99852_laringitis Tboke.docx

  • Uploaded by: Bobby Faisyal Rakhman
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 99852_laringitis Tboke.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,178
  • Pages: 22
DAFTAR ISI BAB I .................................................................................................................................. 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1 1.2 Tujuan Penulisan .................................................................................................... 1 BAB II ................................................................................................................................ 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 2 2.1 Anatomi.................................................................................................................... 2 2.2 Fisiologi Laring ....................................................................................................... 8 2.3 Laringitis Tuberkulosa ........................................................................................... 9 2.3.1 Definisi .............................................................................................................. 9 2.3.2 Epidemiologi ................................................................................................... 10 2.3.3 Etiologi ............................................................................................................ 10 2.3.4 Patogenesis ...................................................................................................... 10 2.3.5 Gambaran Klinis ............................................................................................ 12 2.3.6 Diagnosis ......................................................................................................... 13 2.3.7 Diagnosis Banding .......................................................................................... 17 2.3.8 Penatalaksanaan ............................................................................................ 17 2.3.9 Prognosis & Komplikasi ................................................................................ 19 BAB III............................................................................................................................. 20 PENUTUP........................................................................................................................ 20 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik akut, sub akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Gejala lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis sub akut. Gejala lebih dari kurang lebih 3 bulan dinamakan laringitis kronis. Laringitis kronis dibagi menjadi dua bagian menurut sebabnya yaitu laringitis akut non spesifik dan laringitis kronik spesifik.1 Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis. Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa.1,2 Laringitis tuberkulosis merupakan peradangan yang hampir selalu akibat tuberkulosis paru aktif. Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok umur usia muda, yaitu 20-40 tahun. Namun dalam 20 tahun belakangan ini, insidensinya meningkat pada penduduk yang berumur lebih dari 60 tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki, terutama pasien-pasien dengan keadaan ekonomi dan kesehatan buruk, banyak di antaranya adalah peminum alkohol.1 Laringitis tuberkulosis di Indonesia, belum terdapat publikasi data epidemiologi laringitis tuberkulosis yang mencakup skala nasional. Penelitian di RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (Januari 2000-Desember 2004) didapatkan 15 pasien dengan diagnosis laringitis tuberkulosis. Insidensi terbanyak adalah pada kelompok umur 60-69 tahun (30%).3.

1.2 Tujuan Penulisan Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang anatomi laring, fisiologi laring, defenisi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis laringitis tuberkulosis.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Laring berada di depan dan sejajar dengan vetebre cervical 4 sampai 6, bagian atasnya yang akan melanjutkan ke faring berbentuk seperti bentuk limas segitiga dan bagian bawahnya yg akan melanjutkan ke trakea berbentuk seperti sirkular. 4 Laring dibentuk oleh sebuah tulang yaitu tulang hioid di bagian atas dan beberapa tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf ‘U’, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otototot. Saat menelan, konstraksi otot-otot (M.sternohioid dan M.Tirohioid) ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membantu menggerakan lidah. 4 Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago tiroid, krikoid, aritenoid, kornikulata, kuneiform, dan epiglotis. Kartilago tiroid, merupakan tulang rawan laring yang terbesar, terdiri dari dua lamina yang bersatu di bagian depan dan mengembang ke arah belakang. Tulang rawan ini berbentuk seperti kapal, bagian depannya mengalami penonjolan membentuk “adam’s apple” dan di dalam tulang rawan ini terdapat pita suara, dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamentum krikotiroid. 4 Kartilago krikoid terbentuk dari kartilago hialin yang berada tepat dibawah kartilago tiroid berbentuk seperti cincin signet, pada orang dewasa kartilago krikoid terletak setinggi dengan vetebra C6 sampai C7 dan pada anak-anak setinggi vetebra C3 sampai C4. Kartilago aritenoid mempunyai ukuran yang lebih kecil, bertanggung jawab untuk membuka dan menutup laring, berbentuk seperti piramid, terdapat 2 buah (sepasang) yang terletak dekat permukaan belakang laring dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, sendi ini disebut artikulasi krikoaritenoid4 Sepasang kartilago kornikulata atau bisa disebut kartilago santorini melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks dan berada di dalam lipatan ariepiglotik.Sepasang kartilago kuneiformis atau bisa disebut kartilago wrisberg 2

terdapat di dalam lipatan ariepiglotik , kartilago kornikulata dan kuneiformis berperan dalam rigiditas dari lipatan ariepiglotik. Sedangkan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral. Epiglotis merupakan Cartilago yang berbentuk daun dan menonjol keatas dibelakang dasar lidah. Epiglottis ini melekat pada bagian belakang kartilago thyroidea. Plica aryepiglottica, berjalan kebelakang dari bagian samping epiglottis menuju cartilago arytenoidea, membentuk batas jalan masuk laring. 4

