf n.glosofaringeus (n.XI). Pada pemeriksaan kelenjar getah bening didapatkan nyeri tekan pada submandibular dan leher pada sisi yang sama. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran tonsil T2 dan T1 dimana pada T2 terdapat detritus berupa pus, dan kripte melebar yang dan beberapa kripte terisi detritus merupakan tanda dari tonsillitis kronis. Selain itu terdapat bekas pungsi yang hasilnya berupa pus.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan jumlah leokosit yang merupakan tanda dari infeksi. Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. Sehingga pada pemberian terapi pada kasus ini pasien diberikan antibiotik dosis tinggi spectrum luas, dan supaya lebih efektif dikombinasikan dengan metronidazole. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsil berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru.

DAFTAR PUSTAKA • Anggraini, D., Sikumbang,T. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi Fungsional. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. • Wanri, A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007. • Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam Cummings Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier Mosby Inc.; 2005. • Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung,Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. • Anonim. Host Defence Againts Pneumococcal Disease. Available at: http://www.ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/haart/vk/nieminen/review.htm . Accessed on September 23th, 2012.

• Budapest Student. The Waldeyer’s Ring. Available at: http://www.tulip.ccny.cuny.edu . Accessed on September 23th, 2012. • Staff. Palatine Tonsil. Available at: http://www.webmd.com . Accessed on September 23th, 2012. • Staff. Atlas of Human Anatomy. Available at: http://www.anatomyatlases.org . Accessed on September 23th, 2012. • Eibling, D.E. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus dalam Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. New York: McGraw Hill Medical Publishing Division; 2003.

• Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology Assessment (HTA) Indonesia; 2004. • Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi III Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1998. • Adam. Peritonsillar Abcess. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov . Accessed on September 23th, 2012.

Related Documents


More Documents from "Anonymous uGbcVSJTDg"