Gambar 2.1 anatomi laring

Membrana mukosa di Laring sebagian besar dilapisi oleh epitel respiratorius, terdiri dari sel-sel silinder yang bersilia. Plica vocalis dilapisi oleh epitel skuamosa. Plica vocalis adalah dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di atas ligamenturn vocale, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam kartilago thyroidea di bagian depan dan cartilago arytenoidea di bagian belakang. Plica vocalis palsu adalah dua lipatan membrana mukosa tepat di atas plica vocalis sejati. Bagian ini tidak terlibat dalam produksi suara. 4

3

Gambar 2.2 pita suara

Laring memiliki dua buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior ), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringeal, ligamentum hiotoroid lateral, ligamentum hiotiroid media, ligamentum hioepiglotica, ligamentum

ventricularis,

ligamentum

vocale

yang

menghubungkan

kartilagoaritenoid dengan kartilago tiroid dan ligamentum tiroepiglotica. 4 Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot - otot ekstrinsik dan otototot instrinsik, otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot - otot instrinsik menyebabkan gerakan bagian-bagian laring sendiri. Otot - otot ekstrinsik laring ada yang terletak diatas tulang hyoid (suprahioid), dan ada yang terletak dibawah tulang hyoid (infrahioid). Otot ekstrinsik yang supra hyoid ialah M. Digastricus, M.Geniohioid, M.Stylohioid, dan M.Milohioid. Otot yang infrahioid ialah M.sternohioid dan M.Tirohioid.Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik laring kebawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring keatas. Otot - otot intrinsik laring ialah M.Krikoaritenoid lateral. M.Tiroepiglotica, M.vocalis, M.Tiroaritenoid, M.Ariepiglotica, dan M.Krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. Otot - otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah M.aritenoid transversum, M.Ariteniod obliq dan M.Krioaritenoid posterior. 4

4

2.1.1 Rongga laring Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas bawahnya ialah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah permukaan belakang epiglottis, tuberkulum epiglotic, ligamentum tiroepiglotic, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah membran kuadranagularis, kartilago aritenoid, konus elasticus, dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya ialah M.aritenoid transverses dan lamina kartilago krikoid. 4

Gambar 2.3 otot pada laring

5

Lipatan mukosa pada ligamentum vocale dan ligamentum ventrikulare, maka terbentuklah plika vocalis (pita suara asli) dan plica ventrikularis (pita suara palsu). Bidang antara plica vocalis kiri dan kanan, disebut rima glottis, sedangkan antara kedua plica ventrikularis disebut rima vestibuli. Plica vocalis dan plica ventrikularis membagi rongga laring dalam tiga bagian, yaitu vestibulum laring , glotic dan subglotic. 4 Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat diatas plica ventrikularis. Daerah ini disebut supraglotic.Antara plica vocalis dan pita ventrikularis, pada tiap sisinya disebut ventriculus laring morgagni. Rima glottis terdiri dari dua bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plica vocalis, dan terletak dibagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago aritenoid, dan terletak di bagian posterioir.Daerah subglotic adalah rongga laring yang terletak di bawah pita suara (plicavocalis). 4

2.1.2 Persyarafan Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringeus superior dan laringeus inferior (recurrent). Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. Nervus laryngeus superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa laring dibawah pita suara. Saraf ini mula - mula terletak diatas m.konstriktor faring medial, disebelah medial a.karotis interna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang hyoid dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus. 4 Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m.konstriktor faring inferior dan menuju ke m.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m.tirohioid terletak disebelah medial a.tiroid superior, menembus membran hiotiroid, dan bersama-sama dengan a.laringeus superior menuju ke mukosa laring. 4 Nervus laringeus inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan lanjutan dari n.vagus. 4

6

Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan dibawahnya, sedangkan n.rekuren kiri akan menyilang aorta. Nervus laringis inferior berjalan diantara cabang-cabang arteri tiroid inferior, dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada permukaan medial m.krikofaring. Disebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior, Ramus anterior akan mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mempersyarafi otot-otot intrinsik laring superior dan mengadakan anstomosis dengan n.laringitis superior ramus internus. 4

Gambar 2.4 persarafan laring

2.13 Pendarahan Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang yaitu a.laringitis superior dan a.laringitis inferior. Arteri laryngeus superior merupakan cabang dari a.tiroid superior. Arteri laryngitis superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran tirohioid bersama-sama dengan cabang internus dari n.laringis superior kemudian menembus membran ini untuk berjalan kebawah di submokosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis, untuk memperdarahi mukosa dan otot-otot laring. 4

7

Arteri laringeus interior merupakan cabang dari a.tiroid inferior dan bersama-sama dengan n.laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring melalui daerah pinggir bawah dari m.konstriktor faring inferior. Di dalam arteri itu bercabang-cabang memperdarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan a.laringis superior. 4 Pada daerah setinggi membran krikotiroid a.tiroid superior juga memberikan cabang yang berjalan mendatar sepanjang membrane itu sampai mendekati tiroid. Kadang-kadang arteri ini mengirimkan cabang yang kecil melalui membran krikotiroid untuk mengadakan anastomosis dengan a.laringeus superior. Vena laringeus superior dan vena laringeus inferior letaknya sejajar dengan a.laringis superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior. 4

2.14 Pembuluh Limfe Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di daerah lipatan vocal. Disini mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokale. Di daerah lipatan vocal pembuluh limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior. 4 Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus piriformis dan a.laringeus superior, kemudian ke atas, dan bergabung dengan kelenjar dari bagian superior rantai servikal dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan kebawah dengan a.laringeus inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam, dan beberapa dintaranya menjalar sampai sejauh kelenjar supraklavikular. 4

2.2 Fisiologi Laring Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta fonasi. Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing masuk kedalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis secara bersamaan. Terjadi penutupan aditus laring ialah akibat karena pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilogo aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi m.tiro-aritenoid dan m.aritenoid. Selanjutnya m.ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter. Penutupan 8

rima glotis terjadi karena adduksi plika vokalis. Kartilago arritenoid kiridan kanan mendekat karena aduksi otot-otot intrinsik. Selain itu dengan reflex batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan ke luar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang berasal dari paru dapat dikeluarkan. 4 Fungsi respirasi dan laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima glottis. Bila m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glottis terbuka. Terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeo-bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga sebagai alat pengatur sirkulasi darah. 4 Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan 3 mekanisme, yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laring dan mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk kedalam laring. Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti berteriak, mengeluh, menangis dan lain-lain. 4 Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh peregangan plica vokalis. Bila plica vokalis dalam aduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid kebawah dan kedepan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m. Krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendor. Kontraksi serta mengendornya plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya nada. 4

2.3 Laringitis Tuberkulosa 2.3.1 Definisi Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa.1

9

2.3.2 Epidemiologi Insidensi dan prevalensi tuberkulosis paru yang mengalami penurunan, kejadian

laringitis

tuberkulosis

juga

mengalami

penurunan,

meskipun

kecenderungan peningkatan kejadian laringitis tuberkulosis dalam beberapa tahun terakhir.1 Penyakit ini sering terjadi pada kelompok usia muda yaitu 20 – 40 tahun. Dalam 20 tahun belakangan, insidens penyakit ini pada penduduk yang berumur lebih dari 60 tahun jelas meningkat. Saat ini tuberkulosis dalam semua bentuk dua kali lebih sering pada laki-laki dibanding dengan perempuan. Tuberkulosis laring juga lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut, terutama pasien-pasien dengan keadaan ekonomi dan kesehatan yang buruk, banyak diantaranya adalah peminum alkohol.3

2.3.3 Etiologi Hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati biasanya tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru. Infeksi laring oleh Mycobacterium tuberculosa hampir selalu sebagai komplikasi tuberkulosis paru aktif, dan ini merupakan penyakit granulomatosis laring yang paling sering.5 2.3.4 Patogenesis Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan lesi sekunder tuberkulosis paru aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil tuberkel secara langsung. Secara umum, infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui darah atau limfe. Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis tuberkulosis dikategorikan menjadi 2 mekanisme.5,6 2.3.4.1 Laringitis Tuberkulosis Primer Laringitis tuberkulosis primer jarang dilaporkan dalam literatur medis. Laringitis tuberkulosis primer terjadi jika ditemukan infeksi Mycobacterium tuberculosa pada laring, tanpa disertai adanya keterlibatan paru. Rute penyebaran infeksi pada laringitis tuberkulosis primer yang saat ini diterima adalah invasi

10

langsung dari basil tuberkel melalui inhalasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, menyatakan bahwa sebanyak 40,6% pasien dengan laringitis tuberkulosis memiliki paru yang normal. 2.3.4.2 Laringitis Tuberkulosis Sekunder Laringitis tuberkulosis sekunder terjadi jika ditemukan infeksi laring akibat Mycobacterium tuberculosa yang disertai adanya keterlibatan paru. Laringitis tuberkulosis sekunder merupakan komplikasi dari lesi tuberkulosis paru aktif. Mekanisme penyebaran infeksi ke laring dapat berupa penyebaran langsung di sepanjang saluran pernapasan dari infeksi paru primer berupa sputum yang mengandung kuman maupun penyebaran melalui sistem darah ataupun limfatik. 2.3.4.3 Penyebaran Lewat Sputum (Bronkogen) Penyebaran infeksi basil tuberkel ke laring melalui mekanisme bronkogenik merupakan teori yang lazim dipahami. Adanya bronkogen dalam hal ini, sputum yang mengandung bakteri M. tuberculosis mendasari patogenesis terjadinya laringitis tuberkulosis. Terjadinya laringitis tuberkulosis dapat disebabkan oleh tersangkutnya sputum yang mengandung basil tuberkulosis di laring, terutama pada struktur posterior laring termasuk aritenoid, ruang interaritenoid, pita suara bagian posterior dan permukaan epiglotis yang menghadap ke laring. Antigen dari basil TB yang berada di laring dicerna sel dendritik lalu dibawa ke kelenjar limfe regional dan mempresentasikan antigen M. Tuberculosis ke sel Th1. Th1 kemudian berproliferasi dan dapat kembali ke tempat awal infeksi. Restimulasi oleh sel penyaji setempat menghasilkan produksi IFN g dan mengaktifasi makrofag. Bila eliminasi mikroorganisme ini gagal akan berlanjut pada inflamasi kronik terjadi dimana patogen persisten di dalam tubuh, maka terjadi pengalihan respon imun berupa reaksi hipersensitifitas tipe lambat membentuk granuloma. Setelah kontak awal dengan antigen, sel Th disensitisasi, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel DTH (delayed type hypersensitivity) dimana pengerahan makrofag yang berkelanjutan akan membentuk sel-sel epitloid berupa sel datia dalam granuloma. Tuberkel yang avaskular berisikan daerah perkijuan di tengah dikelilingi oleh sel epiteloid dan di bagian perifer oleh sel-sel mononukleus. Kemudian tuberkel-tuberkel ini bersatu membentuk nodul. Karena letaknya di

11

subepitel, epitel yang melampisinya mungkin hilang dan sering terjadi ulserasi dengan infeksi sekunder. 5,6 Proses ini pertama kali cenderung akan mengenai prosesus vokalis dan epiglotis. Adanya tuberkel mungkin akan merangsang terjadinya hiperplasia epitel dan jaringan fibrosis subepitel. Hal ini mungkin bermanifestasi pada daerah interaritenoid berupa penebalan yang menyerupai pakiderma. Prosesus vokalis mungkin di tutupi oleh nodul yang menyerupai morbili. Hal ini merupakan manifestasi dari proses perbaikan karena hanya ditemukan sedikit perkijuan pada lesi. Edema jelas pada keadaan lebih lanjut dan mungkin terjadi sebagai akibat obstruksi jaringan limfe oleh granuloma. Edema dapat timbul di fossa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglottis serta terakhir ialah subglotik. Epiglotis dan jaringan ikat di atas aritenoid merupakan tempat yang paling tampak edema. Penyembuhan tuberkulosis laring disertai oleh pembentukan kapsul jaringan fibrosa dan jaringan menggantikan tuberkel. 5,6 2.3.4.4 Penyebaran Melalui Limfohematogen Mekanisme bronkogenik, penyebaran M. tuberculosis pada laring dapat juga melalui sistem limfohematogen. Penyebaran melalui sistem limfohematogen biasanya mengenai laring anterior dan epiglotis.

2.3.5 Gambaran Klinis Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium yaitu, stadium infiltrasi, stadium ulserasi,

stadium perikondritis, dan stadium

pembentukan tumor Stadium

Infiltrasi mukosa

laring

bagian

posterior

mengalami

pembengkakan dan hiperemis pada bagian posterior, kadang-kadang dapat mengenai pita suara. Pada stadium ini mukosa laring berwarna pucat. Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel makin membesar dan beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang, maka akan pecah dan terbentuk ulkus.2

12

Stadium Ulserasi ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini dangkal, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri oleh pasien.2 Tahap selanjutnya yaitu stadium Perikondritis ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring terutama kartilago aritenoid dan epiglottis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut dan terbentuk sekuester. Pada stadium ini pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses

penyakit

berlanjut

dan

masuk

dalam

stadium

terakhir

yaitu

fibrotuberkulosis.2 Stadium terakihr yaitu Stadium Fibrotuberkulosis ditandai dengan terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara dan subglotik.2

Gambar 2.5 Temuan Laringoskopi pada Laringitis Tuberkulosis, A. Lesi Ulseratif (pada seluruh laring), B. Lesi Granuloma (pada glotis posterior) C. Lesi Polyploid (pada plika vokalis palsu kanan), D. Lesi Nonspesifik (pada plika vokalis kanan)

2.3.6 Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.3,7,8

13

2.3.6.1 Anamnesa Anamnesa dapat ditanyakan pertama kali gejala seperti suara parau atau disfonia, batuk kronis terutama pada malam hari, stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat disekitar pita suara, adanya isfagia dan otalgia serta faktor yang memicu dan mengurangi gejala. Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan yang dapat memicu timbulnya laringitis seperti debu, asap. Penggunaan suara berlebih. Penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antihipertensi, antihistamin yang dapat menimbulkan kekeringan pada mukosa dan lesi pada mukosa. Riwayat merokok, makan.

2.3.6.2 Gejala dan Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak sakit berat, demam, terdapat stridor inspirasi, sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak sesuai dengan peningkatan suhu badan merupakan tanda hipoksia. 2.3.6.3 Laboratorium Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) yaitu Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan), Pagi (keesokan harinya), Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut. Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan.

14

2.3.6.4 Laringoskopi direk atau indirek Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan tampak edema terutama di bagian atas dan bawah glotis.

Gambar 2.6 Laringitis Tuberkulosis

2.3.6.5 Foto toraks Untuk melihat apabila terdapat pembengkakan dan adanya gambaran tuberkulosis paru. CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan memberikan hasil yang lebih baik. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif. Tampak adanya bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.

15

Gambar 2.7 Foto Toraks Tuberkulosis Paru

2.3.6.6 Pemeriksaan patologi anatomi Pada gambaran makroskopi tampak permukaan selaput lendir kering dan berbenjol-benjol sedangkan pada mikroskopik terdapat epitel permukaan menebal dan opaque, pembentukan granuloma, sel besar Langhans, serbukan sel radang menahun pada lapisan submukosa.

Gambar 2.8 Histopatologi Laringitis Tuberkulosis

16

2.3.7 Diagnosis Banding Diagnosis banding laringitis tuberculosis, antara lain 2.3.7.1 Laringitis luetika Laringitis luetika seringkali memberikan gejala yang sama dengan laringitis tuberkulosis. Akan tetapi, radang menahun ini jarang ditemukan. Laringitis luetika terjadi pada stadium tertier dari sifilis, yaitu stadium pembentukan guma. Apabila gma pecah, maka timbul ulkus. Ulkus inimempunyai sifat yang khas, yaitu sangat dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang berwarna kekuningan. Ulkus tidak menyebabkan nyeri dan menjalar sangat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi perikondritis. 2.3.7.2 Karsinoma laring Karsinoma laring memberikan gejala yang serupa dengan laringitis tuberkulosa. Serak adalah gejala utama karsinoma laring, namun hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor.

2.3.8 Penatalaksanaan 2.3.8.1 Terapi non medikamentosa Tatalaksana non medikamentosa dapat dilakukan seperti mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara. Pasien dianjurkan menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya goreng-gorengan, makanan pedas, mengkonsumsi cairan yang banyak, serta berhenti merokok dan konsumsi alkohol. 2.3.8.2 Terapi medikamentosa : Obat antituberkulosis (OAT) American Thoracic Society (ATS) menyatakan prinsip pengobatan TB ekstrapulmonal tidaklah berbeda denngan TB pulmonal, termasuk TB laring. Tujuan tatalaksana dari laryngitis TB adalah memutuskan mata rantai penularan, mengobati infeksi yang terjadi, mencegah kematian, dan mencegah kekambuhan tau resistensi terhadap OAT. Pemberian terapi selama 6 bulan merupakan standar yang dipakai untuk pengobatan TB pulmonal dan TB ekstrapulmonal secara umum.8

17

Tabel 2.1. Dosis dan efek samping dari obat anti tuberculosis lini pertama Nama Obat

Dosis Harian

Isoniazid

4-6 mg/kgBB (max Hepatitis, neuropati perifer, 300 mg)

Efek Samping

psikosis

toksik,

kejang,

agranulositosis,ginekomastia Rifampisin

8-12 g/kgBB (max Hepatitis, 600 mg)

gangguan

pencernaan, demam, eritem kulit,

trombositopeni,

nefritis interstisial, sindrom flu, anemia hemolitik, skin rash Pirazinamid

20-30 mg/kgBB

Hepatitis,

hiperurisemia,

muntah, nyeri sendi, eritem kulit Streptomisin

15-18 mg/kgBB

Ototoksik, nefrotoksik

Etambutol

15-20 mg/kgBB

Neuritis retrobulbar, nyeri sendi,

hiperurisemia,

neuropati perifer

Respon pengobatan pada TB laring dapat terjadi dalam 2 minggu. Suara serak yang disebabkan karena hipertrofi dapat mengalami perbaikan, namun pergerakan pita suara yang terbatas akibat fibrosis dapat menetap.7,22 Respon OAT terhadap laring cukup baik rata-rata 2 bulan dimana sebagian kasus lesi yang terjadi sebelumnya tidak terlihat lagi.8 2.3.8.3 Operatif Tindakan operatif dilakukan dengan tujuan untuk pengangkatan sekuester. Trakeostomi diindikasikan bila terjadi obstruksi laring.

18

2.3.8.4 Trakeostomi Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk bernafas. Trakeostomi dilakukan atas indikasi untuk mengatasi obstruksi laring, mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring. Mempermudah penghisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat mengeluarkan secret secara fisiologik, untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan), serta untuk menambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas bronkoskopi. 8 Trakeostomi pada kasus laringitis tuberkulosis dilakukan atas indikasi yaitu jika terjadi obstruksi laring dan mengurangi ruang rugi di saluran napas bagian atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring. 8

2.3.9 Prognosis & Komplikasi Prognosis dari laringitis tuberkulosis tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka prognosisnya baik. 2 Komplikasi laringitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain maka dapat terjadi inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Pada laringitis tuberkulosis dapat terjadi sekuele, di antaranya stenosis glotis posterior, stenosis subglotis, paralisis plika vokalis, dan persisten disfonia.9

19

BAB III PENUTUP

Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa. Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan lesi sekunder tuberkulosis paru aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil tuberkel secara langsung. Secara umum, infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui darah atau limfe. Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium yaitu, stadium infiltrasi, stadium ulserasi,

stadium perikondritis, dan stadium

pembentukan tumor. Prognosis dari laringitis tuberkulosis tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka prognosisnya baik. Komplikasi laringitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain maka dapat terjadi inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Laringitis tuberkulosis dapat terjadi sekuele, di antaranya stenosis glotis posterior, stenosis subglotis, paralisis plika vokalis, dan persisten disfonia

20

DAFTAR PUSTAKA 1. Ballenger John. Penyakit Granulomatosa Kronik Laring. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher Jilid 1.Jakarta: Binarupa Aksara.2013 2. Soepardi AE, Iskandar N, dkk. Kelainan Laring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 3. Purnanta M. Arief. Laryngitis Tuberculosa in ENT Department Dr. Sujito Hospital Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen ENT-Head and Neck. Medical Faculty of GMU-Dr. Sarjito Hospital. 4. Cohen James . Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.EGC. 2012. h. 369-376 5. Keyvan Kiakojuri, Mohammad Reza Hasanjani Roushan. Laryngeal tuberculosis without pulmonary involvement. Caspian J Intern Med 3(1): Winter 2012: 3(1): 397-399. 6. Akkara SA, Singhania A, Akkara AG, Shah A, Adalja M, Chauhan N (2014). A study of Manifestations of extrapulmonary tuberculosis in the ENT region. Indian Journal Otolaryngology and Head Neck Surgery. p 66 (1)46-50. 7. World Earth Organization. Improving the diagnosis and treatment of smearnegative pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adults andadolescents. 2012; 26-33. 8. Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono, Sugiri YJ, Iswanto, et al. Pengobatan Tuberkulosis Pada Keadaan Khusus. In: Perhimpunan dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2011; 39. 9. Fernandez GP. Tuberculosis Infections of the Head and Neck. Acta Otorinolaringol Esp. 2009; 60 (1): 59-66.

21

More Documents from "Bobby Faisyal Rakhman"